‘Empuk.’
Keningnya mengkerut saat merasakan punggungnya menyentuh benda yang terasa empuk dan nyaman.Perlahaan Alice pun membuka kedua matanya. Dikerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya sesaat kedua matanya sudah terbuka sepenuhnya.“I-Ini di mana lagi?” gumam Alice, mengedarkan pandangannya untuk menatap sekeliling ruangan.“Tunggu dulu.”Seakan teringat sesuatu, Alice memeriksa cepat pakaian yang masih dikenakannya itu. Seketika helaan nafas lega pun dihembuskan olehnya.“Syukurlah bajuku masih sama.”Alice kembali mendongakkan kepalanya dan membiarkan kedua matanya menjelajah seisi kamar ruangan yang terlihat jelas seperti sebuah kamar, karena dirinya saat ini saja berada di atas kasur berukuran king size itu.“K-Kenapa aku bisa ada di sini? Apa jangan-jangan dua orang pria tadi yang bawa aku ke sini?” tanya Alice, kepada dirinya sendiri karena masih bingung akan keadaan yang dialaminya saat ini. “Lalu mereka berdua ada di mana sekarang? Kenapa hanya ada aku sendiri di sini?”Kebingungan dan keheranan melanda Alice, mendapati hanya ada dirinya seorang diri berada di dalam kamar mewah yang sangat luas itu.Ditelan salivanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa keting. Sejenak dia meringis kesakitan ketika sudut bibirnya terasa agak perih terkena salivanya itu.“Shss masih sakit ternyata,” gumam Alice, menyentuh pelan sudut bibirnya itu.Alice menghela nafasnya. Dia berusaha menyibakkan selimut yang sempat menutupi kedua kaki jenjangnya itu. Gaun putih yang melekat di tubuhnya sebenarnya agak membuat alice kesulitan bergerak, namun dia tidak punya pilihan lain karena hanya itu satu-satunya pakaian yang dimilikinya saat ini.“A-Akh!”Pekik Alice, ketika tubuhnya terasa limbung ke depan saat kedua kakinya menapak pada lantai kamar tersebut.“S-Sakit,” lirih Alice, menyentuh kepalanya yang seketika berdenyut-denyut pening.Pikirannya pun mengarah pada dua orang pria yang sebelumnya menarik rambutnya dengan kuat. Mungkin itu sebabnya kepala Alice bisa terasa sesakit ini sekarang.“Aku harus kabur dari sini.”Alice berusaha menyeimbangkan tubuhnya meskipun kepalanya masih terasa begitu pusing. Belum lagi tubuhnya lemah sekali karena memang belum ada makanan maupun minuman yang dia masukkan ke dalam tubuh lemahnya itu.Perlahan tapi pasti, Alice mulai melangkahkan kakinya menuju ke sebuah pintu berwarna putih dengan dihiaskan gagang pintu berwarna keemasan itu.‘Hanya itu satu-satunya jalan keluar di sini. Apa aku bisa keluar dari sana dengan bebas?’ batin Alice, dilema dengan pilihan yang dia ambil sekarang. ‘Tidak, aku tidak perlu memikirkannya. Bagaimanapun itu, aku harus bisa pergi jauh dari tempat ini.’Perkataan kedua orang pria asing sebelumnya itu masih terngiang-giang jelas di dalam pikiran Alice. Tentu, dia masih ingat dengan jelas bahwa kedua orang itu mengatakan Alice sudah dijual dan dibeli oleh seseorang yang kaya raya.Mendapati dirinya yang berada di dalam kamar hotel mewah itu, Alice sudah bisa mencerna bahwa kemungkinan besar sebentar lagi dia akan bertemu dengan sosok kaya raya yang mungkin telah membelinya itu.‘Aku tidak mau hidupku menjadi milik orang lain seperti ini. Aku bahkan belum tahu siapa yang telah menjualku,’ batin Alice,bertekad untuk keluar dari kamar mewah yang terasa seperti penjara untuknya.Ceklek!Pintu dibuka pelan oleh Alice. Sebelum benar-benar keluar, dia mengeluarkan sedikit kepalanya untuk memastikan keadaan di luar sana aman.