Pajahilio menggerung keras menyaksikan keadaan kekasihnya itu. Amarahnya meluap. Darah di kepalanya seolah mau muncrat menembus ubun-ubun. Cepat dia menyambar dan mendukung sosok sang kekasih.
Sepasang matanya memandang melotot dan menyorot penuh geram ke arah dua orang di kegelapan namun tak berani melakukan apa-apa. Dalam hati kakek ini membatin. "Dua orang dalam gelap itu pasti dara bernama Ruhcinta dan Jin Budiman. Dua pendekar berkepandaian yang sukar dijajagi. Jin Muka Seribu saja belum tentu mampu menghadapi salah satu dari mereka. Aku tak mau cari penyakit walau kelak Jin Muka Seribu akan menjatuhkan hukuman berat padaku!"
Tanpa banyak bicara, dengan darah mendidih si kakek akhirnya putar tubuh. Sebelum berkelebat pergi dan menghilang di kegelapan malam dia masih sempat keluarkan suara.
"Kalian berdua! Aku tidak akan melupakan wajah kalian! Suatu saat kami berdua akan melakukan pembalasan!"
Orang dalam gelap mendengus. Satunya lagi berkata. "Sebel
Begitu Jin Patilandak menyebut nama orang di hadapannya itu, terkejutlah gadis berpakaian biru yang ada hiasan bunga tanjung di keningnya. Gadis ini cepat palingkan kepala, menatap tajam pada sosok yang tegak sekitar sepuluh langkah di sisi kanannya."Benar dia rupanya. Makhluk muka hitam yang terus-terusan mengikuti. Beberapa waktu lalu aku berhasil menghilang dari kuntitannya. Bagaimana malam ini dia tahu-tahu bisa berada di bukit dingin ini? Sebaiknya aku segera pergi saja”Orang bermuka hitam yang maklum akan gerak hati Ruhcinta segera maju mendekat sampai tiga langkah lalu berucap. "Hai gadis, pertemuan ini mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sedang bagiku adalah satu harapan yang sangat besar”"Harapan apa?" tanya Ruhcinta heran. Gadis ini jadi berdebar. Dia membatin. "Setiap harapan yang baik selalu disertai rasa kasih. Apakah orang ini”"Gadis bernama Ruhcinta, kau tentu masih ingat pertemuan kita terakhir di bukit tempat Dewi Awa
Jin Patilandak ucapkan terima kasih lalu duduk di atas batu. Jin Budiman berpaling pada Ruhcinta lalu lanjutkan pembicaraannya."Dari kabar yang kusirap, kau pernah bertanyakan tentang seorang bernama Pajundai. Apakah benar?"Sepasang mata Ruhcinta membesar dan menatap lekat-lekat pada si muka hitam. Lalu dia anggukkan kepala. "Apakah kau mengetahui orang itu dan di mana beradanya?" bertanya Ruhcinta. "Atau mungkin kau ada sangkut paut dengan dirinya?!""Hai. Orang itu berada di Istana Surga Dunia!" jawab Jin Budiman.Kagetlah Ruhcinta mendengar jawaban itu. "Hai! Jika ucapanmu itu benar adanya, dapatkah kau memberikan bukti dan kesaksian?""Seseorang bisa saja memberikan bukti dan kesaksian. Tetapi bukti dan kesaksian yang terbaik adalah jika orang yang menginginkannya sendiri yang melakukan penyelidikan. Aku hanya cukup memberitahu. Pajundai itu sebelumnya bernama Pabahala. Dan dia bukan lain adalah makhluk yang bernama Jin Muka Seribu!"
Belum sempat Ruhcinta menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di langit kelihatan belasan nyala api laksana barisan obor bergerak turun ke bawah. Barisan obor itu berbentuk lingkaran dan gerakannya turun sangat cepat.Udara yang sudah sangat dingin di tempat itu mendadak bertambah luar biasa dinginnya. Semua orang yang ada di tempat itu jadi menggigil dan kaku seperti beku sekujur tubuh mereka. Ruhcinta, Jin Patilandak dan Si Jin Budiman kerahkan tenaga dalam dan cepat atur jalan darah masing-masing. Tapi tak ada gunanya. Ketiga orang ini tetap saja tak mampu bergerak dan membuka suara.Pada saat barisan obor berbentuk lingkaran mencapai ketinggian sepuluh tombak dari atas bukit batu, ketiga orang itu baru mampu melihat bahwa yang membawa nyala api itu adalah lima belas sosok perempuan muda berpakaian tipis berwarna abu-abu."Dewi dari atas langit...” Ke tiga orang itu sama membatin.Tiba-tiba lima belas nyala api melebar dan menyatu lalu bergerak ke arah
RUHCINTA hampir kehabisan tenaga karena sepanjang malam dia berlari terus menerus mengikuti Jin Patilandak. Di sebelah depan Jin Patilandak juga merasakan sekujur tubuhnya seperti mau bertanggalan. Nafasnya megap-megap. Dia lari mengikuti gagak hitam yang terbang rendah di depannya.Pada saat langit di sebelah timur tampak terang, gagak hitam melesat ke arah selatan, memasuki satu kawasan bebukitan rendah ditumbuhi aneka warna kembang yang sedang mekar. Baik Jin Patilandak maupun Ruhcinta tidak sempat memperhatikan keindahan disekelilingnya. Mereka lari terus. Waktu menyeberangi satu anak sungai kecil dan dangkal serta berair sejuk jernih, Jin Patilandak pergunakan kesempatan untuk meneguk minum sepuas hatinya lalu lari lagi mengikuti gagak hitam yang berputar-putar seolah sengaja menunggu. Hal yang sama juga dilakukan Ruhcinta. Gadis ini cuci mukanya lalu teguk air sejuk itu. Ketika dilihatnya Jin Patilandak melanjutkan larinya, dia pun ikut mengejar.Di salah satu pu
"Dewi Awan Putih!" Jin Patilandak dan Ruhcinta berseru hampir berbarengan. Terkejut dan tidak menyangka sama sekali akan menemui sang Dewi di tempat itu. Sesaat kedua orang yang baru masuk ini tegak terpana menatapi wajah Dewi Awan Putih. Aneh, kedua orang ini melihat ada bekas menangis pada sepasang mata biru sang Dewi."Kalian datang hanya berdua?" tanya Dewi Awan Putih karena diam-diam dia mengharap Bintang juga muncul bersama mereka. Sang Dewi menjadi kecewa karena memang hanya Jin Patilandak dan Ruhcinta yang masuk ke dalam goa. Apalagi sejak beberapa waktu lagi dia merasa cemburu atas hubungan Bintang dengan Ruhcinta.Dari hanya terkejut Jin Patilandak berubah menjadi marah. Kehidupannya yang penuh derita selama ini adalah gara-gara kutukan Para Dewi. Patung yang sangat disayanginya lenyap dilarikan orang. Ternyata Dewi Awan Putih yang melakukannya!"Dewi Awan Putih, jadi kau rupanya yang punya pekerjaan! Sungguh aku tidak menyangka! Dari dulu tindakanmu s
"Mengapa kau melakukan hal itu Hai Dewi Awan Putih? Menjadi pahlawan untuk sebuah patung benda mati?""Terus terang aku tidak suka dengan tindakan Para Dewi. Mereka telah melangkah terlalu jauh dalam mengurus hal-hal yang tak patut mereka lakukan. Kemudian satu hal yang amat penting, seperti aku katakan tadi patung ini bukan patung biasa. Apakah kau tidak merasa bahwa dalam aliran darahmu, dalam detak jantungmu seperti ada pertalian batin antaramu dengan patung ini”"Aku tidak mengerti”"Kau menyukai patung ini. Kau menyayangi mengasihinya. Hai, itulah yang kumaksudkan pertalian batin, sambung rasa. Kau bahkan tidak peduli akan keselamatan tubuh serta jiwamu sendiri demi menyelamatkan patung ini. Itulah rasa kasih sayang sejati. Mengenai kasih sayang pengetahuanku hanya secupak dangkal. Mungkin kerabat Ruhcinta bisa menjelaskan”Ruhcinta diam saja tapi dia tahu kalau Dewi Awan Putih menyindirnya. "Apa pula maksud Dewi satu ini menyindirk
KUDA HITAM berkaki enam itu melesat ke dalam senja memasuki malam. Maithatarun yang berada di sebelah depan menunjuk ke arah timur. Sebuah bukit terjal kelihatan menghitam di kejauhan."Itu bukit tujuan kita," kata Maithatarun lalu memperlambat lari kudanya. "Yang di arah barat itulah yang disebut Pabukit Tanpa Mentari. Pada pagi hari sampai siang bukit itu tidak pernah kena matahari. Waktu matahari beralih ke barat sinarnya juga tidak bisa menyentuh bukit karena ada bukit lain yang lebih tinggi menghalangi”"Aku heran," kata Bayu yang duduk di paling depan Paekakienam. "Kalau ada orang mau membunuh Arya itu, mengapa susah-susah mengundang dan mengadakan Perjamuan Pengantar Arwah segala!""Nenek berjuluk Jin Pembedol Usus yang menyamar jadi Ruhlampiri itu jelas-jelas adalah kaki tangan Jin Muka Seribu," menyahuti Bintang. "Aku yakin penculikan Arya ini satu jebakan yang didalangi oleh Jin Muka Seribu!""Aku juga menduga begitu," kata Maithatarun yan
"Jebakan salah-salah bisa membuat kita lupa," kata Maithatarun. "Apa lagi yang kau lihat. Jin Muka Seribu ada di sana?"Bintang menggeleng. "Manusia Segala Tipu, Segala Keji dan Segala Nafsu itu mana berani unjukkan muka terang-terangan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung kaki tangannya. Aku juga tidak melihat kawan kita Arya. Di atas meja banyak hidangan dan minuman. Namun belum ada satu pun yang menyentuh. Ada dua buah kursi kosong di kiri kanan meja. Rupanya sesuai undangan, untukku dan untuk Bayu.... Tunggu dulu. Ada dua orang menggotong sebuah kursi besar. Homm. Kukira itu kursi untukmu Maithatarun. Aneh, bagaimana mereka bisa mengetahui kehadiranmu?""Jin Muka Seribu punya banyak pembantu dan mata-mata. Kalian sudah siap?" tanya Maithatarun. Bintang dan Bayu anggukkan kepala. Maithatarun tepuk pinggul kuda hitam berkaki enam. Binatang raksasa ini segera melompat lari menuruni lembah kecil. Tak selang berapa lama dalam kegelapan di depan sana kelihatan cahay