Share

4. Kita Harus Bicara

“Kak Zara...,” gumam pria itu, dengan tatapan tak percaya, menyadarkan Yara bahwa ternyata orang lain pun melihatnya sebagai Zara. “Bagaimana bisa Kak Zara—“

“Aku Yara, kembaran Zara,” sela Yara dengan cepat. “Bukan Zara seperti yang kamu kira.” Suara Yara melemah. “Aku bukan Zara,” tegasnya sekali lagi, lebih tepatnya seperti bicara kepada diri sendiri.

“Oh? Maaf... maaf.” Pria bernama Marshall itu mengusap tengkuk, menyadari perubahan raut muka perempuan di hadapannya. “Aku baru dengar sepupuku menikahi kembaran Zara. Dan aku baru tahu kalau ternyata kalian semirip ini.”

Wajah kami memang mirip, tapi sesungguhnya kami berdua sangat berbeda.

Yara ingin menyuarakan kalimat itu, tapi pelukan Zio di lehernya membuat Yara akhirnya berkata dengan lembut, “Jangan khawatir, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menemani kamu.”

Ada rasa canggung saat menyebut dirinya ‘mama’. Sebab biasanya Yara mengenalkan diri sebagai ‘aunty’ kepada keponakan yang kini berubah status menjadi putra sambungnya.

Marshall memperhatikan bagaimana Yara menenangkan Zio di pangkuannya. Terlihat keibuan dan lembut seperti Zara.

“Kamu... Marsh, ‘kan?! Marhsall. Benar? Aku nggak salah lihat, ‘kan?!” seru Yara tiba-tiba dengan raut muka berbeda, ceria, menatap Marshall dengan mata berbinar dan senyuman lebar.

Marshall mengerjap, terkejut dengan perubahan ekspresi Yara yang tiba-tiba itu. Marshall lalu tertawa kecil. “Sekarang aku percaya kalimat ‘nggak ada yang nggak kenal Marshall’.”

“Waaah... ternyata Marshall yang di belakang kamera sombong sekali, ya!” canda Yara sambil tertawa, yang membuat tawa Marshall kembali terdengar. Pipi Yara tersipu dan menunduk kecil saat mengaku, “Ngomong-ngomong, aku ini fans berat kamu. Aku suka semua lagu kamu dan hampir hafal semuanya. Terima kasih sudah menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu seindah itu.”

Marshall tampak terkejut mendengarnya, meski ia sering mendengar hal tersebut dari para fansnya tapi entah mengapa terdengar berbeda saat Yara mengatakannya dengan tulus.

Marshall merupakan seorang penyanyi populer di tanah air. Dan Yara baru tahu bahwa Marshall sepupu Oliver.

Pria yang lebih muda dari Zara itu tersenyum hangat, sedikit canggung tapi terlihat tulus. “Terima kasih, Yara. Itu berarti banyak bagi aku, terutama dari seseorang yang baru kukenal sebagai ‘kembaran Zara’,” kata Marshall, menekankan kata terakhir dengan nada bercanda, membuat suasana menjadi terasa lebih ringan.

Yara tersenyum lebar, tetapi hatinya tetap berdegup cepat. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa suatu hari ia akan bertemu langsung dengan idolanya, Marshall, pria yang selama ini hanya ia kenal melalui lagu-lagu dan layar kaca.

Namun, perasaan aneh juga meliputi dirinya, terutama ketika Marshall terus memandangnya seolah ia melihat Zara. Ada sesuatu yang terasa tidak nyaman dalam tatapan itu, meski Marshall sudah berusaha membedakan dirinya dari Zara.

“Tadi kamu bilang sepupu kamu. maksudnya... kamu dan Oliver sepupuan?” tanya Yara dengan penasaran dan tatapan tak menyangka saat Marshall menganggukkan kepalanya. Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu.

“Zara nggak pernah cerita ke kamu? Aku sepupu Oliver. Lebih tepatnya anak dari adiknya Om Davin.”

Davin yang dimaksud Marshall adalah ayahnya Oliver. Pemilik New Pacific Group yang kini dipimpin Oliver.

“Sejak kuliah, aku dan Zara jarang ketemu karena kami kuliah di kampus yang berbeda.” Yara tersenyum samar. “Dan kami jadi jarang bercerita, kami terpisah jarak saat dewasa.”

Marshal menganggukkan kepalanya. Lalu ia tersenyum untuk mencairkan suasana. “Sebagai perkenalan pertama, izinkan aku memberikan tanda tangan spesial untuk kamu, Yara. Karena kamu fansku.”

Mata Yara melebar. “Benarkah? Tanda tangan?! Tentu saja aku mau. Tapi aku nggak punya sesuatu, oh, kertas? Aku nggak punya. Sebentar, aku akan—“

“Nggak perlu,” sela Marshal sambil menggenggam tangan Yara, saat Yara akan beranjak. “Aku akan memberikan tanda tangan di sini. Boleh?” Ia mengeluarkan bolpen dan hendak menggoreskannya di telapak tangan Yara.

Pipi Yara tersipu-sipu. Ia merasa spesial dan perlakuan Marshall padanya terasa istimewa. “Boleh,” kata Yara, akhirnya.

“Apa yang sedang kalian berdua lakukan?” Pertanyaan bernada dingin dan tajam itu terdengar dari belakang mereka berdua.

Yara dan Marshall sama-sama menoleh. Saat menyadari tatapan Oliver yang tertuju pada tangannya, dengan cepat Yara melepaskan tangannya dari genggaman Marshall, sebelum Marshall sempat membubuhkan tanda tangan.

“Oh? Sepupuku sudah pulang? Jangan salah paham, aku baru akan memberi tanda tanganku pada Yara.”

“Sejak kapan ada aturan harus berpegangan tangan sebelum memberi tanda tangan?” timpal Oliver dengan rahang mengeras.

Oliver berjalan mendekat dengan tatapan tajam yang segera diarahkan ke Yara. Ada kecanggungan yang jelas di antara mereka.

“Ini perlakuan khusus untuk fansku, kamu nggak akan mengerti.”

“Fans?” Wajah Oliver semakin mengeras. “Marshall, ada perlu apa kamu ke sini?”

“Cuma ingin ketemu Zio, sekalian aku lewat sini.”

“Kalau begitu pulanglah, kita bicara lain waktu.” Oliver tanpa segan mengusir penyanyi populer itu dari rumahnya. “Aku perlu bicara dengan Yara.”

Marshall menatap Yara dan berkata, “Kamu lihat, Yara? Cuma dia satu-satunya orang yang nggak senang dengan kehadiranku.” Ia tertawa sambil menepuk bahu Oliver.

Yara hanya meringis. Namun, hatinya terasa waspada dan sedikit takut melihat raut muka Oliver yang tampaknya mood-nya sedang buruk.

“Baiklah. Aku akan pulang. Besok aku akan menemuimu di kantor,” kata Marshall sebelum pergi.

Oliver mengambil alih Oliver dari pangkuan Yara dan menyerahkannya pada Lisa. Oliver mengenggam pergelangan tangan Yara dengan kencang sambil berkata dengan tegas, “Kita harus bicara!”

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
azzleaaa
jangan kasar" oliver, punyalah hati sedikit
goodnovel comment avatar
Valenka Lamsiam
sabar ya yara.... akan tiba waktunya oliver tergila gila sama kamu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status