“Terima kasih. “ Kataku setelah Firroke membebaskan kami. Firroke mengangguk. Kami bergegas mendekati Esen dan Ashlyn untuk membantu. Tapi satu dari dua peri misterius yang datang bersama Flaresh telah bersama mereka.
Aku menatap peri yang berdiri di hadapan Esen dan Era yang terkubur sampai leher. Dilihat dari semua sisi, tidak mungkin mengeluarkan mereka kecuali tanah di sekitar mereka digali. Apa yang bisa dilakukan peri ini?
Peri itu hanya memandang mereka berdua dalam diam. Lalu tiba-tiba kegelapan ganjil kembali datang menyelimuti kami. Ashlyn dan Esen menatapnya tanpa berkedip. Lalu tiba-tiba mereka berdua melayang menembus tanah seakan mereka arwah dan berdiri di hadapan kami dalam keadaan bebas. Kami semua tercengang dan kehilangan kata untuk diucapkan.
“Te, terima kasih.” Ucap Ashlyn terbata pada akhirnya. Peri itu mengangguk dan membalikkan badan, kembali ke tempat Flaresh berada.
“Bagaimana keadaan kalian? Apa luk
“Kau sudah merasa lebih baik?” Tanyaku pada Lynx. Lynx mengangguk. Ia meraih minuman yang diberikan oleh Tyh dan meneguknya perlahan-lahan.Setelah kami semua diobati oleh Tyh. Sekarang kami sedang menikmati minuman hangat yang diracik olehnya. Rasanya sedikit pahit, tapi setelah beberapa lama minuman itu memberi kehangatan dalam tubuh dan mengembalikan tenaga. Aku merasa lebih segar.“Jadi makhluk api yang tadi itu Lynx? “ Tanya Esen ke Flaresh. Alih-alih bertanya pada Lynx langsung ia bertanya pada Flaresh. Flaresh hanya mengangguk sebagai jawaban.“Jadi kau itu sebenarnya apa?” Kali ini ia bertanya pada Lynx.“Aku Lynx.”“Kau lynx yang bernama Lynx? “Lynx mengangguk.“Bukankah itu sama seperti memberi nama kucingku Kucing? “Lynx melirik tajam padaku.“Apa kau samakan aku dengan peliharaanmu? “Aku meringis.&ldquo
Kami baru saja menyeberangi Sungai Sendalu. Kugunakan waktu menunggu teman-temanku yang menyeberang sambil memperhatikan jalan masuk Lembah Dalu lebih seksama.Saat kami di pinggir Hutan Sendalu tadi, jalan memasuki Lembah Dalu tampak biasa saja. Hanya sebuah lembah gelap di bawah langit malam dengan siluet berbagai macam tanaman disana sini. Tapi kali ini, saat kami benar-benar akan memasukinya, aku bisa merasakan suasana magis yang sangat kental dan khidmat yang membuatku secara otomatis menjaga sikap. Aku merasa seakan sedang memasuki tempat ibadah atau tempat suci.“Tidakkah kita butuh penerangan?” Bisik Firroke. Aku menatap sekelilingku lalu menatap bulan yang tiba-tiba tertutup awan.Apa yang dikatakannya benar. Jarak pandang kami terbatas di kegelapan ini. Aku khawatir kami salah jalan atau menabrak sesuatu.“Itu tidak perlu.” Kata Flaresh yang tepat berada di depanku sambil kembali melangkah. Aku mengikutinya sembari ingin menanyakan alasannya saat kemudian alam yang menjawab p
Kami mengikuti Tyh yang berjalan cepat tanpa bersuara di antara bayangan. Baru kusadari bahwa sepanjang perjalanan kami tidak melihat satu peripun. Bahkan pemukiman atau hewanpun tidak. Seakan tidak ada kehidupan disini.Aku menabrak Flaresh yang tiba-tiba berhenti karena terlalu sibuk menoleh kesana kemari melihat sekelilingku. Dari balik bahunya kuintip apa yang menyebabkan kami berhenti. Agak jauh di depan, Tampak Tyh sedang berdiri tidak bergerak. Dari tempatku berdiri aku berusaha melihat apa yang sebenarnya sedang ia kerjakan. Tapi tak lama kemudian ia menoleh ke arah Flaresh sambil mengangguk.Flaresh membalikkan badannya dan berbicara pada kami.“Tinggalkan kuda dan barang kalian di sini.” Ia meletakkan barang bawaannya di atas kuda yang sedari tadi dituntunnya.Kami saling berpandangan lalu memandang sekeliling kami yang sunyi.“Jangan khawatir. Akan ada prajurit yang menjaga.” Kata Asra yang sampai kini belum kami ketahui namanya sambil berjalan ke depan. Saat itulah tiba-ti
