BAB 4
Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi, sepertinya tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap yang gelap tak terurus. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kamu sudah bangun?” Suara pria menarik atensinya. Arra menolehkan kepala ke samping di mana pria itu berada. “Kamu?” Arra terkejut sebab pria yang sudah menidurinya semalam kini berada di sampingnya. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa dia bisa ada di kamar pria ini, tapi Arra rasa itu tidaklah penting. Keadaan orang tuanya terutama sang ibu adalah hal utama untuk Arra. “Apa perempuan yang tertembak kepalanya yang kamu maksud?” tanya Eiden, membuat pergerakan Arra terhenti dan kini gadis itu menatap Eiden dengan kedua alis bertaut. “Kau tau darimana?” “Orang yang membawamu semalam melapor padaku bahwa dia melihat perempuan yang ditembak di sana, jika memang dia ibumu, aku bisa membantumu.” Jujur saja, Arra tak mau memiliki hutang budi pada pria yang sudah mengambil keperawanannya, tapi dia tidak punya pilihan lain. Besar harapan Arra akan keselamatan mereka, kendati otaknya mengatakan kemungkinan itu sangatlah kecil, tapi sekecil apapun itu, Arra tak ingin membuangnya percuma. “Baiklah ... Kau beristirahatlah dulu. Dokter keluarga yang ku telepon sedang dalam perjalanan, kurasa kau juga butuh perawatan,” ucap Eiden sebelum pergi dari sana. Seperginya Eiden, Arra merebahkan tubuhnya kembali. Bayangan mengerikan semalam sungguh membuatnya was-was. Pikiran-pikiran buruk terlintas di kepalanya hingga kemudian pintu kamarnya diketuk. “Masuk!” Seorang perempuan dengan lima kerutan di dahinya masuk disusul seorang pria dengan jas putih di belakangnya. “Nona ... Dokter Edwin datang untuk memeriksa keadaanmu.” Wanita tua itu berkata, lalu mempersilahkan pria yang dipanggil Dokter Edwin untuk memeriksa Arra. “Sejauh ini semuanya baik, hanya tekanan darahmu rendah, Nona, itu sebabnya kepalamu terasa berdenyut.” Dokter itu memeriksa tensi darah Arra dan mengecek hasilnya. “Dokter, apakah seseorang yang tertembak akan mati?” tanya Arra. Dokter Edwin mengernyitkan alisnya sebab merasa pertanyaan Arra tidak ada hubungannya dengan hasil pemeriksaannya. “Tergantung.” Dokter Edwin menjawab sembari membereskan kembali alat pemeriksaan yang tadi dia gunakan. Arra diam, tapi tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari dokter di hadapannya, menunjukkan bahwa dia menunggu kelanjutan kalimat si dokter. “Jika hanya betis atau lengan yang tertembak, asalkan mendapat penanganan segera dia bisa selamat, tapi jika alat vitalnya yang tertembak, kecil kemungkinan orang itu akan selamat,” papar dokter itu dengan bahasa sederhana yang bisa dimengerti oleh pasiennya. “Bagaimana jika kepalanya yang tertembak?” Arra tak cukup puas dengan jawaban Dokter Edwin hingga dia mengajukan lagi pertanyaan. “Maaf ... Memangnya siapa tertembak? Karena sejauh yang kulihat, tidak ada luka di kepalamu.” Arra membuka mulutnya hendak menjawab tapi pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, perempuan tua yang tadi mengantar dokter Edwin kembali masuk dan berbisik pada si dokter. Mendengar apa yang disampaikan oleh Asisten rumah tangga temannya, Edwin terkekeh, “Kurasa dia takut wanitanya berubah haluan kepadaku.” “Maaf, Nona ... Tapi waktu ku tidak banyak, aku harus segera kembali ke rumah sakit sekarang. Jika ada yang ingin kau tanyakan tentang luka tembakan atau tentang hal lainnya kau bisa menghubungi aku.” Edwin tersenyum manis, sengaja untuk mamanas-manasi Eiden yang ternyata memantau mereka lewat CCTV kamar sejak tadi. Tidak hanya itu, Edwin juga memberikan kartu nama kepada Arra. “Haha ... Kau pasti sangat cemburu sekarang, Eiden.” Dokter Edwin menertawai temannya yang pasti sedang merasa cemburu sekarang. Sementara Eiden yang baru meninggalkan mansionnya jadi putar arah untuk kembali. “Putar balik sekarang!” Hardy yang fokus mengemudi melirik ke kursi belakang. Padahal tadi Eiden buru-buru ingin melihat lokasi yang