'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.'
'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang." Menunduk wajah Arra sekarang, dia tak berani menatap Andrew maupun Bi Mery. "Ayo masuk dulu, kau lihat ke dalam seperti apa wajah Nona Mia." Bibi Mery membawa Arra masuk ke kamar itu setelah dia membukanya. Andrew menatap dalam diam kemudian berlalu setelah punggung Arra hilang bersama dengan Bibi Mery. Arra dibuat takjub dengan dekorasi kamar dengan nuansa pinky itu. Pandangannya jatuh pada foto dengan bingkai yang juga berwarna pink di atas nakas. "I-ini?" Arra takjub melihat wajah di foto itu. Dia seperti melihat dirinya sendiri dengan warna dan model rambut yang berbeda. "Ya. Ini foto Nona Mia. Dan yang di sebelahnya adalah kekasihnya. Tuan Andrew selalu menyalahkan dirinya atas kematian adiknya. Itu sebabnya, dia jarang pulang ke rumah ini." Bibi Mery menyentuh wajah Mia yang tersenyum lebar dalam foto itu. Gadis itu mengenakan dress berwana pink dengan rambut pirangnya yang pendek sebahu. "Kenapa?" Arra menatap Bi Mery yang wajahnya berubah mendung. "Karena Nona Mia mengakhiri hidupnya dengan memotong urat nadi di pergelangan tangannya di rumah ini. Dia meninggalkan catatan di ponselnya, agar setelah kematiannya, Tuan Andrew tetap harus melanjutkan hidupnya dengan baik. Tapi begitulah! Tuan Andrew memang melanjutkan hidup, tapi hidupnya dia dedikasikan untuk membantu orang-orang." Bibi Mery mulai bercerita. "Termasuk aku?" Arra meletakkan figura itu di tempatnya semula. Bibi Mery mengangguk, matanya penuh dengan genangan bening yang sekali berkedip akan langsung jatuh. "Tuan Andrew jarang pulang, karena setiap dia masuk ke rumah ini, tepatnya di kamar ini, dia seperti melihat adiknya yang bersimbah darah dan sudah tak bernyawa." "Tuan Andrew selalu bermalam di rumah sakit. Sekalinya pulang, dia akan tidur di bawah, di sofa." "Bi ... Apa mereka sangat dekat?" tanya Arra kemudian. "Ya, mereka sangat amat dekat. Dan hampir setiap hari, meja makan selalu ramai meski hanya ada mereka berdua." Bibi Mery tersenyum, mengenang kebersamaan antara Tuan Andrew dan Nona mudanya, Nona Mia. "Ketika Nona Mia akan kuliah, Tuan pasti menyempatkan mengantarkannya. Kalau Nona Mia tidak mau, Tuan Andrew akan memaksa," cerita Bibi Mery disertai kekehan. Arra turut tersenyum, seolah bisa merasakan kehangatan hubungan kakak beradik diantara keduanya. "Sebenarnya ... Seminggu sebelum mengakhiri hidupnya, Nona Mia selalu merengek agar Tuan Andrew pulang, tapi Tuan Andrew sangat sibuk. Saat itu, bangunan di bagian belakang rumah sakit runtuh, banyak pasien yang menjadi korban dan meninggal, bahkan beberapa tim medis juga. Rumah sakit sangat kacau, Tuan Andrew mengurus itu. Dia bolak balik dari rumah sakit ke pengadilan karena ada keluarga korban yang menuntut atas kecelakaan itu." Kini mata Bibi Mery berkaca-kaca. "Lalu Mia?" Arra kini penasaran kenapa Mia sampai mengakhiri hidupnya. "Apakah karena diabaikan oleh kakaknya, Mia bunuh diri?" desak Arra. "Tidak! Bukan itu! Alasan Nona bunuh diri lah yang menjadikan Tuan Andrew selalu menyalahkan dirinya." Jatuh sudah air mata Bibi Mery sekarang. Arra diam, menunggu kelanjutan ceritanya kendati dia tidak sabar. "Nona Mia hamil, dan Tuan Andrew tahu itu setelah jasad adiknya dikubur. Dia menemukan tespek di tempat sampah di kamar ini." Kaget, Arra sampai menutup mulutnya. Ucapan Dokter Andrew saat di rumah sakit tadi seketika terngiang di telinganya. "Aku akan membantumu, Nona. Jangan berpikir untuk mengakhiri hidupmu karena masalahmu ini." "Mengakhiri hidup? Bunuh diri maksudnya?" "Ya. Jangan lakukan itu! Ingatlah bahwa semua masalah pasti ada solusinya. Kau tidak sendirian, Nona." Kini Arra mengerti, kenapa saat di rumah sakit tadi Dokter Andrew bersikukuh untuk mengajaknya tinggal di rumahnya, pria itu juga berulang kali mengatakan akan membantu Arra dan tak akan membiarkan Arra sendirian. Ternyata ini alasannya. "Oh Tuhan ... Kasihan sekali Mia." Berkaca mata Arra sekarang. Kalau saja dia punya keberanian seperti Mia, Arra juga ingin memilih untuk meninggalkan dunia ini. Tapi Arra terlalu pengecut meski dunia sama sekali tak berpihak padanya. "Bi ... Bisa tolong tinggalkan aku sendiri? Aku ingin mandi." Arra tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Tentu, Nona. Bibi akan siapkan makan malam untuk Nona dan Tuan Andrew." Bangkit, Bibi Mery menyeka air matanya. Jika bercerita tentang Nona Mia-nya, dia tak pernah bisa menahan air mata. Sangat cengeng! **** "Bi ... Bagaimana Arra? Jadi ambil kamar itu?" Andrew langsung memberondong pertanyaan pada Bi Mery saat melihat asisten rumah tangganya itu turun dari lantai atas. "Iya. Sekarang Nona Arra ingin sendiri, katanya mau mandi," jawab Bibi Mery. Dan jawaban itu, justru membuat ponsel Andrew terjatuh dari tangannya. Pria itu berlari menaiki tangga, takut jika Arra melakukan hal bodoh seperti yang dilakukan Mia enam bulan yang lalu. Dia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra di dalam sana.Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
BAB 1“Oh, my God!” Arra terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel yang mewah. Gadis itu kebingungan, bertanya-tanya kenapa dia bisa berada di tempat itu. Tak hanya tempat, ternyata yang lebih membingungkan lagi adalah dia tak mengenakan sehelai pun pakaian. Tubuhnya hanya tertutup oleh selimut putih kamar hotel.Seketika Arra langsung terbelalak menyadari keadaan ini. Dia hendak bangkit dari ranjang, tapi gerakannya terhenti, saat seseorang membuka pintu kamar mandi. Sungguh mengejutkan! seorang pria dengan dada bidang dan body sixpack keluar hanya memakai handuk di pinggangnya. Melihat itu, Arra reflek menutup wajahnya dan menundukkan kepala. Melihat tingkah Arra, pria itu malah tersenyum. “Sekarang baru ditutup, padahal tadi malam kau tidak hanya melihat tapi juga menikmatinya,” oloknya, dengan santainya dia duduk di sisi Arra masih tanpa mengenakan pakaian.Mendengar dia bicara, Arra memberanikan diri mengangkat wajah untuk memandang pria di sampingnya. “A-a
BAB 2 “Selamat pagi, Nona. Akhirnya anda keluar juga. Saya sudah lama menunggu anda keluar.” Hardy dengan setelan hitamnya menyambut Arra di luar kamar. “S-selamat pagi, anda siapa? Dan kenapa anda menunggu saya?” tanya Arra ragu-ragu. Matanya memindai penampilan Hardy dari atas sampai bawah. “Akan saya jelaskan nanti setelah anda sarapan. Mari Nona, silahkan ikut saya.” Pria itu merentangkan sebelah tangannya ke samping dengan badan agak membungkuk. “Silahkan anda pesan menu yang anda inginkan. Saya akan menelepon Tuan Eiden untuk melaporkan bahwa anda sudah bersama saya.” Pria itu berbalik setelah mengantarkan Arra ke ruangan VVIP restoran. Saat Hardy mengeluarkan ponsel dan meninggalkan Arra untuk meenghubungi Eiden, kaki Arra segera melangkah dan menghilang dari restoran tersebut. “Tuan ... Nona itu sudah bersama saya. Selain memberinya cek, apa lagi yang harus saya lakukan?” “Antar dia ke apartemennya! Pekan depan jemput dia kembali ke hotel. Mulai hari ini dan se
BAB 3 Sementara itu, kedua orang tua Arra terus menghadapi teror yang menakutkan dari para penagih hutang. “Sita ponselnya, dan awasi mereka jangan sampai kabur.” Pria yang separuh wajahnya terdapat bekas luka itu memberi perintah kepada dua orang bawahannya. “Siap, Boss ... Tapi apa mungkin anak mereka benar-benar akan datang?” tanya salah satunya. “Pasti! Anak itu teramat menyayangi dua lansia tidak berguna ini!” Pria yang dipanggil boss itu menjawab lalu setelahnya berlalu keluar disusul oleh kedua anak buahnya. Seperginya tiga orang itu, Kelly menatap suaminya. Jujur ... Dia kasihan melihat wajah Bruce yang sudah babak belur, bahkan di sudut bibirnya terdapat darah yang sudah mengering menandakan bahwa sudut bibirnya telah robek. “Bruce ... Sebenarnya siapa mereka? Tidak mungkin hanya karena kau punya hutang, mereka sampai menculik dan bahkan mengancam untuk membunuh.” Kelly bertanya. Dia tahu suaminya pernah berhutang kepada rentenir untuk membiayai kuliah Arra, dan s
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu." Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang a
BAB 5 Merasa hidupnya terancam, wanita itu buru-buru keluar dari kamar. Tidak hanya keluar kamar, Arra bertekad untuk pergi dari mansion detik ini juga. Marah ... Tentu saja Arra marah, wanita itu teramat sangat marah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arra masih lebih sayang nyawanya untuk melakukan balas dendam sekarang. Arra berniat untuk mengumpulkan uang yang banyak, lalu pada akhirnya saat dirinya sudah memiliki kuasa dan uang, ia akan datang lagi menuntut balas akan kematian orang tuanya. “Nona mau kemana?” Security yang melihat Arra hendak keluar gerbang, lantas menghampiri wanita itu. “Aku ingin membeli beberapa camilan, bisa tolong bukakan pintu gerbangnya?” Arra sebisa mungkin bersikap normal, kesedihan, kemarahan dan kekecewaannya dia tutupi dengan senyum. Melihat keraguan di wajah security itu, Arra langsung bicara lagi, “Eiden sudah memberi izin, justru kau akan dapat masalah jika kau tidak membuka gerbangnya. Boss kamu sedang banyak pekerjaan, jadi dia tidak bis
BAB 4Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi, sepertinya tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap yang gelap tak terurus. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kamu sudah bangun?” Suara pria menarik atensinya. Arra menolehkan kepala ke samping di mana pria itu berada. “Kamu?” Arra terkejut sebab pria yang sudah menidurinya semalam kini berada di sampingnya. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa