Share

Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!
Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!
Penulis: Rosa Uchiyamana

1. Istri Bayangan

Seorang wanita berseragam merah marun adalah pemandangan pertama yang Yara dapati begitu ia membuka mata. Kepala Yara terasa pening. Dan dalam sekejap, begitu matanya mengedar ke sekeliling ruangan, ia sadar bahwa saat ini ia berada di rumah sakit.

Ia tidak mengerti kenapa dirinya berada di sini. Hal terakhir yang Yara ingat adalah ia yang dikurung di kamar Zara—mendiang kembarannya, oleh Oliver selama tiga hari.

“Mbak Yara sudah bangun? Bagaimana perasaannya sekarang? Perutnya masih sakit?” tanya wanita berseragam itu sambil melanjutkan pekerjaannya mengganti botol infus.

“Suster?” tanya Yara dengan suara serak alih-alih menjawab pertanyaan perawat barusan, ia masih bingung dengan keadaan yang dialaminya. “Kenapa saya bisa ada di sini?”

Perawat itu menatap Yara dengan pandangan prihatin. “Mbak Yara pingsan karena kelelahan dan dehidrasi akibat tidak makan dan minum selama tiga hari.”

Yara mencoba mencerna penjelasan itu, tapi pikirannya terasa berat. Tentu saja ia ingat bahwa Oliver mengurungnya di kamar Zara. Tiga hari yang penuh dengan kesunyian dan rasa hampa, hingga tubuhnya tak lagi kuat menahan beban emosional maupun fisik. Perutnya memang sempat terasa sakit, tapi saat itu Yara terlalu fokus pada luka di hatinya daripada yang ada di tubuhnya.

Memori pernikahannya dengan Oliver yang baru berjalan empat hari terputar kembali di benak Yara. Hari-hari yang seharusnya menjadi awal bahagia malah berubah menjadi mimpi buruk.

Yara memejamkan mata, mencoba menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.

Oliver, pria berusia 30 tahun yang kejam kepada Yara itu adalah mantan suami Zara—yang sudah meninggal dunia enam bulan lalu. Yara dan Zara merupakan saudara kembar identik. Oliver belum bisa melupakan Zara, hingga pria itu menikahi Yara demi egonya.

Sementara Yara terpaksa menerima Oliver karena ia butuh biaya pengobatan ibunya yang sakit kanker, juga demi Zio—anak Oliver dan Zara, yang berusia 2 tahun dan membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

Yara tidak pernah menyangka bahwa Oliver akan memaksanya menjadi bayang-bayang Zara. Oliver memaksa Yara untuk bersikap dan berpenampilan seperti Zara. Yara sempat menolak, lalu Oliver marah dan mengurungnya di kamar Zara supaya Yara dapat belajar bagaimana menjadi Zara.

“Siapa yang membawa saya ke sini, Suster?” tanya Yara setelah ia keluar dari lamunannya. “Apa Oliver—maksud saya suami saya, yang membawa saya ke sini? Lalu di mana dia sekarang?”

“Pak Oliver nggak datang kemari. Dan yang mengantar Mbak Yara ke sini adalah Pak Lucas.”

Yara tercenung. Mendengar nama Oliver disebut, hati Yara kembali terguncang. Ia tak tahu harus merasa marah atau sedih mendengar bahwa Oliver sama sekali tidak memperdulikannya.

Ya, ia memang tidak makan dan minum selama dikurung di kamar Zara. Bukan karena Oliver tidak memberinya makan, tapi itu pilihan Yara sendiri sebagai bentuk protes Yara pada Oliver yang memaksanya untuk memanipulasi Yara menjadi bayangan Zara. Itu membuat Yara tersiksa, karena ia tidak bisa menjadi saudari kembarnya sendiri.

Selepas kepergian perawat, tiba-tiba Yara teringat dengan ucapan terakhir Oliver yang ia dengar sebelum pingsan tadi malam.

‘Baiklah, kalau kamu nggak mau mengikuti kemauanku, aku akan menghentikan biaya pengobatan ibumu.’

Suara bariton pria itu masih terngiang jelas di telinga Yara, membuat tubuh Yara seketika menegang dan semakin pucat.

Yara memaksakan dirinya bangkit dari tempat tidur dan mengabaikan pening di kepala. Ia turun dan hendak berlari, lalu memekik saat merasakan sakit di punggung tangan karena jarum infus yang tertarik. Sementara perawat sudah pergi beberapa saat yang lalu.

‘Aku harus menemui Oliver sekarang juga!’ batin Yara sambil mencabut jarum infusan dari punggung tangannya.

Ia khawatir Oliver telah membatalkan biaya pengobatan untuk ibunya. Jika itu terjadi, Yara tidak bisa memaafkan diri sendiri, karena ibunya adalah segalanya baginya.

