"Memalukan, dia sama seperti ibunya yang hanya merongrong kekayaan dari keluarga besar Ravindra!"
Tatapan tajam ke arah Alice begitu tiba di aula pernikahan sang kakak.Perasaannya jelas semakin tidak menentu.
Namun, tubuhnya seakan tidak mampu untuk bergerak kala melihat pemandangan yang membuat ulu hatinya terasa nyeri.
"Adikku sudah datang? Ke marilah! Kamu harus tahu siapa yang saat ini menikah dengan kakak meski kakak yakin kakak tidak perlu memperkenalkannya padamu."Ucapan Frederica yang penuh kebanggaan itu membuat Alice tertegun.
"Adakah yang bisa menjelaskan ini semua padaku?"Pertanyaan yang sejak tadi ada di benaknya, akhirnya mampu ia keluarkan."Tidak ada yang perlu menjelaskan padamu. Kamu sudah melihat, hari ini adalah hari yang bahagia untuk keluarga besar Ravindra dan keluarga Evander," sahut sepupunya yang lain, bertingkah bak juru bicara keluarga Ravindra.Menahan tangis. Alice pun beralih pada kekasihnya, pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang akan mengatakan bahwa semuanya tidak benar.Sayangnya, saat ini, Albert seolah-olah menjadi patung yang hanya diam menatap ke arahnya, seolah membenarkan dirinya sudah menjadi suami dari kakak sepupunya.Sebenarnya, kakak sepupu hanyalah sebuah kata untuk menutupi kebenaran yang ada.Federica adalah putri dari ayahnya dengan ibu yang berbeda, tetapi perlakuan mereka tidak sama karena Alice tidak diakui keluarga Ravindra.
Meski demikian, Alice selalu menganggap Federica sebagai sahabat sekaligus saudaranya.
"A– ayah?"
Satu panggilan dengan suara terbata pria paruh baya memilih memalingkan wajahnya. Putri bungsu dari keluarga Ravindra meminta penjelasan dengan tatapan sendu penuh tanya."Paman, Bibi, bisakah kalian katakan sesuatu? Kalian tahu jika Albert adalah tunangan ku, dan kami akan bertunangan hari ini. Pesta ini adalah perayaan untuk kami, tapi apa yang aku lihat ini?" Alice tidak mampu lagi mengatakan tubuhnya bergetar seiring air matanya yang mengalir."Kamu salah Alice, Albert adalah tunangan kakak sepupu mu. Apakah kamu begitu terobsesi sehingga membuat lelucon seperti ini? Apakah kamu begitu membenci kakak sepupu kamu, sampai kamu memfitnahnya? Setidaknya jaga nama baik keluarga, kamu lihat banyak tamu undangan. Jangan bilang kotoran di wajah kami.""Bibi?""Jangan panggil aku bibi. Sejak dulu kamu selalu membuat ulah, dan anakku yang selalu menutupinya!""Alice pergilah. Jangan rusak kebahagiaan kakakmu, jangan membuat kami menyesal telah memberikan nama Ravindra di belakang nama kamu.""Setidaknya katakan sesuatu padaku, ayah. Bukankah aku juga putrimu?""Tidak ada yang perlu di katakan. Kamu membuat keluarga Ravindra tercoreng dengan prilakumu yang tergila-gila pada Albert, kamu tahu jika Albert adalah tunangan kakak sepupu kamu, Alice."Tubuh Alice luruh ke lantai, ucapan sang ayah mampu menghancurkan segalanya. Di saat hatinya sakit tiba-tiba dua orang datang dan menariknya secara paksa keluar dari pesta. Tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan bahwa semua adalah salah paham.Brug!
Tubuh Alice terjerembab mencium dinginnya lantai, tercium aroma besi dari hidungnya yang ternyata mengeluarkan darah. Tidak ada yang mengerti dirinya, tidak ada yang memberikan waktu untuk menjelaskan padanya.
Tatapan semua sama mereka menatap jijik padanya, di ujung sana terlihat dua sejoli tersenyum penuh kemenangan menautkan jari mereka dan memperlihatkan kearah Alice."Kamu hanyalah anak hasil zina. Jadi pergilah dari sini, jangan berfikir untuk kembali karena pintu rumah Ravindra tertutup untuk kamu, Alice.""Nikmati hidupmu di jalanan, seperti ibumu yang berasal dari jalanan. Maka sudah waktunya kamu kembali ke tempat asalmu!""Ayah,""Bawa dia pergi dari sini."'Aku akan mati. Mereka tidak akan peduli lagi padaku,' lirih Alice pedih.Dia dapat merasakan tubuhnya seakan melayang.
Kesadarannya hilang bersamaan dengan cairan merah yang mengalir dari mulut dan hidungnya.....
***Byur!!“Berhasil.”
“Dengan begini kita akan mendapat bayaran lebih.”
Cairan entah datangnya dari mana tiba-tiba menetes jatuh mengenai wajah Alice. Diiringi suara tawa yang menggelegar memenuhi mobil tersebut.
Hal ini sontak membuat Alice yang sempat pingsan, akhirnya perlahan-lahan mulai sadar sepenuhnya.
“Sss,” desis Alice pelan, sesaat dia merasakan nyeri di area bibir dan juga bagian hidungnya.
Alice berusaha membuka kedua matanya, namun yang menyapa indera penglihatannya hanyalah kegelapan.
Dia menggerakkan kepalanya ke sana ke mari, berusaha mencari tahu di mana sebenarnya dia berada saat ini.
Meski merasakan rasa sakit di sudut bibirnya dan sekujur tubuh, dia berusaha menahannya saat menyadari dirinya diikat!
“Lebih cepat! Jangan membuat orangnya menunggu lama,” ucap sebuah suara yang terdengar asing di telinga Alice.
“Baiklah,” sahut suara yang lain.
‘Sebenarnya aku ada di mana sekarang?’ Alice membatin dengan perasaan gelisah.
Di mana dia berada dan dengan siapa dia saat ini, membuat Alice merasa ketakutan. Mulutnya bahkan sulit digerakkan sebab luka gores di area bibir yang membuat Alice terus mendesis sakit.
Deg!
Tubuh Alice seketika bergetar saat dia mulai mengingat semua yang telah dia alami di hari yang seharusnya menjadi hari membahagiakan untuknya.
Dikhianati oleh pria yang sudah bersamanya selama ini, bahkan tidak disangka-sangka oleh Alice sekalipun, bahwa sepupu yang selalu mendukungnya dan berada di sampingnya, adalah orang yang telah merebut pria yang seharusnya menjadi miliknya mulai hari ini.
Air mata menetes tanpa bisa dicegah olehnya.
Benak dan pikirannya selalu bertanya-tanya, apa kesalahan yang sudah dia perbuat hingga harus menerima segala cobaan itu. Bukan hanya dikhianati oleh pria yang dia cintai, namun juga dikhianati oleh keluarga yang sudah dia percayakan.
“Hei, dia terbangun!”
Alice menegang mendengar suara yang terdengar semakin dekat. Refleks Alice pun memojokkan dirinya hingga membuat lengan kirinya merasakan sesuatu yang keras di sampingnya.
‘Mobil?’ batin Alice.
Tidak bisa melihat membuat Alice agak kesulitan, namun dia mampu menebak bahwa saat ini dirinya kemungkinan besar berada di dalam sebuah kendaraan yang entah akan membawanya kemana.
“Biarkan saja. Lagian tugas kita hanya membawanya ke alamat yang diperintahkan.”
Tidak henti dia berdoa di dalam hati, berharap dua suara asing itu tidak akan menyakiti dirinya. Bahkan dengan sedikit bekas gores di bibir dan juga hidungnya saja, sudah mampu membuat Alice mendesis kesakitan, apalagi jika dia mendapatkan luka yang lebih dari itu.
“Sepertinya dia ketakutan, lihat tubuhnya bergetar, lucu sekali. Hahahaha.”
Perkataan itu bukannya membuat Alice tenang, namun malah membuat rasa takutnya semakin mendera di dalam hatinya.
“K-Kalian siapa?” tanya Alice tanpa bisa dicegahnya.
Hening. Tidak ada jawaban yang didengar oleh Alice dari dua suara asing tadi. Dia mengernyitkan keningnya dengan memutar kepalanya pelan.
Grep!
“Akh!”
Teriakan Alice menggema di dalam mobil itu. Cengkeraman erat di dagunya membuat Alice mau tidak mau mendongakkan kepalanya.
“S-Sakit …,” lirih Alice, dengan bibir yang sudah bergetar ketakutan. “L-Lepasin ….”
“Lebih baik kamu diam dan jangan bertanya apa-apa. Jangan membuat kami kesal, mengerti?” ucap salah satu yang mencengkram dagunya yang semakin erat.
Alice yang tidak ingin disakiti, terpaksa menganggukkan kepalanya dengan sisa tenaganya.
Tepat setelah itu, kepala Aice dihempaskan ke samping hingga membuat cengkeraman di dagunya pun menghilang.
Alice dengan cepat menggeser tubuhnya ke samping hingga menyentuh pintu mobil yang berada di sampingnya. Tubuhnya tidak berhenti bergetar ketakutan.
‘Kenapa aku bisa ada di sini? Apa mungkin mereka akan menculikku?’
“Hei, diamlah! Suara tangismu mengganggu!” bentak seseorang yang membuang tubuh Alice tersentak kaget.
Padahal Alice sudah berusaha meredam suara tangisnya, namun sayangnya mereka berada di tempat yang sama sehingga siapapun bisa langsung tahu kalau Alice tengah menangis pilu.
“M-Maaf,” lirih Alice pelan.
“Ck, wanita lemah seperti ini memang tidak ada gunanya, ya. Pantas keluarganya tidak mau lagi dengannya.”
Alice terkejut bukan main mendengar perkataan pria yang tidak dia kenal itu. Mau bertanya, namun dia terlalu takut melakukan hal itu.
‘Apa maksudnya itu? Kenapa keluargaku tidak mau lagi denganku? Apa salahku pada mereka? Kenapa mereka memperlakukan aku seperti ini,’ batin Alice, merasa sesak mendengar hal tersebut dari orang yang bahkan tidak bisa dia lihat wajahnya.
“Yah, setidaknya kita mendapatkan bayaran yang cukup banyak dengan hanya mengantarnya saja,” ujar pria itu lagi.
Alice menggerakkan kepalanya dengan tidak nyaman. Suara pria yang dia dengar itu terdengar semakin dekat padanya.
“Kenapa menjauh? Takut?” tanya pria itu.
Alice menundukkan kepalanya, tidak berani membalas ucapan pria yang bahkan tidak dia ketahui bagaimana bentuk penampilan dan wajahnya itu.
Namun yang pasti untuk Alice, suara pria itu terdengar menyeramkan untuknya dan membuatnya merasa tidak nyaman.
“Hahh, asalkan kamu tidak berisik maka aku tidak akan melakukan apapun padamu. Jadi berhentilah menangis karena itu mengganggu,” ujar pria dengan suara yang sama.
Pelan sekali Alice menganggukkan kepalanya. Dia secepatnya mengalihkan kepalanya ke arah lain, karena Alice tidak mau nantinya dagunya dicengkeram dengan erat lagi oleh pria tadi.
Bahkan rasa sakit di dagunya masih terasa jelas oleh Alice. Namun yang lebih sakit lagi adalah hati Alice.
‘Sebenarnya kenapa aku bisa ada di sini? Apa yang mereka bilang itu benar?’ batin Alice, menerka-nerka maksud perkataan kedua pria yang berada di depannya itu.
“Tapi dia cukup beruntung karena setelah dibuang oleh keluarganya, dia mendapatkan pembeli yang kaya raya,” seru pria itu dengan nada irinya.
Bola mata Alice bergetar. ‘P-Pembeli? Apa maksud dia? Ke mana sebenarnya aku dibawa?’
“Hei, biarkan saja, sudah aku bilang jangan ngomongin hal yang tidak berguna di sini. Lagian setelah kita mengantarnya ke tempat itu, urusan kita selesai dengannya. Itu bukan urusan kita, mau di jual ke orang kaya atau di bunuh sekali pun biar kan saja. Aku tidak peduli."Keringat dingin membasahi kening dan juga punggung Alice. Rasa takut, resah, dan sesak, bercampur aduk di dalam benaknya. ‘Apa … aku benar-benar telah dibuang?"Alice rasanya tidak mampu membayangkan dirinya benar-benar dibuang oleh keluarganya sendiri. Dia mulai berpikir apakah kedua orang tuanya merasa malu karena Alice dipermalukan di acara pernikahan yang harusnya menjadi pernikahannya itu. Atau ini hanyalah sandiwara untuk menyingkirkan dirinya, ibu tirinya tidak menyukainya sejak kedatangannya begitu juga sebaliknya tetapi Federica adalah orang yang mengajaknya bermain kala itu.Apa karena alasan itu juga Alice dipermainkan oleh semua orang yang dianggapnya sebagai keluarga? Bahkan Alice seakan masih jelas men
‘Empuk.’Keningnya mengkerut saat merasakan punggungnya menyentuh benda yang terasa empuk dan nyaman. Perlahaan Alice pun membuka kedua matanya. Dikerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya sesaat kedua matanya sudah terbuka sepenuhnya. “I-Ini di mana lagi?” gumam Alice, mengedarkan pandangannya untuk menatap sekeliling ruangan. “Tunggu dulu.”Seakan teringat sesuatu, Alice memeriksa cepat pakaian yang masih dikenakannya itu. Seketika helaan nafas lega pun dihembuskan olehnya. “Syukurlah bajuku masih sama.”Alice kembali mendongakkan kepalanya dan membiarkan kedua matanya menjelajah seisi kamar ruangan yang terlihat jelas seperti sebuah kamar, karena dirinya saat ini saja berada di atas kasur berukuran king size itu. “K-Kenapa aku bisa ada di sini? Apa jangan-jangan dua orang pria tadi yang bawa aku ke sini?” tanya Alice, kepada dirinya sendiri karena masih bingung akan keadaan yang dialaminya saat ini. “Lalu mereka berdua ada di mana sekaran
“Ini makanannya.”Alice menolehkan kepalanya, ke arah makanan yang diantar oleh seorang pria berjas hitam yang berprofesi sebagai bodyguard yang menjaganya selama berapa minggu ini, tidak. Bukan minggu bahkan kini sudah satu bulan lamanya ini. Alice membuang wajahnya ke arah lain, enggan sekali menatap makanan yang tidak membuatnya merasa berminat itu. Blam!Suara pintu yang tertutup pun tidak membuat Alice beranjak dari tempatnya. Tatapannya juga hanya menatap pada jendela kamar yang memperlihatkan langit cerah di luar sana. “Sampai kapan aku di sini?” lirih Alice, menyatukan kedua lututnya lalu dipeluknya dengan erat. Sejak malam dirinya ditangkap oleh dua pria berjas hitam itu, Alice pun berakhir di rumah mewah yang tidak dia ketahui pasti di mana letaknya. Beberapa kali juga sejak malam itu dia berusaha kabur dari rumah ini, namun hasil yang didapatnya selalu sama karena cukup banyak bodyguard yang menjaga dirinya. Padahal Alice tidak merasa dirinya sespesial itu sampai menda
