“Ini makanannya.”
Alice menolehkan kepalanya, ke arah makanan yang diantar oleh seorang pria berjas hitam yang berprofesi sebagai bodyguard yang menjaganya selama berapa minggu ini, tidak. Bukan minggu bahkan kini sudah satu bulan lamanya ini.Alice membuang wajahnya ke arah lain, enggan sekali menatap makanan yang tidak membuatnya merasa berminat itu.Blam!Suara pintu yang tertutup pun tidak membuat Alice beranjak dari tempatnya. Tatapannya juga hanya menatap pada jendela kamar yang memperlihatkan langit cerah di luar sana.“Sampai kapan aku di sini?” lirih Alice, menyatukan kedua lututnya lalu dipeluknya dengan erat.Sejak malam dirinya ditangkap oleh dua pria berjas hitam itu, Alice pun berakhir di rumah mewah yang tidak dia ketahui pasti di mana letaknya.Beberapa kali juga sejak malam itu dia berusaha kabur dari rumah ini, namun hasil yang didapatnya selalu sama karena cukup banyak bodyguard yang menjaga dirinya. Padahal Alice tidak merasa dirinya sespesial itu sampai mendapatkan bodyguard sebanyak itu menjaga dirinya.“Sebenarnya apa tujuan aku dibawa kemari?”Alice menatap ke samping, tepat pada sepiring steak yang telah tersaji sebagai makan siangnya itu. “Mereka memberiku makan, tapi tidak membiarkanku keluar.”Alice meremas erat selimut yang didudukinya. Kepalanya kembali tertunduk, meratapi nasib menyedihkan yang terjadi kepadanya sekarang.‘Apa aku coba kabur lagi?’ batin Alice, selalu berpikiran untuk kabur dari rumah besar itu.Meskipun diperlakukan dengan baik, namun ketika Alice ditangkap maka saat itu juga Alice pasti akan mendapatkan sedikit luka. Karena memang Alice selalu nekat mencoba banyak cara agar terbebas dari penjara yang bernamakan rumah itu.“Benar, aku tidak bisa hanya diam di sini. Meskipun gagal, aku harus mencobanya kembali,” ujar Alice, dengan penuh tekad. “Agar aku tidak perlu merasa takut dipantau oleh pria misterius itu lagi.”Seketika tubuh Alice bergetar. Setiap malam, dia merasakan tatapan seseorang dari balik pintu kamarnya saat dia ingin tertidur.Bayangan pria tinggi, tegap, dan karismatik itu sangat mengganggu dirinya setiap malamnya. Namun di pagi hingga sore, Alice sama sekali tidak pernah melihat sosok pria yang sama dari para bodyguard yang menjaganya itu.‘Siapa dia sebenarnya?’ batin Alice, takut dan juga resah.Karena itulah setiap malamnya Alice merasa takut sekali. Rutinitasnya setiap malam hanyalah menangis dan akan mulai tertidur jika dia kelelahan. Dan di saat itulah, pria bersosok tegap dan karismatik itu, memantaunya dari luar pintu kamarnya yang sedikit terbuka.“Berhenti memikirkannya. Setelah aku keluar dari sini, aku tidak perlu merasakan hal seperti ini lagi.”Alice turun dari atas kasurnya. Dia mengendap secara perlahan-lahan menuju ke jendela kamarnya. Ditatapnya ke bawah melalui jendela tersebut, untuk memastikan ketinggian dari kamarnya.“Lantai dua tapi tinggi sekali,” gumam Alice, menatap ngeri. “T-Tapi aku belum coba cara ini. Sebelumnya aku selalu kabur dari pintu depan karena memang kadang bodyguardnya tidak menjaga di depan kamar, seakan mereka sengaja memberi kesempatan untuk aku kabur.”Alice menghela nafasnya. Tekadnya sudah bulat jadi meskipun dia takut, dia tetap akan melakukannya. Sebab dia tidak mau merasa tidak nyaman dan terpuruk di tempat asing yang terasa seperti penjara untuknya itu.Bahkan beberapa hari belakangan Alice hanya minum air saja dan tidak menyentuh makanan yang dihidangkan untuknya itu. Tentu hal itu membuat tubuhnya makin hari terasa semakin lemah.Namun hal tersebut tidak menurunkan tekad dan niat alice untuk kabur dari penjara yang mengurungnya itu.“Aku harus cari sesuatu yang lumayan panjang,” ucap Alice, membalikkan badannya dan menatap ke sekeliling kamarnya hingga tatapannya jatuh pada selimutnya. “Aku rasa aku bisa memakai itu.”Alice melangkahkan kakinya mendekat pada kasur berukuran king size tersebut. Dia meraih selimut dan melepaskan sprei kasur itu lalu diikatnya menjadi satu hingga menjuntai panjang.Setelah itu, dibawanya kain panjang itu menuju jendela kamarnya. Diturunkannya secara perlahan kain tersebut hingga sedikit menggantung dari atas rumput hijau di luar sana.“Masih kurang, tapi segini harusnya sudah cukup.”Alice pun mengikat ujung kain yang dipegangnya pada tepian jendela dengan erat sekali agar nantinya kain tersebut tidak lepas.Seusai melakukannya, Alice langsung saja menggunakan kain tersebut untuk turun dari dalam kamarnya melalui jendela itu. ‘Pelan-pelan,’ batin Alice, sambil memeluk erat kain dan menurunkan tubuhnya sedikit demi sedikit.Sampai akhirnya kedua kaki polosnya Alice berhasil menyentuh dinginnya rumput hijau di bawahnya itu. Senyuman lega terukir di wajah cantiknya.“A-Aku berhasil,” ucapnya merasa senang.Tanpa membuang waktu, Alice berlari pergi dari tempat tersebut menuju ke depan rumah karena memang hanya itu saja gerbang keluar dari wilayah rumah besar itu.Namun belum sempat dia melewati gerbang rumah itu, kedua tangannya sudah ditarik dari belakang.“Akh!” pekik Alice terkejut.“Lagi-lagi mau mencoba kabur,” ucap bodyguard di belakangnya.Alice mencoba melawan dengan menggerakan tangannya agar pegangan dari bodyguard itu terlepas.“Lepaskan aku! Jangan bawa aku ke dalam sana lagi!” pekik Alice, enggan dibawa masuk ke dalam rumah yang sudah mengurung dirinya selama berbulan-bulan lamanya itu.Namun bodyguard itu tidak mengatakan apapun dan hanya menyeret Alice masuk ke dalam rumah megah nan besar itu.Alice menggigit bibir bawahnya, menahan air matanya saat merasakan genggaman tangan erat pada pergelangan tangannya itu.Sakit, tentu saja karena tenaga bodyguard itu jauh lebih besar dibandingkan Alice. Namun yang lebih sakit adalah hati Alice, karena untuk kesekian kalinya dia gagal kabur dari penjaranya itu.“Masuk,” ucap bodyguard itu, yang lalu mendorong tubuh Alice masuk ke dalam kamarnya lagi.“Aku mohon biarkan aku pergi! Aku tidak mau berada di sini! Aku mohon!” seru Alice pilu.Dia sudah sangat terpuruk terkurung di tempat yang asing dan tidak nyaman untuknya. Dia hanya ingin kembali ke kamar miliknya yang nyaman untuk dirinya itu.Blam!Pintu tertutup dengan keras di depan wajahnya Alice. Bahkan suara kunci yang diputar dari gagang pintu itu, terdengar jelas oleh Alice.Bruk!Tubuh Alice rasanya lelah sekali. Setiap harinya dia harus menjalani hari dan pemandangan yang sama. Bahkan dipantau oleh orang yang bahkan tidak Alice tahu apa niatnya.“A-Aku lelah, aku ingin pulang,” lirih Alice, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya itu.Namun setiap Alice memikirkan kata pulang, sebenarnya dia tidak tahu kemana dia harus berpulang. Ke rumahnya? Ke keluarganya?Semua itu membuat Alice teringat akan acara pertunangannya yang gagal total itu. Dirinya yang dipermainkan sampai akhirnya Alice yang dijual seperti ini.Klik!Suara kunci yang dibuka membuat Alice mendongakkan kepalanya dengan cepat. Dia menatap bingung pada pintu di depannya itu.‘Siapa?’ batin Alice.Ceklek!Pintu terbuka dan terlihatlah seorang perempuan cantik berpakaian seragam pembantu di rumah itu.Perempuan itu tersenyum sinis dan menatap Alice dengan tatapan tidak sukanya. Namun dia menghampiri Alice dengan pelan.“S-Siapa kamu? M-Mau apa kamu masuk ke kamar ini?” tanya Alice, memundurkan sedikit tubuhnya ke belakang.Perempuan pembantu itu menundukkan wajahnya, menatap lekat pada Alice. “Saya bisa membantu Nona kabur dari sini.”Alice menelan ludahnya kasar. Ditatapnya penuh kecurigaan kepada pembantu wanita di depannya itu. “A-apa maksud kamu bilang seperti itu?”Pelayan wanita itu menegakkan tubuhnya dan berkacak pinggang seraya tetap menatap pada Alice. “Saya rasa Nona tahu pasti apa yang saya katakan. Saya akan membantu Nona keluar dari rumah ini, tapi nantinya Nona jangan pernah datang ke sini lagi. Bagaimana?”Alice mengernyitkan keningnya. Selama dia dikurung di dalam rumah besar ini, tidak ada satu pun orang yang menawarkan bantuan untuk dirinya kabur. Hanya pelayan wanita ini saja yang berani menawarkan bantuan kepadanya. Namun entah kenapa Alice merasa tidak nyaman dengan sorot mata pelayan wanita itu yang entah kenapa menatapnya dengan penuh kebencian. “K-kenapa kamu mau membantuku?” tanya Alice lagi, dia tidak ingin mempercayai seseorang dengan mudahnya. Sudah cukup Alice ditipu oleh orang yang dia percayai selama ini. Karena itulah Alice tidak mau terjatuh pada lubang yang sama untuk kedua kal
‘A-Apa aku ketahuan lagi?’ batin Alice, meratapi nasibnya yang begitu sialnya sampai selalu ketahuan."Kenapa kalian diam?" Alice mengeratkan genggamannya pada ujung bajunya yang kebesaran. Hatinya tiba-tiba menciut, tubuhnya begitu kaku untuk sekedar menolehkan kepalanya. Suara di belangnya mampu menghancurkan tulang di tubuhnya.Pelayan itu tak jauh berbeda dengannya. Tubuhnya semakin bergetar saat pemilik suara itu terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Pelayan wanita itu melepaskan tangannya seketika dingin bagaikan salju menutupi tubuhnya.“T-Tuan!” ucap pelayan cantik itu dengan panik. Tubuhnya semakin bergetar dan dia pun langsung membungkukkan tubuhnya 90 derajat ke arah pria di belakang Alice itu. “M-Maafkan saya, Tuan. S-saya melakukan ini karena sa–" lirihnya dengan bibir bergetar.Hari ini adalah hari terakhir untuknya, wanita itu siap menerima hukuman apa pun yang akan dia terima dari tuannya, meski nyawanya akan melayang. Meski hal itu berat di lakukan mengingat apa
"M–maksud anda?" Alice berbalik memberanikan diri untuk melihat pria bertopi.Diam bahkan senyum meremehkan tercetak jelas di sana. Alice menghela napas hal biasa jika harus di remehkan."Ck! Pantas mereka memperlakukan hal ini padamu. Ternyata kamu biang rusuh." Ejek pria bertopi."Selain biang rusuh, ternyata kamu wanita yang sangat bodoh. Lihat dirimu, pantas mereka memperlakukan kamu seperti ini. Karena kamu sangat pantas untuk ditindas, dan tentunya di jual." Ejeknya, beralih meninggalkan Alice yang terpaku dengan ucapan pria bertopi."Tunggu, tuan. Katakan siapa yang sudah menjual 'ku pada anda? Lalu untuk apa Anda membeli saya?" lirih Alice. Tubuhnya tidak di pungkiri merasakan hawa mencekam. Pria di depan yang begitu dingin dan sulit untuk di lihat wajahnya."Jika kamu sudah tahu siapa orangnya, lantas apa yang akan kamu lakukan?" ujarnya, sebelah bibirnya tertarik ke atas."A–Aku," Melihat Alice terbata saat mengatakan, bibir Alaric semakin tertarik keatas. "Tuan, saya belu
"Jika aku menurut, apa dia akan membebaskan aku?" Alice, berdiri bagaikan patung membiarkan pelayanan wanita menanggalkan pakaiannya mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Aroma terapi dan wangi bunga tercium menenangkan. Alice merindukan rumahnya, kamar yang begitu nyaman untuknya. Semua hanya kenangan sebelum mereka menikam dirinya dari belakang.Terbesit untuk balas dendam, walau hal itu tidak akan mudah mengingat untuk bisa menyelamatkan diri saja itu hanya dalam mimpi."Hal itu bisa terjadi, asal nona menjadi penurut. Semua kembali –""Jika tidak, akan mati seperti wanita itu? Jangan terkejut, aku tahu semua." Ujar Alice, menyela perkataan pelayan wanita."Nona sudah selesai, silahkan ikut dengan saya. Tuan sudah menunggu di ruang makan.""Ck, kau menghancurkan mood ku. Singkirkan dia dari sini!" Alaric mendorong kursi yang di duduki ke belakang, mengejutkan Alice yang baru tiba."Maafkan saya tuan,"Melihat pelayanan yang bergetar Alice merasa iba. Hukuman pria tak berkemanusiaa
"Tutupi tubuhmu, aku tidak berselera menyentuhmu!" Alaric pergi begitu saja dari kamar pribadinya. Saat akan menutup pintu terdengar suara dinginnya. "Kau adalah wanita terbodoh yang pernah aku temui."Brak!Suara dentuman keras berhasil membuat tubuh Alice tersentak. Tubuhnya ambruk beruntung dalam kamar Alaric terdapat karpet bulu yang terbentang luas sehingga tubuhnya mendarat empuk di sana."Mereka sudah berhasil, aku kalah, kalah," racau Alice.Di ruangan yang berbeda pria yang tengah menuntaskan hasratnya pada wanita lain begitu tak peduli meski wanita di bawahnya mendesah panjang."Aaahh, Alice–" lirihnya panjang. Wanita di bawahnya terluka untuk kesekian kalinya, pria yang begitu di cintainya memanggil nama wanita lain saat bersamanya. Memberontak? Tak terima? Itu tidak mungkin jika tak ingin berakhir dalam ruang penyekapan."Pergilah jalang!" sentak Alaric."T–tuan....""Kau bisa menuntaskan hasratmu dengan mereka." Ucap Alaric dingin. Alaric membersihkan dengan berbagai s
Kesibukan pelayan di kediaman Alaric tidak sedikit pun mengalihkan perhatian Alice yang memilih duduk di pinggir balkon, melihat indahnya pagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama terkurung dalam kamar. Tak sekali pun Alice tahu tentang hari, atau pun jam. Yang terlintas dan dapat ia ketahui pagi dan malam."Non, sarapan sudah siap. Silahkan anda ke ruang makan," pelayan wanita menundukkan wajahnya saat berhadapan dengan Alice. "Terima kasih–" "Ratmi, panggil saya Ratmi, non. Jika anda menginginkan sesuatu panggil saya." Sela pelayan wanita itu."Baiklah, salam kenal mbak Ratmi,""Panggil saja Ratmi, non. Saya lebih suka begitu," "Ya,""Silahkan." Ucap Ratmi, membiarkan Alice melangkah lebih dulu dan di ikuti olehnya.Tanpa berniat untuk menjawab Alice melangkahkan kakinya menuju ruang makan. Di sana tepat di depannya sosok pria yang akhir-akhir ini tak juga datang ke kamarnya setelah berapa hari yang lalu. Hanya saat itu di mana Alice harus mendatangi berkas tanpa di baca lebi
Dua jam berakhir sesuai perintah Alaric. Berkas telah rapih dan kini telah di berikan pada yang empunya. Namun sayang, Alaric meremehkan kinerja Alice. Membuka satu persatu berkas di yang di berikan pada Alice hasil yang memuaskan tidak ada satu pun yang terlewat apa lagi kesalahan."Oke, tapi tunggu dulu. Kamu jangan senang dulu, aku tidak bisa percaya padamu. Sebelum melihat semua hasilnya!" Alaric membuka lembar demi lembar, tidak ada yang perlu di periksa semua sesuai."Boleh aku bertanya?" tanya Alice, lirih.Terkejut mendengar suara Alice yang ingin bertanya padanya. Alaric menutup berkas yang kini tidak menjadi minatnya."Apa yang ingin kamu, tanyakan?" Alaric memperhatikan gerak-gerik Alaric, sejak tadi begitu tanang tanpa terganggu atau pun protes meski Alaric sengaja mengulur waktu agar Alice tetap berada di dalam ruang kerjanya."Mengenai kebebasan itu, apa aku bisa–" Alice menundukkan wajahnya, takut jika Alaric akan menolak keinginannya dan hukuman itu semakin berat untukn
"Wanita sialan!!" erang Alaric. Alaric merasakan sakit yang luar biasa saat Alice menendang juniornya.Dengan kasar menarik tubuh Alice. Entah apa yang terjadi sehingga Alaric tak mempedulikan suara tangisan mengiba Alice. Tubuhnya sulit untuk di kendalikan, malam itu Alaric hanya ingin dengan Alice. "Diam, aku tidak butuh suara tangisanmu, Alice. Nikmati sentuhannya, aku menagihnya sekarang." Ucap Alaric, suaranya begitu berat. Sarat akan hawa nafsu yang menggebu.Alice hanya bisa menggigit bibir bawahnya sakit, nyeri, berbaur bersamaan. Ingin rasanya ia menenggelamkan tubuhnya saat itu juga. Namun, sayang hal itu tak mungkin di lakukan.'Mama, kakek, aku gagal menjaganya.' batin Alice. Air mata semakin deras seiring rasa yang begitu menyakitkan hati dan tubuhnya. Membiarkan pria yang telah membelinya untuk menikmati semua miliknya yang berharga."Alice–" rancau Alaric, di sela kegiatannya di atas tubuh Alice. Isaknya semakin menjadi meski sekuat tenaga tidak mengeluarkan suara n
Acara yang sudah disusun sedemikian matang akhirnya gagal karena satu hal yang tidak mungkin dilakukan mengingat akan banyak orang yang akan terlibat di dalamnya Alaric tidak ingin mengambil resiko terlebih kejadian yang belum lama ini dialami oleh istri dan anaknya sehingga rencana pun berubah. Walau demikian Alice, sebagai istri tentu mendukung penuh apa yang diinginkan oleh sang suami. Tanpa mencampuri tangan orang banyak sang suami tentu bisa menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari-hari berlalu dengan tenang semua yang terlibat di dalamnya pun tentu merasa takut karena selama beberapa hari ini pun tidak ada yang mengusik ataupun bergerak untuk menangkap mereka justru sebaliknya keluarga kecil itu tengah berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di kota."Sebenarnya apa yang di rencanakan, kamu?""Hum, kamu keberatan dengan ketenangan ini?"Alice menggeleng tentu tidak terganggu dengan ketenangan yang dibuat oleh sang suami namun selain itu ada hal yang membuatnya merasa
"Ayah!!""Sayang, kamu tidak apa-apa?"Arka menggeleng cepat wajahnya ia benamkan dalam ceruk leher Alaric."Benar yang tante katakan tadi kan? Ayah akan datang untuk menyelamatkan kita. Tuan, Alaric terima kasih, sudah menyelamatkan kami.""Sayang apa mereka menyakitimu?"Arka kembali menggeleng sesaat memperhatikan Larissa yang menatapnya."Ayah, bawa aku pergi dari sini. Aku takut,""Ya, sayang, kita akan pergi."Alaric membawa Arka pergi tak lama langkahnya terhenti saat suara dari belakang terdengar."Tuan, anda tidak mengajakku pergi? Aku sudah berusaha untuk melindungi den Arka,"Tanpa mengatakan ataupun menjawab Alaric meninggalkannya begitu saja. Sesuatu terjadi dan putranya tengah ketakutan."Ben, urus wanita itu jangan biarkan salah satu lepas termasuk dia.""Baik, tuan.""Ayah, mama, mana?""Mama, sedang menunggu kita di rumah, nak. Anak ayah yang tampan dan hebat ini apa sudah bisa ceritakan pada ayah?"Arka terdiam tubuhnya terasa sedikit bergetar. Alaric tahu ada yang t
