Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya.
Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku serius soal di rumah sakit tadi, aku tak akan mati sendirian, kecuali ayah anak ini ikut bersamaku. Jadi Dokter, kumohon tolong keluar! Kenapa kau tidak mengetuk pintu dulu?" protes Arra. Dia sungguh ingin memukul kepala Andrew. Dokter baik hati itu kenapa malah diam berdiri di sana, sementara Arra sedang tidak pakai baju. Lagi pula kenapa Arra bisa sangat ceroboh padahal dia sedang menumpang di rumah orang?! Tapi bukan salahnya juga, dia ingin mandi. Salahkan saja dokter Andrew yang masuk ke kamarnya sembarangan. Andrew mematung beberapa saat, namun kemudian pria itu menyadari sesuatu, ada benda yang tersangkut di kepalanya. "Arra ... Kau melempariku apa?" berteriak pria itu kala melihat benda yang ada tangannya. "Jangan dilihat, langsung taruh di kasur!" Arra langsung histeris saat dia menoleh dan melihat benda di tangan Andrew. Dia asal melempar barang tadi. Tidak tahunya yang dia lempar adalah pengaman kembar miliknya. Arkh ... rasanya Arra ingin menenggelamkan kepala di bathtub sekarang. Andrew menurut, pria itu melempar benda itu ke kasur namun tetap berdiri di tempatnya. Pria itu tampaknya tak berniat keluar sama sekali. Bukan mesum! dia tak memikirkan apa-apa sekarang, hanya fokus pada barang-barang Arra yang berserakan di lantai. "Kau cari apa? Kenapa pakaianmu sampai berantakan begini?" Masih dari tempatnya berdiri, Andrew bertanya. "Aku cari handuk, tapi tidak ada," jawab Arra masih dengan membelakangi Andrew. Jangan lupakan kedua tangannya yang menutupi dadanya. "Di lemari ada. Kau boleh pakai barang-barang di kamar ini jika butuh. Tapi kalau tidak mau juga tidak apa-apa, kau minta saja pada Bi Mery untuk disiapkan yang baru." Andrew bicara dengan santai. Sungguh! dia sama sekali tak berpikir kotor meski melihat Arra tanpa memakai baju seperti itu, karena baginya yang ada di depan matanya sekarang adalah adik kecilnya, Mia. "Tidak perlu. Aku akan pakai yang ada saja, Dokter," jawab Arra. "Baiklah, tapi bisakah kau panggil aku nama saja. Aku bukan seorang dokter saat pulang ke rumah." Arra menggeram, kesal dengan Andrew yang seperti orang bodoh. Shit! Bisa-bisanya dia membahas itu sekarang. Apa Andrew tidak tahu kalau Arra sudah ingin masuk ke koper saking malunya. "Ya ya. Tapi bisakah itu kita bahas nanti saja? Aku sudah pegal berjongkok seperti ini." Arra mulai tak sabar. Mengesampingkan sedikit kemaluannya, eh rasa malunya, Arra akhirnya angkat bicara. "Siapa suruh berjongkok seperti itu? Kalau pegal, kau harusnya bangun, kan?!" Dengan tanpa beban, Andrew menjawab. 'Bangun kepalamu! Kalau aku bangun, kau akan melihat aku telanjang, Dokter?!' Arra merapatkan giginya, meremas kedua tangannya yang kini berubah posisi memeluk kedua lututnya. Sungguh gemas dengan tingkah Andrew "Aku akan bangun, tapi kau keluar dulu, Dokter." Di situ lah Andrew tersadar bahwa dia sudah menampakkan kebodohannya yang hakiki. Ya, jelas-jelas yang ada di depannya adalah wanita dewasa dengan tanpa busana, bisa-bisanya dia berdiri dengan santai seolah-olah itu hal biasa. 'Dasar bodoh! Pasti dia menganggapku mesum!' rutuk Andrew pada dirinya sendiri. Buru-buru dia berbalik badan. Namun bukannya keluar, dia justru menyuruh Arra untuk mengambil pakaian yang ada di dekat kakinya. "Arra. Aku tak bisa keluar sekarang, ada banyak baju di lantai." Andrew berkata sambil memejamkan mata. Dia merasa kakinya sudah menginjak salah satu dari baju-baju itu. 'Tuhan ... Dia bodoh atau bagaimana?!' Arra menggigit bibirnya. "Jangan khawatir, aku memejamkan mataku, jadi tak bisa melihat apa-apa." Andrew kembali bicara sebab tak mendengar jawaban dari Arra. "Diinjak saja bajunya," jawab Arra menahan kesal. Kalau saja Andrew tidak berbaik hati memberi tempat tinggal, rasanya dia sungguh-sungguh ingin memukul kepala pria itu. "Baiklah." Andrew melangkah, menginjak baju Arra, dan karena dia berjalan dengan mata terpejam, kakinya justru tersangkut baju yang membuatnya nyaris jatuh. 'Sekarang baru tutup mata, benar-benar bodoh!' maki Arra dalam hatinya. Netra nya mengikuti langkah Andrew yang sudah semakin dekat ke pintu. Arra akan berdiri setelah Andrew berdiri di luar, namun tiba-tiba ... "Oh iya." Andrew berhenti melangkah, sementara Arra dengan cepat berjongkok lagi seperti posisi sebelumnya. "Kalau sudah selesai mandi, kau langsung turun. Bi Mery pasti sudah selesai menyiapkan makan malam," ujar Andrew dengan posisi menghadap keluar. "Hmmm ...." Arra hanya menjawab dengan derheman dengan ekor matanya melirik Andrew yang kini melangkah pergi. Tiba di luar, Andrew memukul kepalanya. "Dasar bodoh! Kenapa tidak mengetuk pintu dulu tadi?! Trus kenapa pula aku malah berdiri dengan santai di dalam?!" Dia berbicara sendiri, merutuki kebodohannya dan memukul-mukul kepalanya sambil berjalan menuju kamarnya. "Bodoh! Sangat bodoh!" Makinya pada diri sendiri. Andrew akan masuk ke kamarnya, namun tiba-tiba ... "Dokter! Kembali!""Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
