"Manusia jahanam! Dewa akan mengutukmu!" teriak Ruhtinti ketika dilihatnya Pawungu menanggalkan jubah ungunya hingga kini hanya mengenakan celana dalam. Sambil terus menyeringai dan basahi bibirnya Pawungu membungkuk. Sesaat lagi dia hendak menggagahi gadis itu tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dan bukk!
Satu tendangan menyambar rusuk Pawungu.
"Kraaakk!"
Tiga tulang iga Pawungu patah. Jeritan setinggi langit menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terpental, melingkar di tanah, mengerang dan menggeliat-geliat. Ketika dia berusaha mencari tahu siapa yang barusan menendangnya kagetlah Pawungu. Dari jubah hitamnya yang dilengkapi kerudung sampai di kepala jelas orang itu adalah Pengawal Tingkat Satu Istana Surga Dunia.
"Pengawal Istana Surga Dunia! Aku adalah sahabat Jin Muka Seribu! Kau akan menerima hukuman berat atas apa yang kau lakukan terhadapku!"
Ruhtinti cepat rapikan pakaiannya dan bangkit berdiri, bersembunyi di balik rerumpunan semak beluk
MAHLUK bersisik yang dikenal dengan nama Tringgiling Liang Batu berteriak menyuruh Jin Patilandak menghentikan larinya. Sampai-saat itu kakek dan cucu ini masih terus mengusung sosok Ruhmundinglaya, nenek yang tengah sekarat dalam usaha mereka mencari Ruhcinta, Jin Penjunjung Roh dan Jin Lembah Paekatakhijau. Saat itu mereka berada di lereng sebuah bukit batu. "Kek! Kau kembali menyuruh aku berhenti. Kali ini ada apa lagi?!" tanya Jin Patilandak dengan suara menandakan kejengkelan. "Kau jangan mengomel saja! Pergunakan otakmu untuk melihat kenyataan dan menghitung hari!" men- damprat Tringgiling Liang Batu. "Apa maksudmu?" tanya sang cucu. "Hari lima belas bulan dua belas hanya tinggal satu hari dari sekarang. Kita masih belum menemukan satupun dari tiga orang yang kita cari. Dan coba kau perhatikan keadaan nenek diatas usungan ini. Tubuhnya sudah sama renta dengan alas usungan. Aku tidak bisa memastikan lagi apa dia masih hidup atau sudah menemui aja
KETIKA Ruhcinta menengadah, sepasang matanya membentur satu wajah yang tak asing lagi. Satu wajah yang selama ini sangat dirindukannya karena sejak lama hati dan kasih sayangnya tertambat pada orang ini. "Bintang... Kau menyelamatkan diriku. Mengapa...?" suara Ruhcinta perlahan sekali karena tertindih isak tangis yang tak bisa dilepaskan. "Bukan aku yang menolongmu Ruhcinta. Tapi Gusti Allah yang Maha Kuasa," jawab Ksatria Pengembara. Lalu jauhkan dadanyanya dari dada gadis itu. Ruhcinta pejamkan matanya. Air mata jatuh mengambang di wajahnya yang halus kemerahan. Dia tak Sanggup untuk berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh kesamping kalau tidak lekas ditolong Oleh Bintang. Saat itu juga Jin Penjunjung Roh dan Jin Paekatakhijau mendatangi, ikut membantu. Ruhcinta senggugukkan lalu mulai keluarkan suara menangis. “Pemuda asing mata keranjang! Jangan sentuh Cucuku” tiba-tiba satu bentakan menggeledek, membuat Bintang berpaling. Yang membenta
"Anak-anak! Lekas kalian kuliti pemuda tak tahu diri itu!" Ratusan katak berubah beringas dan membuka mulut mereka, mengeluarkan suara bising seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Sesaat sebelum binatang-binatang itu melesat ke arah Bintang, Ruhcinta melompat dan tegak membelakangi Bintang, menghadap ke arah gurunya. "Guru harap maafkan diriku! Aku..." "Muridku! Apa kau hendak ikut-ikutan jadi tidak waras seperti pemuda itu?! Kau hendak membela orang yang telah mempermainkan dirimu?!" "Guru, jangan salah sangka. Aku..." "Jangan banyak bicara Ruhcinta!" memotong Jin Penjunjung Roh. "Kalau kau mau mati berdua pemuda ini kami tidak akan menghalangi!" "Nek, Hai! Biarkan aku bicara dulu. Apa salah pemuda ini sampai kalian hendak menjatuhkan tangan menghukumnya?!" Dua nenek Ruhmasigi dan Ruhniknik sama-sama saling pandang pelototkan mata lalu sama-sama tertawa panjang. "Ruhniknik!" kata Ruhmasigi pula. "Otak cucumu ben
Kokok ayam memecah keheningan di penghujung malam. Di ufuk timur kelihatan langit mulai terang pertanda fajar telah menyingsing. Begitu sang surya tersembul maka inilah satu pertanda bahwa hari itu adalah hari lima belas di bulan dua belas. Empat jalan di kawasan bebatuan kelabu menuju ke puncak bukit dipenuhi oleh orang-orang yang hen- dak pergi ke Istana Surga Dunia. Mereka adalah para tokoh di Negeri Jin yang ingin memenuhi undangan Sang Penguasa yakni Jin Muka Seribu yang bergelar Jin Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu dan telah mengangkat dirinya sebagai raja diraja segala Jin di negeri Jin. Para tokoh yang sehaluan dengan Jin Muka Seribu. Apalagi yang jelas- jelas merupakan sahabat Jin Muka Seribu dan menyambut pertemuan itu dengan segala kegembiraan. Sebaliknya semua tokoh yang tidak sehaluan, muncul di tempat undangan itu dengan rasa ingin tahu upacara apa sebenarnya yang hendak dilakukan di Istana Surga Dunia itu. Selain itu masing-masing mereka yang sudah tahu
Tanpa setahu orang berpakaian putih tadi, di balik sebuah batu besar tak jauh dari tempat itu mendekam pula Dewi Awan Putih yang berpakaian putih. Sepasang matanya yang biru menatap tak berkedip ke arah batu di depan sana. Tak jauh dari tempatnya bersembunyi, awan besar putih tunggangannya Tadi dia hanya sempat sekilas melihat bayangan orang berpakaian putih di balik batu sebelah sana. Hatinya tak habis-habis bertanya dan otaknya berpikir terus. "Aku sempat melihat wajahnya. Walau cuma sekilas dan sebentar tapi aku yakin belum pernah melihat gadis ini sebelumnya. Parasnya cantik luar biasa. Siapa gerangan dia adanya. Siapa pula yang ditunggunya? Jangan-jangan aku dan dia menunggu orang yang sama." Tak lama setelah dia membatin seperti itu tiba-tiba dari arah timur kawasan berbatu-batu berkelebat satu bayangan putih. Orang itu tidak melewati jalan biasa yang ditempuh kebanyakan para undangan tapi dengan gesit dia melompat dari satu batu ke batu lainnya. Padahal pada b
"Apa yang bisa dibicarakan dan dilakukan sekarang harus dibicarakan dan dilakukan sekarang. Aku menaruh firasat bahwa akan terjadi sesuatu di Istana itu." "Hemmmm... Ucapanmu mengingatkan aku pada kata-kata nenek berjuluk Jin Selaksa Angin. Katanya seseorang memberi petunjuk bahwa akan terjadi satu Peristiwa besar di Negeri Jin ini." "Jika orang pandai seperti Jin Selaksa Angin bicara begitu pasti dia tidak main-main. Itu sebabnya aku berusaha mencarimu walau mungkin pertemuan ini kurang menyenangkan di hatimu. Bintang, kita tidak bisa lari dari kenyataan. Kau adalah suamiku dan aku adalah istrimu..." "Ruhrembulan, sebaiknya kita tidak membicarakan hal itu saat ini. Banyak hal yang perlu dipikirkan mengapa sampai terjadi Peristiwa di Bukit Batu Kawin itu. Saat itu aku berada di alam luar sadar. Kemudian Ramahila menemui ajal dibunuh orang. Paduliu lenyap entah kemana. " "Jika kau menginginkan kesaksian atas perkawin
"Hai, kau mau menyuruh aku menari atau apa?" tanya Bintang masih bisa bercanda tapi entah mengapa dia lakukan juga apa yang dikatakan Ruhrembulan. Kakinya kiri kanan dikembangkan di atas batu. "Kerahkan seluruh tenaga dalammu. Bagi dua ke kaki kiri dan kaki kanan." berucap Ruhrembulan sementara sepasang matanya yang bagus seolah mengendalikan jalan pikiran Ksatria Pengembara, membuat Bintang kembali melakukan apa yang dikatakan. Ksatria Pengembara ini kerahkan tenaga dalamnya yang berpusat di pusar lalu dia alirkan ke kaki kiri dan kaki kanan. Ruhrembulan merasakan batu besar tempat mereka berdiri bergetar hebat dan bagian batu yang berada di bawah injakan kaki sang pemuda kelihatan bergerak ke bawah membentuk cekungan. Dalam kagumnya melihat kehebatan tenaga dalam Bintang, Ruhrembulan keluarkan satu teriakan keras. Dua tangannya dihantamkan ke arah Kedua kaki Ksatria Pengembara. Dua larik sinar putih berkiblat. Secara aneh dua larik sinar putih itu bergulung-gulung seperti
MENJELANG tengah hari hampir seluruh kursi di Ruang Seribu Kehormatan telah terisi. Pintu masuk utama pada dinding berwarna merah yang terbuat dari dinding batu bergeser menutup. Walau ruangan itu dihadiri ratusan orang namun udara di dalamnya terasa sejuk. Para tamu sebelumnya telah dipersilakan meneguk minuman pelepas dahaga dan mencicipi hidangan lezat. Namun tidak semuanya mau minum dan menyantap makanan yang dihidangkan. Seperti yang dipesankan Ruhrembulan Bintangpun tidak menyentuh minuman dan hidangan yang disuguhkan walau beberapa gadis cantik berulang kali mempersilakannya setengah memaksa. Ruhrembulan sudah mengetahui bahwa semua makanan dan minuman yang disuguhkan itu mengandung zat tertentu yang bisa membuat seseorang menjadi lamban pikiran serta tindakannya.Sewaktu Ksatria Pengembara masuk sambil mendukung sosok Pawungu di bahunya para pengawal tidak ada yang mencegah. Demikian juga ketika sebelumnya Jin Patilandak dan Tringgiling Liang Batu muncul dengan memand