Ini hari keempat kami singgah di telaga yang selalu lupa kutanyakan namanya pada Lynx. Saat ini, saat aku ingat untuk menanyakan apa nama telaga ini, ia menghilang entah kemana. Tapi menghilangnya Lynx memberikan aku waktu untuk bersantai. Setelah kenyang menghabiskan bekalku, aku berbaring dengan tubuh telungkup sambil memandang telaga. Hari hampir sore. Matahari sudah lebih condong ke barat, memberikan keteduhan dan kehangatan.Angin berhembus perlahan mempermainkan dedaunan dan bunga disekitar telaga. Nelofar yang sebelumnya bersembunyi saat aku pertama kali datang, kini tampak lebih berani menampakkan diri. Mungkin mereka menyadari bahwa aku bukanlah ancaman bagi mereka. Mereka melompat kesana kemari bermain diantara lotus dan Teratai tanpa suara. Tanpa saling sapa atau berbicara. Jika kuingat lagi, mereka tak pernah terlihat saling berkomunikasi.Sementara para Gachie yang selalu riang bermain dan berceloteh, kebalikan dari para nelofar, tampak terkantuk-kantuk di pinggir telaga
Aku sedang duduk dengan pikiran kosong ketika Ghadanfar dengan tubuh rampingnya yang menjulang tiba-tiba berdiri di sampingku tanpa suara. Saking terkejutnya, aku hampir jatuh dari tempat aku duduk. Beberapa peri yang sedang berjalan di dekatku sampai menghentikan langkah mereka karena melihat aksiku. “Maafkan aku mengejutkanmu.” Katanya sambil menyeringai. Mata kuning keemasannya berkilat jenaka. “Sepertinya kau tidak terlalu menyesal.” Kataku sedikit kesal karena ia berhasil membuatku terlihat seperti orang bodoh. Ghadanfar kembali menyeringai untuk menjawab protesku. “Lynx sedang melakukan tugas dari Raja Narawana. Untuk hari ini, ia ingin agar kau mencari lumut mossa di telaga Hayaa.” “Telaga Hayaa? Dimana itu?” Ghadanfar menatapku dengan heran. “Kau tidak tahu?” Aku menggeleng. Selama perjalananku melintasi hutan Seda aku telah melewati beberapa sungai dan telaga yang tidak repot-repot untuk diterangkan namanya oleh Lynx. Dan bodohnya aku yang tidakpernah bertanya."Meman
Aku meletakkan tas ku di tempat yang teduh dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa suku nelofar melihat ke arahku lalu kembali sibuk dengan apa yang sedang mereka kerjakan sebelumnya, tahu aku tidak akan mengganggu mereka. Dan kontras dengan tindakan mereka, para gachie segera datang mendekatiku dengan antusias.“Aku harus melakukan tugas dari Raja Narawana. Jadi jangan ganggu aku.”Aku merogoh saku depan mantelku dan mengambil sebungkus kue kering manis berlapis lasa dan parutan kelapa kering pemberian koki kepala, hasil dari membantunya mencuci piring setelah makan malam.“Nanti kue ini akan kuberikan pada kalian jika kalian membantuku.”Para gachie mengangguk dengan mata berbinar-binar mendengar penawaranku. Aku segera melepas mantel dan sepatu. Mengikat rapat dan menyimpan kue tadi di dasar tasku, lalu melakukan sedikit peregangan, bersiap untuk segera terjun ke dalam telaga Hayaa.“Jaga tasku.” Teriakku ke para gachie yang sibuk bermain tak jauh dari tempatku berdiri.
“Apa kau tidur?”Aku membuka mata dan menatap sesosok burung berwarna putih melayang di atas kepalaku. Kutegakkan tubuhku. Burung itu berputar di angkasa satu kali lalu dengan sebuah desiran halus ia mendarat di atas salah satu daun teratai besar di dekatku dan berubah menjadi seorang peri wanita bertubuh ramping dan mungil. Dulu aku pernah bertemu dengannya saat pertama kali tiba di sini. Namanya,“Aku Ava.” Kata peri itu seakan bisa mengetahui pikiranku.Ah, benar.“Apakah kau menemui kesulitan dengan tugasmu?” Tanyanya. Dengan santai ia duduk di atas daun teratai tadi sambil memainkan kakinya yang terjulur ke danau.“Kau tahu tugasku?” Tanyaku dengan heran.“Tentu saja. Itulah mengapa aku diminta kemari untuk melihat sejauh apa perkembanganmu.”Aku mengangguk sambil memandanginya yang duduk santai di atas daun teratai.“Ada apa?”“Ah, itu..” aku masih tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Ia punya ilmu meringankan tubuh atau bagaimana sih kok bisa-bisanya ia duduk di atas dau
Aku membuka pintu kamarku dan langsung disambut wajah ceria Esen.“Kau tidak ada latihan hari ini?” tanyaku padanya. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu karena ia sibuk berlatih dengan Ghadanfar sedangkan aku sibuk bermain dan berkeliaran kesana kemari dengan kucing apiku. Sebutanku pada Lynx yang tentu saja hanya ada dalam pikiranku.“Kata Ghadanfar hari ini kita akan menemani Raja Narawana.”Jantungku seketika berdegup lebih kencang.“Benarkah?”“Ya. Itulah mengapa ia memintaku untuk memanggilmu.”“Akhrnyaaa..”Esen memandangiku dengan pandangan bertanya.“Sementara kau berlatih sampai tulangmu akan lepas, aku sama sekali belum berlatih, Esen.”Esen menggaruk kepalanya sambil meringis.“Aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak mendengar perkataanmu. Ghadanfar benar-benar tidak tanggung-tanggung dalam melatihku. Sampai-sampai itu lebih mirip siksaan daripada latihan.”Aku tersenyum dan meninju dadanya pelan.“Tapi kau senang bukan?”Esen mengangguk dengan mata berbinar.“Baikla
“Sekarang tutup mata kalian.”Aku dan Esen saling pandang sesaat lalu menuruti apa yang diperintahkan Raja Narawana.“Ghadanfar.” Terdengar suaranya yang beerat memanggil Ghadanfar.“Ya Yang Mulia.”“Pergilah.”Tidak ada jawaban. Aku membayangkan Ghadanfar yang menjawab perintah Raja Narawana hanya dengan anggukan hormat.“Buka mata kalian.” Lanjutnya kemudian.Kami membuka mata dan hanya disambut oleh sosok tinggi Raja Narwana. Ghadanfar tidak terlihat dimanapun. Sepertinya ia telah pergi sesuai dengan perintah Raja Narawana.“Esen, aku ingin kau mencari dan menemukan Ghadanfar. Aku memberimu waktu sampai sebelum matahari terbenam.” Kata Raja Narawana sambil menatap Esen. “Ia akan memberikanmu sebuah benda sebagai bukti bahwa kau berhasil menemukannya.”“Tapi apa hamba sanggup menemukan Ghadanfar di hutan seluas ini sebelum matahari terbenam?”“Tentu saja kau tidak akan sanggup.”Esen memasang tampang merajuk yang sangat jarang kulihat. Mau tak mau aku tersenyum.“Lalu, apakah Anda
“Huh, dasar Ibu.” Gerutuku.Aku berjalan cepat sambil menghentakkan kaki di setiap langkah. Tanganku menyingkirkan dahan, ranting dan daun yang sesekali menutupi jalanku dengan kesal. Kususuri jalan setapak di hutan kecil di belakang rumah Nenek dan berjalan menuju danau yang ada di sisi lain hutan.Ibu menyembunyikan komikku. Lagi. Kata ibu aku harus melakukan kegiatan di luar rumah daripada membaca komik. Padahal aku baru saja membeli komik edisi terbaru.Apa ibu tidak tahu hari ini panas sekali? Kenapa aku harus bermain di luar sih.Aku terus menggerutu sambil berjalan tak tentu arah. Langkahku terhenti saat tiba-tiba aku mencapai ujung tanah yang kupijak. Di bawah sana, terhampar danau Emrys yang airnya terlihat biru, tenang dan berkilaun.Kesal, kutendang keras-keras batu di dekat kakiku sampai terlontar jauh. Batu-batu kerikil di sekitarnya ikut bergulir jatuh. Kuhentakkan kakiku dan berbalik hendak per
Aku meletakkan beberapa buku terakhir di rak paling atas. Kupandangi deretan-deretan buku yang baru saja kutata dengan rasa puas. Kusapu satu persatu punggung buku yang berwarna warni dengan jari-jariku. Kutelusuri huruf-hurufnya yang membentuk kata dan kalimat. Buku selalu memberiku kedamaian. Dengan buku aku tidak perlu khawatir tahu terlalu banyak saat menyentuhnya. Dengan buku aku tidak perlu takut mengetahui hal yang tidak perlu aku ketahui. Buku tidak akan membisikkan satu katapun kedalam benakku tanpa seizinku. Itulah kenapa, saat aku lulus kuliah, aku memilih bekerja di perpustakaan terbesar di kota ini. Bekerja di perpustakaan membuatku bertemu lebih sedikit orang daripada jika harus bekerja di tempat lain. Lagipula, kalau aku tidak sengaja mendengar pikiran orang lain di tempat ini, apa yang ada di pikiran mereka tidak pernah jauh dari buku yang mereka baca. Jadi hal itu membuatku merasa sedikit lebih nyaman dan mengurangi rasa bersalahku. S