Alaric bersikap tenang membuat pria paruh baya mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tahu apa yang akan terjadi jika salah bicara bukan hanya dirinya tapi juga seluruh keluarga akan hancur bahkan kematiannya tidak akan terendus oleh pihak berwajib sehingga ia di nyatakan mati sewajarnya.Membayangkan hal itu membuat buku kuduknya berdiri tatapan yang terlihat tenang itu justru tatapan sebaliknya. Tatapan seorang pembunuh berdarah dingin, siapa tak kenal Alaric dalam dunia bisnis dan bawah dua orang yang di takuti banyak orang termasuk lawan bisnisnya."Haruskah aku percaya? Atau kau ingin kita bermain-main lebih dulu tuan?""Hahaha, becandamu tidak bisa membuatku tertawa. Tapi, sedikit menggelitik.""Tuan, cobalah untuk jujur agar tidak ada hal yang membuat kita tidak nyaman terlebih anda." "Boy, kau belum mengenalku sepertinya. Aku tidak pernah bermain-main dan apa yang aku katakan itu adalah sebuah kejujuran.""Oke, kali ini aku percaya tuan Rendra. Anggap saya percaya dengan perkataa
Alice membuka matanya aroma obat tercium begitu menyengat di hidungnya. Memindai seluruh ruangan bercat putih. Alice mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Sesaat tubuhnya bergetar mencoba untuk bangkit namun sayang tubuhnya begitu sulit untuk di gerakkan."Sayang, kamu sudah sadar? Kamu tidak boleh bergerak, tetap seperti ini,""Arka, di mana Arka? Kamu berhasil menyelamatkan anakku kan? Katakan padaku Alaric, mana anakku!!" Alice memukul dada bidang Alaric, putranya tidak ada di sampingnya. "Sayang, kamu harus tenang ya?" Alaric mencoba untuk memeluk Alice, tapi sayang Alice tetap memberontak dan bahkan berulang kali mendorong tubuh Alaric meski tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Alice mencoba melepaskan diri saat Alaric berusaha untuk menenangkan dirinya walau tubuhnya lemah Alice tetap berusaha untuk turun mencari keberadaan putranya."Aku janji akan membawa anak kita dengan selamat. Tidak ada satu goresan dalam tubuhnya, aku janji sayang." Alaric merengkuh tubuh istrinya y
Alice memilih menu untuk mereka nikmati bersama tanpa bertanya karena ia tahu jika Ratmi menyukai makanan yang sama dengannya. Bahkan Larissa pun memilih makanan favorit walau ia beralasan penasaran dengan menu yang di lihatnya mengunggah seleranya. "Setelah ini anda mau ke mana nyonya?" Larissa memecah keheningan di antara mereka setelah menikmati makan siang di tempat yang di pilih oleh Arka. "Pulang, di rumah ada mama. Tapi sepertinya Arka ingin berkeliling sebentar," "Ya, nyonya anda benar sekali, sepertinya den Arka masih ingin bermain apa sebaiknya kita nunggu sebentar agar den Arka puas bermain?" usul Larissa. Alice membenarkan perkataan Larissa, selagi Emre di luar kebetulan Alice sudah lama tidak mengajak Arka bermain di luar rumah. "Ya, benar. Kita tunggu sebentar." Mereka mengikuti langkah kecil Arka yang memilih satu permainan yang di inginkan olehnya. Walau sejak tadi sudah bermain, tetapi tak terlihat lelah di wajahnya. Alice sesekali menanggapi perkataan La
Alaric yang menceritakan semua yang terjadi di proyek pada Alice. Sebagai seorang suami ia harus jujur terhadap istrinya apapun yang terjadi di luar rasa, termasuk musibah yang menimpa mereka berdua sehingga Alaric menyelamatkan nyawa Larissa sebagai bentuk terima kasihnya yang sudah di selamatkan.Mereka memilih menginap di salah satu penginapan yang tak jauh dari proyek itu pun semua dilakukan demi rasa kemanusiaan dan tentu hal itu membuat Alice semakin mencintainya karena kejujuran laki-laki yang kini telah menjadi seorang ayah untuk putranya. "Aku tidak akan marah ataupun cemburu, apa yang kamu lakukan itu sudah benar tentu aku akan bangga dan mengucapkan terima kasih padanya untuk kedua kalinya dan menyelamatkan suamiku. Dan salah satunya karena ulah anak kita dan yang kedua adalah kamu, bagaimana jika dia tidak menyelamatkan kamu tentu saat ini kamu tidak berada di hadapanku namun sebaliknya aku dan anakku menangis mengiringi kepergianmu"Hal itu tidak mungkin terjadi padaku k