Alice menelan ludahnya kasar. Ditatapnya penuh kecurigaan kepada pembantu wanita di depannya itu. “A-apa maksud kamu bilang seperti itu?”Pelayan wanita itu menegakkan tubuhnya dan berkacak pinggang seraya tetap menatap pada Alice. “Saya rasa Nona tahu pasti apa yang saya katakan. Saya akan membantu Nona keluar dari rumah ini, tapi nantinya Nona jangan pernah datang ke sini lagi. Bagaimana?”Alice mengernyitkan keningnya. Selama dia dikurung di dalam rumah besar ini, tidak ada satu pun orang yang menawarkan bantuan untuk dirinya kabur. Hanya pelayan wanita ini saja yang berani menawarkan bantuan kepadanya. Namun entah kenapa Alice merasa tidak nyaman dengan sorot mata pelayan wanita itu yang entah kenapa menatapnya dengan penuh kebencian. “K-kenapa kamu mau membantuku?” tanya Alice lagi, dia tidak ingin mempercayai seseorang dengan mudahnya. Sudah cukup Alice ditipu oleh orang yang dia percayai selama ini. Karena itulah Alice tidak mau terjatuh pada lubang yang sama untuk kedua kal
‘A-Apa aku ketahuan lagi?’ batin Alice, meratapi nasibnya yang begitu sialnya sampai selalu ketahuan."Kenapa kalian diam?" Alice mengeratkan genggamannya pada ujung bajunya yang kebesaran. Hatinya tiba-tiba menciut, tubuhnya begitu kaku untuk sekedar menolehkan kepalanya. Suara di belangnya mampu menghancurkan tulang di tubuhnya.Pelayan itu tak jauh berbeda dengannya. Tubuhnya semakin bergetar saat pemilik suara itu terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Pelayan wanita itu melepaskan tangannya seketika dingin bagaikan salju menutupi tubuhnya.“T-Tuan!” ucap pelayan cantik itu dengan panik. Tubuhnya semakin bergetar dan dia pun langsung membungkukkan tubuhnya 90 derajat ke arah pria di belakang Alice itu. “M-Maafkan saya, Tuan. S-saya melakukan ini karena sa–" lirihnya dengan bibir bergetar.Hari ini adalah hari terakhir untuknya, wanita itu siap menerima hukuman apa pun yang akan dia terima dari tuannya, meski nyawanya akan melayang. Meski hal itu berat di lakukan mengingat apa
"M–maksud anda?" Alice berbalik memberanikan diri untuk melihat pria bertopi.Diam bahkan senyum meremehkan tercetak jelas di sana. Alice menghela napas hal biasa jika harus di remehkan."Ck! Pantas mereka memperlakukan hal ini padamu. Ternyata kamu biang rusuh." Ejek pria bertopi."Selain biang rusuh, ternyata kamu wanita yang sangat bodoh. Lihat dirimu, pantas mereka memperlakukan kamu seperti ini. Karena kamu sangat pantas untuk ditindas, dan tentunya di jual." Ejeknya, beralih meninggalkan Alice yang terpaku dengan ucapan pria bertopi."Tunggu, tuan. Katakan siapa yang sudah menjual 'ku pada anda? Lalu untuk apa Anda membeli saya?" lirih Alice. Tubuhnya tidak di pungkiri merasakan hawa mencekam. Pria di depan yang begitu dingin dan sulit untuk di lihat wajahnya."Jika kamu sudah tahu siapa orangnya, lantas apa yang akan kamu lakukan?" ujarnya, sebelah bibirnya tertarik ke atas."A–Aku," Melihat Alice terbata saat mengatakan, bibir Alaric semakin tertarik keatas. "Tuan, saya belu
"Jika aku menurut, apa dia akan membebaskan aku?" Alice, berdiri bagaikan patung membiarkan pelayanan wanita menanggalkan pakaiannya mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Aroma terapi dan wangi bunga tercium menenangkan. Alice merindukan rumahnya, kamar yang begitu nyaman untuknya. Semua hanya kenangan sebelum mereka menikam dirinya dari belakang.Terbesit untuk balas dendam, walau hal itu tidak akan mudah mengingat untuk bisa menyelamatkan diri saja itu hanya dalam mimpi."Hal itu bisa terjadi, asal nona menjadi penurut. Semua kembali –""Jika tidak, akan mati seperti wanita itu? Jangan terkejut, aku tahu semua." Ujar Alice, menyela perkataan pelayan wanita."Nona sudah selesai, silahkan ikut dengan saya. Tuan sudah menunggu di ruang makan.""Ck, kau menghancurkan mood ku. Singkirkan dia dari sini!" Alaric mendorong kursi yang di duduki ke belakang, mengejutkan Alice yang baru tiba."Maafkan saya tuan,"Melihat pelayanan yang bergetar Alice merasa iba. Hukuman pria tak berkemanusiaa
