“Ng-nggak bukan begitu, aku cuma tanya doang.” Yara balas berbisik, walaupun dalam hati ia setengah menyetujui ucapan Oliver barusan. Lagi pula, siapa coba yang tidak mau bertemu dengan penyanyi yang selama ini lagu-lagunya selalu menemani hari-hari kita? “Aku mau menemui Papa dulu.” Oliver tiba-tiba berdiri dan beranjak pergi dengan ekspresi kesal di wajahnya. Awalnya Yara merasa kurang nyaman ditinggalkan hanya bersama ibu mertua, Tante Amarylis dan adik-adik Oliver yang baru saja tiba. Namun, pengalamannya sebagai traveller yang sudah mengunjungi lebih dari 10 negara itu membuat Yara mudah berbaur dengan orang-orang baru. Mereka mengobrol ringan, bercanda tawa, hal-hal kecil yang lucu selalu berhasil membuat Yara tertawa. Hingga perlahan-lahan, Jingga, Amarylis dan ketiga adik Oliver menyadari perbedaan antara Zara dan Yara. Tak lama kemudian Marshall yang sibuknya melebihi seoran
Oliver memperhatikan Zio yang tertidur pulas di atas kasur dengan balutan selimut putih. Padahal beberapa menit yang lalu anak itu masih aktif bermain. Dan biasanya Zio susah tidur cepat jika sedang asyik dengan dunianya. Namun, malam ini Yara berhasil menidurkan Zio lebih cepat dari dugaan. “Mama perhatiin, Yara kelihatan sayang banget sama Zio ya?” Oliver menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sedang menghampirinya. “Menurut Mama begitu?” “Apa menurut kamu nggak?” Oliver terdiam. Ia tidak ingin mengakui bahwa sebenarnya ia pun melihat Zio tampak jauh lebih ceria saat bersama Yara. “Kak...,” ucap Jingga dengan lembut seraya mengusap lengan Oliver. “Mama titip pesan, jangan menjadikan Yara sebagai bayangan Zara, ya? Mereka berdua orang yang berbeda. Yara akan sakit hati kalau kamu anggap sebagai Zara.” Mendengar ucapan ibunya tersebut, Oliver pun bergeming. Ia menarik napas pelan sebelum berkata, “Aku mau cari angin dulu,
Malam itu Yara terbangun dari tidurnya karena tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit dari kasur, mengecek Zio yang tidur nyenyak di sampingnya, sejenak. Lalu melangkahkan kakinya keluar kamar. Saat ia melewati kamar Oliver, sayup-sayup ia mendengar alunan musik piano yang menyentuh hati. Yara melihat pintu kamar Oliver tidak tertutup sepenuhnya. Akhirnya ia memutuskan mengintip dari celah pintu tersebut. Di dalam sana, terlihat Oliver sedang bermain piano dengan posisi membelakangi pintu. Yara mengerjap. Tak menyangka bahwa Oliver pandai bermain piano. Piano merupakan alat musik kesukaan Zara. Hati Yara tersentuh mendengar alunan musik romantis sekaligus pilu yang dimainkan Oliver. Hatinya ikut merasa sedih. Perasaan kehilangan yang dirasakan Oliver tergambar dalam musik tersebut. “Zara, aku merindukanmu. Aku rindu bermain piano bersamamu,” lirih Oliver setelah ia mengakhiri permainannya, yang masih
