"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu."
Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang ayah saat ditembak di depan mata kepalanya sendiri, membuat Arra tak sudi walau hanya memikirkan pria jahat itu. Arra duduk di ranjang rumah sakit, meraba perutnya yang masih rata. "Aku akan merawatmu. Tapi sebagai gantinya, kau harus membalas dendam pada orang yang sudah membunuh kakekmu." Dan wajah Eiden lah yang Arra ingat saat dia mengatakan pembunuh. "Nona ... Kau baik-baik saja?" Dokter tampan di hadapannya mengalihkan atensinya. Arra mengangguk, mulutnya masih tak bisa berkata-kata. Dia masih sangat kaget dengan kenyataan yang menimpa hidupnya. Hamil anak pembunuh orang tua, sungguh tidak main-main Tuhan mengatur scenario atas hidupnya. "Maaf sebelumnya. Tapi melihat reaksimu sekarang, sepertinya kau tak menginginkan kehamilanmu. Apa orang tuamu tidak tahu soal ini?" Dokter tampan itu mengambil kursi, duduk di depan Arra, memandang Arra prihatin. "Orang tuaku tidak tahu, karena ayahku suda meninggal dan ibuku ... Aku tak tahu dia di mana sekarang." Wajah Arra sekarang, mengingatkannya pada Mia, adik kecilnya yang sudah meninggal. Wajah syok, sedih dan marah muncul di saat bersamaan. "Aku akan membantumu, Nona. Jangan berpikir untuk mengakhiri hidupmu karena masalahmu ini." Dokter tampan itu lagi-lagi bicara. Arra yang semula duduk memandangi perutnya, seketika melihat pada dokter itu. "Mengakhiri hidup? Bunuh diri maksudnya?" Dokter itu mengangguk, tapi kemudian menggeleng, "jangan lakukan itu! Ingatlah bahwa semua masalah pasti ada solusinya. Kau tidak sendirian, Nona." "Aku rasa bunuh diri itu lumayan bagus. Tapi matipun aku tidak akan tenang, jika aku mati sendirian." "Maksud anda?" "Tentu saja aku harus mengajak ayah anak ini mati bersamaku, baru aku akan tenang." Mata Arra berkilat penuh dendam, sementara tangannya tak henti mengusap perut ratanya dengan seringai mengerikan. Wajah sedih yang semula mendominasi kini raib tak berbekas. **** "Ku harap kau betah tinggal di sini." Dokter tampan yang mengaku bernama Andrew itu mengajak Arra ke rumahnya. Bagaimana tidak, saat ditanya Arra akan pulang ke mana, gadis itu menjawab tidak punya tujuan. Dia juga mengatakan bahwa nyawanya sedang dalam bahaya. Ayah dari anak dalam kandungannya berniat membunuhnya. Dokter Andrew kasihan, teringat Mia yang sudah tiada. "Ada banyak kamar yang kosong di sini, kau bisa pilih mau yang mana." Membawakan barang-barang milik Arra, Dokter Andrew masuk ke dalam rumahnya yang seperti istana. Bahkan di luar, ada banyak bodyguard dengan pakaian serba hitam memberi hormat saat dia dan Arra datang. "Hm ... Terimakasih, Dokter. Kurasa aku tak kan bisa membalas budi baikmu ini." Arra sungguh senang diberi tempat tinggal, ditambah keamanan yang sangat ketat, Arra merasa rumah Dokter Andrew adalah persembunyian yang sangat tepat. Dengan status Dokter Andrew, Arra akan aman untuk sementara, Baik Eiden maupun anak buahnya, mereka tak akan bisa mengendus keberadaannya. "Kau ini bicara apa? Sudah kubilang, kau ini seperti adikku." Dokter Andrew mengelus kepala Arra. Arra benar-benar mirip dengan Mia, bahkan cara bicaranya pun hampir sama, lembut dan penuh kasih. Arra tersenyum, "terimakasih, Dokter." "Sudah tiga kali kau mengucapkan terimakasih sejak tadi." Satu kali di mobil, dan dua kali setelah tiba di rumahnya. Arra lagi-lagi hanya tersenyum, tak tahu harus bicara apa pada Dokter Andrew yang baginya bak malaikat penolong. Baru bertemu tapi memperlakukan Arra dengan sangat baik. "Bibi Mery ...." Dokter Andrew memanggil pelayan kepercayaannya. "Ya, Tuan." Bibi Mery datang dengan celemek di tubuhnya, menandakan wanita paruh baya itu berkutat di dapur sejak tadi. "Tolong antar Arra ke atas, bantu dia untuk pilih kamar." "N-nona Mia ...." Terperangah Bibi Mery melihat wajah Arra. Bak pinang dibelah dua, pembantu sekaligus pengasuh Mia seolah melihat Nona mudanya hidup kembali. "Bukan, Bi. Dia Arra." Dokter Andrew mengoreksi. "Ayo, Nona. Bibi antarkan ke atas." Langsung menarik tangan Arra ke atas. Pembantu sekaligus pengasuh Mia saat kecil itu menyambut hangat kedatangan Arra. Dia merasa menemukan tempat untuk melepaskan rindu pada Nona mudanya. "Kalau Nona bersedia, Nona bisa pilih kamar yang dahulu ditempati mendiang Nona Mia. Ini kamarnya." Bibi Mery membawa Arra ke kamar paling ujung, pintu berwana pink yang berbeda dari pintu-pintu di kamar lainnya. Arra menggeleng cepat, "tidak, Bi. Aku bukan Nona di rumah ini, aku hanya numpang. Tak pantas rasanya kalau aku pakai kamar ini." Bibi Mery tertawa kecil, "Tuan Andrew justru selalu menawarkan kamar ini pada teman wanita yang menginap di rumahnya. Katanya, agar tidak terlalu lama kosong." Mendengar kata teman wanita yang menginap, membuat penilaian Arra mengenai Dokter Andrew berubah seketika. Bukan apa-apa, hanya saja setelah ditipu mentah-mentah oleh lelaki, Arra menjadi was-was dan mudah curiga, termasuk pada Dokter Andrew. 'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.''Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