BAB 1“Oh, my God!” Arra terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel yang mewah. Gadis itu kebingungan, bertanya-tanya kenapa dia bisa berada di tempat itu. Tak hanya tempat, ternyata yang lebih membingungkan lagi adalah dia tak mengenakan sehelai pun pakaian. Tubuhnya hanya tertutup oleh selimut putih kamar hotel.Seketika Arra langsung terbelalak menyadari keadaan ini. Dia hendak bangkit dari ranjang, tapi gerakannya terhenti, saat seseorang membuka pintu kamar mandi. Sungguh mengejutkan! seorang pria dengan dada bidang dan body sixpack keluar hanya memakai handuk di pinggangnya. Melihat itu, Arra reflek menutup wajahnya dan menundukkan kepala. Melihat tingkah Arra, pria itu malah tersenyum. “Sekarang baru ditutup, padahal tadi malam kau tidak hanya melihat tapi juga menikmatinya,” oloknya, dengan santainya dia duduk di sisi Arra masih tanpa mengenakan pakaian.Mendengar dia bicara, Arra memberanikan diri mengangkat wajah untuk memandang pria di sampingnya. “A-a
BAB 2 “Selamat pagi, Nona. Akhirnya anda keluar juga. Saya sudah lama menunggu anda keluar.” Hardy dengan setelan hitamnya menyambut Arra di luar kamar. “S-selamat pagi, anda siapa? Dan kenapa anda menunggu saya?” tanya Arra ragu-ragu. Matanya memindai penampilan Hardy dari atas sampai bawah. “Akan saya jelaskan nanti setelah anda sarapan. Mari Nona, silahkan ikut saya.” Pria itu merentangkan sebelah tangannya ke samping dengan badan agak membungkuk. “Silahkan anda pesan menu yang anda inginkan. Saya akan menelepon Tuan Eiden untuk melaporkan bahwa anda sudah bersama saya.” Pria itu berbalik setelah mengantarkan Arra ke ruangan VVIP restoran. Saat Hardy mengeluarkan ponsel dan meninggalkan Arra untuk meenghubungi Eiden, kaki Arra segera melangkah dan menghilang dari restoran tersebut. “Tuan ... Nona itu sudah bersama saya. Selain memberinya cek, apa lagi yang harus saya lakukan?” “Antar dia ke apartemennya! Pekan depan jemput dia kembali ke hotel. Mulai hari ini dan se
BAB 3 Sementara itu, kedua orang tua Arra terus menghadapi teror yang menakutkan dari para penagih hutang. “Sita ponselnya, dan awasi mereka jangan sampai kabur.” Pria yang separuh wajahnya terdapat bekas luka itu memberi perintah kepada dua orang bawahannya. “Siap, Boss ... Tapi apa mungkin anak mereka benar-benar akan datang?” tanya salah satunya. “Pasti! Anak itu teramat menyayangi dua lansia tidak berguna ini!” Pria yang dipanggil boss itu menjawab lalu setelahnya berlalu keluar disusul oleh kedua anak buahnya. Seperginya tiga orang itu, Kelly menatap suaminya. Jujur ... Dia kasihan melihat wajah Bruce yang sudah babak belur, bahkan di sudut bibirnya terdapat darah yang sudah mengering menandakan bahwa sudut bibirnya telah robek. “Bruce ... Sebenarnya siapa mereka? Tidak mungkin hanya karena kau punya hutang, mereka sampai menculik dan bahkan mengancam untuk membunuh.” Kelly bertanya. Dia tahu suaminya pernah berhutang kepada rentenir untuk membiayai kuliah Arra, dan s
BAB 4Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi, sepertinya tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap yang gelap tak terurus. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kamu sudah bangun?” Suara pria menarik atensinya. Arra menolehkan kepala ke samping di mana pria itu berada. “Kamu?” Arra terkejut sebab pria yang sudah menidurinya semalam kini berada di sampingnya. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu." Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang a
BAB 5 Merasa hidupnya terancam, wanita itu buru-buru keluar dari kamar. Tidak hanya keluar kamar, Arra bertekad untuk pergi dari mansion detik ini juga. Marah ... Tentu saja Arra marah, wanita itu teramat sangat marah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arra masih lebih sayang nyawanya untuk melakukan balas dendam sekarang. Arra berniat untuk mengumpulkan uang yang banyak, lalu pada akhirnya saat dirinya sudah memiliki kuasa dan uang, ia akan datang lagi menuntut balas akan kematian orang tuanya. “Nona mau kemana?” Security yang melihat Arra hendak keluar gerbang, lantas menghampiri wanita itu. “Aku ingin membeli beberapa camilan, bisa tolong bukakan pintu gerbangnya?” Arra sebisa mungkin bersikap normal, kesedihan, kemarahan dan kekecewaannya dia tutupi dengan senyum. Melihat keraguan di wajah security itu, Arra langsung bicara lagi, “Eiden sudah memberi izin, justru kau akan dapat masalah jika kau tidak membuka gerbangnya. Boss kamu sedang banyak pekerjaan, jadi dia tidak bis
BAB 4Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi, sepertinya tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap yang gelap tak terurus. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kamu sudah bangun?” Suara pria menarik atensinya. Arra menolehkan kepala ke samping di mana pria itu berada. “Kamu?” Arra terkejut sebab pria yang sudah menidurinya semalam kini berada di sampingnya. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa