“Kak Zara...,” gumam pria itu, dengan tatapan tak percaya, menyadarkan Yara bahwa ternyata orang lain pun melihatnya sebagai Zara. “Bagaimana bisa Kak Zara—“
“Aku Yara, kembaran Zara,” sela Yara dengan cepat. “Bukan Zara seperti yang kamu kira.” Suara Yara melemah. “Aku bukan Zara,” tegasnya sekali lagi, lebih tepatnya seperti bicara kepada diri sendiri. “Oh? Maaf... maaf.” Pria bernama Marshall itu mengusap tengkuk, menyadari perubahan raut muka perempuan di hadapannya. “Aku baru dengar sepupuku menikahi kembaran Zara. Dan aku baru tahu kalau ternyata kalian semirip ini.” Wajah kami memang mirip, tapi sesungguhnya kami berdua sangat berbeda. Yara ingin menyuarakan kalimat itu, tapi pelukan Zio di lehernya membuat Yara akhirnya berkata dengan lembut, “Jangan khawatir, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menemani kamu.” Ada rasa canggung saat menyebut dirinya ‘mama’. Sebab biasanya Yara mengenalkan diri sebagai ‘aunty’ kepada keponakan yang kini berubah status menjadi putra sambungnya. Marshall memperhatikan bagaimana Yara menenangkan Zio di pangkuannya. Terlihat keibuan dan lembut seperti Zara. “Kamu... Marsh, ‘kan?! Marhsall. Benar? Aku nggak salah lihat, ‘kan?!” seru Yara tiba-tiba dengan raut muka berbeda, ceria, menatap Marshall dengan mata berbinar dan senyuman lebar. Marshall mengerjap, terkejut dengan perubahan ekspresi Yara yang tiba-tiba itu. Marshall lalu tertawa kecil. “Sekarang aku percaya kalimat ‘nggak ada yang nggak kenal Marshall’.” “Waaah... ternyata Marshall yang di belakang kamera sombong sekali, ya!” canda Yara sambil tertawa, yang membuat tawa Marshall kembali terdengar. Pipi Yara tersipu dan menunduk kecil saat mengaku, “Ngomong-ngomong, aku ini fans berat kamu. Aku suka semua lagu kamu dan hampir hafal semuanya. Terima kasih sudah menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu seindah itu.” Marshall tampak terkejut mendengarnya, meski ia sering mendengar hal tersebut dari para fansnya tapi entah mengapa terdengar berbeda saat Yara mengatakannya dengan tulus. Marshall merupakan seorang penyanyi populer di tanah air. Dan Yara baru tahu bahwa Marshall sepupu Oliver. Pria yang lebih muda dari Zara itu tersenyum hangat, sedikit canggung tapi terlihat tulus. “Terima kasih, Yara. Itu berarti banyak bagi aku, terutama dari seseorang yang baru kukenal sebagai ‘kembaran Zara’,” kata Marshall, menekankan kata terakhir dengan nada bercanda, membuat suasana menjadi terasa lebih ringan. Yara tersenyum lebar, tetapi hatinya tetap berdegup cepat. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa suatu hari ia akan bertemu langsung dengan idolanya, Marshall, pria yang selama ini hanya ia kenal melalui lagu-lagu dan layar kaca. Namun, perasaan aneh juga meliputi dirinya, terutama ketika Marshall terus memandangnya seolah ia melihat Zara. Ada sesuatu yang terasa tidak nyaman dalam tatapan itu, meski Marshall sudah berusaha membedakan dirinya dari Zara. “Tadi kamu bilang sepupu kamu. maksudnya... kamu dan Oliver sepupuan?” tanya Yara dengan penasaran dan tatapan tak menyangka saat Marshall menganggukkan kepalanya. Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu. “Zara nggak pernah cerita ke kamu? Aku sepupu Oliver. Lebih tepatnya anak dari adiknya Om Davin.” Davin yang dimaksud Marshall adalah ayahnya Oliver. Pemilik New Pacific Group yang kini dipimpin Oliver. “Sejak kuliah, aku dan Zara jarang ketemu karena kami kuliah di kampus yang berbeda.” Yara tersenyum samar. “Dan kami jadi jarang bercerita, kami terpisah jarak saat dewasa.” Marshal menganggukkan kepalanya. Lalu ia tersenyum untuk mencairkan suasana. “Sebagai perkenalan pertama, izinkan aku memberikan tanda tangan spesial untuk kamu, Yara. Karena kamu fansku.” Mata Yara melebar. “Benarkah? Tanda tangan?! Tentu saja aku mau. Tapi aku nggak punya sesuatu, oh, kertas? Aku nggak punya. Sebentar, aku akan—“ “Nggak perlu,” sela Marshal sambil menggenggam tangan Yara, saat Yara akan beranjak. “Aku akan memberikan tanda tangan di sini. Boleh?” Ia mengeluarkan bolpen dan hendak menggoreskannya di telapak tangan Yara. Pipi Yara tersipu-sipu. Ia merasa spesial dan perlakuan Marshall padanya terasa istimewa. “Boleh,” kata Yara, akhirnya. “Apa yang sedang kalian berdua lakukan?” Pertanyaan bernada dingin dan tajam itu terdengar dari belakang mereka berdua. Yara dan Marshall sama-sama menoleh. Saat menyadari tatapan Oliver yang tertuju pada tangannya, dengan cepat Yara melepaskan tangannya dari genggaman Marshall, sebelum Marshall sempat membubuhkan tanda tangan. “Oh? Sepupuku sudah pulang? Jangan salah paham, aku baru akan memberi tanda tanganku pada Yara.” “Sejak kapan ada aturan harus berpegangan tangan sebelum memberi tanda tangan?” timpal Oliver dengan rahang mengeras. Oliver berjalan mendekat dengan tatapan tajam yang segera diarahkan ke Yara. Ada kecanggungan yang jelas di antara mereka. “Ini perlakuan khusus untuk fansku, kamu nggak akan mengerti.” “Fans?” Wajah Oliver semakin mengeras. “Marshall, ada perlu apa kamu ke sini?” “Cuma ingin ketemu Zio, sekalian aku lewat sini.” “Kalau begitu pulanglah, kita bicara lain waktu.” Oliver tanpa segan mengusir penyanyi populer itu dari rumahnya. “Aku perlu bicara dengan Yara.” Marshall menatap Yara dan berkata, “Kamu lihat, Yara? Cuma dia satu-satunya orang yang nggak senang dengan kehadiranku.” Ia tertawa sambil menepuk bahu Oliver. Yara hanya meringis. Namun, hatinya terasa waspada dan sedikit takut melihat raut muka Oliver yang tampaknya mood-nya sedang buruk. “Baiklah. Aku akan pulang. Besok aku akan menemuimu di kantor,” kata Marshall sebelum pergi. Oliver mengambil alih Oliver dari pangkuan Yara dan menyerahkannya pada Lisa. Oliver mengenggam pergelangan tangan Yara dengan kencang sambil berkata dengan tegas, “Kita harus bicara!” ***Oliver mendorong pintu kamar dan menarik Yara, membawanya masuk, pintu di belakangnya otomatis menutup.Dengan gerakan sedikit kasar, Oliver melepaskan tangan Yara dari genggamannya. Raut mukanya tampak mengerikan. Yara baru kali ini melihat sisi itu dari Oliver.“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Yara memecah keheningan di antara mereka berdua.Oliver yang baru saja melepas jas dan melonggarkan sampul dasi, menatap Yara dengan dingin dan berkata, “Zara nggak pernah dekat dengan lelaki lain, apalagi saat aku nggak ada. Dia istri yang setia, dan hanya melihatku seorang.”Mendengarnya, Yara tercenung. Jadi ini yang ingin Oliver bicarakan? Ingin membandingkan dirinya dengan Zara? Ah, benar. Ia harus menjadi Zara di hadapan pria itu.“Oliver, seperti yang Marshall tadi bilang, dia cuma—““Apakah harus berpegangan tangan?” sela Oliver.“Kami nggak berpegangan tangan seperti yang kamu kira.”“Sudahlah.” Oliver melepas dasi dan melemparnya ke sofa, sementara Zara masih berdiri di deka