"Kau tak bisa lari lagi, sebentar lagi giliran mu!"Tulisan berwarna merah yang bisa Eiden tebak adalah darah. Anak buah Leo sudah menceritakan segala yang terjadi di rumah ini, tentang kematian Nenek Shopia yang ditemukan sudah tak bernyawa. "Ada berapa anggota D'trask di desa ini?" tanya Eiden. "Tidak banyak, Tuan. Kami hanya kebetulan pulang kampung sebab orang tua kami akan panen." "Berapa teman kalian?" "Empat orang." Artinya anggota D'trask yang berasal dari desa ini hanya berjumlah empat orang. "Kumpulkan keempatnya kemari." Eiden berniat meminta empat orang anggotanya untuk mencari Arra di desa ini, dia yakin Arra belum meninggalkan desa. "Baik, Tuan." Pria itu membungkuk, memberi hormat sebelum akhirnya keluar dari rumah Nenek Shopia. Sementara Eiden, berjalan ke tengah ruangan di mana di sana terdapat sebuah kursi tua. Eiden mendaratkan pantatnya di sana lalu memejamkan mata sembari berpikir keras. 'Di mana kamu, Arra?' Awalnya dia pikir, Arra diculik oleh penjaha
Arra sudah selesai sarapan, tapi Andrew belum juga pulang. Padahal tadi Bi Merry mengatakan bahwa Andrew sudah dalam perjalanan pulang. Wanita itu pun berjalan dari ruang tengah menuju teras, namun tiba-tiba Bi Merry datang dan membuat Arra tak jadi keluar. "Nona, anda mau kemana?" "Aku ingin menunggu Andrew di teras. Tiga hari ada di rumah ini, aku tidak pernah sekalipun keluar." Arra sesungguhnya ingin pergi keluar, ingin melihat-lihat kampung halaman ibunya yang sudah lama ia tinggalkan. Tapi Arra tak punya keberanian untuk itu, dia takut anak buah Eiden atau bahkan pria itu menemukan keberadaannya. Mau tak mau, Arra hanya bisa berdiam di rumah tanpa sekalipun ada niat untuk keluar sekedar mencari angin. "T-tapi ... Apa tidak sebaiknya Nona menunggu tuan di dalam saja?" Sedikit heran Arra mendengar ucapan Bi Merry. "Memangnya kenapa kalau aku menunggu dia di luar?" Arra bertanya. Apakah Bi Merry mengetahui sesuatu tentang dirinya? Padahal selama tiga hari dia tinggal di ru
Arra sudah selesai sarapan, tapi Andrew belum juga pulang. Padahal tadi Bi Merry mengatakan bahwa Andrew sudah dalam perjalanan pulang. Wanita itu pun berjalan dari ruang tengah menuju teras, namun tiba-tiba Bi Merry datang dan membuat Arra tak jadi keluar. "Nona, anda mau kemana?" "Aku ingin menunggu Andrew di teras. Tiga hari ada di rumah ini, aku tidak pernah sekalipun keluar." Arra sesungguhnya ingin pergi keluar, ingin melihat-lihat kampung halaman ibunya yang sudah lama ia tinggalkan. Tapi Arra tak punya keberanian untuk itu, dia takut anak buah Eiden atau bahkan pria itu menemukan keberadaannya. Mau tak mau, Arra hanya bisa berdiam di rumah tanpa sekalipun ada niat untuk keluar sekedar mencari angin. "T-tapi ... Apa tidak sebaiknya Nona menunggu tuan di dalam saja?" Sedikit heran Arra mendengar ucapan Bi Merry. "Memangnya kenapa kalau aku menunggu dia di luar?" Arra bertanya. Apakah Bi Merry mengetahui sesuatu tentang dirinya? Padahal selama tiga hari dia tinggal di ru
"Kau tak bisa lari lagi, sebentar lagi giliran mu!"Tulisan berwarna merah yang bisa Eiden tebak adalah darah. Anak buah Leo sudah menceritakan segala yang terjadi di rumah ini, tentang kematian Nenek Shopia yang ditemukan sudah tak bernyawa. "Ada berapa anggota D'trask di desa ini?" tanya Eiden. "Tidak banyak, Tuan. Kami hanya kebetulan pulang kampung sebab orang tua kami akan panen." "Berapa teman kalian?" "Empat orang." Artinya anggota D'trask yang berasal dari desa ini hanya berjumlah empat orang. "Kumpulkan keempatnya kemari." Eiden berniat meminta empat orang anggotanya untuk mencari Arra di desa ini, dia yakin Arra belum meninggalkan desa. "Baik, Tuan." Pria itu membungkuk, memberi hormat sebelum akhirnya keluar dari rumah Nenek Shopia. Sementara Eiden, berjalan ke tengah ruangan di mana di sana terdapat sebuah kursi tua. Eiden mendaratkan pantatnya di sana lalu memejamkan mata sembari berpikir keras. 'Di mana kamu, Arra?' Awalnya dia pikir, Arra diculik oleh penjaha
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu." Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang a