“Sudah dulu untuk pekerjaan hari ini. Kita lanjutkan lagi besok.” Oliver menutup laptop dan memijat pelipis yang terasa pening. “Anda nggak enak badan, Tuan?” tanya Wanda. “Hanya sedikit pusing.” “Mau saya bantu pijat kepalanya?” Wanda menunjukkan senyuman khawatir dan bersiap untuk berdiri ke belakang Oliver. Namun, Oliver menggeleng, membuat Wanda akhirnya duduk kembali. “Nggak perlu. Saya mau istirahat sebentar.” “Baik, Tuan. Jika Anda butuh bantuan, segera hubungi saya.” Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore saat Oliver mengecek arloji. Ia masuk ke kamar dan baru sadar bahwa ia tidak menemukan Yara di manapun. Ia telahmengabaikan Yara sejak tadi pagi. Sekarang, ke mana perginya perempuan itu? Oliver bertanya-tanya dalam hati. Ia menghela napa
“Pergi tanpa izin, bergaul dengan banyak pria dan terbang tanpa seizin dariku! Kamu pikir kamu bisa berbuat seenaknya, Yara?!” Oliver memarahi Yara setibanya mereka di resort. Kemarahan Oliver yang tiba-tiba itu membuat Yara tersentak. Di tengah kebingungannya, Yara mendengkus pelan. “Sudah aku bilang, aku nggak mau mengganggumu yang lagi fokus dengan pekerjaan, Oliver,” sanggah Yara, membela diri. “Bergaul dengan banyak pria? Mereka itu temanku, aku sudah biasa melakukan paralayang bersama mereka.” Rahang Oliver mengeras, ia meneguk segelas air putih dan menaruh kembali gelas ke meja dengan kasar. “Itu dulu, Yara, sebelum kamu menjadi istriku!” tukasnya, “sekarang seharusnya kamu lebih tahu diri dan tahu batasan sejauh mana kamu bergaul dengan laki-laki lain!” “Istri bayangan, kalau kamu lupa.” Emosi Yara mulai tersulut dengan kemarahan Oliver yang menurutnya tak masu
Oliver menoleh ke arah Wanda, dan meskipun matanya sedikit lelah, dia masih menatapnya dengan tajam. “Kenapa kamu di sini, Wanda?” tanyanya, nada suaranya datar, tanpa emosi yang jelas. Wanda tersenyum kecil. “Saya cuma kebetulan lewat, Tuan. Nggak ada yang penting. Tapi melihat Anda di sini... saya merasa khawatir.” Ia duduk di sebelah Oliver dengan gerakan halus, matanya menatap Oliver penuh simpati. Oliver meneguk minuman di tangannya, lalu menghembuskan napas panjang. “Aku nggak butuh simpati, Wanda.” "Tentu saja nggak, tapi... semua orang membutuhkan teman untuk berbicara, bukan?" Wanda mencoba memancing Oliver agar membuka diri, berharap bisa mengambil keuntungan dari situasi ini. Namun, Oliver hanya terdiam sejenak, menatap kosong ke gelas di depannya. “Kamu nggak akan mengerti,” katanya akhirnya, nadanya nyaris pelan. Wanda merasa frust
Yara mengepalkan kedua belah telapak tangannya. Hatinya terluka. “Oliver, aku... aku bukan—““Bukan Zara?” sela Oliver, terkekeh pelan sambil mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Yara. “Aku tahu, kamu bukan Zara.” Oliver meracau sambil menjatuhkan dagu di bahu Yara, membuat Yara kewalahan menahan berat tubuh pria itu.“Biar saya bantu, Nona.” Wanda masih berusaha menunjukkan kekuasaan dirinya atas Oliver.“Nggak perlu,” tegas Yara, “aku bisa membawa suamiku sendiri.”Meski hatinya perih akibat luka yang baru saja ditorehkan Oliver, Yara tetap memapah pria itu menuju kamar mereka. Dengan hati-hati ia menjatuhkan Oliver ke atas kasur dan membantu melepaskan sepatunya.Namun, saat Yara akan pergi, Oliver tiba-tiba menahan tangannya, membuat Yara urung untuk pergi. Ia berbalik menghadap Oliver dan berkata, “Oliver, ada ap—akh!”Yara memekik saat Oliver menarik tangannya hingga terjatuh ke atas tubuh pria itu. Yara bisa menghidu aroma alkohol yang menguar kuat dari Oliver.“Oliver l
