Share

5. Sesuatu Yang Selalu Mereka Lakukan

Oliver mendorong pintu kamar dan menarik Yara, membawanya masuk, pintu di belakangnya otomatis menutup.

Dengan gerakan sedikit kasar, Oliver melepaskan tangan Yara dari genggamannya. Raut mukanya tampak mengerikan. Yara baru kali ini melihat sisi itu dari Oliver.

“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Yara memecah keheningan di antara mereka berdua.

Oliver yang baru saja melepas jas dan melonggarkan sampul dasi, menatap Yara dengan dingin dan berkata, “Zara nggak pernah dekat dengan lelaki lain, apalagi saat aku nggak ada. Dia istri yang setia, dan hanya melihatku seorang.”

Mendengarnya, Yara tercenung. Jadi ini yang ingin Oliver bicarakan? Ingin membandingkan dirinya dengan Zara? Ah, benar. Ia harus menjadi Zara di hadapan pria itu.

“Oliver, seperti yang Marshall tadi bilang, dia cuma—“

“Apakah harus berpegangan tangan?” sela Oliver.

“Kami nggak berpegangan tangan seperti yang kamu kira.”

“Sudahlah.” Oliver melepas dasi dan melemparnya ke sofa, sementara Zara masih berdiri di dekat pintu. “Kali ini aku maafkan. Tapi mulai saat ini kamu harus belajar menjadi Zara,” katanya sambil menggulung lengan kemeja tanpa menatap Yara.

Yara terdiam, menelan ludah saat mendengar ucapan Oliver yang tegas dan dingin. Ia mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tidak karuan. Kalimat "kamu harus belajar menjadi Zara" terasa seperti pisau yang menyayat hati. Sebuah tuntutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, dan kini harus ia hadapi.

"Belajar menjadi Zara..." gumam Yara, suaranya hampir tak terdengar. Ia menatap Oliver yang masih menggulung lengan kemejanya, tampak jauh dan asing meski mereka berdiri di ruangan yang sama. "Aku... aku mengerti."

“Bagus.”

“Sekarang kasih tahu aku,” ucap Yara sembari mengepalkan tangan. “Apa yang biasa dilakukan Zara padamu saat kamu pulang kerja? Seperti... sekarang.” Meski terasa perih, tapi ia harus memerankan peran ini demi komitmen yang telah ia buat.

Oliver berjalan menghampiri Yara, menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. “Kamu ingin tahu?”

“Iya.”

“Setelah aku beritahu, apa kamu akan melakukannya?”

Yara mengangguk ragu. “Iya.”

“Kamu yakin nggak akan menyesal?” Oliver terus mendekat tanpa mengalihkan tatapnya dari Yara.

Mendapat tatapan dalam seperti itu jantung Yara berdegup kencang. Ia mencoba menyadarkan diri sendiri bahwa yang Oliver lihat saat ini adalah Zara, tapi hati Yara tak bisa berbohong.

Yara berjalan mundur saat Oliver terus melangkah mendekatinya. Hingga punggung Yara membentur dinding. Yara terpenjara. Jemari Oliver menjepit dagu Yara dan mengangkat sedikit wajahnya.

“Jawab,” gumam Oliver dengan tegas. “Apa kamu nggak akan menyesal setelah melakukannya?”

Yara menelan saliva dan berusaha meredakan degup jantungnya ketika jarak wajah mereka kurang dari lima inci.

“Menyesal atau nggak, itu urusan nanti,” jawab Yara dengan tenggorokan tercekat. “Aku cuma ingin melakukan tugasku sebagai ‘Zara’ di depan kamu.”

Tatapan Oliver terlihat dingin namun dalam. Yara merasakan tatapan penuh kerinduan dari Oliver. Pria ini terlihat benar-benar merindukan Zara. Dan hal itu membuat hati Yara terasa perih.

“Baiklah. Aku akan memberitahumu apa yang Zara lakukan saat aku pulang kerja,” lirih Oliver seraya menekankan satu telapak tangannya ke dinding di samping wajah Zara. “Dia selalu menyambutku dengan hangat, lalu menggodaku sampai kami melakukan ini.”

Tubuh Yara seketika membeku ketika sesuatu yang lembab dan dingin menempel di bibirnya. Yara terpaku, bibirnya seakan terbakar oleh sentuhan Oliver.

Itu bukan ciuman penuh cinta, melainkan sebuah tindakan penuh kerinduan yang terselubung di dalam kebingungan dan rasa kehilangan. Bibir Oliver terasa dingin, namun sentuhannya begitu intens, menciptakan perasaan aneh yang bergolak di dalam diri Yara.

Detik-detik berlalu, dan tubuh Yara seolah tidak bisa bergerak. Oliver terus menekan bibirnya, mengklaim kehadiran Zara melalui Yara. Di satu sisi, Yara tahu ini adalah peran yang harus ia mainkan, peran yang sudah ia sepakati untuk menjadi Zara. Tapi di sisi lain, ia merasa seperti sedang mengkhianati dirinya sendiri.

Tubuh Yara terasa lumpuh saat Oliver menurunkan reseleting di belakang punggungnya. Hingga dress merahnya terjatuh dan menumpuk di ujung kaki. Sementara itu ciuman Oliver terasa semakin dalam dan terburu-buru.

“Oliver, a-apa yang akan kamu lakukan?” tanya Yara saat ia baru tersadar bahwa kini Oliver sudah membaringkannya di atas ranjang. Dan ia tak sadar entah sejak kapan helaian kain dari tubuh mereka terlepas. Ia terkungkung di bawah Oliver.

“Melakukan apa yang biasa kami lakukan. Dia selalu tahu caranya membuatku tenang dan merasa seperti berada di rumah,” kata Oliver dengan suara rendah, seakan-akan berbicara kepada bayangan seseorang yang tak ada di ruangan itu.

Yara menelan ludah, mencoba meredakan debaran jantungnya yang tak menentu. Tubuhnya dikuasai perasaan asing yang baru kali ini rasakan. "Aku bukan Zara," bisiknya, nyaris tanpa suara. Namun, kalimat itu tenggelam di udara, dan Oliver tampaknya tidak mendengarnya—atau mungkin, ia memang tidak peduli.

Oliver menatap Yara dalam diam beberapa detik, sebelum ia kembali mempertemukan bibir mereka berdua. Yara mendorong dada Oliver, berusaha menghentikan tindakan pria itu yang semakin tak terkendali. Namun, Oliver sulit dihentikan. Pria itu terus mendesak dan mencengkeram kedua pergelangan tangan Yara di sisi kepala.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Persada Mulia
aduuh Thor jangan kejam2 sm yara, kshn disiksa trs sm oliver, knp jd jahat bgt apa oliver lbh kejam dr deven ayahnya, ntar kalau udah bucin sm yara siksa dulu biar dia jg ngerasain sakit hati yara jd bayangan zara, kalau tahu zara sdh jahat sm yada apa oliver akan minta maaf sm yara
goodnovel comment avatar
Valenka Lamsiam
kasian yara.... dulu dia pasti ngalah karna sadar kalo zara penyakitan. yara ngerelain awal kenal sama oliver di lanjutin sama zara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status