“Kamu boleh bermain sendiri, kalau kamu mau, tapi nggak boleh jauh dari resort.” Yara tercengang mendengar ucapan Oliver yang bernada tak berdosa itu. Ini acara liburan, seharusnya mereka menghabiskannya untuk bersenang-senang, bukan? Namun Oliver memilih menghabiskannya untuk pekerjaan. Padahal seingat Yara, dulu Zara sering bercerita bahwa ia dan Oliver sering pergi berlibur berdua. ‘Aku bukan Zara,’ batin Yara, mengingatkan dirinya sendiri bahwa Oliver tak ingin menghabiskan waktu berlibur dengannya. Mungkin jika itu Zara, Oliver akan mengabaikan pekerjaannya demi wanita itu. Setibanya di resort beberapa saat kemudian, Lucas sudah menunggu mereka di sana, membantu membawa barang-barang Oliver dan Yara ke dalam kamar. Suasana terasa canggung saat kini hanya ada Oliver dan Yara di dalam kamar yang sama. “Kita... akan tidur di sini? Berdua?” tanya Yara dengan ragu. “Iya,” jawab Oliver singkat seraya melepas kancing kemejanya. Melihat pemandangan tersebut, Yara jadi teringat uc
“Sudah dulu untuk pekerjaan hari ini. Kita lanjutkan lagi besok.” Oliver menutup laptop dan memijat pelipis yang terasa pening. “Anda nggak enak badan, Tuan?” tanya Wanda. “Hanya sedikit pusing.” “Mau saya bantu pijat kepalanya?” Wanda menunjukkan senyuman khawatir dan bersiap untuk berdiri ke belakang Oliver. Namun, Oliver menggeleng, membuat Wanda akhirnya duduk kembali. “Nggak perlu. Saya mau istirahat sebentar.” “Baik, Tuan. Jika Anda butuh bantuan, segera hubungi saya.” Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore saat Oliver mengecek arloji. Ia masuk ke kamar dan baru sadar bahwa ia tidak menemukan Yara di manapun. Ia telahmengabaikan Yara sejak tadi pagi. Sekarang, ke mana perginya perempuan itu? Oliver bertanya-tanya dalam hati. Ia menghela napa
“Pergi tanpa izin, bergaul dengan banyak pria dan terbang tanpa seizin dariku! Kamu pikir kamu bisa berbuat seenaknya, Yara?!” Oliver memarahi Yara setibanya mereka di resort. Kemarahan Oliver yang tiba-tiba itu membuat Yara tersentak. Di tengah kebingungannya, Yara mendengkus pelan. “Sudah aku bilang, aku nggak mau mengganggumu yang lagi fokus dengan pekerjaan, Oliver,” sanggah Yara, membela diri. “Bergaul dengan banyak pria? Mereka itu temanku, aku sudah biasa melakukan paralayang bersama mereka.” Rahang Oliver mengeras, ia meneguk segelas air putih dan menaruh kembali gelas ke meja dengan kasar. “Itu dulu, Yara, sebelum kamu menjadi istriku!” tukasnya, “sekarang seharusnya kamu lebih tahu diri dan tahu batasan sejauh mana kamu bergaul dengan laki-laki lain!” “Istri bayangan, kalau kamu lupa.” Emosi Yara mulai tersulut dengan kemarahan Oliver yang menurutnya tak masu
Oliver menoleh ke arah Wanda, dan meskipun matanya sedikit lelah, dia masih menatapnya dengan tajam. “Kenapa kamu di sini, Wanda?” tanyanya, nada suaranya datar, tanpa emosi yang jelas. Wanda tersenyum kecil. “Saya cuma kebetulan lewat, Tuan. Nggak ada yang penting. Tapi melihat Anda di sini... saya merasa khawatir.” Ia duduk di sebelah Oliver dengan gerakan halus, matanya menatap Oliver penuh simpati. Oliver meneguk minuman di tangannya, lalu menghembuskan napas panjang. “Aku nggak butuh simpati, Wanda.” "Tentu saja nggak, tapi... semua orang membutuhkan teman untuk berbicara, bukan?" Wanda mencoba memancing Oliver agar membuka diri, berharap bisa mengambil keuntungan dari situasi ini. Namun, Oliver hanya terdiam sejenak, menatap kosong ke gelas di depannya. “Kamu nggak akan mengerti,” katanya akhirnya, nadanya nyaris pelan. Wanda merasa frust
Yara mengepalkan kedua belah telapak tangannya. Hatinya terluka. “Oliver, aku... aku bukan—““Bukan Zara?” sela Oliver, terkekeh pelan sambil mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Yara. “Aku tahu, kamu bukan Zara.” Oliver meracau sambil menjatuhkan dagu di bahu Yara, membuat Yara kewalahan menahan berat tubuh pria itu.“Biar saya bantu, Nona.” Wanda masih berusaha menunjukkan kekuasaan dirinya atas Oliver.“Nggak perlu,” tegas Yara, “aku bisa membawa suamiku sendiri.”Meski hatinya perih akibat luka yang baru saja ditorehkan Oliver, Yara tetap memapah pria itu menuju kamar mereka. Dengan hati-hati ia menjatuhkan Oliver ke atas kasur dan membantu melepaskan sepatunya.Namun, saat Yara akan pergi, Oliver tiba-tiba menahan tangannya, membuat Yara urung untuk pergi. Ia berbalik menghadap Oliver dan berkata, “Oliver, ada ap—akh!”Yara memekik saat Oliver menarik tangannya hingga terjatuh ke atas tubuh pria itu. Yara bisa menghidu aroma alkohol yang menguar kuat dari Oliver.“Oliver l
Yara terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa lelah. Pandangannya masih buram karena kurang tidur, dan perasaannya bercampur aduk dengan rasa sakit yang tak tertahankan.Di sebelahnya, Oliver masih tertidur lelap, napasnya teratur setelah malam yang penuh emosi dan kekecewaan.Yara memandang wajahnya sejenak, merasa benci sekaligus sedih. Hatinya remuk. Tubuhnya terasa hampa, seolah semua energi telah terkuras habis. Air mata yang tadi malam deras mengalir kini mengering di pipinya, tetapi luka di hatinya masih berdarah.Perlahan, Yara bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Oliver. Ia tidak sanggup melihatnya, setidaknya untuk saat ini. Dengan langkah lemah, Yara menuju kamar mandi. Di sana ia menatap bayangannya di cermin. Wajah pucat dengan mata sembab itu seolah bukan dirinya. “Siapa aku?” gumamnya, hampir tak terdengar. “Aku... Yara, bukan Zara.” Suara itu terasa asing, seolah-olah dirinya sendiri tidak yakin dengan kata-kata itu. Kenyat
Liburan yang semula direncanakan satu minggu oleh sang mertua itu pada kenyataannya hanya bertahan tiga hari.Setelah kejadian malam itu, hubungan Oliver dan Yara semakin canggung dan jauh.Yara yang merasa sakit hati atas perkataan terakhir Oliver, memilih untuk mengabaikan lelaki itu.Dan Oliver pun tidak berbicara lebih lanjut. Keduanya sama-sama diam. Hingga Oliver memutuskan mereka kembali ke Jakarta di hari ketiga, dan Yara setuju dengan keputusan itu. Ia merasa tidak nyaman jika terus berada di Bali tanpa melakukan apa-apa dan hanya menonton Oliver yang sibuk dengan Wanda.“Wanda, ke sini. Sekarang!” titah Oliver melalui interkom. Kini ia berada di ruangannya, ruangan CEO New Pacific Group.“Baik, Tuan.” Suara lembut Wanda terdengar di seberang.Tak berselang lama, wanita yang memakai stoking hitam dan rok di atas lutut itu berjalan anggun menghampiri Oliver.“Ada yang bisa saya
Yara sedang mondar-mandir di dapur sambil melihat setumpuk bahan makanan yang baru saja ia keluarkan dari kulkas. Namun, Yara tidak tahu ia harus memasak apa dan bagaimana caranya. Lisa sedang pergi ke pasar. Sementara ia tidak berani memasak sendiri. Ia bosan berada di rumah tanpa melakukan apapun. Karena itu, ia ingin mencoba belajar memasak. Pada saat yang sama, Marshall datang. “Aku dengar kalian sudah pulang dari Bali, kebetulan aku lewat sini jadi mampir dulu,” katanya sambil meneliti ekspresi Yara yang tampak bingung dan gelisah. “Iya, kami sudah pulang kemarin. Tapi sayang sekali kamu nggak bisa ketemu Oliver sekarang, dia sudah masuk kerja,” jelas Yara, ia berpikir bahwa Marshall datang kemari untuk bertemu Oliver. "Aku tahu," timpal Marshall, “aku ke sini untuk ketemu keponakanku. Di mana dia sekarang?” “Zio sedang tidur siang. Kamu bisa melihatnya di kamarny
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng
“Oliver, perutku sakit banget.”Bisikan Yara tersebut berhasil menghentikan Oliver yang sedang berbincang-bincang dengan kliennya. Oliver langsung menoleh pada Yara dan melihat wanita itu tengah mengerutkan kening seperti menahan rasa sakit.“Sayang, perut kamu sakit?”Yara mengangguk. “Sakit banget,” katanya sembari mencengkeram lengan Oliver kuat-kuat.Raut muka Oliver seketika berubah menegang. Tangannya menangkup pipi Yara dan berkata dengan tegas, “Kita ke rumah sakit sekarang!”Tanpa basa-basi, Oliver segera mengangkat Yara ke pangkuan. Sikapnya itu mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Namun Oliver tampak tidak peduli. Saat itu juga ia membawa Yara keluar dari ballroom dengan ekspresi panik yang gagal ia sembunyikan.“Oliver, jangan terlalu khawatir. Sekarang sakitnya sudah hilang lagi, kok,” kata Yara, berusaha menenangkan Oliver yang kini tengah mengemudi dengan tatapan kalut.“Sayang, mana bisa aku nggak khawatir,” sergah Oliver sembari mengusap wajah deng
“Oliver, sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri. Astaga....”“Tidak! Selama aku bisa melakukannya untukmu, akan kulakukan!” tegas Oliver, sebelum akhirnya pria itu memangku Yara ke kamar mandi.Yara memutar bola matanya malas, tapi ia tidak menolak lagi. Karena sekali lagi Yara menegaskan, Oliver adalah pria yang tidak menerima penolakan.Sejak awal kehamilan, Oliver selalu memberi perhatian lebih dan memanjakan Yara. Apalagi saat kehamilan Yara sudah membesar seperti sekarang, Oliver bahkan tidak mengizinkan Yara melakukan aktifitas yang sedikit berat. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. memenuhi segala kebutuhan Yara dan melayaninya dengan sepenuh hati.Oliver sering berkata pada Yara bahwa ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu yang tidak menemani Yara sewaktu kehamilan si kembar.“Jangan lihat aku. Aku malu,” protes Yara saat Oliver sudah melepaskan seluruh kain yang membungkus tubuhnya.Oliver tersenyum kecil. “Apa yang membuat kamu malu, Sayang?” tanya
“Daddy! Mommy! Ada tamu!”“Shit!” Oliver mengumpat sambil memejamkan matanya sejenak kala mendengar seruan Airell di luar sana.Namun, hal itu tidak menyurutkan gairah Oliver. Ia berusaha menggerakkan dirinya dengan selembut mungkin agar tidak menyakiti istrinya yang kini berada di hadapannya. Posisi wanita itu memunggunginya.“Oliver...,” desah Yara sambil mencengkeram sprai erat-erat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan desah agar tidak keluar lebih keras lagi. “Airel bilang... ada tamu.” Yara berkata dengan napas terengah-engah. “Itu pasti Zara, dia sudah... datang.”“Ssstt!” Oliver menarik dagu Yara agar menoleh ke arahnya. Lantas dilumatnya bibir sang istri dengan rakus tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan hiraukan, Sayang. Fokus saja padaku,” bisik Oliver sesaat setelah ia menjauhkan bibir mereka berdua.“Daddy! Mommy! Ada Aunty Zara!” seru Airell lagi, kali ini diiringi ketukan pintu.
Lapangan basket yang biasanya dipenuhi suara bola memantul dan teriakan semangat, kini telah berubah menjadi tempat makan malam romantis yang memukau. Lampu-lampu kecil berkelap-kelip menggantung di sepanjang tiang ring basket, menciptakan suasana hangat dan romantis. Sebuah meja bundar berlapis kain putih dihiasi lilin-lilin kecil serta rangkaian bunga matahari—bunga favorit Yara. Kursi-kursi tertata rapi, dan di tengah meja, terdapat dua set hidangan yang tertata indah. Dan alunan musik romantis terdengar merdu. Yara berdiri mematung di tempatnya, matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka, ia tak mampu menyembunyikan kekagumannya. Oliver yang berdiri di sampingnya, hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya itu. “Kamu suka?” tanya Oliver dengan suara lembut. Yara mengangguk perlahan dan keluar dari keterpakuannya. “Oliver... ini keren banget. Kamu benar-benar menyulap lapangan basket jadi tempat makan malam seindah ini?” Oliver tertawa kecil. “Ini bukan sekadar lapangan ba
Yara menatap pantulan dirinya di cermin. Senyuman lebar tersungging di bibir kala ia melihat baby bump-nya sudah sedikit membuncit.Ia jadi teringat dengan ucapan Oliver yang akhir-akhir ini selalu bilang bahwa lelaki itu sangat menyukai bentuk tubuh Yara yang sedang hamil.Dulu, waktu kehamilan pertama, Yara mendapatkan perhatian dari Oliver hanya dalam waktu singkat. Namun kali ini, hampir setiap waktu perhatian Oliver selalu tercurah padanya. Membuat Yara merasa menjadi wanita paling beruntung dan paling bahagia di dunia karena dicintai oleh lelaki seperti Oliver.Sehingga timbul di hati Yara rasa takut ditinggalkan oleh suaminya itu. Yara sudah bergantung padanya. Menjadikan lelaki itu pusat dunianya.Beranjak dari depan cermin, Yara menghampiri meja kerjanya. Di atas meja teronggok sebuah bucket bunga matahari, yang membuat Yara seketika tersenyum cerah. Ia meraih secarik kertas dari sana, dan menemukan tulisan tangan Oliver dalam kertas tersebut.‘Honey, kamu tahu perbedaan mata