"Tutupi tubuhmu, aku tidak berselera menyentuhmu!" Alaric pergi begitu saja dari kamar pribadinya. Saat akan menutup pintu terdengar suara dinginnya. "Kau adalah wanita terbodoh yang pernah aku temui."Brak!Suara dentuman keras berhasil membuat tubuh Alice tersentak. Tubuhnya ambruk beruntung dalam kamar Alaric terdapat karpet bulu yang terbentang luas sehingga tubuhnya mendarat empuk di sana."Mereka sudah berhasil, aku kalah, kalah," racau Alice.Di ruangan yang berbeda pria yang tengah menuntaskan hasratnya pada wanita lain begitu tak peduli meski wanita di bawahnya mendesah panjang."Aaahh, Alice–" lirihnya panjang. Wanita di bawahnya terluka untuk kesekian kalinya, pria yang begitu di cintainya memanggil nama wanita lain saat bersamanya. Memberontak? Tak terima? Itu tidak mungkin jika tak ingin berakhir dalam ruang penyekapan."Pergilah jalang!" sentak Alaric."T–tuan....""Kau bisa menuntaskan hasratmu dengan mereka." Ucap Alaric dingin. Alaric membersihkan dengan berbagai s
Acara yang sudah disusun sedemikian matang akhirnya gagal karena satu hal yang tidak mungkin dilakukan mengingat akan banyak orang yang akan terlibat di dalamnya Alaric tidak ingin mengambil resiko terlebih kejadian yang belum lama ini dialami oleh istri dan anaknya sehingga rencana pun berubah. Walau demikian Alice, sebagai istri tentu mendukung penuh apa yang diinginkan oleh sang suami. Tanpa mencampuri tangan orang banyak sang suami tentu bisa menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari-hari berlalu dengan tenang semua yang terlibat di dalamnya pun tentu merasa takut karena selama beberapa hari ini pun tidak ada yang mengusik ataupun bergerak untuk menangkap mereka justru sebaliknya keluarga kecil itu tengah berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di kota."Sebenarnya apa yang di rencanakan, kamu?""Hum, kamu keberatan dengan ketenangan ini?"Alice menggeleng tentu tidak terganggu dengan ketenangan yang dibuat oleh sang suami namun selain itu ada hal yang membuatnya merasa
"Ayah!!""Sayang, kamu tidak apa-apa?"Arka menggeleng cepat wajahnya ia benamkan dalam ceruk leher Alaric."Benar yang tante katakan tadi kan? Ayah akan datang untuk menyelamatkan kita. Tuan, Alaric terima kasih, sudah menyelamatkan kami.""Sayang apa mereka menyakitimu?"Arka kembali menggeleng sesaat memperhatikan Larissa yang menatapnya."Ayah, bawa aku pergi dari sini. Aku takut,""Ya, sayang, kita akan pergi."Alaric membawa Arka pergi tak lama langkahnya terhenti saat suara dari belakang terdengar."Tuan, anda tidak mengajakku pergi? Aku sudah berusaha untuk melindungi den Arka,"Tanpa mengatakan ataupun menjawab Alaric meninggalkannya begitu saja. Sesuatu terjadi dan putranya tengah ketakutan."Ben, urus wanita itu jangan biarkan salah satu lepas termasuk dia.""Baik, tuan.""Ayah, mama, mana?""Mama, sedang menunggu kita di rumah, nak. Anak ayah yang tampan dan hebat ini apa sudah bisa ceritakan pada ayah?"Arka terdiam tubuhnya terasa sedikit bergetar. Alaric tahu ada yang t
Alaric bersikap tenang membuat pria paruh baya mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tahu apa yang akan terjadi jika salah bicara bukan hanya dirinya tapi juga seluruh keluarga akan hancur bahkan kematiannya tidak akan terendus oleh pihak berwajib sehingga ia di nyatakan mati sewajarnya.Membayangkan hal itu membuat buku kuduknya berdiri tatapan yang terlihat tenang itu justru tatapan sebaliknya. Tatapan seorang pembunuh berdarah dingin, siapa tak kenal Alaric dalam dunia bisnis dan bawah dua orang yang di takuti banyak orang termasuk lawan bisnisnya."Haruskah aku percaya? Atau kau ingin kita bermain-main lebih dulu tuan?""Hahaha, becandamu tidak bisa membuatku tertawa. Tapi, sedikit menggelitik.""Tuan, cobalah untuk jujur agar tidak ada hal yang membuat kita tidak nyaman terlebih anda." "Boy, kau belum mengenalku sepertinya. Aku tidak pernah bermain-main dan apa yang aku katakan itu adalah sebuah kejujuran.""Oke, kali ini aku percaya tuan Rendra. Anggap saya percaya dengan perkataa
Alice membuka matanya aroma obat tercium begitu menyengat di hidungnya. Memindai seluruh ruangan bercat putih. Alice mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Sesaat tubuhnya bergetar mencoba untuk bangkit namun sayang tubuhnya begitu sulit untuk di gerakkan."Sayang, kamu sudah sadar? Kamu tidak boleh bergerak, tetap seperti ini,""Arka, di mana Arka? Kamu berhasil menyelamatkan anakku kan? Katakan padaku Alaric, mana anakku!!" Alice memukul dada bidang Alaric, putranya tidak ada di sampingnya. "Sayang, kamu harus tenang ya?" Alaric mencoba untuk memeluk Alice, tapi sayang Alice tetap memberontak dan bahkan berulang kali mendorong tubuh Alaric meski tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Alice mencoba melepaskan diri saat Alaric berusaha untuk menenangkan dirinya walau tubuhnya lemah Alice tetap berusaha untuk turun mencari keberadaan putranya."Aku janji akan membawa anak kita dengan selamat. Tidak ada satu goresan dalam tubuhnya, aku janji sayang." Alaric merengkuh tubuh istrinya y
Alice memilih menu untuk mereka nikmati bersama tanpa bertanya karena ia tahu jika Ratmi menyukai makanan yang sama dengannya. Bahkan Larissa pun memilih makanan favorit walau ia beralasan penasaran dengan menu yang di lihatnya mengunggah seleranya. "Setelah ini anda mau ke mana nyonya?" Larissa memecah keheningan di antara mereka setelah menikmati makan siang di tempat yang di pilih oleh Arka. "Pulang, di rumah ada mama. Tapi sepertinya Arka ingin berkeliling sebentar," "Ya, nyonya anda benar sekali, sepertinya den Arka masih ingin bermain apa sebaiknya kita nunggu sebentar agar den Arka puas bermain?" usul Larissa. Alice membenarkan perkataan Larissa, selagi Emre di luar kebetulan Alice sudah lama tidak mengajak Arka bermain di luar rumah. "Ya, benar. Kita tunggu sebentar." Mereka mengikuti langkah kecil Arka yang memilih satu permainan yang di inginkan olehnya. Walau sejak tadi sudah bermain, tetapi tak terlihat lelah di wajahnya. Alice sesekali menanggapi perkataan La
Alaric yang menceritakan semua yang terjadi di proyek pada Alice. Sebagai seorang suami ia harus jujur terhadap istrinya apapun yang terjadi di luar rasa, termasuk musibah yang menimpa mereka berdua sehingga Alaric menyelamatkan nyawa Larissa sebagai bentuk terima kasihnya yang sudah di selamatkan.Mereka memilih menginap di salah satu penginapan yang tak jauh dari proyek itu pun semua dilakukan demi rasa kemanusiaan dan tentu hal itu membuat Alice semakin mencintainya karena kejujuran laki-laki yang kini telah menjadi seorang ayah untuk putranya. "Aku tidak akan marah ataupun cemburu, apa yang kamu lakukan itu sudah benar tentu aku akan bangga dan mengucapkan terima kasih padanya untuk kedua kalinya dan menyelamatkan suamiku. Dan salah satunya karena ulah anak kita dan yang kedua adalah kamu, bagaimana jika dia tidak menyelamatkan kamu tentu saat ini kamu tidak berada di hadapanku namun sebaliknya aku dan anakku menangis mengiringi kepergianmu"Hal itu tidak mungkin terjadi padaku k
Kepulangan Beni dari tempat tinggal baru Gisella mendapatkan respon cepat dari Alice, bagaimana tidak. Sahabatnya memintanya untuk tidak mencari keberadaannya dan permintaan maaf atas apa yang sudah di lakukan oleh ibunya. Hal itu yang membuat Alice meminta pada Beni agar mencari keberadaan Gisella, walau terlahir dari wanita yang sama namun Gisella memiliki sifat yang jauh berbeda dengan Federica."Lalu apa yang kamu dapatkan dari jawaban cinta yang pernah kamu ungkapkan?" Wajah Beni merona mengingat jawaban apa yang diberikan oleh Gisella padanya."Aku tidak bisa menceritakannya padamu,""Kenapa? Kamu lupa kalau aku adalah istri dari bos kamu? Jika kamu tidak mengambil sikap maka akan ada salah paham. Tentunya salah satunya akan menderita jika kamu memiliki di antara mereka. Tanyakan pada hatimu siapa yang benar-benar kamu cintai di antara mereka berdua, jangan menyakiti salah satunya. Kalau aku menjadi kamu tentu aku akan mengambil jalan tengah untuk tidak memilih salah diantaran
Mengubur kenangan yang penuh luka dan air mata. Berharap tempat yang baru memberikan kenangan yang indah tidak peduli seberapa kerasnya jalan di depan, baginya menjauh dan membuka lembaran baru adalah hal yang paling di inginkan.Gisella, gadis cantik yang kini berusaha menutup lembaran lama, namun sebelum pergi jauh ia memilih untuk datang ke suatu tempat yang sudah lama tidak ia kunjung.Di sana semuanya terkubur, usahanya untuk memulai yang baru kala itu kandas. Bohong jika Gisella tidak sakit hati namun dia pandai menyembunyikan di balik ekspresi wajah tenangnya."Ayah, aku kalah lagi. Aku egois, ingin meminta yang tidak bisa di lakukannya. Bagaimana kabar ayah di sana? Aku juga baik-baik saja di sini ayah. Setelah ini aku akan jarang datang mungkin tidak datang lagi, tapi doa untukmu tetap mengalir ayah. Selamat tinggal ayah, maafkan aku yang sudah berbohong, rumah kita akan aku titipkan pada orang lain. Agar kelak saat aku merindukan ayah, rumah itu masih ada. Aku sayang ayah,"
Ucapan selamat ulang tahun dan beberapa nyanyian terdengar begitu meriah, Alaric terkejut melihat sekeliling yang penuh dengan karyawan dan asisten pribadinya pun berada diantara mereka. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kedua orang tuanya yang tiba-tiba mendekatinya dengan kue di depannya bahkan Jarvis orang kedua yang menyambut kedatangan Alaric.Secara pergantian mereka memberikan ucapan pada Alaric sebelum mereka makan siang bersama. "Terima kasih, sayang. Kerjasama kalian luar biasa. Dan kamu Beni, pantas saja sejak pagi kamu selalu menghindar begitu banyak alasan agar bisa menjauh dariku ternyata hari ini kamu lebih berpihak pada istriku daripada tuanmu sendiri." Kesal Alaric, yang sejak pagi mengerjakan semua tugasnya sendiri bahkan ponsel pribadi Beni pun sulit dihubungi. "Maafkan saya, tuan. Tapi ini sudah kami rencanakan sejak lama," "Sudah, sekarang kita makan. Hari ini kalian bebas untuk makan, jika ada yang mau bawa pulang? Silahkan bungkus untuk keluarga di rumah. Ja