“Kak Zara...,” gumam pria itu, dengan tatapan tak percaya, menyadarkan Yara bahwa ternyata orang lain pun melihatnya sebagai Zara. “Bagaimana bisa Kak Zara—“
“Aku Yara, kembaran Zara,” sela Yara dengan cepat. “Bukan Zara seperti yang kamu kira.” Suara Yara melemah. “Aku bukan Zara,” tegasnya sekali lagi, lebih tepatnya seperti bicara kepada diri sendiri. “Oh? Maaf... maaf.” Pria bernama Marshall itu mengusap tengkuk, menyadari perubahan raut muka perempuan di hadapannya. “Aku baru dengar sepupuku menikahi kembaran Zara. Dan aku baru tahu kalau ternyata kalian semirip ini.” Wajah kami memang mirip, tapi sesungguhnya kami berdua sangat berbeda. Yara ingin menyuarakan kalimat itu, tapi pelukan Zio di lehernya membuat Yara akhirnya berkata dengan lembut, “Jangan khawatir, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menemani kamu.” Ada rasa canggung saat menyebut dirinya ‘mama’. Sebab biasanya Yara mengenalkan diri sebagai ‘aunty’ kepada keponakan yang kini berubah status menjadi putra sambungnya. Marshall memperhatikan bagaimana Yara menenangkan Zio di pangkuannya. Terlihat keibuan dan lembut seperti Zara. “Kamu... Marsh, ‘kan?! Marhsall. Benar? Aku nggak salah lihat, ‘kan?!” seru Yara tiba-tiba dengan raut muka berbeda, ceria, menatap Marshall dengan mata berbinar dan senyuman lebar. Marshall mengerjap, terkejut dengan perubahan ekspresi Yara yang tiba-tiba itu. Marshall lalu tertawa kecil. “Sekarang aku percaya kalimat ‘nggak ada yang nggak kenal Marshall’.” “Waaah... ternyata Marshall yang di belakang kamera sombong sekali, ya!” canda Yara sambil tertawa, yang membuat tawa Marshall kembali terdengar. Pipi Yara tersipu dan menunduk kecil saat mengaku, “Ngomong-ngomong, aku ini fans berat kamu. Aku suka semua lagu kamu dan hampir hafal semuanya. Terima kasih sudah menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu seindah itu.” Marshall tampak terkejut mendengarnya, meski ia sering mendengar hal tersebut dari para fansnya tapi entah mengapa terdengar berbeda saat Yara mengatakannya dengan tulus. Marshall merupakan seorang penyanyi populer di tanah air. Dan Yara baru tahu bahwa Marshall sepupu Oliver. Pria yang lebih muda dari Zara itu tersenyum hangat, sedikit canggung tapi terlihat tulus. “Terima kasih, Yara. Itu berarti banyak bagi aku, terutama dari seseorang yang baru kukenal sebagai ‘kembaran Zara’,” kata Marshall, menekankan kata terakhir dengan nada bercanda, membuat suasana menjadi terasa lebih ringan. Yara tersenyum lebar, tetapi hatinya tetap berdegup cepat. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa suatu hari ia akan bertemu langsung dengan idolanya, Marshall, pria yang selama ini hanya ia kenal melalui lagu-lagu dan layar kaca. Namun, perasaan aneh juga meliputi dirinya, terutama ketika Marshall terus memandangnya seolah ia melihat Zara. Ada sesuatu yang terasa tidak nyaman dalam tatapan itu, meski Marshall sudah berusaha membedakan dirinya dari Zara. “Tadi kamu bilang sepupu kamu. maksudnya... kamu dan Oliver sepupuan?” tanya Yara dengan penasaran dan tatapan tak menyangka saat Marshall menganggukkan kepalanya. Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu. “Zara nggak pernah cerita ke kamu? Aku sepupu Oliver. Lebih tepatnya anak dari adiknya Om Davin.” Davin yang dimaksud Marshall adalah ayahnya Oliver. Pemilik New Pacific Group yang kini dipimpin Oliver. “Sejak kuliah, aku dan Zara jarang ketemu karena kami kuliah di kampus yang berbeda.” Yara tersenyum samar. “Dan kami jadi jarang bercerita, kami terpisah jarak saat dewasa.” Marshal menganggukkan kepalanya. Lalu ia tersenyum untuk mencairkan suasana. “Sebagai perkenalan pertama, izinkan aku memberikan tanda tangan spesial untuk kamu, Yara. Karena kamu fansku.” Mata Yara melebar. “Benarkah? Tanda tangan?! Tentu saja aku mau. Tapi aku nggak punya sesuatu, oh, kertas? Aku nggak punya. Sebentar, aku akan—“ “Nggak perlu,” sela Marshal sambil menggenggam tangan Yara, saat Yara akan beranjak. “Aku akan memberikan tanda tangan di sini. Boleh?” Ia mengeluarkan bolpen dan hendak menggoreskannya di telapak tangan Yara. Pipi Yara tersipu-sipu. Ia merasa spesial dan perlakuan Marshall padanya terasa istimewa. “Boleh,” kata Yara, akhirnya. “Apa yang sedang kalian berdua lakukan?” Pertanyaan bernada dingin dan tajam itu terdengar dari belakang mereka berdua. Yara dan Marshall sama-sama menoleh. Saat menyadari tatapan Oliver yang tertuju pada tangannya, dengan cepat Yara melepaskan tangannya dari genggaman Marshall, sebelum Marshall sempat membubuhkan tanda tangan. “Oh? Sepupuku sudah pulang? Jangan salah paham, aku baru akan memberi tanda tanganku pada Yara.” “Sejak kapan ada aturan harus berpegangan tangan sebelum memberi tanda tangan?” timpal Oliver dengan rahang mengeras. Oliver berjalan mendekat dengan tatapan tajam yang segera diarahkan ke Yara. Ada kecanggungan yang jelas di antara mereka. “Ini perlakuan khusus untuk fansku, kamu nggak akan mengerti.” “Fans?” Wajah Oliver semakin mengeras. “Marshall, ada perlu apa kamu ke sini?” “Cuma ingin ketemu Zio, sekalian aku lewat sini.” “Kalau begitu pulanglah, kita bicara lain waktu.” Oliver tanpa segan mengusir penyanyi populer itu dari rumahnya. “Aku perlu bicara dengan Yara.” Marshall menatap Yara dan berkata, “Kamu lihat, Yara? Cuma dia satu-satunya orang yang nggak senang dengan kehadiranku.” Ia tertawa sambil menepuk bahu Oliver. Yara hanya meringis. Namun, hatinya terasa waspada dan sedikit takut melihat raut muka Oliver yang tampaknya mood-nya sedang buruk. “Baiklah. Aku akan pulang. Besok aku akan menemuimu di kantor,” kata Marshall sebelum pergi. Oliver mengambil alih Oliver dari pangkuan Yara dan menyerahkannya pada Lisa. Oliver mengenggam pergelangan tangan Yara dengan kencang sambil berkata dengan tegas, “Kita harus bicara!” ***Oliver mendorong pintu kamar dan menarik Yara, membawanya masuk, pintu di belakangnya otomatis menutup.Dengan gerakan sedikit kasar, Oliver melepaskan tangan Yara dari genggamannya. Raut mukanya tampak mengerikan. Yara baru kali ini melihat sisi itu dari Oliver.“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Yara memecah keheningan di antara mereka berdua.Oliver yang baru saja melepas jas dan melonggarkan sampul dasi, menatap Yara dengan dingin dan berkata, “Zara nggak pernah dekat dengan lelaki lain, apalagi saat aku nggak ada. Dia istri yang setia, dan hanya melihatku seorang.”Mendengarnya, Yara tercenung. Jadi ini yang ingin Oliver bicarakan? Ingin membandingkan dirinya dengan Zara? Ah, benar. Ia harus menjadi Zara di hadapan pria itu.“Oliver, seperti yang Marshall tadi bilang, dia cuma—““Apakah harus berpegangan tangan?” sela Oliver.“Kami nggak berpegangan tangan seperti yang kamu kira.”“Sudahlah.” Oliver melepas dasi dan melemparnya ke sofa, sementara Zara masih berdiri di deka
Yara mencoba melawan dorongan yang kian kuat dari Oliver. Ia tahu ini salah, meski hatinya juga bimbang antara peran yang ia sepakati dan perasaan yang tak bisa ia abaikan."Oliver, aku bukan Zara," bisik Yara lagi, kali ini dengan suara yang lebih jelas. Tubuhnya tegang di bawah tekanan pria yang dulu hanya ia kagumi dari jauh.Namun, Oliver seolah tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Tatapannya penuh luka, seakan ia berusaha mencari kepingan Zara dalam diri Yara. "Aku tahu kamu bukan Zara," gumamnya, namun tindakannya tidak mencerminkan ucapannya.Jemarinya yang kasar namun penuh kerinduan menggenggam erat pergelangan tangan Yara, sementara ciumannya semakin dalam, mengabaikan protes halus dari bibir Yara.“Aku nggak bisa terus seperti ini,” bisik Yara, air matanya mulai menggenang. “Aku bukan bayangan Zara, Oliver. Aku punya perasaan. Aku punya hak untuk dihormati.”Kata-kata itu akhirnya berhasil menghentikan Oliver. Ia terdiam, napasnya terengah, matanya yang kelam menatap Yara
Sebuah mobil sport putih berhenti di depan lobi New Pacific Group. Lucas yang sudah menunggu di sana bersama Wanda segera membukakan pintu mobil untuk sang CEO. Oliver turun dari mobil, memasang kancing jas, dan menyerahkan kunci pada Lucas. Sebelum kemudian Lucas yang menyerahkan kunci itu kepada satpam. “Ada apa di dalam? Kenapa ramai sekali?” tanya Oliver dengan ekspresi datar tanpa menghiraukan sapaan asisten pribadi dan sekretarisnya sebelumnya. “Itu para karyawan yang sedang meminta tanda tangan dan berfoto dengan Marshall, Tuan,” jawab Lucas seraya menatap keramaian di dalam lobi. Rahang Oliver mengeras. “Bubarkan mereka sekarang!” Namun, sebelum Lucas dan Wanda membubarkan mereka, para karyawan itu seketika hening begitu melihat kedatangan sang CEO. Mereka menunduk memberi hormat dan tak ada yang berani bersuara ata
