Seorang wanita berseragam merah marun adalah pemandangan pertama yang Yara dapati begitu ia membuka mata. Kepala Yara terasa pening. Dan dalam sekejap, begitu matanya mengedar ke sekeliling ruangan, ia sadar bahwa saat ini ia berada di rumah sakit.
Ia tidak mengerti kenapa dirinya berada di sini. Hal terakhir yang Yara ingat adalah ia yang dikurung di kamar Zara—mendiang kembarannya, oleh Oliver selama tiga hari. “Mbak Yara sudah bangun? Bagaimana perasaannya sekarang? Perutnya masih sakit?” tanya wanita berseragam itu sambil melanjutkan pekerjaannya mengganti botol infus. “Suster?” tanya Yara dengan suara serak alih-alih menjawab pertanyaan perawat barusan, ia masih bingung dengan keadaan yang dialaminya. “Kenapa saya bisa ada di sini?” Perawat itu menatap Yara dengan pandangan prihatin. “Mbak Yara pingsan karena kelelahan dan dehidrasi akibat tidak makan dan minum selama tiga hari.” Yara mencoba mencerna penjelasan itu, tapi pikirannya terasa berat. Tentu saja ia ingat bahwa Oliver mengurungnya di kamar Zara. Tiga hari yang penuh dengan kesunyian dan rasa hampa, hingga tubuhnya tak lagi kuat menahan beban emosional maupun fisik. Perutnya memang sempat terasa sakit, tapi saat itu Yara terlalu fokus pada luka di hatinya daripada yang ada di tubuhnya. Memori pernikahannya dengan Oliver yang baru berjalan empat hari terputar kembali di benak Yara. Hari-hari yang seharusnya menjadi awal bahagia malah berubah menjadi mimpi buruk. Yara memejamkan mata, mencoba menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Oliver, pria berusia 30 tahun yang kejam kepada Yara itu adalah mantan suami Zara—yang sudah meninggal dunia enam bulan lalu. Yara dan Zara merupakan saudara kembar identik. Oliver belum bisa melupakan Zara, hingga pria itu menikahi Yara demi egonya. Sementara Yara terpaksa menerima Oliver karena ia butuh biaya pengobatan ibunya yang sakit kanker, juga demi Zio—anak Oliver dan Zara, yang berusia 2 tahun dan membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Yara tidak pernah menyangka bahwa Oliver akan memaksanya menjadi bayang-bayang Zara. Oliver memaksa Yara untuk bersikap dan berpenampilan seperti Zara. Yara sempat menolak, lalu Oliver marah dan mengurungnya di kamar Zara supaya Yara dapat belajar bagaimana menjadi Zara. “Siapa yang membawa saya ke sini, Suster?” tanya Yara setelah ia keluar dari lamunannya. “Apa Oliver—maksud saya suami saya, yang membawa saya ke sini? Lalu di mana dia sekarang?” “Pak Oliver nggak datang kemari. Dan yang mengantar Mbak Yara ke sini adalah Pak Lucas.” Yara tercenung. Mendengar nama Oliver disebut, hati Yara kembali terguncang. Ia tak tahu harus merasa marah atau sedih mendengar bahwa Oliver sama sekali tidak memperdulikannya. Ya, ia memang tidak makan dan minum selama dikurung di kamar Zara. Bukan karena Oliver tidak memberinya makan, tapi itu pilihan Yara sendiri sebagai bentuk protes Yara pada Oliver yang memaksanya untuk memanipulasi Yara menjadi bayangan Zara. Itu membuat Yara tersiksa, karena ia tidak bisa menjadi saudari kembarnya sendiri. Selepas kepergian perawat, tiba-tiba Yara teringat dengan ucapan terakhir Oliver yang ia dengar sebelum pingsan tadi malam. ‘Baiklah, kalau kamu nggak mau mengikuti kemauanku, aku akan menghentikan biaya pengobatan ibumu.’ Suara bariton pria itu masih terngiang jelas di telinga Yara, membuat tubuh Yara seketika menegang dan semakin pucat. Yara memaksakan dirinya bangkit dari tempat tidur dan mengabaikan pening di kepala. Ia turun dan hendak berlari, lalu memekik saat merasakan sakit di punggung tangan karena jarum infus yang tertarik. Sementara perawat sudah pergi beberapa saat yang lalu. ‘Aku harus menemui Oliver sekarang juga!’ batin Yara sambil mencabut jarum infusan dari punggung tangannya. Ia khawatir Oliver telah membatalkan biaya pengobatan untuk ibunya. Jika itu terjadi, Yara tidak bisa memaafkan diri sendiri, karena ibunya adalah segalanya baginya. Dengan masih mengenakan seragam pasien, Yara setengah berlari keluar dari rumah sakit dan mengabaikan rasa sakit di tangan, juga seruan para perawat yang melarangnya pergi. Di depan lobi ia menghentikan taksi, lalu naik dan berkata, “Ke New Pacific Group ya, Pak?” Sang sopir mengangguk. Sebagian besar orang di kota ini, atau mungkin di negeri ini, tidak ada yang tidak tahu New Pacific Group. Perusahaan raksasa yang telah memiliki cabang di banyak kota itu adalah milik keluarga Oliver, yang kini dipimpin olehnya. Taksi berhenti di depan lobi sebuah gedung pencakar langit. Melihat argometer, Yara seketika sadar bahwa ia tidak membawa apapun termasuk uang. Akhirnya, dengan mengesampingkan rasa malu, Yara meminjam sejumlah uang pada satpam yang berjaga di pintu lobi. Sang satpam terkejut melihat Yara, karena siapapun tahu bahwa istri sang bos telah meninggal dunia, tapi kini ada di hadapannya. “Saya mau ketemu Oliver,” kata Yara setelah ia membayar taksi dan masuk ke lobi. “Di mana dia sekarang?” Satpam itu terlihat masih kaget. Yara bisa membaca keterkejutan di wajah lelaki itu. Ia buru-buru berkata, “Saya bukan Zara, tapi kembarannya, kalau-kalau Bapak kaget melihat saya.” “Ah, begitu.” Satpam akhirnya tersenyum ramah. “Saya baru tahu kalau Nyonya Zara memiliki kembaran. Tunggu sebentar, saya akan mengonfirmasi apakah Tuan Oliver ada di ruangannya atau tidak.” Pria berseragam hitam itu mendekati resepsionis dan berbicara dengannya. Resepsionis wanita itu kemudian menelepon seseorang, mungkin sekretaris Oliver, pikir Yara. Yara duduk di sofa lobi sambil menghiraukan tatapan orang-orang yang menatapnya dengan pandangan tak percaya. Yara tidak heran jika tidak banyak orang yang tahu bahwa Zara memiliki kembaran. Karena selama ini Yara jarang berada di Indonesia. Satpam menghampiri Yara, mempersilahkannya bertemu dengan Oliver dan memberinya petunjuk di mana letak ruangan sang CEO. Yara bergegas menumpangi lift menuju lantai 23. Wanda, sekretaris Oliver, menyambutnya dengan tatapan yang hampir sama dengan satpam tadi. Namun Wanda lebih khawatir dengan kondisi Yara yang mengenakan seragam pasien dan wajah pucat. Ia lebih kaget lagi saat melihat punggung tangan kiri Yara yang berdarah. “Aku ingin ketemu Oliver. Sekarang,” kata Yara, tegas tapi ramah. Ketergesa-gesaan Yara membuat Wanda akhirnya membawanya masuk ke ruangan sang CEO. Yara melihat seorang pria berjas hitam sedang fokus pada laptop di hadapannya, duduk di kursi kebesarannya yang membelakangi dinding kaca. Ruangan beraroma woody itu tampak luas tapi dingin. “Tuan, Nona Yara sudah datang,” kata Wanda, membuat kepala Oliver langsung mendongak dan menutup laptop. Yara berdiri kaku di hadapan pria itu yang kini tengah menatapnya. Yara bisa melihat keterkejutan yang tergambar di wajah Oliver, saat pria itu menatap tubuh Yara dari atas sampai bawah. “Baik. Kamu boleh keluar,” katanya pada Wanda, tanpa mengalihkan tatapannya dari Yara. Rahang Oliver mengeras. “Ada apa? Bukankah seharusnya kamu berada di rumah sakit?” tanya Oliver dengan suara dingin. “Sekarang, kenapa kamu ke sini dengan berpenampilan seperti itu dan—“ “Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau,” sela Yara dengan cepat, tenggorokannya tercekat, dadanya bergemuruh hebat. ***“Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau, tapi aku mohon jangan hentikan biaya pengobatan ibuku. Dan selain itu... aku punya permintaan lain.” Keterkejutan kembali tergambar di wajah Oliver saat mendengar ucapan Yara, tapi hanya sesaat, pria itu pandai menguasai ekspresinya. Ia berdiri, melangkah pelan keluar dari kungkungan meja kerja, bersandar di tepian meja menghadap Yara. “Permintaan?” ulang Oliver dengan ekspresi datar. “Iya.” Yara menjawab cepat. “Aku punya dua permintaan.” Oliver melirik tangan kiri Yara yang tengah saling meremas dengan tangan kanan. Lalu kembali menatap wajahnya. “Baik. Apa permintaanmu?” Yara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku akan berpenampilan dan bersikap seperti Zara saat di hadapanmu, seperti yang kamu mau.” Ia tahu, keputusannya ini akan membuatnya menderita karena harus menjadi bayangan seseorang di mata suaminya sendiri. “Tapi beri aku ruangan khusus untukku, bukan ruangan Zara,” lanjut Yara, menyuarakan perminta
Yara menunggu sejenak, menanti komentar atau respon dari Oliver, tapi pria itu hanya kembali menunduk, sibuk dengan berkas-berkas di depannya. "Sudah selesai?" tanya Oliver dengan ekspresi datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya. Yara mengangguk, meskipun Oliver tak melihatnya. "Iya, sudah. Aku akan kembali ke rumah sakit," jawab Yara dengan nada yang berusaha tetap tegar. Namun tak bisa dipungkiri, hatinya terasa sedikit perih. Tak ada pujian atau apresiasi, seolah apa yang ia lakukan hanya kewajiban tanpa makna. Oliver akhirnya mendongak, mengangguk singkat. "Baik. Lucas akan mengantarmu." Yara terdiam sejenak, menatap Oliver yang kembali larut dalam pekerjaannya. Ia merasa kelelahan, bukan hanya fisik, tapi juga mental, karena mulai saat ini ia harus terus memerankan sosok Zara di hadapan pria yang dulu diam-diam ia cintai. "Satu hal lagi, Oliver," kata Yara dengan suara rendah tapi serius. "Aku harap kamu selalu ingat, meskipun aku terlihat seperti Zar
“Kak Zara...,” gumam pria itu, dengan tatapan tak percaya, menyadarkan Yara bahwa ternyata orang lain pun melihatnya sebagai Zara. “Bagaimana bisa Kak Zara—“ “Aku Yara, kembaran Zara,” sela Yara dengan cepat. “Bukan Zara seperti yang kamu kira.” Suara Yara melemah. “Aku bukan Zara,” tegasnya sekali lagi, lebih tepatnya seperti bicara kepada diri sendiri. “Oh? Maaf... maaf.” Pria bernama Marshall itu mengusap tengkuk, menyadari perubahan raut muka perempuan di hadapannya. “Aku baru dengar sepupuku menikahi kembaran Zara. Dan aku baru tahu kalau ternyata kalian semirip ini.” Wajah kami memang mirip, tapi sesungguhnya kami berdua sangat berbeda. Yara ingin menyuarakan kalimat itu, tapi pelukan Zio di lehernya membuat Yara akhirnya berkata dengan lembut, “Jangan khawatir, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menemani kamu.” Ada rasa canggung saat menyebut dirinya ‘mama’. Sebab biasanya Yara mengenalkan diri sebagai ‘aunty’ kepada keponakan yang kini berubah status menjadi putra
Oliver mendorong pintu kamar dan menarik Yara, membawanya masuk, pintu di belakangnya otomatis menutup.Dengan gerakan sedikit kasar, Oliver melepaskan tangan Yara dari genggamannya. Raut mukanya tampak mengerikan. Yara baru kali ini melihat sisi itu dari Oliver.“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Yara memecah keheningan di antara mereka berdua.Oliver yang baru saja melepas jas dan melonggarkan sampul dasi, menatap Yara dengan dingin dan berkata, “Zara nggak pernah dekat dengan lelaki lain, apalagi saat aku nggak ada. Dia istri yang setia, dan hanya melihatku seorang.”Mendengarnya, Yara tercenung. Jadi ini yang ingin Oliver bicarakan? Ingin membandingkan dirinya dengan Zara? Ah, benar. Ia harus menjadi Zara di hadapan pria itu.“Oliver, seperti yang Marshall tadi bilang, dia cuma—““Apakah harus berpegangan tangan?” sela Oliver.“Kami nggak berpegangan tangan seperti yang kamu kira.”“Sudahlah.” Oliver melepas dasi dan melemparnya ke sofa, sementara Zara masih berdiri di deka
Yara mencoba melawan dorongan yang kian kuat dari Oliver. Ia tahu ini salah, meski hatinya juga bimbang antara peran yang ia sepakati dan perasaan yang tak bisa ia abaikan."Oliver, aku bukan Zara," bisik Yara lagi, kali ini dengan suara yang lebih jelas. Tubuhnya tegang di bawah tekanan pria yang dulu hanya ia kagumi dari jauh.Namun, Oliver seolah tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Tatapannya penuh luka, seakan ia berusaha mencari kepingan Zara dalam diri Yara. "Aku tahu kamu bukan Zara," gumamnya, namun tindakannya tidak mencerminkan ucapannya.Jemarinya yang kasar namun penuh kerinduan menggenggam erat pergelangan tangan Yara, sementara ciumannya semakin dalam, mengabaikan protes halus dari bibir Yara.“Aku nggak bisa terus seperti ini,” bisik Yara, air matanya mulai menggenang. “Aku bukan bayangan Zara, Oliver. Aku punya perasaan. Aku punya hak untuk dihormati.”Kata-kata itu akhirnya berhasil menghentikan Oliver. Ia terdiam, napasnya terengah, matanya yang kelam menatap Yara
Sebuah mobil sport putih berhenti di depan lobi New Pacific Group. Lucas yang sudah menunggu di sana bersama Wanda segera membukakan pintu mobil untuk sang CEO. Oliver turun dari mobil, memasang kancing jas, dan menyerahkan kunci pada Lucas. Sebelum kemudian Lucas yang menyerahkan kunci itu kepada satpam. “Ada apa di dalam? Kenapa ramai sekali?” tanya Oliver dengan ekspresi datar tanpa menghiraukan sapaan asisten pribadi dan sekretarisnya sebelumnya. “Itu para karyawan yang sedang meminta tanda tangan dan berfoto dengan Marshall, Tuan,” jawab Lucas seraya menatap keramaian di dalam lobi. Rahang Oliver mengeras. “Bubarkan mereka sekarang!” Namun, sebelum Lucas dan Wanda membubarkan mereka, para karyawan itu seketika hening begitu melihat kedatangan sang CEO. Mereka menunduk memberi hormat dan tak ada yang berani bersuara ata
Memasak ternyata jauh lebih melelahkan ketimbang traveling ke kota terpencil, pikir Yara. Selain kulit tangannya banyak goresan pisau—karena ia tak sengaja menggores tangannya ketika memotong bawang, lengannya pun terkena cipratan minyak ketika ia memasukkan daging ayam ke dalam penggorengan dengan gerakan kasar—tanpa sengaja. Kini, ia sedang berkeliling rumah Oliver yang ternyata jauh lebih luas dari dugaannya, ditemani Lisa. Lisa menjelaskan setiap tempat yang mereka kunjungi. Dan yang membuat hati Yara terasa perih dan tidak nyaman, adalah kehadiran foto-foto Zara di setiap ruangan. Bahkan foto pernikahan mereka pun belum Oliver turunkan dari dinding ruang tamu. “Tuan Oliver nggak suka melihat hal-hal yang berantakan, dia orang yang perfeksionis dan ingin segalanya bersih dan rapi,” ujar Lisa, yang kini menjelaskan bagaimana sosok Oliver. “Beliau juga nggak menyukai keterlambatan, ketidakseriusan, bahkan kesalahan
Yara memperhatikan pantulan dirinya di cermin sambil bergumam, “Pantas saja Oliver sangat mencintai Zara, ternyata dia secantik ini.” Tidak. Yara bukan sedang memuji dirinya sendiri cantik, tapi yang ia puji adalah bayangan Zara di dalam cermin tinggi di hadapannya. Lisa baru saja selesai ‘mengubahnya’ menjadi Zara. Gaun berwarna lilac selutut dan berlengan panjang itu memamerkan bahunya yang terbuka. Sebuah kalung cantik milik Zara menggantung di leher. Dan rambut yang sengaja di-curly itu benar-benar membuat diri Yara ‘hilang’. Kini ia sepenuhnya tampak seperti Zara. Ia merasa tidak nyaman, tapi ia terpaksa menerima peran ini demi komitmen yang telah ia buat. Yara kesulitan berjalan saat ia keluar kamar, kakinya belum terbiasa dengan high heels. “Papa sayang sekali sama Zio. Zio sayang Papa nggak?” “Aku tay