“S-Sepertinya aman,” ucap Alice pelan. “Tapi kenapa tidak ada yang menjagaku?”Alice kembali merasa heran karena baik di luar maupun di dalam ruangan, hanya ada dirinya seorang.‘Ini terasa aneh,’ batin Alice, merasa tidak nyaman dengan situasi yang seakan menguntungkannya itu. ‘Tapi mungkin saja ini memang kesempatanku untuk kabur dari sini.’Di langkahkannya kaki kotor dan penuh lukanya itu keluar dari kamar mewah tersebut. Tidak lupa dia menyeret gaun putih yang sudah melekat di tubuhnya sejak dia tidak sadarkan diri itu.Langkah pelan tersebut perlahan-lahan mulai semakin cepat menyusuri koridor yang cukup panjang itu.‘Di mana pintu keluarnya? Aku harus secepatnya kabur!’Panik mendera Alice ketika dia kesulitan mencari tempat keluarnya karena memang hotel tersebut terlalu luas untuk dia telusuri sendiri. Belum lagi kepanikan dan gelisah yang memenuhi benaknya, membuat Alice kesulitan berpikir tenang. Yang ada di dalam kepala nya hanyalah kabur secepat mungkin dan jangan sampai tertangkap.“I-itu dia!” seru Alice lega setelah menemukan tempat lift yang sebelumnya dia naiki bersama dua orang pria asing itu.Secepatnya dia masuk ke dalam lift kosong itu dan menekan tombol menuju ke lantai bawah berkali-kali hingga akhirnya pintu lift tertutup rapat.Alice menggigit ujung kuku jempol kanannya dengan perasaan gelisah, sambil melihat ke angka lantai yang dilewatinya.Ting!‘Aku harus cepat.’Alice berlari keluar dari dalam lift itu. Rasa sakit di telapak kakinya sama sekali tidak mengurungkan niat Alice untuk kabur dari hotel mewah tersebut.“A-Akhirnya,” lirih Alice, sesaat kakinya menyentuh dinginnya jalanan di luar hotel tersebut.Air mata lega menerobos keluar dari kedua mata sembabnya itu. Dia berlari menjauh dari gedung hotel mewah itu tanpa tahu kemana dirinya akan pergi, yang terpenting untuk Alice adalah menjauh dari tempat yang sudah mengurungnya itu.Dirasa cukup jauh, Alice menghentikan kedua kaki nya. Dia meraup oksigen di sekitarnya dengan cepat karena menipisnya nafasnya sehabis berlari itu.“Sekarang aku harus kema—”“Hahh, mau sampai kapan sebenarnya dia berlari?”Degh!Tubuh Alice menegang. Suara di belakangnya membuat dirinya takut dan gelisah. ‘S-Siapa itu?’ batin Alice, takut untuk menoleh.“Jangan lari lagi. Kamu itu milik Tuan kami jadi jangan macam-macam dan kabur begini, dasar wanita menyusahkan,” ucap pria di belakangnya yang sekarang sudah menarik rambut Alice.“Arghh! L-Lepaskan!” teriak Alice merasakan rasa sakit pada kepalanya itu.Bahkan saat tubuhnya mulai diangkat oleh pria itu, Alice tidak bisa melawan selain berteriak minta tolong.“Lebih baik kita buat dia diam,” ucap pria yang lain.Alice menggelengkan kepalanya, saat tangan itu mendekat pada tengkuk lehernya. ‘Tidak lagi.’Namun terlambat. Dia merasakan pukulan pada tengkuk lehernya itu dan pada akhirnya Alice kehilangan kesadarannya lagi.Sempat dia melihat dua pria berpakaian rapi dengan jas hitam itu. Saat itu juga Alice tahu bahwa dua pria itu bukan pria yang sama dengan pria yang membawanya.***“Hahaha!”Tawa menggelegar di dalam sebuah kamar mewah itu. Seorang perempuan dengan gaun tipis yang melekat di tubuhnya, berjalan mendekat ke arah televisi yang sedang menayangkan wajahnya dengan wajah suaminya itu.“Akhirnya sekarang aku tidak lagi melihat wajah wanita itu,” ucap perempuan itu, tidak lain tidak bukan adalah Federica.Mendudukkan dirinya di atas sofa kecil sambil meraih gelas berisi wine dan meneguknya sedikit. “Sudah berapa hari setelah pernikahan kita, dia menghilang, mungkin saja dia sudah mati sekarang.”Tawa kecil kembali terdengar dari kedua bibir merah itu. “Sekarang aku sudah memiliki semuanya, bahkan aku juga sudah menikahi Albert.”Federica menyandarkan punggungnya. Matanya memandang ke arah layar televisi yang tidak henti-hentinya menayangkan tentang acara pernikahan dan tentang hubungannya dengan Albert.