disebutkan anak buahnya. Tapi tiba-tiba pria itu meminta putar balik untuk pulang. Saat Eiden tiba, ponselnya berdering. Anak buah yang dia tugaskan untuk datang ke lokasi penyekapan orang tua Arra kini menelepon. Dia memberi kabar bahwa Kelly sudah meninggal sementara suaminya tidak ada. Tak membuang-buang waktu, Eiden memberitahukan itu pada Arra, dan perempuan itu menangis histeris sembari mendesak Eiden untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Kini dua orang itu berangkat ke rumah sakit dengan Hardy yang mengemudi. Arra menangis sepanjang perjalanan, hingga mobil mereka tiba di sebuah rumah sakit. Arra nyaris pingsan melihat kondisi ibunya yang tampak mengenaskan, namun di sisinya, Eiden tak henti menguatkannya dan berjanji akan menemukan pelaku penembakan itu. Arra cukup tenang sekarang, bahkan sampai jenazah ibunya dibawa untuk dimakamkan, Arra tidak lagi histeris seperti sebelumnya, hanya isakan kecil yang keluar dengan air mata yang seolah tiada habisnya. Satu Minggu berlalu, dan selama itu Arra tinggal di mansion Eiden. Awalnya gadis itu menolak, namun Eiden mengatakan bahwa belum aman jika Arra tinggal di apartemennya sendirian, sementara pelakunya belum tertangkap dan bisa saja masih mengincarnya di luar sana. Dan sekarang, Arra rasa keadaan sudah cukup aman, kendati Eiden bersikap baik dan memanjakannya, tapi Arra tidak ingin terlalu bergantung pada pria itu. “Apa kau yakin?” Kali ini Eiden tidak akan lagi menahannya. Tidak apa Arra kembali tinggal di apartemennya, Eiden akan mengutus beberapa anak buahnya untuk terus mengawasinya agar gadis itu tetap aman. “Ya. Aku ingin kembali bekerja dan hidup normal seperti biasa. Rasanya aku selalu ingat ibu jika hanya diam di rumahmu yang seperti istana ini.” “Baiklah ... Nanti sore aku akan mengantarmu. Sekarang aku masih harus mengurus sedikit masalah di lapangan. Kau tidak apa, kan, menunggu sampai nanti sore?” Arra mengangguk. Dia tak tahu Eiden bekerja apa? Tapi selama seminggu di sini, hanya dua kali dia melihat pria ini pergi untuk bekerja. Namun ia memilih untuk tidak bertanya kendati dia sangat penasaran. Arra merasa sedikit bosan saat dia ditinggal sendirian di dalam kamar, hingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar mansion. Meskipun sudah satu Minggu tinggal di sini, tapi Arra belum pernah berkeliling. “Boss ... Aku membawa kabar baik dan kabar buruk kali ini. Kabar mana dulu yang ingin kau dengar?” suara berat seorang pria terdengar dari ruang kerja Eiden. Arra yang baru memikirkan pekerjaan Eiden apa, memutuskan untuk mengintip. “Terserah.” “Baiklah, kurasa kau perlu tahu kabar buruk terlebih dahulu. Geng lebah hitam kemaren berulah lagi, bahkan Hardy yang merupakan tangan kananmu tak membuat mereka segan.” Pintu yang sedikit terbuka membuat Arra bisa melihat dua orang yang sedang mengobrol di dalam. “Lalu kabar baiknya, masalah kemaren sudah aku tangani sampai ke akar-akarnya, tidak akan ada polisi yang mengendus keberadaan kita sekarang.” Lawan bicara Eiden berkata lagi, membuat Arra makin penasaran saja dengan pekerjaan pria yang satu minggu ini sudah menolongnya. “Hm ... Tapi kurasa masalah ini belum benar-benar selesai, aku akan mengutus Hardy untuk mengurusnya lebih lanjut." Eiden berbicara, namun matanya sama sekali tidak tertuju pada lawan bicaranya. Pria itu justru fokus pada layar komputer di depannya. "Baik, Boss ... Lalu bagaimana dengan geng lebah hitam?" Pria yang memanggil Eiden dengan sebutan Boss itu bertanya. "Geng pembuat onar itu sudah melampaui batas, secepatnya kau selidiki markas mereka. Cari celah agar orang kita bisa masuk dan menjadi mata-mata di sana.” “Baiklah. Kalau begitu aku permisi, dan ini, aku menemukannya saat kemaren mengintai di markas geng lebah hitam.” Pria itu memberikan sebuah gelang perak bertuliskan ‘lebah hitam’ di atasnya. Arra yang melihat tangan pria itu kini tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia menutup mulut dengan mata membesar tak percaya. “Dia!” Arra melihat