Yara mencoba melawan dorongan yang kian kuat dari Oliver. Ia tahu ini salah, meski hatinya juga bimbang antara peran yang ia sepakati dan perasaan yang tak bisa ia abaikan."Oliver, aku bukan Zara," bisik Yara lagi, kali ini dengan suara yang lebih jelas. Tubuhnya tegang di bawah tekanan pria yang dulu hanya ia kagumi dari jauh.Namun, Oliver seolah tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Tatapannya penuh luka, seakan ia berusaha mencari kepingan Zara dalam diri Yara. "Aku tahu kamu bukan Zara," gumamnya, namun tindakannya tidak mencerminkan ucapannya.Jemarinya yang kasar namun penuh kerinduan menggenggam erat pergelangan tangan Yara, sementara ciumannya semakin dalam, mengabaikan protes halus dari bibir Yara.“Aku nggak bisa terus seperti ini,” bisik Yara, air matanya mulai menggenang. “Aku bukan bayangan Zara, Oliver. Aku punya perasaan. Aku punya hak untuk dihormati.”Kata-kata itu akhirnya berhasil menghentikan Oliver. Ia terdiam, napasnya terengah, matanya yang kelam menatap Yara
Sebuah mobil sport putih berhenti di depan lobi New Pacific Group. Lucas yang sudah menunggu di sana bersama Wanda segera membukakan pintu mobil untuk sang CEO. Oliver turun dari mobil, memasang kancing jas, dan menyerahkan kunci pada Lucas. Sebelum kemudian Lucas yang menyerahkan kunci itu kepada satpam. “Ada apa di dalam? Kenapa ramai sekali?” tanya Oliver dengan ekspresi datar tanpa menghiraukan sapaan asisten pribadi dan sekretarisnya sebelumnya. “Itu para karyawan yang sedang meminta tanda tangan dan berfoto dengan Marshall, Tuan,” jawab Lucas seraya menatap keramaian di dalam lobi. Rahang Oliver mengeras. “Bubarkan mereka sekarang!” Namun, sebelum Lucas dan Wanda membubarkan mereka, para karyawan itu seketika hening begitu melihat kedatangan sang CEO. Mereka menunduk memberi hormat dan tak ada yang berani bersuara ata
Memasak ternyata jauh lebih melelahkan ketimbang traveling ke kota terpencil, pikir Yara. Selain kulit tangannya banyak goresan pisau—karena ia tak sengaja menggores tangannya ketika memotong bawang, lengannya pun terkena cipratan minyak ketika ia memasukkan daging ayam ke dalam penggorengan dengan gerakan kasar—tanpa sengaja. Kini, ia sedang berkeliling rumah Oliver yang ternyata jauh lebih luas dari dugaannya, ditemani Lisa. Lisa menjelaskan setiap tempat yang mereka kunjungi. Dan yang membuat hati Yara terasa perih dan tidak nyaman, adalah kehadiran foto-foto Zara di setiap ruangan. Bahkan foto pernikahan mereka pun belum Oliver turunkan dari dinding ruang tamu. “Tuan Oliver nggak suka melihat hal-hal yang berantakan, dia orang yang perfeksionis dan ingin segalanya bersih dan rapi,” ujar Lisa, yang kini menjelaskan bagaimana sosok Oliver. “Beliau juga nggak menyukai keterlambatan, ketidakseriusan, bahkan kesalahan
Yara memperhatikan pantulan dirinya di cermin sambil bergumam, “Pantas saja Oliver sangat mencintai Zara, ternyata dia secantik ini.” Tidak. Yara bukan sedang memuji dirinya sendiri cantik, tapi yang ia puji adalah bayangan Zara di dalam cermin tinggi di hadapannya. Lisa baru saja selesai ‘mengubahnya’ menjadi Zara. Gaun berwarna lilac selutut dan berlengan panjang itu memamerkan bahunya yang terbuka. Sebuah kalung cantik milik Zara menggantung di leher. Dan rambut yang sengaja di-curly itu benar-benar membuat diri Yara ‘hilang’. Kini ia sepenuhnya tampak seperti Zara. Ia merasa tidak nyaman, tapi ia terpaksa menerima peran ini demi komitmen yang telah ia buat. Yara kesulitan berjalan saat ia keluar kamar, kakinya belum terbiasa dengan high heels. “Papa sayang sekali sama Zio. Zio sayang Papa nggak?” “Aku tay
“Ng-nggak bukan begitu, aku cuma tanya doang.” Yara balas berbisik, walaupun dalam hati ia setengah menyetujui ucapan Oliver barusan. Lagi pula, siapa coba yang tidak mau bertemu dengan penyanyi yang selama ini lagu-lagunya selalu menemani hari-hari kita? “Aku mau menemui Papa dulu.” Oliver tiba-tiba berdiri dan beranjak pergi dengan ekspresi kesal di wajahnya. Awalnya Yara merasa kurang nyaman ditinggalkan hanya bersama ibu mertua, Tante Amarylis dan adik-adik Oliver yang baru saja tiba. Namun, pengalamannya sebagai traveller yang sudah mengunjungi lebih dari 10 negara itu membuat Yara mudah berbaur dengan orang-orang baru. Mereka mengobrol ringan, bercanda tawa, hal-hal kecil yang lucu selalu berhasil membuat Yara tertawa. Hingga perlahan-lahan, Jingga, Amarylis dan ketiga adik Oliver menyadari perbedaan antara Zara dan Yara. Tak lama kemudian Marshall yang sibuknya melebihi seoran
Oliver memperhatikan Zio yang tertidur pulas di atas kasur dengan balutan selimut putih. Padahal beberapa menit yang lalu anak itu masih aktif bermain. Dan biasanya Zio susah tidur cepat jika sedang asyik dengan dunianya. Namun, malam ini Yara berhasil menidurkan Zio lebih cepat dari dugaan. “Mama perhatiin, Yara kelihatan sayang banget sama Zio ya?” Oliver menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sedang menghampirinya. “Menurut Mama begitu?” “Apa menurut kamu nggak?” Oliver terdiam. Ia tidak ingin mengakui bahwa sebenarnya ia pun melihat Zio tampak jauh lebih ceria saat bersama Yara. “Kak...,” ucap Jingga dengan lembut seraya mengusap lengan Oliver. “Mama titip pesan, jangan menjadikan Yara sebagai bayangan Zara, ya? Mereka berdua orang yang berbeda. Yara akan sakit hati kalau kamu anggap sebagai Zara.” Mendengar ucapan ibunya tersebut, Oliver pun bergeming. Ia menarik napas pelan sebelum berkata, “Aku mau cari angin dulu,
Malam itu Yara terbangun dari tidurnya karena tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit dari kasur, mengecek Zio yang tidur nyenyak di sampingnya, sejenak. Lalu melangkahkan kakinya keluar kamar. Saat ia melewati kamar Oliver, sayup-sayup ia mendengar alunan musik piano yang menyentuh hati. Yara melihat pintu kamar Oliver tidak tertutup sepenuhnya. Akhirnya ia memutuskan mengintip dari celah pintu tersebut. Di dalam sana, terlihat Oliver sedang bermain piano dengan posisi membelakangi pintu. Yara mengerjap. Tak menyangka bahwa Oliver pandai bermain piano. Piano merupakan alat musik kesukaan Zara. Hati Yara tersentuh mendengar alunan musik romantis sekaligus pilu yang dimainkan Oliver. Hatinya ikut merasa sedih. Perasaan kehilangan yang dirasakan Oliver tergambar dalam musik tersebut. “Zara, aku merindukanmu. Aku rindu bermain piano bersamamu,” lirih Oliver setelah ia mengakhiri permainannya, yang masih
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng
“Oliver, perutku sakit banget.”Bisikan Yara tersebut berhasil menghentikan Oliver yang sedang berbincang-bincang dengan kliennya. Oliver langsung menoleh pada Yara dan melihat wanita itu tengah mengerutkan kening seperti menahan rasa sakit.“Sayang, perut kamu sakit?”Yara mengangguk. “Sakit banget,” katanya sembari mencengkeram lengan Oliver kuat-kuat.Raut muka Oliver seketika berubah menegang. Tangannya menangkup pipi Yara dan berkata dengan tegas, “Kita ke rumah sakit sekarang!”Tanpa basa-basi, Oliver segera mengangkat Yara ke pangkuan. Sikapnya itu mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Namun Oliver tampak tidak peduli. Saat itu juga ia membawa Yara keluar dari ballroom dengan ekspresi panik yang gagal ia sembunyikan.“Oliver, jangan terlalu khawatir. Sekarang sakitnya sudah hilang lagi, kok,” kata Yara, berusaha menenangkan Oliver yang kini tengah mengemudi dengan tatapan kalut.“Sayang, mana bisa aku nggak khawatir,” sergah Oliver sembari mengusap wajah deng
“Oliver, sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri. Astaga....”“Tidak! Selama aku bisa melakukannya untukmu, akan kulakukan!” tegas Oliver, sebelum akhirnya pria itu memangku Yara ke kamar mandi.Yara memutar bola matanya malas, tapi ia tidak menolak lagi. Karena sekali lagi Yara menegaskan, Oliver adalah pria yang tidak menerima penolakan.Sejak awal kehamilan, Oliver selalu memberi perhatian lebih dan memanjakan Yara. Apalagi saat kehamilan Yara sudah membesar seperti sekarang, Oliver bahkan tidak mengizinkan Yara melakukan aktifitas yang sedikit berat. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. memenuhi segala kebutuhan Yara dan melayaninya dengan sepenuh hati.Oliver sering berkata pada Yara bahwa ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu yang tidak menemani Yara sewaktu kehamilan si kembar.“Jangan lihat aku. Aku malu,” protes Yara saat Oliver sudah melepaskan seluruh kain yang membungkus tubuhnya.Oliver tersenyum kecil. “Apa yang membuat kamu malu, Sayang?” tanya
“Daddy! Mommy! Ada tamu!”“Shit!” Oliver mengumpat sambil memejamkan matanya sejenak kala mendengar seruan Airell di luar sana.Namun, hal itu tidak menyurutkan gairah Oliver. Ia berusaha menggerakkan dirinya dengan selembut mungkin agar tidak menyakiti istrinya yang kini berada di hadapannya. Posisi wanita itu memunggunginya.“Oliver...,” desah Yara sambil mencengkeram sprai erat-erat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan desah agar tidak keluar lebih keras lagi. “Airel bilang... ada tamu.” Yara berkata dengan napas terengah-engah. “Itu pasti Zara, dia sudah... datang.”“Ssstt!” Oliver menarik dagu Yara agar menoleh ke arahnya. Lantas dilumatnya bibir sang istri dengan rakus tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan hiraukan, Sayang. Fokus saja padaku,” bisik Oliver sesaat setelah ia menjauhkan bibir mereka berdua.“Daddy! Mommy! Ada Aunty Zara!” seru Airell lagi, kali ini diiringi ketukan pintu.
Lapangan basket yang biasanya dipenuhi suara bola memantul dan teriakan semangat, kini telah berubah menjadi tempat makan malam romantis yang memukau. Lampu-lampu kecil berkelap-kelip menggantung di sepanjang tiang ring basket, menciptakan suasana hangat dan romantis. Sebuah meja bundar berlapis kain putih dihiasi lilin-lilin kecil serta rangkaian bunga matahari—bunga favorit Yara. Kursi-kursi tertata rapi, dan di tengah meja, terdapat dua set hidangan yang tertata indah. Dan alunan musik romantis terdengar merdu. Yara berdiri mematung di tempatnya, matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka, ia tak mampu menyembunyikan kekagumannya. Oliver yang berdiri di sampingnya, hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya itu. “Kamu suka?” tanya Oliver dengan suara lembut. Yara mengangguk perlahan dan keluar dari keterpakuannya. “Oliver... ini keren banget. Kamu benar-benar menyulap lapangan basket jadi tempat makan malam seindah ini?” Oliver tertawa kecil. “Ini bukan sekadar lapangan ba
Yara menatap pantulan dirinya di cermin. Senyuman lebar tersungging di bibir kala ia melihat baby bump-nya sudah sedikit membuncit.Ia jadi teringat dengan ucapan Oliver yang akhir-akhir ini selalu bilang bahwa lelaki itu sangat menyukai bentuk tubuh Yara yang sedang hamil.Dulu, waktu kehamilan pertama, Yara mendapatkan perhatian dari Oliver hanya dalam waktu singkat. Namun kali ini, hampir setiap waktu perhatian Oliver selalu tercurah padanya. Membuat Yara merasa menjadi wanita paling beruntung dan paling bahagia di dunia karena dicintai oleh lelaki seperti Oliver.Sehingga timbul di hati Yara rasa takut ditinggalkan oleh suaminya itu. Yara sudah bergantung padanya. Menjadikan lelaki itu pusat dunianya.Beranjak dari depan cermin, Yara menghampiri meja kerjanya. Di atas meja teronggok sebuah bucket bunga matahari, yang membuat Yara seketika tersenyum cerah. Ia meraih secarik kertas dari sana, dan menemukan tulisan tangan Oliver dalam kertas tersebut.‘Honey, kamu tahu perbedaan mata