Yara terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa lelah. Pandangannya masih buram karena kurang tidur, dan perasaannya bercampur aduk dengan rasa sakit yang tak tertahankan.Di sebelahnya, Oliver masih tertidur lelap, napasnya teratur setelah malam yang penuh emosi dan kekecewaan.Yara memandang wajahnya sejenak, merasa benci sekaligus sedih. Hatinya remuk. Tubuhnya terasa hampa, seolah semua energi telah terkuras habis. Air mata yang tadi malam deras mengalir kini mengering di pipinya, tetapi luka di hatinya masih berdarah.Perlahan, Yara bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Oliver. Ia tidak sanggup melihatnya, setidaknya untuk saat ini. Dengan langkah lemah, Yara menuju kamar mandi. Di sana ia menatap bayangannya di cermin. Wajah pucat dengan mata sembab itu seolah bukan dirinya. “Siapa aku?” gumamnya, hampir tak terdengar. “Aku... Yara, bukan Zara.” Suara itu terasa asing, seolah-olah dirinya sendiri tidak yakin dengan kata-kata itu. Kenyat
Liburan yang semula direncanakan satu minggu oleh sang mertua itu pada kenyataannya hanya bertahan tiga hari.Setelah kejadian malam itu, hubungan Oliver dan Yara semakin canggung dan jauh.Yara yang merasa sakit hati atas perkataan terakhir Oliver, memilih untuk mengabaikan lelaki itu.Dan Oliver pun tidak berbicara lebih lanjut. Keduanya sama-sama diam. Hingga Oliver memutuskan mereka kembali ke Jakarta di hari ketiga, dan Yara setuju dengan keputusan itu. Ia merasa tidak nyaman jika terus berada di Bali tanpa melakukan apa-apa dan hanya menonton Oliver yang sibuk dengan Wanda.“Wanda, ke sini. Sekarang!” titah Oliver melalui interkom. Kini ia berada di ruangannya, ruangan CEO New Pacific Group.“Baik, Tuan.” Suara lembut Wanda terdengar di seberang.Tak berselang lama, wanita yang memakai stoking hitam dan rok di atas lutut itu berjalan anggun menghampiri Oliver.“Ada yang bisa saya
Yara sedang mondar-mandir di dapur sambil melihat setumpuk bahan makanan yang baru saja ia keluarkan dari kulkas. Namun, Yara tidak tahu ia harus memasak apa dan bagaimana caranya. Lisa sedang pergi ke pasar. Sementara ia tidak berani memasak sendiri. Ia bosan berada di rumah tanpa melakukan apapun. Karena itu, ia ingin mencoba belajar memasak. Pada saat yang sama, Marshall datang. “Aku dengar kalian sudah pulang dari Bali, kebetulan aku lewat sini jadi mampir dulu,” katanya sambil meneliti ekspresi Yara yang tampak bingung dan gelisah. “Iya, kami sudah pulang kemarin. Tapi sayang sekali kamu nggak bisa ketemu Oliver sekarang, dia sudah masuk kerja,” jelas Yara, ia berpikir bahwa Marshall datang kemari untuk bertemu Oliver. "Aku tahu," timpal Marshall, “aku ke sini untuk ketemu keponakanku. Di mana dia sekarang?” “Zio sedang tidur siang. Kamu bisa melihatnya di kamarny