tato naga pada pergelangan tangan lelaki itu. Kendati Arra belum melihat wajahnya, tapi tato naga yang dimiliki oleh lelaki itu sama persis dengan orang yang menembak ibunya. Arra buru-buru bersembunyi saat lelaki itu bangkit dan berpamitan untuk pergi. Lagi-lagi Arra dibuat syok saat melihat wajah lelaki yang membuka pintu dan keluar dari ruang kerja Eiden, di wajah pria itu terdapat luka gores memanjang di pipi kirinya. Arra menutup mulut saking syoknya. “Jika pria itu memanggil Eiden Boss, artinya dalang dari pembunuhan ibu adalah ....” Arra tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tak ingin ketahuan, Arra buru-buru kembali ke kamarnya. "Masalah kemaren sudah aku tangani sampai ke akar-akarnya, tidak akan ada polisi yang mengendus keberadaan kita sekarang.” “Hm ... Tapi kurasa masalah ini belum benar-benar selesai, aku akan mengutus Hardy untuk mengurusnya lebih lanjut." Perbincangan Eiden dengan pria bertato tadi terngiang di telinga Arra. "Pasti yang Eiden maksud adalah aku. Ya, itu pasti aku. Dia akan mengutus Hardy untuk membunuhku sebagai saksi mata terakhir agar masalah ini benar-benar selesai." Arra bergelut dengan pikiran dan ketakutannya. Sungguh dia tidak menyangka bahwa selama seminggu ini dia telah tinggal di tempat pembunuh orang tuanya.BAB 5 Merasa hidupnya terancam, wanita itu buru-buru keluar dari kamar. Tidak hanya keluar kamar, Arra bertekad untuk pergi dari mansion detik ini juga. Marah ... Tentu saja Arra marah, wanita itu teramat sangat marah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arra masih lebih sayang nyawanya untuk melakukan balas dendam sekarang. Arra berniat untuk mengumpulkan uang yang banyak, lalu pada akhirnya saat dirinya sudah memiliki kuasa dan uang, ia akan datang lagi menuntut balas akan kematian orang tuanya. “Nona mau kemana?” Security yang melihat Arra hendak keluar gerbang, lantas menghampiri wanita itu. “Aku ingin membeli beberapa camilan, bisa tolong bukakan pintu gerbangnya?” Arra sebisa mungkin bersikap normal, kesedihan, kemarahan dan kekecewaannya dia tutupi dengan senyum. Melihat keraguan di wajah security itu, Arra langsung bicara lagi, “Eiden sudah memberi izin, justru kau akan dapat masalah jika kau tidak membuka gerbangnya. Boss kamu sedang banyak pekerjaan, jadi dia tidak bis
"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu." Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang a
'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu." Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang a
BAB 5 Merasa hidupnya terancam, wanita itu buru-buru keluar dari kamar. Tidak hanya keluar kamar, Arra bertekad untuk pergi dari mansion detik ini juga. Marah ... Tentu saja Arra marah, wanita itu teramat sangat marah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arra masih lebih sayang nyawanya untuk melakukan balas dendam sekarang. Arra berniat untuk mengumpulkan uang yang banyak, lalu pada akhirnya saat dirinya sudah memiliki kuasa dan uang, ia akan datang lagi menuntut balas akan kematian orang tuanya. “Nona mau kemana?” Security yang melihat Arra hendak keluar gerbang, lantas menghampiri wanita itu. “Aku ingin membeli beberapa camilan, bisa tolong bukakan pintu gerbangnya?” Arra sebisa mungkin bersikap normal, kesedihan, kemarahan dan kekecewaannya dia tutupi dengan senyum. Melihat keraguan di wajah security itu, Arra langsung bicara lagi, “Eiden sudah memberi izin, justru kau akan dapat masalah jika kau tidak membuka gerbangnya. Boss kamu sedang banyak pekerjaan, jadi dia tidak bis
BAB 4Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi, sepertinya tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap yang gelap tak terurus. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kamu sudah bangun?” Suara pria menarik atensinya. Arra menolehkan kepala ke samping di mana pria itu berada. “Kamu?” Arra terkejut sebab pria yang sudah menidurinya semalam kini berada di sampingnya. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa