Jin Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau masih pandai menirukan kentutku! Padahal suara dan irama kentutku sudah berbeda dari dulu! Hik... hik... hik! Makhluk yang hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke bawah, dulu kau pernah mengancam diriku. Mau membuat aku jadi ikan asap atau ikan pindang. Apa kau masih mau melakukannya?!”.
“Nenek muka kuning! Aku sedang menderita sakit. Kau bicara yang bukan-bukan! Lama-lama aku jadi muak melihat dirimu! Lekas kau pergi dari sini!”
“Tua bangka tak tahu diri!”
“Nenek sialan, apa maksudmu?!”
“Rupanya kau masih suka melihat wajah gadis cantik daripada wajah nenek sepertiku ini! Itu sebabnya kau suruh aku pergi!”
“Nek,” Si Jin Budiman menengahi pembicaraan. “Orang tua ini sedang kesakitan. Aku tengah berusaha menolongnya. Harap kau jangan mengajaknya bicara dulu...”
“Manusia muka tanah liat! Lagakmu seperti tabib ahli sa
NENEK muka kuning pancarkan kentutnya. Butt prett! Lalu unjukkan wajah cemberut. “Siapa yang menipumu kakek buruk?!”“Tadi kau mengatakan akan mengobati tanganku yang patah. Ternyata tanganku kau tanggalkan, kau tempel di pohon. Lalu kau ambil patahan cabang pohon dan kau tempelkan di tanganku!”“Walah, memang begitu caraku menolongmu!” jawab Jin Selaksa Angin.“Aku lebih suka kau kembalikan tanganku! Siapa sudi punya tangan batang kayu seperti ini!” ujar Jin Terjungkir Langit sementara Si Jin Budiman tertegak tak tahu mau berbuat atau bicara apa.“Ck... ck... ck... Kau benar-benar bangsa Jin yang tidak tahu ditolong orang. Aku telah pergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu. Itu bukan ilmu sembarangan. Aku menghabiskan waktu belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu yang patah sengaja aku tempel di pohon. Sementara kau tidak punya tangan, bukankah ada baiknya kuganti dulu dengan ba
“Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku?!” tanya Pasedayu alias Jin Terjungkir Langit.Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah tertawa cekikikan dia berkata. “Jawab saja pertanyaanku!”“Aku tak punya istri!”“Maksudmu kau tidak pernah kawin? Tak pernah punya anak?!”“Nenek muka kuning! Aku tidak suka semua pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku atau bagaimana?”“Jangan-jangan kau kaki tangan Jin Muka Seribu.” Si Jin Budiman menimpali.“Aku bukan kaki tangan Jin Muka Seribu! Soal menyelidiki aku memang sedang menyelidiki dirimu!”“Untuk apa?!” sentak Jin Terjungkir Langit.“Aku tidak tahu!” jawab si nenek.“Tua bangka sakit! Otakmu pasti tidak waras!” kata Jin Terjungkir Langit pula.“Aku memang bisa bertindak tidak waras. Misalnya, tanganmu yang di pohon itu kubua
Pagi hari ke empat ketika Jin Terjungkir Langit bangun, seperti hari-hari sebelumnya yang pertama sekali diperhatikannya adalah pohon di mana tangan kanannya yang patah ditempelkan oleh Jin Selaksa Angin. Sekali ini begitu dia memandang ke pohon langsung dia tersentak kaget dan melompat bangun sambil berseru memanggil Si Jin Budiman.Manusia muka tanah liat ini serta merta terbangun pula. “Ada apa Kek?”“Tanganku! Lihat ke pohon sana! Tanganku tak ada lagi di pohon itu! Pasti sudah dibawa lari binatang hutan! Celaka diriku! Apa kataku! Nenek muka kuning jahanam itu benar-benar telah menipuku! Celaka diriku! Celaka! Akan kucari nenek keparat itu. Kalau bertemu biar dua tangannya kutanggalkan dari tubuhnya! Biar dia rasa!”Jin Terjungkir Langit pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.Si Jin Budiman dapat merasakan kemarahan si kakek. “Nenek sinting itu memang perlu diberi pelajaran!” katanya. Dia perhatik
HUJAN turun dengan lebat membuat malam menghitam pekat. Sesekali halilintar menyambar menerangi jagat. Lalu suara guntur menggelegar seperti hendak menjungkirbalikkan bumi. Di bawah hujan lebat itu dua bayangan berkelebat ke arah selatan. Ketika sekali lagi kilat menyambung dan keadaan terang benderang sesaat, kelihatanlah bahwa dua bayangan itu adalah dua sosok perempuan berwajah cantik. Mereka bukan lain adalah Ruhcinta dan Ruhsantini yang tengah dalam perjalanan menuju tempat kediaman Ramahila.Ruhsantini yang mengetahui letak rumah juru nikah terkenal di Negeri Jin itu berlari di sebelah depan. Sebenarnya mereka bisa saja berhenti mencari tempat berteduh. Namun karena sudah terlanjur diguyur hujan keduanya terus saja melanjutkan perjalanan. Selain itu Ruhcinta mendesak terus agar bisa menemui Ramahila secepatnya.Ramahila memiliki beberapa rumah namun dia lebih sering berada di rumah yang terletak di sebuah bukit kecil di selatan, tak jauh dari kawasan pantai. Kare
Dalam keadaan begitu rupa, tiba-tiba di luar sana terdengar suara tawa aneh, seolah keluar dari liang jurang yang dalam.“Dua perempuan tolol! Aku sudah melarang kalian untuk menyelidik perihal anak dan menantuku! Kalian mengabaikan! Kini kalian muncul di tempat ini, membunuh nenek juru nikah bernama Ramahila itu!”“Siapa kau?!” teriak Ruhsantini.“Kami tidak membunuh! Nenek ini sudah jadi mayat pada saat kami masuk ke dalam rumah!” berteriak Ruhcinta.Kembali di luar sana menggema suara tawa. “Jangan berdusta! Aku melihat sendiri kalian berdua melemparkan masing-masing sebilah pisau ke arah Ramahila. Satu menancap di kening. Satu menembus lehernya! Kalian masih hendak berdusta?!”“Tuduhan busuk dan keji!” teriak Ruhcinta. “Kau berani bicara tak berani ujukkan muka!”“Biarlah aku jadi orang pengecut! Kalian berdua memang orang-orang gagah berani. Berarti kalian jug
Jin Selaksa Angin lari sekencang yang bisa dilakukannya. Saking cepatnya dia berlalu hanya kelebatan warna kuning jubahnya saja yang kelihatan. Setelah mendengar percakapan Jin Terjungkir Langit dengan Si Jin Budiman nenek ini dengan perasaan hati penuh gembira meninggalkan telaga, lari menuju kawasan pantai selatan di mana terletak Teluk Pabuntusamudera. Di teluk ini terdapat sebuah goa. Seperti diceritakan sebelumnya di dalam goa inilah si nenek selalu menemui gurunya, suatu makhluk tanpa ujud bernama Sang Guru yang hanya dikenal lewat suaranya saja.“Pasedayu! Pasedayu! Aku mau kawin! aku mau kawin dengan kakek itu! Hik... hik... hik...! Bagaimana rasanya kawin! Apa aku pernah kawin sebelumnya? Aku tak ingat Tapi hik... hik! Pantatku rasanya jadi gatal!”Ketika matahari mulai condong ke barat, sepasang telinga Jin Selaksa Angin mulai mendengar deru ombak di kejauhan. Hatinya gembira. Debur ombak yang terdengar pertanda dia sudah d
“Jin Berpipa Emas! Tak pernah aku dengar nama itu sebelumnya!” kata si nenek sambil cibirkan mulut.“Itulah! Sudah kukatakan tadi, aku bukan orang terkenal seperti dirimu...”Dalam hati si nenek berkata. “Kau bisa saja bukan orang terkenal. Tapi aku dapat mengukur. Kau memiliki ilmu kepandaian tinggi di balik sikapmu yang penuh hormat dan pandai bicara!”“Kau sudah menyebut siapa dirimu! Sekarang katakan apa keperluanmu menghadang diriku di tengah jalan begini rupa!”“Maafkan diriku! Aku bukan menghadangmu Hai Jin Selaksa Angin. Aku menunggumu di sini. Tujuh hari tujuh malam penuh sabar. Aku menunggumu karena hendak menyerahkan satu barang sangat berguna!”“Barang apa?!” tanya si nenek.Jin Berpipa Emas cabut pipanya dari mulut lalu mengetuk-ngetukkan pipa ini ke pahanya hingga tembakau yang menyala jatuh ke tanah. Ujung pipa ditiup-tiupnya beberapa kali sampai bersih, l
Begitu sendok diangsurkan ke arahnya, Jin. Berpipa Emas langsung menyambar. Lalu sambil membungkuk dia mengucapkan terima kasih berulang kali.“Aku sudah memberikan sendok yang kau minta! Sekarang lekas serahkan pipa emas itu!” kata si nenek seraya ulurkan tangannya, siap untuk mengambil.“Hai! Aku sampai terlupa!” kata si kakek. Perlahan- lahan dia bangkit berdiri. Astaga! Ternyata kakek ini memiliki tubuh jangkung luar biasa. Sosoknya sampai satu setengah kali tinggi si nenek hingga Jin Selaksa Angin terpaksa memandang mendongak padanya.“Jin Selaksa Angin, aku siap menyerahkan benda yang kau minta!” berucap si kakek. Lalu dia ulurkan tangannya yang memegang pipa emas. Hanya sesaat lagi si nenek akan menyentuh pipa itu, tiba-tiba Jin Berpipa Emas gerakkan tangan kanannya.Cahaya kuning berkelebat. Ujung pipa menyambar ke kepala Jin Selaksa Angin.Praakkk!Jin Selaksa Angin menjerit keras. Tubuhnya mencel