“Kamu bisa menyuruh Lucas mengambilnya kalau itu tentang berkas, bukan?” timpal Marshall dengan mata terpicing. Seolah tengah menelisik perasaan Oliver di balik wajahnya yang kusut. “Ini berkas penting.” Oliver menuangkan air ke dalam gelas yang baru saja ia ambil dari rak. “Aku nggak bisa mempercayakannya pada siapapun.” Ia meneguk habis minumannya dalam sekali tegukan, menaruh kembali gelas kosong itu ke meja dengan kasar. “Lucas itu orang kepercayaanmu.” Marshall terkekeh-kekeh. “Berhenti mencoba mencari alasan, aku tahu apa alasanmu yang sebenarnya pulang ke rumah di siang bolong begini.” “Alasan apa?” tanya Yara dengan polos pada Marshall, ia masih enggan berhadapan dengan Oliver berlama-lama. Marshall menoleh ke arah Yara sambil tersenyum penuh arti. Lalu menaruh sepiring ayam goreng ke atas meja. “Sesuatu yang akan kamu tahu nanti,” tukas Marshall dengan misteri
Yara mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tapi bunyi gagang pintu yang terus digoyang semakin membuatnya panik. Tiba-tiba, suara itu berhenti, membuat keheningan terasa lebih mencekam.Kemudian, suara berderit pelan terdengar. Sesuatu tampaknya sedang dilakukan di luar pintu, seperti seseorang sedang mengutak-atik kunci dengan alat. Yara menahan napas, telinganya fokus pada setiap suara yang masuk.Dengan tangan gemetar, Yara mencoba menelepon satpam dan sopir—yang seharusnya mereka ada di depan rumah sekarang. Namun, panggilan Yara tidak terangkat.“Yara, ini aku.” Suara yang terdengar familiar—yang sekaligus memicu ketakutan, menyapanya dari luar pintu. “Buka pintunya, aku hanya ingin bicara.”Yara membelalak. Itu suara Leonard. Leonard yang selama ini ia hindari karena obsesi gilanya.“Leonard?!” Suara Yara bergetar. “Apa yang kamu lakukan di sini?”“Yara, aku tidak akan menyakitimu,” jawab Leonard dengan nada lembut tapi terdengar menyeramkan. “Aku hanya ingin
Selepas kepergian Zara beberapa saat kemudian, Davin dan Jingga menjemput Zio, Arthur dan Airell untuk diajak pergi jalan-jalan. Jadilah saat ini Yara ditinggal sendirian di rumah bersama Lisa.Yara menghabiskan waktunya di kamar dengan menonton televisi. Sejujurnya ia merasa bosan terus menerus diam di kamar, tapi ia berusaha patuh pada apa yang dikatakan suaminya. Yara tidak mau mengambil risiko terjadi sesuatu pada kehamilannya akibat ia yang tidak mendengarkan apa kata Oliver.Pada saat yang sama, ketukan di pintu terdengar. Yara mengalihkan tatapannya dari layar televisi ke arah pintu.“Masuk!”Detik berikutnya Lisa muncul di sana dengan senyuman ramah. “Nona, orang yang akan memasang AC di kamar Non Airell sudah datang.”“Oh? Oke. Tolong awasi ya, Bik,” pinta Yara dengan sopan.“Baik, Non.”Lisa mengangguk dan bergegas meninggalkan kamar Yara. Namun, sebagai orang yang sudah lama bekerja di keluarga itu, instingnya tidak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang terasa janggal dengan tuk
Yara tengah berjemur di balkon lantai dua sambil memperhatikan Zio, Arthur dan Airell yang sedang berenang ketika Zara datang.Yara cukup terkejut mendapati kedatangan saudari kembarnya itu. Lisa membawa Zara mendekati Yara.“Hai,” sapa Zara dengan canggung. “Boleh aku menemui Zio?”Yara berusaha menyunggingkan senyuman kecil, lalu mengangguk. “Tentu saja,” jawabnya, ia menunjuk kolam renang yang ada di bawah mereka. “Zio lagi berenang sama anak-anakku.”Anak-anakku.Zara tertegun. Ia mengalihkan tatapannya dari Yara ke arah dua bocah kecil yang tampak seumuran di bawah sana. “Anak-anakmu... kembar?”“Mm-hm. Mereka kembar. Namanya Arthur dan Airell. mereka keponakanmu, Zara.”Zara kembali tampak tertegun.Yara menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Duduklah.” Lalu menatap Lisa dan berkata, “Bik, tolong siapkan minuman untuk Zara. Zara, kamu mau minum apa?”Zara menggelengkan kepala. “Apa saja, asal nggak terlalu manis,” jawabnya singkat.Lisa mengangguk sebelum meninggalkan balkon untuk