“Rasanya bahagia sekali. Seluruh perhatian benar-benar tertuju padaku, bukan kepada Alice.” Senyuman licik terukir di wajahnya.“Akan lebih baik kalau dia benar-benar mati di luar sana. Lagian semasa dia hidup, tidak ada yang benar-benar menyayangi dia. Dasar wanita bodoh.”“Ini makanannya.”Alice menolehkan kepalanya, ke arah makanan yang diantar oleh seorang pria berjas hitam yang berprofesi sebagai bodyguard yang menjaganya selama berapa minggu ini, tidak. Bukan minggu bahkan kini sudah satu bulan lamanya ini. Alice membuang wajahnya ke arah lain, enggan sekali menatap makanan yang tidak membuatnya merasa berminat itu. Blam!Suara pintu yang tertutup pun tidak membuat Alice beranjak dari tempatnya. Tatapannya juga hanya menatap pada jendela kamar yang memperlihatkan langit cerah di luar sana. “Sampai kapan aku di sini?” lirih Alice, menyatukan kedua lututnya lalu dipeluknya dengan erat. Sejak malam dirinya ditangkap oleh dua pria berjas hitam itu, Alice pun berakhir di rumah mewah yang tidak dia ketahui pasti di mana letaknya. Beberapa kali juga sejak malam itu dia berusaha kabur dari rumah ini, namun hasil yang didapatnya selalu sama karena cukup banyak bodyguard yang menjaga dirinya. Padahal Alice tidak merasa dirinya sespesial itu sampai menda
Alice menelan ludahnya kasar. Ditatapnya penuh kecurigaan kepada pembantu wanita di depannya itu. “A-apa maksud kamu bilang seperti itu?”Pelayan wanita itu menegakkan tubuhnya dan berkacak pinggang seraya tetap menatap pada Alice. “Saya rasa Nona tahu pasti apa yang saya katakan. Saya akan membantu Nona keluar dari rumah ini, tapi nantinya Nona jangan pernah datang ke sini lagi. Bagaimana?”Alice mengernyitkan keningnya. Selama dia dikurung di dalam rumah besar ini, tidak ada satu pun orang yang menawarkan bantuan untuk dirinya kabur. Hanya pelayan wanita ini saja yang berani menawarkan bantuan kepadanya. Namun entah kenapa Alice merasa tidak nyaman dengan sorot mata pelayan wanita itu yang entah kenapa menatapnya dengan penuh kebencian. “K-kenapa kamu mau membantuku?” tanya Alice lagi, dia tidak ingin mempercayai seseorang dengan mudahnya. Sudah cukup Alice ditipu oleh orang yang dia percayai selama ini. Karena itulah Alice tidak mau terjatuh pada lubang yang sama untuk kedua kal
‘A-Apa aku ketahuan lagi?’ batin Alice, meratapi nasibnya yang begitu sialnya sampai selalu ketahuan."Kenapa kalian diam?" Alice mengeratkan genggamannya pada ujung bajunya yang kebesaran. Hatinya tiba-tiba menciut, tubuhnya begitu kaku untuk sekedar menolehkan kepalanya. Suara di belangnya mampu menghancurkan tulang di tubuhnya.Pelayan itu tak jauh berbeda dengannya. Tubuhnya semakin bergetar saat pemilik suara itu terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Pelayan wanita itu melepaskan tangannya seketika dingin bagaikan salju menutupi tubuhnya.“T-Tuan!” ucap pelayan cantik itu dengan panik. Tubuhnya semakin bergetar dan dia pun langsung membungkukkan tubuhnya 90 derajat ke arah pria di belakang Alice itu. “M-Maafkan saya, Tuan. S-saya melakukan ini karena sa–" lirihnya dengan bibir bergetar.Hari ini adalah hari terakhir untuknya, wanita itu siap menerima hukuman apa pun yang akan dia terima dari tuannya, meski nyawanya akan melayang. Meski hal itu berat di lakukan mengingat apa
