Sebuah mobil sport putih berhenti di depan lobi New Pacific Group. Lucas yang sudah menunggu di sana bersama Wanda segera membukakan pintu mobil untuk sang CEO. Oliver turun dari mobil, memasang kancing jas, dan menyerahkan kunci pada Lucas. Sebelum kemudian Lucas yang menyerahkan kunci itu kepada satpam. “Ada apa di dalam? Kenapa ramai sekali?” tanya Oliver dengan ekspresi datar tanpa menghiraukan sapaan asisten pribadi dan sekretarisnya sebelumnya. “Itu para karyawan yang sedang meminta tanda tangan dan berfoto dengan Marshall, Tuan,” jawab Lucas seraya menatap keramaian di dalam lobi. Rahang Oliver mengeras. “Bubarkan mereka sekarang!” Namun, sebelum Lucas dan Wanda membubarkan mereka, para karyawan itu seketika hening begitu melihat kedatangan sang CEO. Mereka menunduk memberi hormat dan tak ada yang berani bersuara ata
Memasak ternyata jauh lebih melelahkan ketimbang traveling ke kota terpencil, pikir Yara. Selain kulit tangannya banyak goresan pisau—karena ia tak sengaja menggores tangannya ketika memotong bawang, lengannya pun terkena cipratan minyak ketika ia memasukkan daging ayam ke dalam penggorengan dengan gerakan kasar—tanpa sengaja. Kini, ia sedang berkeliling rumah Oliver yang ternyata jauh lebih luas dari dugaannya, ditemani Lisa. Lisa menjelaskan setiap tempat yang mereka kunjungi. Dan yang membuat hati Yara terasa perih dan tidak nyaman, adalah kehadiran foto-foto Zara di setiap ruangan. Bahkan foto pernikahan mereka pun belum Oliver turunkan dari dinding ruang tamu. “Tuan Oliver nggak suka melihat hal-hal yang berantakan, dia orang yang perfeksionis dan ingin segalanya bersih dan rapi,” ujar Lisa, yang kini menjelaskan bagaimana sosok Oliver. “Beliau juga nggak menyukai keterlambatan, ketidakseriusan, bahkan kesalahan
Yara memperhatikan pantulan dirinya di cermin sambil bergumam, “Pantas saja Oliver sangat mencintai Zara, ternyata dia secantik ini.” Tidak. Yara bukan sedang memuji dirinya sendiri cantik, tapi yang ia puji adalah bayangan Zara di dalam cermin tinggi di hadapannya. Lisa baru saja selesai ‘mengubahnya’ menjadi Zara. Gaun berwarna lilac selutut dan berlengan panjang itu memamerkan bahunya yang terbuka. Sebuah kalung cantik milik Zara menggantung di leher. Dan rambut yang sengaja di-curly itu benar-benar membuat diri Yara ‘hilang’. Kini ia sepenuhnya tampak seperti Zara. Ia merasa tidak nyaman, tapi ia terpaksa menerima peran ini demi komitmen yang telah ia buat. Yara kesulitan berjalan saat ia keluar kamar, kakinya belum terbiasa dengan high heels. “Papa sayang sekali sama Zio. Zio sayang Papa nggak?” “Aku tay
“Ng-nggak bukan begitu, aku cuma tanya doang.” Yara balas berbisik, walaupun dalam hati ia setengah menyetujui ucapan Oliver barusan. Lagi pula, siapa coba yang tidak mau bertemu dengan penyanyi yang selama ini lagu-lagunya selalu menemani hari-hari kita? “Aku mau menemui Papa dulu.” Oliver tiba-tiba berdiri dan beranjak pergi dengan ekspresi kesal di wajahnya. Awalnya Yara merasa kurang nyaman ditinggalkan hanya bersama ibu mertua, Tante Amarylis dan adik-adik Oliver yang baru saja tiba. Namun, pengalamannya sebagai traveller yang sudah mengunjungi lebih dari 10 negara itu membuat Yara mudah berbaur dengan orang-orang baru. Mereka mengobrol ringan, bercanda tawa, hal-hal kecil yang lucu selalu berhasil membuat Yara tertawa. Hingga perlahan-lahan, Jingga, Amarylis dan ketiga adik Oliver menyadari perbedaan antara Zara dan Yara. Tak lama kemudian Marshall yang sibuknya melebihi seoran
Oliver memperhatikan Zio yang tertidur pulas di atas kasur dengan balutan selimut putih. Padahal beberapa menit yang lalu anak itu masih aktif bermain. Dan biasanya Zio susah tidur cepat jika sedang asyik dengan dunianya. Namun, malam ini Yara berhasil menidurkan Zio lebih cepat dari dugaan. “Mama perhatiin, Yara kelihatan sayang banget sama Zio ya?” Oliver menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sedang menghampirinya. “Menurut Mama begitu?” “Apa menurut kamu nggak?” Oliver terdiam. Ia tidak ingin mengakui bahwa sebenarnya ia pun melihat Zio tampak jauh lebih ceria saat bersama Yara. “Kak...,” ucap Jingga dengan lembut seraya mengusap lengan Oliver. “Mama titip pesan, jangan menjadikan Yara sebagai bayangan Zara, ya? Mereka berdua orang yang berbeda. Yara akan sakit hati kalau kamu anggap sebagai Zara.” Mendengar ucapan ibunya tersebut, Oliver pun bergeming. Ia menarik napas pelan sebelum berkata, “Aku mau cari angin dulu,
Malam itu Yara terbangun dari tidurnya karena tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit dari kasur, mengecek Zio yang tidur nyenyak di sampingnya, sejenak. Lalu melangkahkan kakinya keluar kamar. Saat ia melewati kamar Oliver, sayup-sayup ia mendengar alunan musik piano yang menyentuh hati. Yara melihat pintu kamar Oliver tidak tertutup sepenuhnya. Akhirnya ia memutuskan mengintip dari celah pintu tersebut. Di dalam sana, terlihat Oliver sedang bermain piano dengan posisi membelakangi pintu. Yara mengerjap. Tak menyangka bahwa Oliver pandai bermain piano. Piano merupakan alat musik kesukaan Zara. Hati Yara tersentuh mendengar alunan musik romantis sekaligus pilu yang dimainkan Oliver. Hatinya ikut merasa sedih. Perasaan kehilangan yang dirasakan Oliver tergambar dalam musik tersebut. “Zara, aku merindukanmu. Aku rindu bermain piano bersamamu,” lirih Oliver setelah ia mengakhiri permainannya, yang masih
Pagi ini Yara mencoba memasak kembali untuk Oliver. Ia membuat omelet sesuai instruksi Lisa. Memasak ternyata jauh lebih menguras energi ketimbang traveling, pikir Yara.Tak berapa lama, Oliver turun ke meja makan dengan setelan kerjanya. Ia duduk di meja makan tanpa memuji kerja keras Yara yang sudah memasak omelet dengan susah payah.“Aku harap kali ini aku nggak gagal,” ucap Yara setelah menaruh makanan di hadapan Oliver. Lalu duduk berseberangan dengan pria itu. Menanti reaksi Oliver setelah mencoba makanannya.Namun, tepat di suapan pertama, Oliver terbatuk dan menghentikan makanannya. Yara terkejut, dengan segera ia menyerahkan segelas air putih.“Oliver, kenapa? Apa makanannya nggak enak?” tanya Yara dengan cemas.Oliver mengembuskan napas kasar, menaruh sendok ke atas piring dengan keras. “Aku sarapan di luar saja,” katanya, dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengucapka
Perjalanan menuju bandara diisi oleh keheningan. Atmosfer di antara mereka terasa canggung. Oliver lebih memilih sibuk dengan pekerjaannya di laptop dalam pangkuan, ketimbang mengajak ngobrol Yara yang duduk gelisah di sampingnya. Yara tidak suka dan tidak terbiasa berada di keheningan. Oliver baru menutup laptop ketika sang sopir mengabarkan bahwa mereka sudah tiba di bandara. Begitu mereka tiba di lounge, Yara masih terdiam, berusaha menenangkan dirinya di tengah keheningan yang sejak tadi mengikat mereka. Namun, ketegangan itu langsung terasa bertambah saat Wanda muncul di hadapan mereka. Dengan senyum lebarnya yang tampak ramah namun berkesan tajam, Wanda menghampiri Oliver terlebih dahulu. “Tuan!” Wanda menyapa dengan ceria. “Segala persiapan untuk penerbangan sudah saya urus sampai selesai.” “Bagus. Kamu memang cekatan,” timpal Oliver sambil duduk di sofa.