Yara merasa gelisah. Pasalnya, sampai saat ini Oliver tak kunjung pulang, padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul tiga dini hari. Ia berguling ke kiri dan kanan, mencari kenyamanan dalam tidurnya. Namun Yara merasa tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Hingga tak lama kemudian, Yara mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Seketika itu juga Yara terlonjak dari tidurnya, merasa lega. Tidak perlu melihat siapa yang datang, karena Yara sudah mengenali bagaimana halusnya deru mobil suaminya itu. Yara duduk bersandar di headboard, menanti Oliver tiba di kamar. Sampai akhirnya tak lama kemudian pintu kamar terbuka dan muncul sosok Oliver dengan wajah kusut di sana. “Oliver, kenapa kamu baru pulang? Apa masalahnya benar-benar serius?” tanya Yara dengan nada khawatir. Oliver mendekati Yara seraya memandangnya dengan tatapan dalam. “Kenapa kamu bangun, Sayang? Atau kamu nggak tidur karena nungguin aku?” tanyanya sebelum merundukan badan dan mengecup kening Yara deng
Oliver menatap mata Yara yang terpejam dan bibirnya bergantian. Tangannya terulur, menangkup pipi Yara dengan hangat. Melihat wajah istrinya dari jarak sedekat ini membuat jantung Oliver berdetak kencang. Wanita itu terlalu menggoda, bahkan dalam tidurnya sekalipun, seperti sekarang.Wajah Oliver semakin mendekat ke wajah Yara. Mengikis jarak di antara mereka. Bibir mereka bertemu, Oliver bisa merasakan sesuatu yang lembut dan dingin menempel di bibirnya.“Mommy...! Daddy...! Boleh aku masuk?!”Seruan Airell dari luar sana membuat Oliver secara spontan menjauhkan wajahnya dari Yara. Ia memejamkan matanya sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang.Dengan perlahan ia menarik tangannya yang dijadikan bantal kepala Yara. Membuat Yara akhirnya terbangun.Yara mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya lampu kamar yang temaram. Wajah Oliver yang begitu dekat membuatnya terkejut.“Kamu kenapa? Kok bengong begitu?” tanya Yara dengan suara serak, masih setengah mengantuk
[Marshall, bisa datang ke rumahku sekarang juga? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.]Oliver menunjukkan pesan itu kepada Yara, yang membuat senyuman Yara mengembang lebar. Dan melihat istrinya tersenyum selebar itu, hati Oliver terasa menghangat, meski jauh di dalam hatinya ia mulai merasa waswas akan pertemuan Yara dengan Marshall nanti.“Sayang, lihat, ‘kan? Aku sudah kirim pesan ke Marshall,” ujar Oliver, “sekarang kamu boleh merasa sedikit lebih tenang.”Yara mengangguk kecil. Lalu ia mengulurkan kedua tangannya, memeluk pinggang Oliver dan menyandarkan kepala di dada bidangnya. “Terima kasih. Kamu memang suami terbaik. Aku beruntung punya kamu dan aku sangat mencintai kamu.”Mendengar kata-kata Yara tersebut, Oliver merasakan jantungnya berdebar-debar. Ia berusaha mengatur napasnya dan berbisik di telinga Yara, “Jangan menggombaliku terus menerus, Sayang. Aku jadi ingin memakanmu.”Yara terkekeh pelan. Ia mendorong dada Oliver dengan jari telunjuknya. “Ingat kata dokter? Kita