"M–maksud anda?" Alice berbalik memberanikan diri untuk melihat pria bertopi.Diam bahkan senyum meremehkan tercetak jelas di sana. Alice menghela napas hal biasa jika harus di remehkan."Ck! Pantas mereka memperlakukan hal ini padamu. Ternyata kamu biang rusuh." Ejek pria bertopi."Selain biang rusuh, ternyata kamu wanita yang sangat bodoh. Lihat dirimu, pantas mereka memperlakukan kamu seperti ini. Karena kamu sangat pantas untuk ditindas, dan tentunya di jual." Ejeknya, beralih meninggalkan Alice yang terpaku dengan ucapan pria bertopi."Tunggu, tuan. Katakan siapa yang sudah menjual 'ku pada anda? Lalu untuk apa Anda membeli saya?" lirih Alice. Tubuhnya tidak di pungkiri merasakan hawa mencekam. Pria di depan yang begitu dingin dan sulit untuk di lihat wajahnya."Jika kamu sudah tahu siapa orangnya, lantas apa yang akan kamu lakukan?" ujarnya, sebelah bibirnya tertarik ke atas."A–Aku," Melihat Alice terbata saat mengatakan, bibir Alaric semakin tertarik keatas. "Tuan, saya belu
"Jika aku menurut, apa dia akan membebaskan aku?" Alice, berdiri bagaikan patung membiarkan pelayanan wanita menanggalkan pakaiannya mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Aroma terapi dan wangi bunga tercium menenangkan. Alice merindukan rumahnya, kamar yang begitu nyaman untuknya. Semua hanya kenangan sebelum mereka menikam dirinya dari belakang.Terbesit untuk balas dendam, walau hal itu tidak akan mudah mengingat untuk bisa menyelamatkan diri saja itu hanya dalam mimpi."Hal itu bisa terjadi, asal nona menjadi penurut. Semua kembali –""Jika tidak, akan mati seperti wanita itu? Jangan terkejut, aku tahu semua." Ujar Alice, menyela perkataan pelayan wanita."Nona sudah selesai, silahkan ikut dengan saya. Tuan sudah menunggu di ruang makan.""Ck, kau menghancurkan mood ku. Singkirkan dia dari sini!" Alaric mendorong kursi yang di duduki ke belakang, mengejutkan Alice yang baru tiba."Maafkan saya tuan,"Melihat pelayanan yang bergetar Alice merasa iba. Hukuman pria tak berkemanusiaa
"Tutupi tubuhmu, aku tidak berselera menyentuhmu!" Alaric pergi begitu saja dari kamar pribadinya. Saat akan menutup pintu terdengar suara dinginnya. "Kau adalah wanita terbodoh yang pernah aku temui."Brak!Suara dentuman keras berhasil membuat tubuh Alice tersentak. Tubuhnya ambruk beruntung dalam kamar Alaric terdapat karpet bulu yang terbentang luas sehingga tubuhnya mendarat empuk di sana."Mereka sudah berhasil, aku kalah, kalah," racau Alice.Di ruangan yang berbeda pria yang tengah menuntaskan hasratnya pada wanita lain begitu tak peduli meski wanita di bawahnya mendesah panjang."Aaahh, Alice–" lirihnya panjang. Wanita di bawahnya terluka untuk kesekian kalinya, pria yang begitu di cintainya memanggil nama wanita lain saat bersamanya. Memberontak? Tak terima? Itu tidak mungkin jika tak ingin berakhir dalam ruang penyekapan."Pergilah jalang!" sentak Alaric."T–tuan....""Kau bisa menuntaskan hasratmu dengan mereka." Ucap Alaric dingin. Alaric membersihkan dengan berbagai s