“Oh, halo.” Seorang peri kurus dengan rambut berwarna putih muncul dari balik pintu di samping rak besar.“Pa, oh, penyembuh.” Sapa Tyh sambil membungkuk.“Apa yang bisa kubantu?” Tanya peri itu dengan wajah berseri. Matanya yang berbinar mengingatkanku pada anjing yang jinak. Jelas-jelas sebuah bayangan yang kontras dengan bayanganku sebelumnya tentang sosok Asra yang misterius.Tyh menggerakkan kepalanya hampir tak kentara, menyelidiki sudut ruangan.“Apakah anda sendirian?”“Ya. Aku menugaskan para penyembuh muda untuk mencari bahan obat. Ada apa?”“Saya membawa beberapa peri yang terluka.”“Beberapa?”Ia menatap kami satu persatu dengan seksama selama beberapa saat dengan penuh rasa ingin tahu.“Ah, kita kedatangan tamu rupanya.” Kata peri itu akhirnya menyadari situasi yang terjadi. Ia menunjuk Lynx lalu menunjuk kursi di depan meja. “Duduklah.”Lyn dengan patuh duduk di kursi. Peri itu mulai memeriksa Lynx dengan seksama. Beberapa kali alisnya berkerut.“Apa yang terjadi?”“Kami
Terdengar bunyi tirai dibuka lalu aku bisa merasakan cahaya mentari yang hangat menimpaku. Kemudian seseorang mengguncang bahuku.“Bangun dan bersihkan badanmu.” Suara Flaresh.Aku menggeliat sambil berusaha membuka mataku yang lengket.“Biarkan aku tidur sebentar lagi.” Sekujur tubuhku masih terasa kaku dan sakit. Rasanya aku hanya ingin berbaring dan bermalas-malasan sedikit lebih lama lagi.“Kau sudah dua hari tidur. Apa kau ingin mati sekalian?”Aku mendengus lalu membelakanginya.“Baiklah.” Kata Flaresh dengan nada datar. “Jangan salahkan kami jika kau tidak mendapatkan makanan.”Dan seperti diberi aba-aba perutku tiba-tiba berbunyi. Aku mengerang lalu berguling dan bangkit duduk dengan kaki menggantung di sisi tempat tidur. Kuusap wajahku sambil memperhatikan sekelilingku.Matahari tampak bersinar cukup terik. Jadi mungkin sekarang sudah agak siang. Ashlyn tampak rapi duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja besar. Di hadapannya terhidang banyak makanan. Di tempat tidur
Raja Wengi memasuki ruangan dengan diiringi Penyembuh Kepala. Sebuah hal yang tidak terduga.Kami semua berdiri menyambutnya.“Duduklah.” Katanya setelah ia duduk di kursinya. Kami semua duduk kecuali Penyembuh Kepala yang berdiri di samping kanannya dan Sanja yang berdiri di samping kirinya. Ia menyatukan jemarinya dan meletakkan tangan di atas meja.“Jadi, apa yang membuat kalian menemui kami?”Aku merogoh surat dari Ratu Samirana dan menyerahkannya pada Raja Wengi. Ia menerima dan membacanya, setelah itu menyerahkannya ke Penyembuh Kepala dan setelah si penyembuh selesai meneruskannya ke Sanja.Selama beberapa lama kami semua terdiam dengan gelisah sampai Sanja mengangguk dan menyerahkan suratnya kembali padaku.“Jadi kalian dari dunia manusia?” Tanya Penyembuh Kepala.Aku dan Ashlyn mengangguk.“Dan kalian anak Ratu Samirana dan Lord Caelus?” Si kembar mengangguk.“Dari mana Anda tahu?” Tanya Esen heran.“Ratu Samirana menyebutkannya dalam surat tadi.”Aku tersenyum. Ratu Samiran
“Kita berpisah di sini.” Kata Flaresh datar. Aku menatapnya.“Kau tidak ikut kami?” Tanyaku.“Lynx akan menemani kalian.”Tanpa mengucapkan kata-kata lain lagi ia menaiki kudanya dan pergi. Aku menatap sosoknya yang menjauh.Ia tidak berpamitan, ia tidak mengucapkan kata-kata perpisahan. ia tidak mengucapkan kata-kata yang umumnya diucapkan seorang teman yang berpisah setelah kebersamaan yang lama.Tapi dia Flaresh. Jadi aku rasa dia pergi setelah perbincangan kecil kami tadi sudah lebih dari cukup.“Ayo.” Kata Lynx sambil menepuk punggungku. Aku mengangguk dan mengikutinya memasuki Hutan Seda. Di atas kepala Misu, Firroke duduk dengan kaki terayun santai sambil menggumamkan nada ceria. Sepertinya ia bahagia karena pulang ke rumahnya. Di samping Lynx, Esen berjalan dengan langkah riang sambil menatap berkeliling dengan antusias, tak urung membuatku melakukan hal yang sama.Akhirnya aku kembali ke Hutan Seda.Sebersit perasaan lega melintas di dadaku, seakan aku pulang kembali ke rumah
“Selamat pagi.” Aku menutup pintu di belakangku dan menyapa Lynx yang sedang berdiri menatap ke hamparan Hutan Seda di bawah pohon tempat kami tidur. Ia berpaling padaku lalu mengangguk.“Aku diperintahkan Raja Narawana untuk mengantarmu berkeliling Hutan Seda.”“Bukankah aku harus berlatih?”“Raja Narawana memiliki hal mendesak yang harus dikerjakan. Jadi untuk sementara kau akan kutemani.”Aku mengerutkan alis.“Jangan khawatir. Berkeliling Hutan Seda akan meningkatkan stamina dan kekuatan fisikmu yang akan berguna sebagai bekalmu berlatih nanti.”Aku meringis mendengar kata-kata latihan fisik dari mulut Lynx.“Kau sudah siap?” Tanyanya. Aku mengangguk lalu melongok ke kamar sebelah yang pintunya tampak tertutup rapat.“Bagaimana dengan Esen? Aku tidak melihatnya. Apakah ia akan ikut dengan kita?”“Ia bersama Ghadhanfar.”Aku mengangguk sambil mengatakan “Oh” pendek. Sepertinya berlatih dengan Ghadhanfar akan lebih menyiksa.“Ayo.”Aku mengikuti Lynx yang berjalan dengan langkah r
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua
“Kau tidak apa-apa?” Esen menatapku penuh kekhawatiran saat akhirnya aku menarik tanganku dari wajah. “Seharusnya.” Aku menjawab dengan ragu. Kami berdua terdiam lagi hingga cukup lama. “Jadi kau bisa mendengarkan pikiranku tadi?” “Sepertinya.” “Tapi bagaiimana caranya? Kan kita tidak saling bersentuhan.” “Aku juga tidak tahu. Ini tidak seperti biasanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus berusaha berpikir jernih. “Apa yang kau lakukan tadi saat aku mendengar pikiranmu?” “Aku memeriksa bekas cakaran di dahan pohon.” “Bagaimana tepatnya kau memeriksanya?” “Aku menyentuhnya.” Dan dengan kompak kami saling pandang. “Tidak mungkin.” Aku masih tidak percaya. “Sepertinya begitu.” Kata Esen sambil mengangguk meyakinkan. “Tapi,” “Bagaimana kalau kita coba lagi?” “Ha?” Esen meletakkan tangannya di batang pohon tadi. “Coba tebak apa yang aku pikirkan.” Aku memandangnya memastikan ke kesungguhannya. Ia mengangguk menyemangatiku. “Tidak ada salahnya mencoba bukan?” Ben
Aku mengulurkan tangan menyentuh batang pohon yang berkulit kasar dan berbenjol di sana sini. Ada getah setengah kering yang merembes dari tiga buah sayatan agak dalam yang posisinya tidak lebih tinggi sedikit dari mataku. Mungkin cakaran hewan. Dengan posisi setinggi ini artinya hewannya besar. Semoga aku tidak perlu bertemu dengannya hari ini.Aku kembali meraba dan merasakan permukaan kasar dibawah jemariku. Dengan tangan masih menempel di batang pohon, aku menutup mata mencoba mendengarkan sekitarku.Telinga dan benakku menangkap bunyi yang sama. Desau angin, bunyi gesekan dedaunan yang menenangkan serta bunyi serangga dan bermacam kicau burung yang berbeda-beda. Bebunyian khas musim panas.Aku berusaha berkonsentrasi lebih dalam dan berusaha mengacuhkan bebunyian yang kudengar di telingaku. Namun tidak ada perubahan. Yang kudengar masih sama. Tidak ada suara lain.Aku mendesah dan berjalan ke pohon yang lain. Lalu mengulangi usahaku sebelumnya. Aku bisa merasakan matahari yang s
