Bintang berpaling pada Bayu. "Aku mendengar suara seperti orang mencebur ke dalam air. Dia pergi mencari perahu atau mencebur mandi!"
Bayu tak menjawab. Bintang berpikir. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. Serta merta Bintang melompat dan lari menuju tepi sungai. Bayu mengikuti dari belakang. Di tepi sungai Bintang dan Bayu hanya menemukan perahu dalam keadaan mengapung terbalik. Arya tak kelihatan mata hidungnya. Tiba-tiba Bayu berseru seraya menunjuk ke tengah sungai.
"Bintang! Lihat!"
Air sungai di sebelah tengah tampak merah. "Darah!" ujar Bintang. "Jangan-jangan Arya bunuh diri atau dibunuh orang!'?
"Bunuh diri? Apa alasannya? Dibunuh orang, oleh siapa?!" kata Bayu pula.
"Aku akan menyelidik!" Bintang segera hendak melompat terjun ke dalam sungai yang lebar dan dalam itu. Tapi Bayu cepat menghalangi. "Urusan di dalam air serahkan padaku! Sudah lama aku tidak menyelam!" Bayu memang sanggup mengarungi dan menyelami laut luas, maka sungai baginya bukan
"Tolong...! Aku takut! Aku gamang! Turunkan diriku! Tolong! Aku takut jatuh...!"Di cabang sebatang pohon tinggi Bintang dan Bayu kemudian menemukan seorang anak berusia sekitar delapan tahun dalam keadaan terikat.Disampingnya terikat sebuah keranjang berisi mempelam. Bintang dan Bayu segera naik ke atas pohon, melepas ikatannya lalu membawa turun ke tanah sekalian dengan keranjang berisi mangga itu."Anak, katakan apa yang terjadi denganmu! Bagaimana kau bisa berada di atas pohon dalam keadaan terikat?!" bertanya Bintang."Orang jahat itu yang melakukannya!" jawab si anak sambil memandang ke arah sungai penuh takut."Orang jahat siapa? Kau mengenalinya?" tanya Bayu.Si anak menggeleng. "Tidak pernah kulihat orang itu sebelumnya. Rambutnya panjang sepinggang. Tubuhnya bau! Matanya merah. Mukanya bopeng. Giginya besar-besar. Mungkin dia bukan orang tapi roh jahat! Aku takut...!""Kau tak usah takut. Ada kami di sini menolongmu.
"Agaknya perlu diberi tahu siapa kita adanya! Agar landak bermuka manusia kuning ini tahu diri! Tidak jual lagak dan meludah segala!" Kakek di atas batu besar sebelah kiri gerakkan tangan kanannya ke pinggang.Tubuhnya melesat ke depan. Selarik cahaya merah berkiblat."Traanngg!""Braaakkk!"Sebuah batu besar yang terletak tiga langkah di hadapan Jin Patilandak terbelah dua. Sebelum dua belahan jatuh ke tanah si kakek sudah melesat dan tegak kembali di atas batu tempatnya semula!Orang lain mungkin akan tersentak kaget dan kecut nyalinya melihat kemampuan si kakek dan kehebatan pedang merahnya. Tapi Jin Patilandak yang sudah kesal melihat tingkah laku dua kakek nenek itu tidak pandang sebelah mata. Malah kembali dia semburkan ludahnya. Meledaklah kemarahan sepasang kakek nenek itu. Si kakek acungkan pedang merahnya ke udara seraya berteriak."Muridku Pagandrung dan Pagandring! Kami guru kalian! Pajahilio dan Ruhjahilio! Kami telah menemukan
Ruhjahilio berseru Kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya Jin Patilandak meraung marah. Dia tidak lagi memperhatikan sambaran pedang Pajahilio. Masih untung senjata si kakek hanya membabat putus sembilan bulu landak yang ada di punggungnya. Walaupun rasa sakit menggeletari sekujur tubuhnya bagian belakang namun Jin Patilandak tidak peduli.Didahului dengan menghantamkan selusin duri landaknya ke arah Ruhjahilio, Jin Patilandak susul menyerang dengan sinar Mega Kuning Liang Batu.Ruhjahilio terpekik ketika dua duri landak menyusup di kembennya dan menusuk permukaan kulitnya. Nenek ini berkelebat ke balik batu besar. Untung dia berlaku cepat. Walau batu besar itu hancur berantakan dihantam sinar Mega Kuning Liang Batu dan mengepulkan asap kuning beracun namun si nenek masih sempat selamatkan diri dengan membuat dua lompatan cepat.Seperti tidak sadar kalau saat itu dia tengah menghadapi bahaya besar dari dua musuh berkepandaian sangat tinggi, Jin Patilandak ja
Pajahilio menggerung keras menyaksikan keadaan kekasihnya itu. Amarahnya meluap. Darah di kepalanya seolah mau muncrat menembus ubun-ubun. Cepat dia menyambar dan mendukung sosok sang kekasih.Sepasang matanya memandang melotot dan menyorot penuh geram ke arah dua orang di kegelapan namun tak berani melakukan apa-apa. Dalam hati kakek ini membatin. "Dua orang dalam gelap itu pasti dara bernama Ruhcinta dan Jin Budiman. Dua pendekar berkepandaian yang sukar dijajagi. Jin Muka Seribu saja belum tentu mampu menghadapi salah satu dari mereka. Aku tak mau cari penyakit walau kelak Jin Muka Seribu akan menjatuhkan hukuman berat padaku!"Tanpa banyak bicara, dengan darah mendidih si kakek akhirnya putar tubuh. Sebelum berkelebat pergi dan menghilang di kegelapan malam dia masih sempat keluarkan suara."Kalian berdua! Aku tidak akan melupakan wajah kalian! Suatu saat kami berdua akan melakukan pembalasan!"Orang dalam gelap mendengus. Satunya lagi berkata. "Sebel
Begitu Jin Patilandak menyebut nama orang di hadapannya itu, terkejutlah gadis berpakaian biru yang ada hiasan bunga tanjung di keningnya. Gadis ini cepat palingkan kepala, menatap tajam pada sosok yang tegak sekitar sepuluh langkah di sisi kanannya."Benar dia rupanya. Makhluk muka hitam yang terus-terusan mengikuti. Beberapa waktu lalu aku berhasil menghilang dari kuntitannya. Bagaimana malam ini dia tahu-tahu bisa berada di bukit dingin ini? Sebaiknya aku segera pergi saja”Orang bermuka hitam yang maklum akan gerak hati Ruhcinta segera maju mendekat sampai tiga langkah lalu berucap. "Hai gadis, pertemuan ini mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sedang bagiku adalah satu harapan yang sangat besar”"Harapan apa?" tanya Ruhcinta heran. Gadis ini jadi berdebar. Dia membatin. "Setiap harapan yang baik selalu disertai rasa kasih. Apakah orang ini”"Gadis bernama Ruhcinta, kau tentu masih ingat pertemuan kita terakhir di bukit tempat Dewi Awa
Jin Patilandak ucapkan terima kasih lalu duduk di atas batu. Jin Budiman berpaling pada Ruhcinta lalu lanjutkan pembicaraannya."Dari kabar yang kusirap, kau pernah bertanyakan tentang seorang bernama Pajundai. Apakah benar?"Sepasang mata Ruhcinta membesar dan menatap lekat-lekat pada si muka hitam. Lalu dia anggukkan kepala. "Apakah kau mengetahui orang itu dan di mana beradanya?" bertanya Ruhcinta. "Atau mungkin kau ada sangkut paut dengan dirinya?!""Hai. Orang itu berada di Istana Surga Dunia!" jawab Jin Budiman.Kagetlah Ruhcinta mendengar jawaban itu. "Hai! Jika ucapanmu itu benar adanya, dapatkah kau memberikan bukti dan kesaksian?""Seseorang bisa saja memberikan bukti dan kesaksian. Tetapi bukti dan kesaksian yang terbaik adalah jika orang yang menginginkannya sendiri yang melakukan penyelidikan. Aku hanya cukup memberitahu. Pajundai itu sebelumnya bernama Pabahala. Dan dia bukan lain adalah makhluk yang bernama Jin Muka Seribu!"
Belum sempat Ruhcinta menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di langit kelihatan belasan nyala api laksana barisan obor bergerak turun ke bawah. Barisan obor itu berbentuk lingkaran dan gerakannya turun sangat cepat.Udara yang sudah sangat dingin di tempat itu mendadak bertambah luar biasa dinginnya. Semua orang yang ada di tempat itu jadi menggigil dan kaku seperti beku sekujur tubuh mereka. Ruhcinta, Jin Patilandak dan Si Jin Budiman kerahkan tenaga dalam dan cepat atur jalan darah masing-masing. Tapi tak ada gunanya. Ketiga orang ini tetap saja tak mampu bergerak dan membuka suara.Pada saat barisan obor berbentuk lingkaran mencapai ketinggian sepuluh tombak dari atas bukit batu, ketiga orang itu baru mampu melihat bahwa yang membawa nyala api itu adalah lima belas sosok perempuan muda berpakaian tipis berwarna abu-abu."Dewi dari atas langit...” Ke tiga orang itu sama membatin.Tiba-tiba lima belas nyala api melebar dan menyatu lalu bergerak ke arah
RUHCINTA hampir kehabisan tenaga karena sepanjang malam dia berlari terus menerus mengikuti Jin Patilandak. Di sebelah depan Jin Patilandak juga merasakan sekujur tubuhnya seperti mau bertanggalan. Nafasnya megap-megap. Dia lari mengikuti gagak hitam yang terbang rendah di depannya.Pada saat langit di sebelah timur tampak terang, gagak hitam melesat ke arah selatan, memasuki satu kawasan bebukitan rendah ditumbuhi aneka warna kembang yang sedang mekar. Baik Jin Patilandak maupun Ruhcinta tidak sempat memperhatikan keindahan disekelilingnya. Mereka lari terus. Waktu menyeberangi satu anak sungai kecil dan dangkal serta berair sejuk jernih, Jin Patilandak pergunakan kesempatan untuk meneguk minum sepuas hatinya lalu lari lagi mengikuti gagak hitam yang berputar-putar seolah sengaja menunggu. Hal yang sama juga dilakukan Ruhcinta. Gadis ini cuci mukanya lalu teguk air sejuk itu. Ketika dilihatnya Jin Patilandak melanjutkan larinya, dia pun ikut mengejar.Di salah satu pu