Dengan masih mengenakan seragam pasien, Yara setengah berlari keluar dari rumah sakit dan mengabaikan rasa sakit di tangan, juga seruan para perawat yang melarangnya pergi.

Di depan lobi ia menghentikan taksi, lalu naik dan berkata, “Ke New Pacific Group ya, Pak?”

Sang sopir mengangguk. Sebagian besar orang di kota ini, atau mungkin di negeri ini, tidak ada yang tidak tahu New Pacific Group. Perusahaan raksasa yang telah memiliki cabang di banyak kota itu adalah milik keluarga Oliver, yang kini dipimpin olehnya.

Taksi berhenti di depan lobi sebuah gedung pencakar langit. Melihat argometer, Yara seketika sadar bahwa ia tidak membawa apapun termasuk uang. Akhirnya, dengan mengesampingkan rasa malu, Yara meminjam sejumlah uang pada satpam yang berjaga di pintu lobi. Sang satpam terkejut melihat Yara, karena siapapun tahu bahwa istri sang bos telah meninggal dunia, tapi kini ada di hadapannya.

“Saya mau ketemu Oliver,” kata Yara setelah ia membayar taksi dan masuk ke lobi. “Di mana dia sekarang?”

Satpam itu terlihat masih kaget. Yara bisa membaca keterkejutan di wajah lelaki itu. Ia buru-buru berkata, “Saya bukan Zara, tapi kembarannya, kalau-kalau Bapak kaget melihat saya.”

“Ah, begitu.” Satpam akhirnya tersenyum ramah. “Saya baru tahu kalau Nyonya Zara memiliki kembaran. Tunggu sebentar, saya akan mengonfirmasi apakah Tuan Oliver ada di ruangannya atau tidak.”

Pria berseragam hitam itu mendekati resepsionis dan berbicara dengannya. Resepsionis wanita itu kemudian menelepon seseorang, mungkin sekretaris Oliver, pikir Yara.

Yara duduk di sofa lobi sambil menghiraukan tatapan orang-orang yang menatapnya dengan pandangan tak percaya. Yara tidak heran jika tidak banyak orang yang tahu bahwa Zara memiliki kembaran. Karena selama ini Yara jarang berada di Indonesia.

Satpam menghampiri Yara, mempersilahkannya bertemu dengan Oliver dan memberinya petunjuk di mana letak ruangan sang CEO. Yara bergegas menumpangi lift menuju lantai 23.

Wanda, sekretaris Oliver, menyambutnya dengan tatapan yang hampir sama dengan satpam tadi. Namun Wanda lebih khawatir dengan kondisi Yara yang mengenakan seragam pasien dan wajah pucat. Ia lebih kaget lagi saat melihat punggung tangan kiri Yara yang berdarah.

“Aku ingin ketemu Oliver. Sekarang,” kata Yara, tegas tapi ramah.

Ketergesa-gesaan Yara membuat Wanda akhirnya membawanya masuk ke ruangan sang CEO.

Yara melihat seorang pria berjas hitam sedang fokus pada laptop di hadapannya, duduk di kursi kebesarannya yang membelakangi dinding kaca. Ruangan beraroma woody itu tampak luas tapi dingin.

“Tuan, Nona Yara sudah datang,” kata Wanda, membuat kepala Oliver langsung mendongak dan menutup laptop.

Yara berdiri kaku di hadapan pria itu yang kini tengah menatapnya. Yara bisa melihat keterkejutan yang tergambar di wajah Oliver, saat pria itu menatap tubuh Yara dari atas sampai bawah.

“Baik. Kamu boleh keluar,” katanya pada Wanda, tanpa mengalihkan tatapannya dari Yara. Rahang Oliver mengeras.

“Ada apa? Bukankah seharusnya kamu berada di rumah sakit?” tanya Oliver dengan suara dingin. “Sekarang, kenapa kamu ke sini dengan berpenampilan seperti itu dan—“

“Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau,” sela Yara dengan cepat, tenggorokannya tercekat, dadanya bergemuruh hebat.

***

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ryanab Nie
Baru sempat mampir thor ....aduh oliver ini lebih bangkee dari papa dave yah ...duh baru satu dah esmosi jiwa ragah
goodnovel comment avatar
azzleaaa
he si oliver seenak jidat maksa oranv buat kadi orang lain, nih orang ga punya peraaaan ya, tak doain kamu jatuh cinta sama yara
goodnovel comment avatar
Persada Mulia
ceritanya mirip jingga dan deven, tp koq zara jd jahat bgt ya sm yara pdhal kakaknya sndri yg udah byk berkorban utk dia, hhmmm mdh2an gak ada penyesalan buat oliver kalau tahu yg sbnrnya siapa yara dan zara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status