Begitu Pagandrung dan Pagandring lenyap, Ksatria Pengembara segera mendatangi Jin Tangan Seribu yang saat itu telah kembali ke bentuknya semula yaitu seorang kakek bermuka rata.
“Kek, kau tak apa-apa...?” tanya Bintang.
Jin Tangan Seribu usap matanya yang basah oleh air mata karena tertawa terpingkal-pingkal tadi. “Kau sendiri bagaimana?”
“Hampir celaka! Untung ada seseorang menolong” jawab Bintang.
“He...” Jin Tangan Seribu hanya manggut-manggut seolah tak mau bertanya siapa adanya orang yang menolong Bintang tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu berkata pada Bintang. “Anak muda, kau jangan ke mana-mana dulu.Tunggu sampai aku selesai mandi!” Laju enak saja kakek itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya setelah ditunggu sekian lama sosok Jin Tangan Seribu tak kunjung muncul. Mau tak mau Ksatria Pengembara jadi agak gelisah.
“Kek! Jin Tangan Seribu!” Bintang memanggil. Tak
“Memutus ranting dengan daun kering bukan pekerjaan mudah! Hanya orang berkepandaian luar biasa mampu melakukannya! Kakek yang seperti sinting ini pasti bukan makhluk sembarangan!” Baru saja Bintang membatin seperti itu tiba-tiba si kakek sudah ada di depannya. Dia menyengir hingga seluruh giginya memberojol keluar.“He, Buyung! Kau tentu menduga aku ini sinting! Iya, kan?!”“Walah, jangan-jangan dia bisa mendengar suara hatiku!” kata Bintang. Lalu dia balas menyengir. “Tidak, Kek. Menurutku kau tidak sinting! Malah aku senang mendengar nyanyianmu!” kata Bintang pula.“He, begitu? Terima kasih! Yang betul saja Buyung!”“Betul, nyanyianmu sangat sedap didengar,” kata Bintang.Si kakek menyengir. “Terima kasih!” katanya lagi. Lalu, “Sekarang tolong kau pegangkan tangkai payung ini!” Karena payung langsung disodorkan kepadanya terpaksa Bintang pegang payung
“Sebelum kau muncul di sini, mungkin waktu kau tengah menuju ke sini, apakah kau berpapasan atau melihat seorang lain?” Bintang bertanya begitu karena dia ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang menolongnya waktu berkelahi melawan Pagandring tadi. Yaitu yang memberi tahu agar dia mengeluarkan ilmu Amblas Bumi yang selama bertahun-tahun tak pernah dipergunakannya.“Memang, aku ada melihat orang lain selain dirimu!” Kakek tonggos menjawab sambil pentang wajah bersungguh-sungguh.“Siapa? Di mana?” tanya Bintang.“Dia! Di sana!” jawab si kakek seraya goyangkan kepala ke arah Jin Tangan Seribu yang asyik mandi air kembang di dalam telaga di bawah air terjun.Bintang memaki dalam hati. “Bukan dia yang kumaksudkan. Tapi orang lain...”“Heee... Ya... ya. Memang ada. Ada dua orang. Tapi sudah pada kabur. Itu, dua kembar yang tadi berkelahi denganmu dan kakek yang mandi dua bulan sekali itu! P
Jin Tangan Seribu sesaat masih tegak berdiam diri. Setelah melirik Bintang, selang berapa lama kemudian baru dia berkata. “Tak ada yang menyalahkan kehadiranmu Hai sahabatku Jin Sinting. Namun terbetik berita bahwa kau kabarnya telah bergabung dengan Jin Muka Seribu, membangun satu tempat bernama Istana Surga Dunia, lalu ikut menjadi salah satu pembantu tangan kanannya. Mungkin kau bisa memberi keterangan?”Si Jin Sinting mendongak ke langit lalu tertawa mengekeh. “Terima kasih namaku tersebar dalam berita begitu rupa! Terima kasih kau memberi tahu padaku! Sebenarnya siapa aku ini maka dikabarkan bergabung dengan Jin Muka Seribu membangun Istana Surga Dunia! Gubuk reot saja aku tak mampu membangun, buktinya aku tidak punya rumah. Apalagi membangun Istana Surga Dunia! Amboi! memangnya aku ini tukang bangunan apa? Ha... ha! Lagi pula aku tidak suka jadi pembantu. Diriku sendiri tak bisa kubantu, bagaimana bisa membantu orang lain. Ha... ha... ha! Kalaupun aku
“Kakek konyol itu...” kata Bintang setengah termangu. “Dia menyelinap di celah sempit antara dua kakiku! Satu hal yang tak mungkin dilakukan. Kecuali kalau dia mempunyai dan mempergunakan Ilmu Amblas Bumi. Sungguh aneh!”Tiba-tiba terdengar suara nyanyian. “Na... na... na. Ni... ni... ni...”Bintang berkelebat ke arah sederetan pohon-pohon besar dari arah mana terdengarnya suara nyanyian itu. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.“Kakek bernama Jin Sinting!” teriak Bintang. “Kalau saya ketemu kau lagi akan saya dodorkan celanamu sampai ke lutut!”“Terima kasih kau mau berbuat begitu!” terdengar jawaban si kakek di kejauhan. “Jangan marah Hai anak muda! Kalau aku sudah melakukan hal itu lebih dulu pada dirimu!”Bintang terkejut. Dia memandang ke bawah. Astaga! Ternyata celananya di bagian belakang telah merosot sampai mendekati lutut!“Kapan
“Silakan saja kau bertanya. Siapa tahu aku memang bisa menjawab.” kata Bintang pula.“Di mana beradanya cincin berbatu hijau itu...”Bintang pandangi wajah datar Jin Tangan Seribu beberapa lamanya. Dalam hati dia berkata, “Kakek ini agaknya masih menginginkan cincin itu. Berarti dia masih berada di bawah Perintah Jin Muka Seribu...”“Maafkan saya Kek. Saya tak dapat memberikan jawaban. Terakhir sekali cincin itu berada di tangan sahabat saya bernama Arya. Cincin kemudian hilang lenyap. Tidak diketahui di mana beradanya...”“Apakah cincin berbatu hijau itu hilang ketika kalian masih berada di negeri kalian atau di Negeri Jin ini...” tanya Jin Tangan Seribu.“Cincin itu hilang di sini Kek. Belum lama setelah kami berada di negeri ini...”Jin Tangan Seribu termenung. Bintang tak dapat menduga apa yang ada dalam benak orang ini. Maka diapun berkata. “Kek, harap kau tid
BUNDA DEWI sejak tadi diam-diam memperhatikan tingkah laku Dewi Awan Putih. Sambil tersenyum akhirnya dia menegur. “Hai Dewi Awan Putih, Dewi tercantik dari segala Dewi. Lain sekali kulihat tingkah lakumu hari ini...”“Hai Bunda Dewi, lain bagaimana maksudmu?” tanya Dewi Awan Putih sementara matanya terus saja menatap ke dalam cermin di dinding batu, memperhatikan wajahnya sambil sesekali mengusap pipi kiri dan kanan.“Sejak pagi kau bangun, kau telah pergi ke telaga. Mandi sambil menyongsong terbitnya sang surya. Dalam telaga kau bernyanyi ceria sambil menggosok tubuhmu dengan bunga Sri Melati. Bunga langka yang hanya dipergunakan para gadis yang hendak melangsungkan perkawinan...”Dewi Awan Putih tertawa panjang. “Lucu kedengarannya ucapanmu Hai Bunda Dewi. Apa kau menduga aku ini hendak pergi kawin? Hik... hik... hik. Kawin dengan siapa, Hai Bunda Dewi?”“Aku tidak mengatakan kau akan kawin Hai Dewi
“Maaf kalau aku salah menduga. Tapi bukankah kau sejak lama jatuh hati terhadap Maithatarun, lelaki gagah kematian istri dan memiliki ilmu sangat tinggi itu?” Bunda Dewi perhatikan wajah kerabatnya itu. “Hai! Parasmu kulihat menjadi merah. Pertanda dugaanku tidak meleset!” Dewi Awan Putih berusaha tersenyum. Bunda Dewi lantas peluk sosok kerabatnya itu seraya berkata perlahan. “Hai Dewi Awan Putih. Walau sosok kita adalah sosok Dewi, tapi memang tak bisa dipungkiri hati nurani dan jiwa rasa kita tak banyak bedanya dengan manusia para penghuni Negeri Jin. Namun berhati-hatilah dalam bertindak. Jangan hati dan perasaanmu menipu jalan sehat akal pikiranmu. Pikirkan pula tantangan serta akibat yang akan terjadi jika sampai kau jatuh cinta pada orang yang tidak satu darah dengan turunan kita. Renungkan contoh akibat yang telah terjadi. Akupun kadang-kadang sulit keluar dari perasaan seperti ini walau sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Tapi sampai kapan
Sang makhluk ternyata adalah seekor kura-kura raksasa berwarna coklat yang memiliki dua sayap lebar hingga mampu melayang terbang di udara. Di atas punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias dengan kalungan bunga. Untuk beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap tajam ke arah Bintang. Lalu lontarkan senyum yang sangat memikat. Barisan gigi-giginya putih, rata berkilat. Sesaat dia rapikan gulungan rambutnya. Senyumnya masih belum pupus ketika tiba-tiba dia melompat dari punggung kura-kura raksasa dan sesaat kemudian telah berdiri di hadapan Bintang dengan gaya yang benar-benar mempesona. “Ruhjelita...” desis Dewi Awan Putih dengan suara bergetar, “Aku keduluan...” Hawa cemburu serta merta menjalari diri Dewi ini hingga wajahnya yang cantik kelihatan menjadi merah. “Bagaimana dia tahu-tahu bi