BAB 2
“Selamat pagi, Nona. Akhirnya anda keluar juga. Saya sudah lama menunggu anda keluar.” Hardy dengan setelan hitamnya menyambut Arra di luar kamar. “S-selamat pagi, anda siapa? Dan kenapa anda menunggu saya?” tanya Arra ragu-ragu. Matanya memindai penampilan Hardy dari atas sampai bawah. “Akan saya jelaskan nanti setelah anda sarapan. Mari Nona, silahkan ikut saya.” Pria itu merentangkan sebelah tangannya ke samping dengan badan agak membungkuk. “Silahkan anda pesan menu yang anda inginkan. Saya akan menelepon Tuan Eiden untuk melaporkan bahwa anda sudah bersama saya.” Pria itu berbalik setelah mengantarkan Arra ke ruangan VVIP restoran. Saat Hardy mengeluarkan ponsel dan meninggalkan Arra untuk meenghubungi Eiden, kaki Arra segera melangkah dan menghilang dari restoran tersebut. “Tuan ... Nona itu sudah bersama saya. Selain memberinya cek, apa lagi yang harus saya lakukan?” “Antar dia ke apartemennya! Pekan depan jemput dia kembali ke hotel. Mulai hari ini dan seterusnya, semua kebutuhannya aku yang tanggung. Pastikan dia berhenti bekerja!” Eiden memberi perintah dengan jelas. “Baik, Tuan.” Panggilan berakhir, Hardy hanya menggeleng mendengar perintah tuan mudanya. Ia pun segera berbalik menuju ke restauran. Sayang, di meja yang seharusnya terdapat Arra, mainan baru si boss, wanita itu tidak ada di tempatnya. Hardy memanggil pelayan dan dia dibuat terkejut sebab pelayan itu mengatakan bahwa wanita yang bersamanya tadi sudah keluar dua menit setelah Hardy keluar. “Sial ... Aku bisa dihukum karena akan dianggap tidak becus mengurus mainan barunya,” rutuk Hardy. Sementara di sebuah perkantoran yang jauh dari hotel, Arra dibuat sibuk dengan setumpuk berkas di mejanya. Wanita itu sampai tidak sadar waktu saking fokusnya bekerja. Dia melewatkan jam makan siang bahkan wanita itu juga tak menyadari bahwa saat ini sudah malam. Jujur saja, Arra juga ingin pulang. Tapi pekerjaannya sejak siang tadi seolah tiada habisnya. Sebagai pegawai baru, Arra lah yang lebih banyak mengerjakan pekerjaan dari divisi-divisi di atasnya. Entah memang peraturan perusahaan atau semua atasannya memanfaatkan kepolosannya. Arra menghela napas, dia meraih ponselnya yang ternyata mati karena kehabisan baterai. Lantas ia mengambil charger yang selalu ia bawa dan mengisi daya pada ponselnya. Arra juga menyalakannya mengingat dia belum memberi kabar pada penagih hutang itu. Dan benar saja, begitu ponselnya menyala terdapat rentetan pesan masuk dari nomer tak dikenal. Isi pesan itu hampir sama semuanya, mengatakan bahwa jika sampai malam Arra tak datang, mereka akan benar-benar membunuh ayah dan ibunya. “Shit, dasar rentenir kejam!” Arra menjambak rambutnya. Harus mencari uang ke mana malam-malam begini? “Arra, tolong pulang. Ibu dan ayah kamu dibawa sama rentenir itu.” Pesan yang dikirim John saat sore tadi tapi baru Arra baca sekarang. Dari kesal, sekarang Arra jadi ketakutan. Bergegas dia bangkit meninggalkan pekerjaannya. Tak peduli jika dia dipecat, yang terpenting sekarang adalah keselamatan orang tuanya. Detik itu juga Arra memesan tiket kereta untuk pulang ke kampung halamannya. Jarak tempuh dari Sidiniy ke Neweda South vales hanya sekitar dua jam perjalanan, tapi bagi Arra yang sedang diburu waktu, itu terasa sangat lama. Di saat yang sama, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Nama ibu tertera di layar, buru-buru Arra menerima panggilan itu. “Halo, Arra.” Suara serak sang ibu terdengar, Arra kasihan mendengarnya. Pasti ibunya ketakutan di sana. “Halo, Bu. Ibu dan ayah baik-baik saja, kan?” tanya Arra, dia menyeka air mata yang jatuh dengan sendirinya. Meski ia agak lega karena ia masih bisa mendengar suara ibunya, tapi entah kenapa Arra merasa ini akan menjadi malam terakhir untuk mereka saling bicara. Kendati Arra datang ke sana, dia tak membawa uang sepeserpun, Arra khawatir, rentenir kejam itu membunuh orang tuanya di hadapannya. “Ya, ibu dan ayah baik-baik saja. Kamu tidak usah pulang, Nak. Tetaplah di sana dan jangan sekali-kali datang-“ ucapan ibu terputus. Bukan karena jaringan atau sambungan telepon yang terputus, tapi karena ponsel ibunya dirampas oleh rentenir itu. “Halo, Ibu!” Arra memanggil ibunya dengan panik, air matanya semakin deras jatuh tak tertahankan. Panggilan telepon dari ibunya yang belum terputus beralih ke panggilan video. “Cepat ke sini kalo mau bapak ibu kamu selamat.” Rentenir itu menguasai ponsel ibunya. Dia memperlihatkan kondisi ayahnya yang terkapar di lantai, juga wajah ibunya yang penuh lebam kebiruan. “Ya. Saya memang sedang dalam perjalanan pulang. Tolong jangan apa-apakan orang tua saya,” mohon Arra. Dia mengarahkan kamera pada dirinya dan di sekitarnya agar rentenir itu percaya bahwa Arra benar-benar ada di dalam kereta untuk datang ke sana. “Itu tergantung seberapa cepat kamu datang, dan seberapa murah hati boss kami sama kamu.” Rentenir itu menyeringai. “B-baik.” “Kalau sampai tengah malam kamu tak datang, siap-siap saja kamu akan menabur abu mereka.” Rentenir itu mengancam sebelum akhirnya dia menutup panggilan secara sepihak. Arra melihat jam di pergelangan tangannya. Ini belum tengah malam, artinya ia belum terlambat. Meski begitu, rasa khawatir dan takut menguasai pikirannya. Dua jam yang terasa sangat lama itu akhirnya bisa Arra lalui. Gadis itu bergegas turun dari kereta dan langsung menaiki taksi yang sudah dia pesan sedari tadi. “Kemana tujuan kita, Nona?” Sopir itu bertanya. “Gedung X.” Arra menyebutkan tempat di mana ibu dan ayahnya disekap oleh para rentenir itu. Saat tiba di jalan yang jarang dilalui kendaraan, sopir itu bicara. “Nona, maaf bukan ingin menakuti, tapi sepertinya mobil di belakang mengikuti kita sejak tadi.” Arra berbalik ke belakang, benar saja di belakang taksi yang ia tumpangi, terdapat sebuah mobil hitam yang berada tepat di belakangnya. “Abaikan saja lah, Pak. Mereka akan rugi banyak jika mengikuti saya untuk merampok. Lagi pula sekalipun saya selamat dari para begal itu, belum tentu nanti saya selamat dari penagih hutang ayah saya.” Hati Arra kembali nelangsa. Dia pikir mobil di belakang adalah segerombolan begal yang berkeliaran di malam hari untuk merampok orang kaya yang lewat. “Dipercepat lagi dong, Pak. Saya lebih tidak ingin terlambat sampai ke sana.” Sopir itu hanya mengangguk sembari melirik sebentar lewat kaca spion. Tanpa Arra tahu bahwa mobil hitam di belakang adalah orang suruhan Eiden yang langsung berpencar mencarinya begitu Hardy melapor bahwa ia melarikan diri. Dan sekarang salah satu anak buah Eiden menemukan keberadaannya lalu mengikutinya atas perintah bossnya. “Tuan, kami menemukan Nona Arra,” lapor anak buahnya tersebut. “Good! Terus ikuti!” titah Eiden dengan suara datar dari balik ponselnya. “Baik, Tuan.” Menuruti perintah sang boss, anak buah Eiden terus mengikuti taksi tersebut dari jarak yang sangat dekat. Dia hapal betul dengan tabiat Eiden yang kalau sampai dia kehilangan jejak Arra, maka jari tangan atau jari kakinya lah yang akan jadi korban. “Ingat, apapun yang terjadi. Kalian harus membawa dia kembali ke mansion ku, malam ini juga!”BAB 3 Sementara itu, kedua orang tua Arra terus menghadapi teror yang menakutkan dari para penagih hutang. “Sita ponselnya, dan awasi mereka jangan sampai kabur.” Pria yang separuh wajahnya terdapat bekas luka itu memberi perintah kepada dua orang bawahannya. “Siap, Boss ... Tapi apa mungkin anak mereka benar-benar akan datang?” tanya salah satunya. “Pasti! Anak itu teramat menyayangi dua lansia tidak berguna ini!” Pria yang dipanggil boss itu menjawab lalu setelahnya berlalu keluar disusul oleh kedua anak buahnya. Seperginya tiga orang itu, Kelly menatap suaminya. Jujur ... Dia kasihan melihat wajah Bruce yang sudah babak belur, bahkan di sudut bibirnya terdapat darah yang sudah mengering menandakan bahwa sudut bibirnya telah robek. “Bruce ... Sebenarnya siapa mereka? Tidak mungkin hanya karena kau punya hutang, mereka sampai menculik dan bahkan mengancam untuk membunuh.” Kelly bertanya. Dia tahu suaminya pernah berhutang kepada rentenir untuk membiayai kuliah Arra, dan s
BAB 4Arra membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat asing. Dia pikir para rentenir itu juga menangkapnya. Tapi, sepertinya tidak, sebab tempat dia membuka mata sekarang justru terlihat mewah, berbanding terbalik dengan tempat ayah dan ibunya disekap yang gelap tak terurus. Menyebut ibu, Arra seketika bangkit dari tidurnya. Adegan saat ibunya ditembak tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Tidak mungkin itu hanya mimpi, sebab Arra sempat ingat samar-samar saat tubuhnya digendong dan dimasukkan ke dalam mobil, dia mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. “Kamu sudah bangun?” Suara pria menarik atensinya. Arra menolehkan kepala ke samping di mana pria itu berada. “Kamu?” Arra terkejut sebab pria yang sudah menidurinya semalam kini berada di sampingnya. “Hmm ....” Eiden menatap teduh wajah wanita yang seharian tadi membuatnya frustasi. “Maaf ... Tapi aku tidak ada urusan denganmu, sekarang biarkan aku pergi karena orang tuaku saat ini membutuhkanku.” Meski penasaran kenapa
BAB 5 Merasa hidupnya terancam, wanita itu buru-buru keluar dari kamar. Tidak hanya keluar kamar, Arra bertekad untuk pergi dari mansion detik ini juga. Marah ... Tentu saja Arra marah, wanita itu teramat sangat marah, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arra masih lebih sayang nyawanya untuk melakukan balas dendam sekarang. Arra berniat untuk mengumpulkan uang yang banyak, lalu pada akhirnya saat dirinya sudah memiliki kuasa dan uang, ia akan datang lagi menuntut balas akan kematian orang tuanya. “Nona mau kemana?” Security yang melihat Arra hendak keluar gerbang, lantas menghampiri wanita itu. “Aku ingin membeli beberapa camilan, bisa tolong bukakan pintu gerbangnya?” Arra sebisa mungkin bersikap normal, kesedihan, kemarahan dan kekecewaannya dia tutupi dengan senyum. Melihat keraguan di wajah security itu, Arra langsung bicara lagi, “Eiden sudah memberi izin, justru kau akan dapat masalah jika kau tidak membuka gerbangnya. Boss kamu sedang banyak pekerjaan, jadi dia tidak bis
"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu." Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang a
'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
Arra sudah selesai sarapan, tapi Andrew belum juga pulang. Padahal tadi Bi Merry mengatakan bahwa Andrew sudah dalam perjalanan pulang. Wanita itu pun berjalan dari ruang tengah menuju teras, namun tiba-tiba Bi Merry datang dan membuat Arra tak jadi keluar. "Nona, anda mau kemana?" "Aku ingin menunggu Andrew di teras. Tiga hari ada di rumah ini, aku tidak pernah sekalipun keluar." Arra sesungguhnya ingin pergi keluar, ingin melihat-lihat kampung halaman ibunya yang sudah lama ia tinggalkan. Tapi Arra tak punya keberanian untuk itu, dia takut anak buah Eiden atau bahkan pria itu menemukan keberadaannya. Mau tak mau, Arra hanya bisa berdiam di rumah tanpa sekalipun ada niat untuk keluar sekedar mencari angin. "T-tapi ... Apa tidak sebaiknya Nona menunggu tuan di dalam saja?" Sedikit heran Arra mendengar ucapan Bi Merry. "Memangnya kenapa kalau aku menunggu dia di luar?" Arra bertanya. Apakah Bi Merry mengetahui sesuatu tentang dirinya? Padahal selama tiga hari dia tinggal di ru
"Kau tak bisa lari lagi, sebentar lagi giliran mu!"Tulisan berwarna merah yang bisa Eiden tebak adalah darah. Anak buah Leo sudah menceritakan segala yang terjadi di rumah ini, tentang kematian Nenek Shopia yang ditemukan sudah tak bernyawa. "Ada berapa anggota D'trask di desa ini?" tanya Eiden. "Tidak banyak, Tuan. Kami hanya kebetulan pulang kampung sebab orang tua kami akan panen." "Berapa teman kalian?" "Empat orang." Artinya anggota D'trask yang berasal dari desa ini hanya berjumlah empat orang. "Kumpulkan keempatnya kemari." Eiden berniat meminta empat orang anggotanya untuk mencari Arra di desa ini, dia yakin Arra belum meninggalkan desa. "Baik, Tuan." Pria itu membungkuk, memberi hormat sebelum akhirnya keluar dari rumah Nenek Shopia. Sementara Eiden, berjalan ke tengah ruangan di mana di sana terdapat sebuah kursi tua. Eiden mendaratkan pantatnya di sana lalu memejamkan mata sembari berpikir keras. 'Di mana kamu, Arra?' Awalnya dia pikir, Arra diculik oleh penjaha
"Di rumah saja, kalau begitu," jawab Bi Merry cepat. Takut Arra mengajaknya masuk ke dalam klinik, Bi Merry buru-buru mengajak wanita itu untuk pergi dari sana. Kembali mereka berjalan pulang, sambil mengobrol terkait keinginan Arra untuk mencari pekerjaan. "Nona ... Apakah anda masih berniat untuk mencari pekerjaan?" tanya Bi Merry, dia harap setelah melihat sedikit kebaikan Andrew di klinik itu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya mencari kerja. Maksudnya setelah melihat bahwa Andrew tidak pernah mempermasalahkan soal uang, dia berharap Luisa tak lagi terpikir untuk mendapatkan uang. Bukan apa-apa, Bi Merry ingat betul dengan pesan Andrew."Jangan sampai ada orang luar yang tahu keberadaannya." "Dan jika dia ingin keluar saat aku tidak ada, usahakan untuk menahannya bagaimanapun caranya." Dan cara inilah yang terpikir oleh Bi Merry, menunjukkan klinik yang dibangun Andrew untuk merawat orang sakit tanpa memungut biaya sepeserpun. "Tentu saja. Aku tetap ingin bekerja dan m
Arra merasa bosan, sudah dua hari dia hanya berdiam diri dalam rumah Andrew tanpa melakukan apa-apa. Terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan.Dia teringat dengan kemeja putih yang dijahit sendiri oleh Kelly. Kata Kelly baju pemberiannya adalah baju keberuntungan, jadi harus Arra pakai saat pergi melamar kerja. Dan memang terbukti, dahulu Arra memakainya saat melamar kerja pertama kali, dia langsung diterima. Wanita itu pun mengecek barang bawaan yang sebagian belum dia pindahkan, seketika senyumnya mengembang saat kemeja yang dimaksud ada di dalam kopernya. Arra memeluk kemeja itu, namun pelukannya mengendur saat sebuah ingatan terlintas dalam pikirannya. Malam panas yang terjadi antara dia dan Eiden, adalah ketika dia memakai kemeja ini juga. Ahhh ... Kalau begitu, baju ini bukan lagi membawa keberuntungan, pikir Arra. Alih-alih beruntung, itu tak ubahnya sebuah petaka. Sebab setelah itu, Arra kehilangan Kelly, tak cukup sampai di situ, Arra juga ditipu habis-habisan oleh si br
Masih di Palhington, tepatnya di ruang bawah tanah. Eiden tengah menyesap nikotin yang sudah seminggu ini hampir tidak bisa lepas dari hidupnya. Di saat yang sama, Leo tiba-tiba datang dan melemparkan seorang pria dengan wajah yang penuh lebam kebiruan, bahkan dari pelipisnya mengalir darah segar menandakan pria itu habis dipukuli. Leo adalah tangan kanan Eiden yang diberi wewenang untuk memimpin wilayah bagian Utara. Biar ku jelaskan! Eiden Woods adalah pimpinan D'trask mafia yang berkuasa di Amareka. Saking luasnya wilayah kekuasaannya, dia membagi itu menjadi dua bagian, wilayah utara dipimpin oleh Leo Gustom. Sedangkan wilayah selatan dia serahkan kepada sahabatnya, Adam Poulter. Dan sekarang, Leo, si pimpinan wilayah utara berhasil menangkap satu anak buahnya yang berkhianat. "Ampuni saya, Tuan. Saya tidak berniat untuk berkhianat. Mereka yang memaksa saya," ucap pria itu. "Ck! Kau apa tidak punya dialog lain?" bosan Leo mendengar ucapan pria itu yang diulang-ulang terus sej
"Dokter! Kembali!" Arra berteriak saat melihat pintu kamarnya yang ternyata dibiarkan terbuka oleh Andrew. Tepat setelah dia berteriak, gadis itu segera berlari ke kamar mandi, takut Andrew tiba-tiba datang dan masuk seperti tadi. Benar saja, tak sampai sepuluh detik pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bingungnya. Andrew ingin bertanya kenapa Arra menyuruhnya kembali? tapi dia takut Arra belum mengenakan apapun seperti tadi. "Dokter, kau lupa menutup pintu," ucap Arra kemudian, gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu kamar mandi. "Astaga, maaf ... Aku tadi buru-buru," sahut Andrew salah tingkah. "Maaf juga soal yang tadi," gugup Andrew, dia bahkan tak berani melihat ke dalam. "Hmm ... Tidak usah dibahas." Jangankan membahas itu, mengingatnya saja, Arra merasa sangat malu. "Oke. kalau begitu, aku tunggu di bawah. Kau cepatlah turun," ucap Andrew yang tepat setelah mengatakan itu, dia menarik pintu tanpa melihat ke dalam, dan langsung berlalu pergi.**** Selesa
Mendengar kata 'ingin sendiri', Andrew langsung panik. Dia berlari menaiki tangga menuju tempat di mana Arra berada. Entah kenapa, bayangan saat Mia tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan penuh darah seketika memenuhi kepalanya. Andrew khawatir, dia juga takut kalau sampai Arra melakukan hal bodoh seperti yang Mia lakukan. