Share

4. Kita Harus Bicara

last update Last Updated: 2024-10-11 16:18:17

“Kak Zara...,” gumam pria itu, dengan tatapan tak percaya, menyadarkan Yara bahwa ternyata orang lain pun melihatnya sebagai Zara. “Bagaimana bisa Kak Zara—“

“Aku Yara, kembaran Zara,” sela Yara dengan cepat. “Bukan Zara seperti yang kamu kira.” Suara Yara melemah. “Aku bukan Zara,” tegasnya sekali lagi, lebih tepatnya seperti bicara kepada diri sendiri.

“Oh? Maaf... maaf.” Pria bernama Marshall itu mengusap tengkuk, menyadari perubahan raut muka perempuan di hadapannya. “Aku baru dengar sepupuku menikahi kembaran Zara. Dan aku baru tahu kalau ternyata kalian semirip ini.”

Wajah kami memang mirip, tapi sesungguhnya kami berdua sangat berbeda.

Yara ingin menyuarakan kalimat itu, tapi pelukan Zio di lehernya membuat Yara akhirnya berkata dengan lembut, “Jangan khawatir, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menemani kamu.”

Ada rasa canggung saat menyebut dirinya ‘mama’. Sebab biasanya Yara mengenalkan diri sebagai ‘aunty’ kepada keponakan yang kini berubah status menjadi putra sambungnya.

Marshall memperhatikan bagaimana Yara menenangkan Zio di pangkuannya. Terlihat keibuan dan lembut seperti Zara.

“Kamu... Marsh, ‘kan?! Marhsall. Benar? Aku nggak salah lihat, ‘kan?!” seru Yara tiba-tiba dengan raut muka berbeda, ceria, menatap Marshall dengan mata berbinar dan senyuman lebar.

Marshall mengerjap, terkejut dengan perubahan ekspresi Yara yang tiba-tiba itu. Marshall lalu tertawa kecil. “Sekarang aku percaya kalimat ‘nggak ada yang nggak kenal Marshall’.”

“Waaah... ternyata Marshall yang di belakang kamera sombong sekali, ya!” canda Yara sambil tertawa, yang membuat tawa Marshall kembali terdengar. Pipi Yara tersipu dan menunduk kecil saat mengaku, “Ngomong-ngomong, aku ini fans berat kamu. Aku suka semua lagu kamu dan hampir hafal semuanya. Terima kasih sudah menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu seindah itu.”

Marshall tampak terkejut mendengarnya, meski ia sering mendengar hal tersebut dari para fansnya tapi entah mengapa terdengar berbeda saat Yara mengatakannya dengan tulus.

Marshall merupakan seorang penyanyi populer di tanah air. Dan Yara baru tahu bahwa Marshall sepupu Oliver.

Pria yang lebih muda dari Zara itu tersenyum hangat, sedikit canggung tapi terlihat tulus. “Terima kasih, Yara. Itu berarti banyak bagi aku, terutama dari seseorang yang baru kukenal sebagai ‘kembaran Zara’,” kata Marshall, menekankan kata terakhir dengan nada bercanda, membuat suasana menjadi terasa lebih ringan.

Yara tersenyum lebar, tetapi hatinya tetap berdegup cepat. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa suatu hari ia akan bertemu langsung dengan idolanya, Marshall, pria yang selama ini hanya ia kenal melalui lagu-lagu dan layar kaca.

Namun, perasaan aneh juga meliputi dirinya, terutama ketika Marshall terus memandangnya seolah ia melihat Zara. Ada sesuatu yang terasa tidak nyaman dalam tatapan itu, meski Marshall sudah berusaha membedakan dirinya dari Zara.

“Tadi kamu bilang sepupu kamu. maksudnya... kamu dan Oliver sepupuan?” tanya Yara dengan penasaran dan tatapan tak menyangka saat Marshall menganggukkan kepalanya. Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu.

“Zara nggak pernah cerita ke kamu? Aku sepupu Oliver. Lebih tepatnya anak dari adiknya Om Davin.”

Davin yang dimaksud Marshall adalah ayahnya Oliver. Pemilik New Pacific Group yang kini dipimpin Oliver.

“Sejak kuliah, aku dan Zara jarang ketemu karena kami kuliah di kampus yang berbeda.” Yara tersenyum samar. “Dan kami jadi jarang bercerita, kami terpisah jarak saat dewasa.”

Marshal menganggukkan kepalanya. Lalu ia tersenyum untuk mencairkan suasana. “Sebagai perkenalan pertama, izinkan aku memberikan tanda tangan spesial untuk kamu, Yara. Karena kamu fansku.”

Mata Yara melebar. “Benarkah? Tanda tangan?! Tentu saja aku mau. Tapi aku nggak punya sesuatu, oh, kertas? Aku nggak punya. Sebentar, aku akan—“

“Nggak perlu,” sela Marshal sambil menggenggam tangan Yara, saat Yara akan beranjak. “Aku akan memberikan tanda tangan di sini. Boleh?” Ia mengeluarkan bolpen dan hendak menggoreskannya di telapak tangan Yara.

Pipi Yara tersipu-sipu. Ia merasa spesial dan perlakuan Marshall padanya terasa istimewa. “Boleh,” kata Yara, akhirnya.

“Apa yang sedang kalian berdua lakukan?” Pertanyaan bernada dingin dan tajam itu terdengar dari belakang mereka berdua.

Yara dan Marshall sama-sama menoleh. Saat menyadari tatapan Oliver yang tertuju pada tangannya, dengan cepat Yara melepaskan tangannya dari genggaman Marshall, sebelum Marshall sempat membubuhkan tanda tangan.

“Oh? Sepupuku sudah pulang? Jangan salah paham, aku baru akan memberi tanda tanganku pada Yara.”

“Sejak kapan ada aturan harus berpegangan tangan sebelum memberi tanda tangan?” timpal Oliver dengan rahang mengeras.

Oliver berjalan mendekat dengan tatapan tajam yang segera diarahkan ke Yara. Ada kecanggungan yang jelas di antara mereka.

“Ini perlakuan khusus untuk fansku, kamu nggak akan mengerti.”

“Fans?” Wajah Oliver semakin mengeras. “Marshall, ada perlu apa kamu ke sini?”

“Cuma ingin ketemu Zio, sekalian aku lewat sini.”

“Kalau begitu pulanglah, kita bicara lain waktu.” Oliver tanpa segan mengusir penyanyi populer itu dari rumahnya. “Aku perlu bicara dengan Yara.”

Marshall menatap Yara dan berkata, “Kamu lihat, Yara? Cuma dia satu-satunya orang yang nggak senang dengan kehadiranku.” Ia tertawa sambil menepuk bahu Oliver.

Yara hanya meringis. Namun, hatinya terasa waspada dan sedikit takut melihat raut muka Oliver yang tampaknya mood-nya sedang buruk.

“Baiklah. Aku akan pulang. Besok aku akan menemuimu di kantor,” kata Marshall sebelum pergi.

Oliver mengambil alih Oliver dari pangkuan Yara dan menyerahkannya pada Lisa. Oliver mengenggam pergelangan tangan Yara dengan kencang sambil berkata dengan tegas, “Kita harus bicara!”

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
azzleaaa
jangan kasar" oliver, punyalah hati sedikit
goodnovel comment avatar
Valenka Lamsiam
sabar ya yara.... akan tiba waktunya oliver tergila gila sama kamu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   5. Sesuatu Yang Selalu Mereka Lakukan

    Oliver mendorong pintu kamar dan menarik Yara, membawanya masuk, pintu di belakangnya otomatis menutup.Dengan gerakan sedikit kasar, Oliver melepaskan tangan Yara dari genggamannya. Raut mukanya tampak mengerikan. Yara baru kali ini melihat sisi itu dari Oliver.“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Yara memecah keheningan di antara mereka berdua.Oliver yang baru saja melepas jas dan melonggarkan sampul dasi, menatap Yara dengan dingin dan berkata, “Zara nggak pernah dekat dengan lelaki lain, apalagi saat aku nggak ada. Dia istri yang setia, dan hanya melihatku seorang.”Mendengarnya, Yara tercenung. Jadi ini yang ingin Oliver bicarakan? Ingin membandingkan dirinya dengan Zara? Ah, benar. Ia harus menjadi Zara di hadapan pria itu.“Oliver, seperti yang Marshall tadi bilang, dia cuma—““Apakah harus berpegangan tangan?” sela Oliver.“Kami nggak berpegangan tangan seperti yang kamu kira.”“Sudahlah.” Oliver melepas dasi dan melemparnya ke sofa, sementara Zara masih berdiri di deka

    Last Updated : 2024-10-11
  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   6. Kesalahan Kecil

    Yara mencoba melawan dorongan yang kian kuat dari Oliver. Ia tahu ini salah, meski hatinya juga bimbang antara peran yang ia sepakati dan perasaan yang tak bisa ia abaikan."Oliver, aku bukan Zara," bisik Yara lagi, kali ini dengan suara yang lebih jelas. Tubuhnya tegang di bawah tekanan pria yang dulu hanya ia kagumi dari jauh.Namun, Oliver seolah tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Tatapannya penuh luka, seakan ia berusaha mencari kepingan Zara dalam diri Yara. "Aku tahu kamu bukan Zara," gumamnya, namun tindakannya tidak mencerminkan ucapannya.Jemarinya yang kasar namun penuh kerinduan menggenggam erat pergelangan tangan Yara, sementara ciumannya semakin dalam, mengabaikan protes halus dari bibir Yara.“Aku nggak bisa terus seperti ini,” bisik Yara, air matanya mulai menggenang. “Aku bukan bayangan Zara, Oliver. Aku punya perasaan. Aku punya hak untuk dihormati.”Kata-kata itu akhirnya berhasil menghentikan Oliver. Ia terdiam, napasnya terengah, matanya yang kelam menatap Yara

    Last Updated : 2024-10-11
  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   7. Melepaskan Bayangannya

    Sebuah mobil sport putih berhenti di depan lobi New Pacific Group. Lucas yang sudah menunggu di sana bersama Wanda segera membukakan pintu mobil untuk sang CEO. Oliver turun dari mobil, memasang kancing jas, dan menyerahkan kunci pada Lucas. Sebelum kemudian Lucas yang menyerahkan kunci itu kepada satpam. “Ada apa di dalam? Kenapa ramai sekali?” tanya Oliver dengan ekspresi datar tanpa menghiraukan sapaan asisten pribadi dan sekretarisnya sebelumnya. “Itu para karyawan yang sedang meminta tanda tangan dan berfoto dengan Marshall, Tuan,” jawab Lucas seraya menatap keramaian di dalam lobi. Rahang Oliver mengeras. “Bubarkan mereka sekarang!” Namun, sebelum Lucas dan Wanda membubarkan mereka, para karyawan itu seketika hening begitu melihat kedatangan sang CEO. Mereka menunduk memberi hormat dan tak ada yang berani bersuara ata

    Last Updated : 2024-10-18
  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   8. Basket

    Memasak ternyata jauh lebih melelahkan ketimbang traveling ke kota terpencil, pikir Yara. Selain kulit tangannya banyak goresan pisau—karena ia tak sengaja menggores tangannya ketika memotong bawang, lengannya pun terkena cipratan minyak ketika ia memasukkan daging ayam ke dalam penggorengan dengan gerakan kasar—tanpa sengaja. Kini, ia sedang berkeliling rumah Oliver yang ternyata jauh lebih luas dari dugaannya, ditemani Lisa. Lisa menjelaskan setiap tempat yang mereka kunjungi. Dan yang membuat hati Yara terasa perih dan tidak nyaman, adalah kehadiran foto-foto Zara di setiap ruangan. Bahkan foto pernikahan mereka pun belum Oliver turunkan dari dinding ruang tamu. “Tuan Oliver nggak suka melihat hal-hal yang berantakan, dia orang yang perfeksionis dan ingin segalanya bersih dan rapi,” ujar Lisa, yang kini menjelaskan bagaimana sosok Oliver. “Beliau juga nggak menyukai keterlambatan, ketidakseriusan, bahkan kesalahan

    Last Updated : 2024-10-18
  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   9. Aku Yara, Bukan Zara

    Yara memperhatikan pantulan dirinya di cermin sambil bergumam, “Pantas saja Oliver sangat mencintai Zara, ternyata dia secantik ini.” Tidak. Yara bukan sedang memuji dirinya sendiri cantik, tapi yang ia puji adalah bayangan Zara di dalam cermin tinggi di hadapannya. Lisa baru saja selesai ‘mengubahnya’ menjadi Zara. Gaun berwarna lilac selutut dan berlengan panjang itu memamerkan bahunya yang terbuka. Sebuah kalung cantik milik Zara menggantung di leher. Dan rambut yang sengaja di-curly itu benar-benar membuat diri Yara ‘hilang’. Kini ia sepenuhnya tampak seperti Zara. Ia merasa tidak nyaman, tapi ia terpaksa menerima peran ini demi komitmen yang telah ia buat. Yara kesulitan berjalan saat ia keluar kamar, kakinya belum terbiasa dengan high heels. “Papa sayang sekali sama Zio. Zio sayang Papa nggak?” “Aku tay

    Last Updated : 2024-10-19
  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   10. Hadiah Pernikahan

    “Ng-nggak bukan begitu, aku cuma tanya doang.” Yara balas berbisik, walaupun dalam hati ia setengah menyetujui ucapan Oliver barusan. Lagi pula, siapa coba yang tidak mau bertemu dengan penyanyi yang selama ini lagu-lagunya selalu menemani hari-hari kita? “Aku mau menemui Papa dulu.” Oliver tiba-tiba berdiri dan beranjak pergi dengan ekspresi kesal di wajahnya. Awalnya Yara merasa kurang nyaman ditinggalkan hanya bersama ibu mertua, Tante Amarylis dan adik-adik Oliver yang baru saja tiba. Namun, pengalamannya sebagai traveller yang sudah mengunjungi lebih dari 10 negara itu membuat Yara mudah berbaur dengan orang-orang baru. Mereka mengobrol ringan, bercanda tawa, hal-hal kecil yang lucu selalu berhasil membuat Yara tertawa. Hingga perlahan-lahan, Jingga, Amarylis dan ketiga adik Oliver menyadari perbedaan antara Zara dan Yara. Tak lama kemudian Marshall yang sibuknya melebihi seoran

    Last Updated : 2024-10-19
  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   11. Pesona Yara

    Oliver memperhatikan Zio yang tertidur pulas di atas kasur dengan balutan selimut putih. Padahal beberapa menit yang lalu anak itu masih aktif bermain. Dan biasanya Zio susah tidur cepat jika sedang asyik dengan dunianya. Namun, malam ini Yara berhasil menidurkan Zio lebih cepat dari dugaan. “Mama perhatiin, Yara kelihatan sayang banget sama Zio ya?” Oliver menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sedang menghampirinya. “Menurut Mama begitu?” “Apa menurut kamu nggak?” Oliver terdiam. Ia tidak ingin mengakui bahwa sebenarnya ia pun melihat Zio tampak jauh lebih ceria saat bersama Yara. “Kak...,” ucap Jingga dengan lembut seraya mengusap lengan Oliver. “Mama titip pesan, jangan menjadikan Yara sebagai bayangan Zara, ya? Mereka berdua orang yang berbeda. Yara akan sakit hati kalau kamu anggap sebagai Zara.” Mendengar ucapan ibunya tersebut, Oliver pun bergeming. Ia menarik napas pelan sebelum berkata, “Aku mau cari angin dulu,

    Last Updated : 2024-10-20
  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   12. Kemasi Barang-Barangmu

    Malam itu Yara terbangun dari tidurnya karena tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit dari kasur, mengecek Zio yang tidur nyenyak di sampingnya, sejenak. Lalu melangkahkan kakinya keluar kamar. Saat ia melewati kamar Oliver, sayup-sayup ia mendengar alunan musik piano yang menyentuh hati. Yara melihat pintu kamar Oliver tidak tertutup sepenuhnya. Akhirnya ia memutuskan mengintip dari celah pintu tersebut. Di dalam sana, terlihat Oliver sedang bermain piano dengan posisi membelakangi pintu. Yara mengerjap. Tak menyangka bahwa Oliver pandai bermain piano. Piano merupakan alat musik kesukaan Zara. Hati Yara tersentuh mendengar alunan musik romantis sekaligus pilu yang dimainkan Oliver. Hatinya ikut merasa sedih. Perasaan kehilangan yang dirasakan Oliver tergambar dalam musik tersebut. “Zara, aku merindukanmu. Aku rindu bermain piano bersamamu,” lirih Oliver setelah ia mengakhiri permainannya, yang masih

    Last Updated : 2024-10-20

Latest chapter

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   135. Aku Masih Suamimu

    Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   134. Bertemu Anak Kembar

    Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   133. Tidak Akan Melepaskanmu

    Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   132. Apa Kamu Bahagia?

    “Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   131. Berdua

    Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   130. Saling Tatap

    Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   129. Mimpi Ketemu Daddy

    Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   128. Pertemuan Pertama

    Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   127. Kehidupan Baru

    Enam tahun kemudian. Yara bersenandung pelan sambil mengetukkan jari telunjuknya pada setir mobil yang tengah ia kendarai. Lampu lalu lintas yang seketika berubah merah, membuat Yara terpaksa menghentikan laju kendaraannya di belakang zebracross. Ia melirik arloji, lalu menghela napas. “Aku harap mereka nggak marah karena aku datang terlambat,” gumamnya pada diri sendiri. Sambil menunggu lampu berubah hijau, Yara mengedarkan pandangannya ke sekeliling jalanan. Tidak banyak yang berubah dari ibukota setelah Yara pergi meninggalkannya selama hampir enam tahun. Salah satu ciri khas dari negeri ini adalah baligho yang terpampang di pinggir jalan. Saat Yara mengalihkan tatapannya ke samping kanan, saat itu juga Yara terdiam kala melihat foto seseorang dari masa lalunya yang terpampang dalam sebuah baligho. Yara terpaku. Wajah pria itu masih sama seperti dulu. Tegas dan terkesan dingin. Hanya saja, kini terlihat jauh lebih matang. Bunyi klakson yang memekik di belakangnya mengeluar

DMCA.com Protection Status