Terdengar bunyi tirai dibuka lalu aku bisa merasakan cahaya mentari yang hangat menimpaku. Kemudian seseorang mengguncang bahuku.“Bangun dan bersihkan badanmu.” Suara Flaresh.Aku menggeliat sambil berusaha membuka mataku yang lengket.“Biarkan aku tidur sebentar lagi.” Sekujur tubuhku masih terasa kaku dan sakit. Rasanya aku hanya ingin berbaring dan bermalas-malasan sedikit lebih lama lagi.“Kau sudah dua hari tidur. Apa kau ingin mati sekalian?”Aku mendengus lalu membelakanginya.“Baiklah.” Kata Flaresh dengan nada datar. “Jangan salahkan kami jika kau tidak mendapatkan makanan.”Dan seperti diberi aba-aba perutku tiba-tiba berbunyi. Aku mengerang lalu berguling dan bangkit duduk dengan kaki menggantung di sisi tempat tidur. Kuusap wajahku sambil memperhatikan sekelilingku.Matahari tampak bersinar cukup terik. Jadi mungkin sekarang sudah agak siang. Ashlyn tampak rapi duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja besar. Di hadapannya terhidang banyak makanan. Di tempat tidur
Raja Wengi memasuki ruangan dengan diiringi Penyembuh Kepala. Sebuah hal yang tidak terduga.Kami semua berdiri menyambutnya.“Duduklah.” Katanya setelah ia duduk di kursinya. Kami semua duduk kecuali Penyembuh Kepala yang berdiri di samping kanannya dan Sanja yang berdiri di samping kirinya. Ia menyatukan jemarinya dan meletakkan tangan di atas meja.“Jadi, apa yang membuat kalian menemui kami?”Aku merogoh surat dari Ratu Samirana dan menyerahkannya pada Raja Wengi. Ia menerima dan membacanya, setelah itu menyerahkannya ke Penyembuh Kepala dan setelah si penyembuh selesai meneruskannya ke Sanja.Selama beberapa lama kami semua terdiam dengan gelisah sampai Sanja mengangguk dan menyerahkan suratnya kembali padaku.“Jadi kalian dari dunia manusia?” Tanya Penyembuh Kepala.Aku dan Ashlyn mengangguk.“Dan kalian anak Ratu Samirana dan Lord Caelus?” Si kembar mengangguk.“Dari mana Anda tahu?” Tanya Esen heran.“Ratu Samirana menyebutkannya dalam surat tadi.”Aku tersenyum. Ratu Samiran
“Kita berpisah di sini.” Kata Flaresh datar. Aku menatapnya.“Kau tidak ikut kami?” Tanyaku.“Lynx akan menemani kalian.”Tanpa mengucapkan kata-kata lain lagi ia menaiki kudanya dan pergi. Aku menatap sosoknya yang menjauh.Ia tidak berpamitan, ia tidak mengucapkan kata-kata perpisahan. ia tidak mengucapkan kata-kata yang umumnya diucapkan seorang teman yang berpisah setelah kebersamaan yang lama.Tapi dia Flaresh. Jadi aku rasa dia pergi setelah perbincangan kecil kami tadi sudah lebih dari cukup.“Ayo.” Kata Lynx sambil menepuk punggungku. Aku mengangguk dan mengikutinya memasuki Hutan Seda. Di atas kepala Misu, Firroke duduk dengan kaki terayun santai sambil menggumamkan nada ceria. Sepertinya ia bahagia karena pulang ke rumahnya. Di samping Lynx, Esen berjalan dengan langkah riang sambil menatap berkeliling dengan antusias, tak urung membuatku melakukan hal yang sama.Akhirnya aku kembali ke Hutan Seda.Sebersit perasaan lega melintas di dadaku, seakan aku pulang kembali ke rumah
“Selamat pagi.” Aku menutup pintu di belakangku dan menyapa Lynx yang sedang berdiri menatap ke hamparan Hutan Seda di bawah pohon tempat kami tidur. Ia berpaling padaku lalu mengangguk.“Aku diperintahkan Raja Narawana untuk mengantarmu berkeliling Hutan Seda.”“Bukankah aku harus berlatih?”“Raja Narawana memiliki hal mendesak yang harus dikerjakan. Jadi untuk sementara kau akan kutemani.”Aku mengerutkan alis.“Jangan khawatir. Berkeliling Hutan Seda akan meningkatkan stamina dan kekuatan fisikmu yang akan berguna sebagai bekalmu berlatih nanti.”Aku meringis mendengar kata-kata latihan fisik dari mulut Lynx.“Kau sudah siap?” Tanyanya. Aku mengangguk lalu melongok ke kamar sebelah yang pintunya tampak tertutup rapat.“Bagaimana dengan Esen? Aku tidak melihatnya. Apakah ia akan ikut dengan kita?”“Ia bersama Ghadhanfar.”Aku mengangguk sambil mengatakan “Oh” pendek. Sepertinya berlatih dengan Ghadhanfar akan lebih menyiksa.“Ayo.”Aku mengikuti Lynx yang berjalan dengan langkah r
Setelah satu hari yang melelahkan dengan diisi membangun jembatan dan perjalanan Panjang pulang ke pusat Seda, akhirnya pada hari kedua Lynx memutuskan untuk berkemah saja di desa para Hemaris.“Perjalanan kita terlalu membuang waktu dan tenaga. Lebih baik tenaga kita digunakan untuk membantu mereka.” Kata Lynx saat kutanya apa yang membuatnya memutuskan untuk menginap. Aku yang selama ini hanyalah pengikutnya hanya bisa setuju sekaligus pasrah. Pasrah karena dengan membantu para Hemaris itu artinya latihanku Bersama Raja Narawana akan semakin tidak jelas kapan waktunya.Lepas Tengah hari aku duduk di atas rerumputan dibawah pohon tilasa untuk beristirahat sambil memandang para Hemaris yang sepertinya tak pernah berhenti bekerja sambil mendengung riuh yang membuatku penasaran apa yang mereka bicarakan, atau mungkin mereka nyanyikan saat mereka bekerja hilir mudik dari satu pohon ke pohon lain sambil membawa madu dan nectar yang nantinya akan diolah menjadi Lasa. Gerakan mereka yang
Beberapa hari berlalu sejak terakhir kali aku dan Lynx mengunjungi desa para Hemaris yang penuh keceriaan dan kerja keras. Butuh waktu lima hari penuh bagi kami untuk dapat membangun kembali kerusakan yang terjadi di sana dan satu hari tambahan karena kami harus menunggu proses panen Lasa untuk dibawa ke Raja Narawana,Namun meskipun kami berhasil membawakannya Lasa, Raja Narawana masih terlalu sibuk untuk menemuiku, apalagi melatihku. Sehingga akhirnya Lynx kembali membawaku menjelajahi penjuru lain Hutan Seda. Melihat banyak hal, merasakan dan mendengar banyak hal yang membuatku akhirnya belajar banyak hal pula.Kali ini Langkahku mengikutinya berakhir di telaga yang dulu pernah kukunjungi saat pertama kali datang. Sebuah telaga yang indah yang permukaannya dihiasi lotus dan teratai yang menjadi tempat tinggal peri-peri dengan bentuk yang sama. Mereka peri kecil yang cantik dan tampak menggemaskan dengan pipi berwarna merah muda. Beberapa dari mereka tampak sedang bersantai di ata
Ini hari keempat kami singgah di telaga yang selalu lupa kutanyakan namanya pada Lynx. Saat ini, saat aku ingat untuk menanyakan apa nama telaga ini, ia menghilang entah kemana. Tapi menghilangnya Lynx memberikan aku waktu untuk bersantai. Setelah kenyang menghabiskan bekalku, aku berbaring dengan tubuh telungkup sambil memandang telaga. Hari hampir sore. Matahari sudah lebih condong ke barat, memberikan keteduhan dan kehangatan.Angin berhembus perlahan mempermainkan dedaunan dan bunga disekitar telaga. Nelofar yang sebelumnya bersembunyi saat aku pertama kali datang, kini tampak lebih berani menampakkan diri. Mungkin mereka menyadari bahwa aku bukanlah ancaman bagi mereka. Mereka melompat kesana kemari bermain diantara lotus dan Teratai tanpa suara. Tanpa saling sapa atau berbicara. Jika kuingat lagi, mereka tak pernah terlihat saling berkomunikasi.Sementara para Gachie yang selalu riang bermain dan berceloteh, kebalikan dari para nelofar, tampak terkantuk-kantuk di pinggir telaga
Aku sedang duduk dengan pikiran kosong ketika Ghadanfar dengan tubuh rampingnya yang menjulang tiba-tiba berdiri di sampingku tanpa suara. Saking terkejutnya, aku hampir jatuh dari tempat aku duduk. Beberapa peri yang sedang berjalan di dekatku sampai menghentikan langkah mereka karena melihat aksiku. “Maafkan aku mengejutkanmu.” Katanya sambil menyeringai. Mata kuning keemasannya berkilat jenaka. “Sepertinya kau tidak terlalu menyesal.” Kataku sedikit kesal karena ia berhasil membuatku terlihat seperti orang bodoh. Ghadanfar kembali menyeringai untuk menjawab protesku. “Lynx sedang melakukan tugas dari Raja Narawana. Untuk hari ini, ia ingin agar kau mencari lumut mossa di telaga Hayaa.” “Telaga Hayaa? Dimana itu?” Ghadanfar menatapku dengan heran. “Kau tidak tahu?” Aku menggeleng. Selama perjalananku melintasi hutan Seda aku telah melewati beberapa sungai dan telaga yang tidak repot-repot untuk diterangkan namanya oleh Lynx. Dan bodohnya aku yang tidakpernah bertanya."Meman