Pagi ini Yara mencoba memasak kembali untuk Oliver. Ia membuat omelet sesuai instruksi Lisa. Memasak ternyata jauh lebih menguras energi ketimbang traveling, pikir Yara.Tak berapa lama, Oliver turun ke meja makan dengan setelan kerjanya. Ia duduk di meja makan tanpa memuji kerja keras Yara yang sudah memasak omelet dengan susah payah.“Aku harap kali ini aku nggak gagal,” ucap Yara setelah menaruh makanan di hadapan Oliver. Lalu duduk berseberangan dengan pria itu. Menanti reaksi Oliver setelah mencoba makanannya.Namun, tepat di suapan pertama, Oliver terbatuk dan menghentikan makanannya. Yara terkejut, dengan segera ia menyerahkan segelas air putih.“Oliver, kenapa? Apa makanannya nggak enak?” tanya Yara dengan cemas.Oliver mengembuskan napas kasar, menaruh sendok ke atas piring dengan keras. “Aku sarapan di luar saja,” katanya, dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengucapka
Perjalanan menuju bandara diisi oleh keheningan. Atmosfer di antara mereka terasa canggung. Oliver lebih memilih sibuk dengan pekerjaannya di laptop dalam pangkuan, ketimbang mengajak ngobrol Yara yang duduk gelisah di sampingnya. Yara tidak suka dan tidak terbiasa berada di keheningan. Oliver baru menutup laptop ketika sang sopir mengabarkan bahwa mereka sudah tiba di bandara. Begitu mereka tiba di lounge, Yara masih terdiam, berusaha menenangkan dirinya di tengah keheningan yang sejak tadi mengikat mereka. Namun, ketegangan itu langsung terasa bertambah saat Wanda muncul di hadapan mereka. Dengan senyum lebarnya yang tampak ramah namun berkesan tajam, Wanda menghampiri Oliver terlebih dahulu. “Tuan!” Wanda menyapa dengan ceria. “Segala persiapan untuk penerbangan sudah saya urus sampai selesai.” “Bagus. Kamu memang cekatan,” timpal Oliver sambil duduk di sofa.
“Kamu boleh bermain sendiri, kalau kamu mau, tapi nggak boleh jauh dari resort.” Yara tercengang mendengar ucapan Oliver yang bernada tak berdosa itu. Ini acara liburan, seharusnya mereka menghabiskannya untuk bersenang-senang, bukan? Namun Oliver memilih menghabiskannya untuk pekerjaan. Padahal seingat Yara, dulu Zara sering bercerita bahwa ia dan Oliver sering pergi berlibur berdua. ‘Aku bukan Zara,’ batin Yara, mengingatkan dirinya sendiri bahwa Oliver tak ingin menghabiskan waktu berlibur dengannya. Mungkin jika itu Zara, Oliver akan mengabaikan pekerjaannya demi wanita itu. Setibanya di resort beberapa saat kemudian, Lucas sudah menunggu mereka di sana, membantu membawa barang-barang Oliver dan Yara ke dalam kamar. Suasana terasa canggung saat kini hanya ada Oliver dan Yara di dalam kamar yang sama. “Kita... akan tidur di sini? Berdua?” tanya Yara dengan ragu. “Iya,” jawab Oliver singkat seraya melepas kancing kemejanya. Melihat pemandangan tersebut, Yara jadi teringat uc
“Sudah dulu untuk pekerjaan hari ini. Kita lanjutkan lagi besok.” Oliver menutup laptop dan memijat pelipis yang terasa pening. “Anda nggak enak badan, Tuan?” tanya Wanda. “Hanya sedikit pusing.” “Mau saya bantu pijat kepalanya?” Wanda menunjukkan senyuman khawatir dan bersiap untuk berdiri ke belakang Oliver. Namun, Oliver menggeleng, membuat Wanda akhirnya duduk kembali. “Nggak perlu. Saya mau istirahat sebentar.” “Baik, Tuan. Jika Anda butuh bantuan, segera hubungi saya.” Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore saat Oliver mengecek arloji. Ia masuk ke kamar dan baru sadar bahwa ia tidak menemukan Yara di manapun. Ia telahmengabaikan Yara sejak tadi pagi. Sekarang, ke mana perginya perempuan itu? Oliver bertanya-tanya dalam hati. Ia menghela napa
“Pergi tanpa izin, bergaul dengan banyak pria dan terbang tanpa seizin dariku! Kamu pikir kamu bisa berbuat seenaknya, Yara?!” Oliver memarahi Yara setibanya mereka di resort. Kemarahan Oliver yang tiba-tiba itu membuat Yara tersentak. Di tengah kebingungannya, Yara mendengkus pelan. “Sudah aku bilang, aku nggak mau mengganggumu yang lagi fokus dengan pekerjaan, Oliver,” sanggah Yara, membela diri. “Bergaul dengan banyak pria? Mereka itu temanku, aku sudah biasa melakukan paralayang bersama mereka.” Rahang Oliver mengeras, ia meneguk segelas air putih dan menaruh kembali gelas ke meja dengan kasar. “Itu dulu, Yara, sebelum kamu menjadi istriku!” tukasnya, “sekarang seharusnya kamu lebih tahu diri dan tahu batasan sejauh mana kamu bergaul dengan laki-laki lain!” “Istri bayangan, kalau kamu lupa.” Emosi Yara mulai tersulut dengan kemarahan Oliver yang menurutnya tak masu
Yara menekan bel berulang kali, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan membuka pintu dari dalam. Mungkin dirinya datang di waktu yang tidak tepat, pikir Yara. Mungkin saja saat ini Zara sedang pergi.Karena tak kunjung mendapat sahutan, Yara akhirnya berbalik untuk kembali kepada suaminya yang menunggu di lobi.Namun, belum lima langkah Yara berjalan, pintu di belakangnya tiba-tiba terbuka, membuat langkah kaki Yara seketika terhenti.“Siapa?”Yara tertegun kala mendengar suara yang barusan bertanya kepadanya. Nada suaranya terdengar datar, seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup.Setelah memantapkan hatinya, Yara pun berbalik menghadap orang itu, yang tak lain adalah Zara. Yara bisa melihat Zara terkejut saat menatapnya.“K-Kamu...,” bisik Zara dengan lirih. Matanya membulat, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Hai!” Yara berusaha menampilkan senyumnya dengan canggung. “Apa kabar? Boleh aku masuk?”Zara terdiam sejenak, membuat Yara merasa bahwa adiknya itu ak
Oliver menatap Yara yang tengah terlelap dengan damai. Senyuman Oliver mengembang lebar melihat betapa cantik dan polos wanitanya itu, seperti bayi yang tidak berdosa. Deru napas Yara terasa halus, membuat Oliver merasakan ketenangan yang hanya didapatkan di kala sedang bersama Yara. “Sayang, bangun,” bisik Oliver nyaris tak terdengar, seolah enggan mengganggu tidur sang istri. Ia menyapukan jemarinya di pipi yang terasa halus di bawah sentuhannya itu. Mata Yara perlahan bergetar, lalu terbuka hingga Oliver bisa menatap mata coklatnya yang indah. Tatapan mata Yara selalu membius Oliver, hingga ia merasa jatuh cinta lagi dan lagi pada orang yang sama setiap waktu. “Sudah siang? Jam berapa sekarang?” tanya Yara dengan suara serak sembari menggeliatkan tangannya ke atas. “Baru jam tujuh, Sayang,” jawab Oliver sambil tersenyum. Sontak, mata Yara terbelalak. “Jam tujuh? Astaga... kenapa kamu nggak bangunin aku? Aku harus pergi ke kantor! Ini gara-gara kamu nggak ngebiarin aku tidur t
“Sayang, hari ini aku mau ngajak kamu pacaran dulu ,” kata Oliver setelah kendaraan yang mereka tumpangi berlalu dari rumah Rianti.Tampak kerutan di kening Yara. “Pacaran?” tanyanya tak percaya.“Mm-hm.” Oliver mengangguk, ia meraih tangan Yara dan menggenggamnya, sementara tangan yang lain memegangi stir. “Banyak waktu kita yang terbuang di masa lalu, Sayang. Kita bahkan nggak sempat pacaran dulu. Jadi mulai sekarang, kita harus sering meluangkan waktu untuk berkencan berdua, tanpa anak-anak.”Mendengarnya, Yara pun terkekeh kecil. ia beringsut mendekati suaminya, menyandarkan kepala di bahu bidang pria itu. “Bukankah sekarang kita sedang pacaran?”“Iya, tapi kayak gini saja nggak cukup.”“Lalu? Memangnya kamu mau apa lagi?”“Yaa pacaran seperti orang kebanyakan, lah.” Oliver melabuhkan kecupan mesra di puncak kepala Yara. “Aku mau mengajakmu pergi ke suatu t
Genggaman lembut di tangan mengeluarkan Yara dari lamunannya. Yara menoleh dan mendapati suaminya tengah menatapnya sambil tersenyum manis. Senyuman yang membuat Yara lupa bagaimana caranya bernapas.“Kita sudah sampai, Sayang,” ucap Oliver.“Oh?”Yara mengerjap, ia menoleh ke sisi kiri dan baru menyadari bahwa kini mereka berada di halaman rumah ibunya, Rianti.“Sudah sampai ternyata,” gumam Yara sembari hendak melepas sabuk pengaman. Namun, Oliver sudah melakukannya lebih dulu untuknya.“Kamu lagi mikirin apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu banyak melamun.” Oliver menatap Yara dengan sorot matanya yang dalam dan membius.Tatapan itu membuat jantung Yara berdebar-debar. Yara menghela napas panjang. “Aku cuma lagi mikirin gimana pertemuan aku dan Zara nanti,” ujarnya dengan tatapan menerawang. “Kami saudari kembar, tapi rasanya kami seperti orang asing. Ada
“Aku masak sup kesukaan kamu,” kata Yara sambil memeluk Oliver dari belakang. Mereka berjalan menuju dapur dengan posisi seperti itu setelah Oliver berhasil lolos dari dua bocah kecil yang sejak tadi mengerumuninya.Oliver mengerutkan kening, sedikit terkejut. Tangannya menggenggam tangan Yara yang melingkar di depan perutnya.“Whoaa serius? Aku nggak sabar mau coba,” kata Oliver sembari tersenyum lebar.Yara terpaksa melepaskan pelukannya saat tiba di meja makan. Si kembar berlarian menuju meja makan sambil tertawa, lalu sama-sama memeluk kaki ayahnya di kiri dan kanan.Oliver kemudian mendudukkan mereka di kursi berdampingan, lalu Oliver duduk di kursi utama dan menuangkan makanan khusus anak-anak ke piring mereka masing-masing. Sementara itu Yara yang duduk di samping Oliver, berhadapan dengan si kembar, menyiapkan roti panggang dan sup untuk Oliver.Yara menatap Oliver dengan penuh harap saat pria itu mengambil sendok pertama supnya.Oliver memasukannya ke mulut, mengunyah perlaha
Yara tersenyum bahagia melihat Airell dan Arthur berlarian di ruang tengah dengan riang. Saat ini mereka sudah berada di rumah baru Oliver setelah pindah beberapa hari yang lalu.Anak-anak terlihat bahagia sekali. Apalagi saat mereka melihat ruangan khusus bermain yang dipenuhi mainan anak laki-laki dan perempuan. Tak hanya itu, bahkan Oliver menyediakan kolam renang dengan fasilitas lengkap seperti perosotan dan ember tumpah.Selain itu ada lapangan bola basket dan sepak bola di halaman belakang. Fasilitas lengkap yang disediakan membuat anak-anak betah bermain di rumah. Yara merasa bersyukur, terharu dan juga bahagia dengan segala fasilitas yang Oliver berikan untuk mereka.Oliver juga membawa Zio pindah ke rumah ini, dan tentu saja Yara tidak keberatan. Bagaimanapun, Zio adalah keponakannya sendiri, ia menyayangi anak itu seperti anaknya. Namun hari ini, Zio sedang tidak ada di rumah. Anak berusia 8 tahun itu kini berada di rumah Jingga. Meski tahu Zio bukan anak kandung Oliver, ta
Yara tertegun kala melihat banyaknya bukti yang dikumpulkan Oliver mengenai kepalsuan video yang dikirimkan Leonard. Lantas, Yara menatap Oliver dengan mata berkaca-kaca.“Oliver...,” panggilnya lirih, yang membuat Oliver membuka matanya. Kini mata yang indah dan menghipnotis itu menatap Yara dengan lembut. “Tanpa kamu mengumpulkan semua bukti ini juga aku sudah percaya sama kamu, Oliver. Tapi terima kasih, aku sangat menghargai usaha kamu.” Yara tersenyum penuh haru.Oliver menegakkan punggungnya yang semula bersandar di sofa. Lalu memutar tubuh, menghadap Yara sepenuhnya yang duduk di sampingnya.“Aku tahu kamu mempercayaiku, Sayang,” kata Oliver sembari menangkupkan sebelah tangan di pipi kiri Yara. “Tapi aku juga ingin membuktikan padamu bahwa aku nggak pernah mengkhianati kamu selama kamu pergi.”Yara mengangguk. Ia mendekati Oliver, melingkarkan kedua tangan di pinggang pria itu dan menenggelamkan wajah di dada bidangnya. “Aku makin percaya sama kamu. Sekali lagi, terima kasih.”
“Oliver, ada yang mau aku bicarakan.” Yara berusaha mendorong dada bidang Oliver agar pria itu menghentikan aktifitasnya.Namun, sepertinya Oliver tak ingin berhenti. Ia justru malah memperdalam ciumannya, membuat Yara kewalahan. Oliver mengungkung Yara di kursi penumpang dengan mesin mobil yang masih tetap menyala. Pagi ini ia kembali mengantarkan Yara ke Infinity Events setelah sebelumnya mereka mengantar anak-anak ke sekolah.“Tentang?” tanya Oliver akhirnya setelah beberapa saat kemudian. Pria itu dengan enggan menjauhkan wajah mereka.“Leonard.”“Leonard?” Sontak, Oliver menatap Yara dengan kening berkerut. “Kenapa dengan laki-laki itu? Dia mengganggumu lagi?”Yara menggeleng, ia menangkup rahang suaminya yang kasar di bawah sentuhannya. “Nggak ada, kok,” timpalnya, “tapi semalam, aku dengar dari Airell, kalau Leonard yang memberitahu Airell bahwa kamu nggak sayang dia. Sepertinya Leonard waktu datang ke sekolah, memprovokasi Airell.”“Leonard pernah datang ke sekolah anak-anak?”
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Oliver tak kunjung pulang. Yara berkali-kali melirik jam dinding, perasaan khawatir mulai merayapi hatinya. Tak biasanya Oliver pulang sampai selarut ini, pikirnya.Tepat di saat yang sama, terdengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Yara buru-buru menaruh pakaian yang akan ia masukkan ke koper, lalu bergegas membuka pintu.Yara langsung menghela napas lega kala yang ia dapati adalah lelaki yang ia harapkan kedatangannya. Yara tersenyum lebar pada Oliver yang tengah menghampiri. Penampilan pria itu tampak sedikit kusut, tapi hal itu tidak mengurangi ketampanannya.“Oliver, kenapa baru pulang? Aku khawatir terjadi sesuatu pada—“Kata-kata Yara terhenti saat Oliver tiba-tiba menarik pinggangnya dan membungkam mulut Yara dengan bibirnya. Yara seketika lupa bagaimana caranya bernapas saat Oliver menggerakkan bibirnya dengan memberi sedikit penekanan. Lalu Oliver melumatnya dengan rakus seolah-olah bibir Yara adalah sesuatu yan