Kesibukan pelayan di kediaman Alaric tidak sedikit pun mengalihkan perhatian Alice yang memilih duduk di pinggir balkon, melihat indahnya pagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama terkurung dalam kamar. Tak sekali pun Alice tahu tentang hari, atau pun jam. Yang terlintas dan dapat ia ketahui pagi dan malam."Non, sarapan sudah siap. Silahkan anda ke ruang makan," pelayan wanita menundukkan wajahnya saat berhadapan dengan Alice. "Terima kasih–" "Ratmi, panggil saya Ratmi, non. Jika anda menginginkan sesuatu panggil saya." Sela pelayan wanita itu."Baiklah, salam kenal mbak Ratmi,""Panggil saja Ratmi, non. Saya lebih suka begitu," "Ya,""Silahkan." Ucap Ratmi, membiarkan Alice melangkah lebih dulu dan di ikuti olehnya.Tanpa berniat untuk menjawab Alice melangkahkan kakinya menuju ruang makan. Di sana tepat di depannya sosok pria yang akhir-akhir ini tak juga datang ke kamarnya setelah berapa hari yang lalu. Hanya saat itu di mana Alice harus mendatangi berkas tanpa di baca lebi
Dua jam berakhir sesuai perintah Alaric. Berkas telah rapih dan kini telah di berikan pada yang empunya. Namun sayang, Alaric meremehkan kinerja Alice. Membuka satu persatu berkas di yang di berikan pada Alice hasil yang memuaskan tidak ada satu pun yang terlewat apa lagi kesalahan."Oke, tapi tunggu dulu. Kamu jangan senang dulu, aku tidak bisa percaya padamu. Sebelum melihat semua hasilnya!" Alaric membuka lembar demi lembar, tidak ada yang perlu di periksa semua sesuai."Boleh aku bertanya?" tanya Alice, lirih.Terkejut mendengar suara Alice yang ingin bertanya padanya. Alaric menutup berkas yang kini tidak menjadi minatnya."Apa yang ingin kamu, tanyakan?" Alaric memperhatikan gerak-gerik Alaric, sejak tadi begitu tanang tanpa terganggu atau pun protes meski Alaric sengaja mengulur waktu agar Alice tetap berada di dalam ruang kerjanya."Mengenai kebebasan itu, apa aku bisa–" Alice menundukkan wajahnya, takut jika Alaric akan menolak keinginannya dan hukuman itu semakin berat untukn
Acara yang sudah disusun sedemikian matang akhirnya gagal karena satu hal yang tidak mungkin dilakukan mengingat akan banyak orang yang akan terlibat di dalamnya Alaric tidak ingin mengambil resiko terlebih kejadian yang belum lama ini dialami oleh istri dan anaknya sehingga rencana pun berubah. Walau demikian Alice, sebagai istri tentu mendukung penuh apa yang diinginkan oleh sang suami. Tanpa mencampuri tangan orang banyak sang suami tentu bisa menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari-hari berlalu dengan tenang semua yang terlibat di dalamnya pun tentu merasa takut karena selama beberapa hari ini pun tidak ada yang mengusik ataupun bergerak untuk menangkap mereka justru sebaliknya keluarga kecil itu tengah berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di kota."Sebenarnya apa yang di rencanakan, kamu?""Hum, kamu keberatan dengan ketenangan ini?"Alice menggeleng tentu tidak terganggu dengan ketenangan yang dibuat oleh sang suami namun selain itu ada hal yang membuatnya merasa
"Ayah!!""Sayang, kamu tidak apa-apa?"Arka menggeleng cepat wajahnya ia benamkan dalam ceruk leher Alaric."Benar yang tante katakan tadi kan? Ayah akan datang untuk menyelamatkan kita. Tuan, Alaric terima kasih, sudah menyelamatkan kami.""Sayang apa mereka menyakitimu?"Arka kembali menggeleng sesaat memperhatikan Larissa yang menatapnya."Ayah, bawa aku pergi dari sini. Aku takut,""Ya, sayang, kita akan pergi."Alaric membawa Arka pergi tak lama langkahnya terhenti saat suara dari belakang terdengar."Tuan, anda tidak mengajakku pergi? Aku sudah berusaha untuk melindungi den Arka,"Tanpa mengatakan ataupun menjawab Alaric meninggalkannya begitu saja. Sesuatu terjadi dan putranya tengah ketakutan."Ben, urus wanita itu jangan biarkan salah satu lepas termasuk dia.""Baik, tuan.""Ayah, mama, mana?""Mama, sedang menunggu kita di rumah, nak. Anak ayah yang tampan dan hebat ini apa sudah bisa ceritakan pada ayah?"Arka terdiam tubuhnya terasa sedikit bergetar. Alaric tahu ada yang t
Alaric bersikap tenang membuat pria paruh baya mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tahu apa yang akan terjadi jika salah bicara bukan hanya dirinya tapi juga seluruh keluarga akan hancur bahkan kematiannya tidak akan terendus oleh pihak berwajib sehingga ia di nyatakan mati sewajarnya.Membayangkan hal itu membuat buku kuduknya berdiri tatapan yang terlihat tenang itu justru tatapan sebaliknya. Tatapan seorang pembunuh berdarah dingin, siapa tak kenal Alaric dalam dunia bisnis dan bawah dua orang yang di takuti banyak orang termasuk lawan bisnisnya."Haruskah aku percaya? Atau kau ingin kita bermain-main lebih dulu tuan?""Hahaha, becandamu tidak bisa membuatku tertawa. Tapi, sedikit menggelitik.""Tuan, cobalah untuk jujur agar tidak ada hal yang membuat kita tidak nyaman terlebih anda." "Boy, kau belum mengenalku sepertinya. Aku tidak pernah bermain-main dan apa yang aku katakan itu adalah sebuah kejujuran.""Oke, kali ini aku percaya tuan Rendra. Anggap saya percaya dengan perkataa
Alice membuka matanya aroma obat tercium begitu menyengat di hidungnya. Memindai seluruh ruangan bercat putih. Alice mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Sesaat tubuhnya bergetar mencoba untuk bangkit namun sayang tubuhnya begitu sulit untuk di gerakkan."Sayang, kamu sudah sadar? Kamu tidak boleh bergerak, tetap seperti ini,""Arka, di mana Arka? Kamu berhasil menyelamatkan anakku kan? Katakan padaku Alaric, mana anakku!!" Alice memukul dada bidang Alaric, putranya tidak ada di sampingnya. "Sayang, kamu harus tenang ya?" Alaric mencoba untuk memeluk Alice, tapi sayang Alice tetap memberontak dan bahkan berulang kali mendorong tubuh Alaric meski tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Alice mencoba melepaskan diri saat Alaric berusaha untuk menenangkan dirinya walau tubuhnya lemah Alice tetap berusaha untuk turun mencari keberadaan putranya."Aku janji akan membawa anak kita dengan selamat. Tidak ada satu goresan dalam tubuhnya, aku janji sayang." Alaric merengkuh tubuh istrinya y
Alice memilih menu untuk mereka nikmati bersama tanpa bertanya karena ia tahu jika Ratmi menyukai makanan yang sama dengannya. Bahkan Larissa pun memilih makanan favorit walau ia beralasan penasaran dengan menu yang di lihatnya mengunggah seleranya. "Setelah ini anda mau ke mana nyonya?" Larissa memecah keheningan di antara mereka setelah menikmati makan siang di tempat yang di pilih oleh Arka. "Pulang, di rumah ada mama. Tapi sepertinya Arka ingin berkeliling sebentar," "Ya, nyonya anda benar sekali, sepertinya den Arka masih ingin bermain apa sebaiknya kita nunggu sebentar agar den Arka puas bermain?" usul Larissa. Alice membenarkan perkataan Larissa, selagi Emre di luar kebetulan Alice sudah lama tidak mengajak Arka bermain di luar rumah. "Ya, benar. Kita tunggu sebentar." Mereka mengikuti langkah kecil Arka yang memilih satu permainan yang di inginkan olehnya. Walau sejak tadi sudah bermain, tetapi tak terlihat lelah di wajahnya. Alice sesekali menanggapi perkataan La