“Sekarang tutup mata kalian.”Aku dan Esen saling pandang sesaat lalu menuruti apa yang diperintahkan Raja Narawana.“Ghadanfar.” Terdengar suaranya yang beerat memanggil Ghadanfar.“Ya Yang Mulia.”“Pergilah.”Tidak ada jawaban. Aku membayangkan Ghadanfar yang menjawab perintah Raja Narawana hanya dengan anggukan hormat.“Buka mata kalian.” Lanjutnya kemudian.Kami membuka mata dan hanya disambut oleh sosok tinggi Raja Narwana. Ghadanfar tidak terlihat dimanapun. Sepertinya ia telah pergi sesuai dengan perintah Raja Narawana.“Esen, aku ingin kau mencari dan menemukan Ghadanfar. Aku memberimu waktu sampai sebelum matahari terbenam.” Kata Raja Narawana sambil menatap Esen. “Ia akan memberikanmu sebuah benda sebagai bukti bahwa kau berhasil menemukannya.”“Tapi apa hamba sanggup menemukan Ghadanfar di hutan seluas ini sebelum matahari terbenam?”“Tentu saja kau tidak akan sanggup.”Esen memasang tampang merajuk yang sangat jarang kulihat. Mau tak mau aku tersenyum.“Lalu, apakah Anda
Aku membuka pintu kamarku dan langsung disambut wajah ceria Esen.“Kau tidak ada latihan hari ini?” tanyaku padanya. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu karena ia sibuk berlatih dengan Ghadanfar sedangkan aku sibuk bermain dan berkeliaran kesana kemari dengan kucing apiku. Sebutanku pada Lynx yang tentu saja hanya ada dalam pikiranku.“Kata Ghadanfar hari ini kita akan menemani Raja Narawana.”Jantungku seketika berdegup lebih kencang.“Benarkah?”“Ya. Itulah mengapa ia memintaku untuk memanggilmu.”“Akhrnyaaa..”Esen memandangiku dengan pandangan bertanya.“Sementara kau berlatih sampai tulangmu akan lepas, aku sama sekali belum berlatih, Esen.”Esen menggaruk kepalanya sambil meringis.“Aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak mendengar perkataanmu. Ghadanfar benar-benar tidak tanggung-tanggung dalam melatihku. Sampai-sampai itu lebih mirip siksaan daripada latihan.”Aku tersenyum dan meninju dadanya pelan.“Tapi kau senang bukan?”Esen mengangguk dengan mata berbinar.“Baikla
“Apa kau tidur?”Aku membuka mata dan menatap sesosok burung berwarna putih melayang di atas kepalaku. Kutegakkan tubuhku. Burung itu berputar di angkasa satu kali lalu dengan sebuah desiran halus ia mendarat di atas salah satu daun teratai besar di dekatku dan berubah menjadi seorang peri wanita bertubuh ramping dan mungil. Dulu aku pernah bertemu dengannya saat pertama kali tiba di sini. Namanya,“Aku Ava.” Kata peri itu seakan bisa mengetahui pikiranku.Ah, benar.“Apakah kau menemui kesulitan dengan tugasmu?” Tanyanya. Dengan santai ia duduk di atas daun teratai tadi sambil memainkan kakinya yang terjulur ke danau.“Kau tahu tugasku?” Tanyaku dengan heran.“Tentu saja. Itulah mengapa aku diminta kemari untuk melihat sejauh apa perkembanganmu.”Aku mengangguk sambil memandanginya yang duduk santai di atas daun teratai.“Ada apa?”“Ah, itu..” aku masih tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Ia punya ilmu meringankan tubuh atau bagaimana sih kok bisa-bisanya ia duduk di atas dau