Memasak ternyata jauh lebih melelahkan ketimbang traveling ke kota terpencil, pikir Yara. Selain kulit tangannya banyak goresan pisau—karena ia tak sengaja menggores tangannya ketika memotong bawang, lengannya pun terkena cipratan minyak ketika ia memasukkan daging ayam ke dalam penggorengan dengan gerakan kasar—tanpa sengaja. Kini, ia sedang berkeliling rumah Oliver yang ternyata jauh lebih luas dari dugaannya, ditemani Lisa. Lisa menjelaskan setiap tempat yang mereka kunjungi. Dan yang membuat hati Yara terasa perih dan tidak nyaman, adalah kehadiran foto-foto Zara di setiap ruangan. Bahkan foto pernikahan mereka pun belum Oliver turunkan dari dinding ruang tamu. “Tuan Oliver nggak suka melihat hal-hal yang berantakan, dia orang yang perfeksionis dan ingin segalanya bersih dan rapi,” ujar Lisa, yang kini menjelaskan bagaimana sosok Oliver. “Beliau juga nggak menyukai keterlambatan, ketidakseriusan, bahkan kesalahan
Seorang wanita berseragam merah marun adalah pemandangan pertama yang Yara dapati begitu ia membuka mata. Kepala Yara terasa pening. Dan dalam sekejap, begitu matanya mengedar ke sekeliling ruangan, ia sadar bahwa saat ini ia berada di rumah sakit. Ia tidak mengerti kenapa dirinya berada di sini. Hal terakhir yang Yara ingat adalah ia yang dikurung di kamar Zara—mendiang kembarannya, oleh Oliver selama tiga hari. “Mbak Yara sudah bangun? Bagaimana perasaannya sekarang? Perutnya masih sakit?” tanya wanita berseragam itu sambil melanjutkan pekerjaannya mengganti botol infus. “Suster?” tanya Yara dengan suara serak alih-alih menjawab pertanyaan perawat barusan, ia masih bingung dengan keadaan yang dialaminya. “Kenapa saya bisa ada di sini?” Perawat itu menatap Yara dengan pandangan prihatin. “Mbak Yara pingsan karena kelelahan dan dehidrasi akibat tidak makan dan minum selama tiga hari.” Yara mencoba mencerna penjelasan itu, tapi pikirannya terasa berat. Tentu saja ia ingat bah
“Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau, tapi aku mohon jangan hentikan biaya pengobatan ibuku. Dan selain itu... aku punya permintaan lain.” Keterkejutan kembali tergambar di wajah Oliver saat mendengar ucapan Yara, tapi hanya sesaat, pria itu pandai menguasai ekspresinya. Ia berdiri, melangkah pelan keluar dari kungkungan meja kerja, bersandar di tepian meja menghadap Yara. “Permintaan?” ulang Oliver dengan ekspresi datar. “Iya.” Yara menjawab cepat. “Aku punya dua permintaan.” Oliver melirik tangan kiri Yara yang tengah saling meremas dengan tangan kanan. Lalu kembali menatap wajahnya. “Baik. Apa permintaanmu?” Yara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku akan berpenampilan dan bersikap seperti Zara saat di hadapanmu, seperti yang kamu mau.” Ia tahu, keputusannya ini akan membuatnya menderita karena harus menjadi bayangan seseorang di mata suaminya sendiri. “Tapi beri aku ruangan khusus untukku, bukan ruangan Zara,” lanjut Yara, menyuarakan perminta
Yara menunggu sejenak, menanti komentar atau respon dari Oliver, tapi pria itu hanya kembali menunduk, sibuk dengan berkas-berkas di depannya. "Sudah selesai?" tanya Oliver dengan ekspresi datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya. Yara mengangguk, meskipun Oliver tak melihatnya. "Iya, sudah. Aku akan kembali ke rumah sakit," jawab Yara dengan nada yang berusaha tetap tegar. Namun tak bisa dipungkiri, hatinya terasa sedikit perih. Tak ada pujian atau apresiasi, seolah apa yang ia lakukan hanya kewajiban tanpa makna. Oliver akhirnya mendongak, mengangguk singkat. "Baik. Lucas akan mengantarmu." Yara terdiam sejenak, menatap Oliver yang kembali larut dalam pekerjaannya. Ia merasa kelelahan, bukan hanya fisik, tapi juga mental, karena mulai saat ini ia harus terus memerankan sosok Zara di hadapan pria yang dulu diam-diam ia cintai. "Satu hal lagi, Oliver," kata Yara dengan suara rendah tapi serius. "Aku harap kamu selalu ingat, meskipun aku terlihat seperti Zar