Alaric yang menceritakan semua yang terjadi di proyek pada Alice. Sebagai seorang suami ia harus jujur terhadap istrinya apapun yang terjadi di luar rasa, termasuk musibah yang menimpa mereka berdua sehingga Alaric menyelamatkan nyawa Larissa sebagai bentuk terima kasihnya yang sudah di selamatkan.Mereka memilih menginap di salah satu penginapan yang tak jauh dari proyek itu pun semua dilakukan demi rasa kemanusiaan dan tentu hal itu membuat Alice semakin mencintainya karena kejujuran laki-laki yang kini telah menjadi seorang ayah untuk putranya. "Aku tidak akan marah ataupun cemburu, apa yang kamu lakukan itu sudah benar tentu aku akan bangga dan mengucapkan terima kasih padanya untuk kedua kalinya dan menyelamatkan suamiku. Dan salah satunya karena ulah anak kita dan yang kedua adalah kamu, bagaimana jika dia tidak menyelamatkan kamu tentu saat ini kamu tidak berada di hadapanku namun sebaliknya aku dan anakku menangis mengiringi kepergianmu"Hal itu tidak mungkin terjadi padaku k
Kepulangan Beni dari tempat tinggal baru Gisella mendapatkan respon cepat dari Alice, bagaimana tidak. Sahabatnya memintanya untuk tidak mencari keberadaannya dan permintaan maaf atas apa yang sudah di lakukan oleh ibunya. Hal itu yang membuat Alice meminta pada Beni agar mencari keberadaan Gisella, walau terlahir dari wanita yang sama namun Gisella memiliki sifat yang jauh berbeda dengan Federica."Lalu apa yang kamu dapatkan dari jawaban cinta yang pernah kamu ungkapkan?" Wajah Beni merona mengingat jawaban apa yang diberikan oleh Gisella padanya."Aku tidak bisa menceritakannya padamu,""Kenapa? Kamu lupa kalau aku adalah istri dari bos kamu? Jika kamu tidak mengambil sikap maka akan ada salah paham. Tentunya salah satunya akan menderita jika kamu memiliki di antara mereka. Tanyakan pada hatimu siapa yang benar-benar kamu cintai di antara mereka berdua, jangan menyakiti salah satunya. Kalau aku menjadi kamu tentu aku akan mengambil jalan tengah untuk tidak memilih salah diantaran
Mengubur kenangan yang penuh luka dan air mata. Berharap tempat yang baru memberikan kenangan yang indah tidak peduli seberapa kerasnya jalan di depan, baginya menjauh dan membuka lembaran baru adalah hal yang paling di inginkan.Gisella, gadis cantik yang kini berusaha menutup lembaran lama, namun sebelum pergi jauh ia memilih untuk datang ke suatu tempat yang sudah lama tidak ia kunjung.Di sana semuanya terkubur, usahanya untuk memulai yang baru kala itu kandas. Bohong jika Gisella tidak sakit hati namun dia pandai menyembunyikan di balik ekspresi wajah tenangnya."Ayah, aku kalah lagi. Aku egois, ingin meminta yang tidak bisa di lakukannya. Bagaimana kabar ayah di sana? Aku juga baik-baik saja di sini ayah. Setelah ini aku akan jarang datang mungkin tidak datang lagi, tapi doa untukmu tetap mengalir ayah. Selamat tinggal ayah, maafkan aku yang sudah berbohong, rumah kita akan aku titipkan pada orang lain. Agar kelak saat aku merindukan ayah, rumah itu masih ada. Aku sayang ayah,"
Ucapan selamat ulang tahun dan beberapa nyanyian terdengar begitu meriah, Alaric terkejut melihat sekeliling yang penuh dengan karyawan dan asisten pribadinya pun berada diantara mereka. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kedua orang tuanya yang tiba-tiba mendekatinya dengan kue di depannya bahkan Jarvis orang kedua yang menyambut kedatangan Alaric.Secara pergantian mereka memberikan ucapan pada Alaric sebelum mereka makan siang bersama. "Terima kasih, sayang. Kerjasama kalian luar biasa. Dan kamu Beni, pantas saja sejak pagi kamu selalu menghindar begitu banyak alasan agar bisa menjauh dariku ternyata hari ini kamu lebih berpihak pada istriku daripada tuanmu sendiri." Kesal Alaric, yang sejak pagi mengerjakan semua tugasnya sendiri bahkan ponsel pribadi Beni pun sulit dihubungi. "Maafkan saya, tuan. Tapi ini sudah kami rencanakan sejak lama," "Sudah, sekarang kita makan. Hari ini kalian bebas untuk makan, jika ada yang mau bawa pulang? Silahkan bungkus untuk keluarga di rumah. Ja