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, dokter akhirnya mengizinkan Yara pulang. Namun meski begitu, dokter mengharuskan Yara agar bedrest selama beberapa waktu. Dan hal itu membuat Oliver memutuskan untuk bekerja dari rumah demi menemani Yara di masa awal-awal kehamilannya.Dulu, ia sudah membuang banyak waktu di masa kehamilan Yara. Sehingga sekarang Oliver tidak ingin melewatkannya lagi dan ingin menjadi suami yang benar-benar selalu ada untuk istrinya kapanpun dibutuhkan.Kini Oliver baru keluar dari kamar mandi ketika melihat Yara tengah menatapnya dengan tatapan penuh permohonan, di atas kasur. Meski Yara tidak berkata apa-apa, tapi Oliver tahu bahwa wanitanya itu tengah menginginkan sesuatu.“Sayang, ada yang kamu inginkan, ya?” tanya Oliver sambil menghampiri ranjang. Lalu duduk di tepian, tepat di samping Yara yang sedang terbaring setengah duduk.Yara menghela napas panjang. Menatap Oliver dengan ragu-ragu, sebelum akhirnya ia mengangguk dan berkata, “Iya, aku menginginkan
Oliver akhirnya memutuskan membawa Yara keluar untuk menikmati udara segar. Dengan izin dokter, Oliver mendorong kursi roda yang diduduki Yara menuju taman rumah sakit yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran.“Sayang...,” panggil Oliver, yang membuat Yara mendongak ke belakang untuk menatapnya. “Kamu tahu nggak?”“Nggak.” Yara menggeleng polos, membuat Oliver tertawa.“Astaga... aku belum selesai.” Oliver mengusap wajah Yara dengan mesra sambil tertawa kecil. “Kamu tahu nggak? Bunga mawar itu memang indah, tapi kalah indah sama senyuman kamu.”Ya Tuhan... Yara merasakan pipinya memanas seketika saat mendengar gombalan Oliver yang terdengar cringe itu.Yara tertawa kecil, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Astaga, Oliver. Kalau orang lain dengar, mereka pasti bakal muntah karena dengar gombalan kamu.”“Biarin aja,” balas Oliver santai sambil terus mendorong kursi roda Yara. “Yang penting istriku tersenyum.”Yara kembali tertawa.Mereka berhenti di bawah pohon besar yang rindang. Caha
“Sayang, kamu mau ke mana?!” Oliver terlonjak dari tidurnya kala ia melihat Yara bangkit dari kasur.Yara yang tak menyadari bahwa suaminya sudah bangun, terkejut dan menoleh ke arah pria itu. “Aku cuma mau ke kamar mandi,” jawab Yara sambil meringis kecil.Oliver buru-buru beranjak dari sofa dan menghampiri ranjang pasien sambil mengomel, “Seharusnya kamu bangunin aku, Sayang. Bukannya malah melakukannya sendiri.”Yara terkekeh kecil melihat raut muka suaminya yang masih setengah mengantuk itu tapi dipaksakan untuk menunjukkan ekspresi tegas.“Kamu lagi tidur. Mana bisa aku ganggu tidur kamu,” gerutu Yara. Selama dalam penerbangan dari Maldives Oliver tidak tidur karena menemani Yara yang terus muntah-muntah. Jadilah sore ini Oliver ketiduran di sofa. Dan Yara tidak tega untuk mengganggu tidurnya.Oliver melepas infusan dari tiangnya. Lalu mengangkat Yara ke pangkuan. Secara spontan Yara mengalungkan lengannya di leher Oliver.“Kamu nggak boleh melakukan aktifitas berat dulu, walaupu