Kepulangan Beni dari tempat tinggal baru Gisella mendapatkan respon cepat dari Alice, bagaimana tidak. Sahabatnya memintanya untuk tidak mencari keberadaannya dan permintaan maaf atas apa yang sudah di lakukan oleh ibunya. Hal itu yang membuat Alice meminta pada Beni agar mencari keberadaan Gisella, walau terlahir dari wanita yang sama namun Gisella memiliki sifat yang jauh berbeda dengan Federica."Lalu apa yang kamu dapatkan dari jawaban cinta yang pernah kamu ungkapkan?" Wajah Beni merona mengingat jawaban apa yang diberikan oleh Gisella padanya."Aku tidak bisa menceritakannya padamu,""Kenapa? Kamu lupa kalau aku adalah istri dari bos kamu? Jika kamu tidak mengambil sikap maka akan ada salah paham. Tentunya salah satunya akan menderita jika kamu memiliki di antara mereka. Tanyakan pada hatimu siapa yang benar-benar kamu cintai di antara mereka berdua, jangan menyakiti salah satunya. Kalau aku menjadi kamu tentu aku akan mengambil jalan tengah untuk tidak memilih salah diantaran
Mengubur kenangan yang penuh luka dan air mata. Berharap tempat yang baru memberikan kenangan yang indah tidak peduli seberapa kerasnya jalan di depan, baginya menjauh dan membuka lembaran baru adalah hal yang paling di inginkan.Gisella, gadis cantik yang kini berusaha menutup lembaran lama, namun sebelum pergi jauh ia memilih untuk datang ke suatu tempat yang sudah lama tidak ia kunjung.Di sana semuanya terkubur, usahanya untuk memulai yang baru kala itu kandas. Bohong jika Gisella tidak sakit hati namun dia pandai menyembunyikan di balik ekspresi wajah tenangnya."Ayah, aku kalah lagi. Aku egois, ingin meminta yang tidak bisa di lakukannya. Bagaimana kabar ayah di sana? Aku juga baik-baik saja di sini ayah. Setelah ini aku akan jarang datang mungkin tidak datang lagi, tapi doa untukmu tetap mengalir ayah. Selamat tinggal ayah, maafkan aku yang sudah berbohong, rumah kita akan aku titipkan pada orang lain. Agar kelak saat aku merindukan ayah, rumah itu masih ada. Aku sayang ayah,"
Ucapan selamat ulang tahun dan beberapa nyanyian terdengar begitu meriah, Alaric terkejut melihat sekeliling yang penuh dengan karyawan dan asisten pribadinya pun berada diantara mereka. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kedua orang tuanya yang tiba-tiba mendekatinya dengan kue di depannya bahkan Jarvis orang kedua yang menyambut kedatangan Alaric.Secara pergantian mereka memberikan ucapan pada Alaric sebelum mereka makan siang bersama. "Terima kasih, sayang. Kerjasama kalian luar biasa. Dan kamu Beni, pantas saja sejak pagi kamu selalu menghindar begitu banyak alasan agar bisa menjauh dariku ternyata hari ini kamu lebih berpihak pada istriku daripada tuanmu sendiri." Kesal Alaric, yang sejak pagi mengerjakan semua tugasnya sendiri bahkan ponsel pribadi Beni pun sulit dihubungi. "Maafkan saya, tuan. Tapi ini sudah kami rencanakan sejak lama," "Sudah, sekarang kita makan. Hari ini kalian bebas untuk makan, jika ada yang mau bawa pulang? Silahkan bungkus untuk keluarga di rumah. Ja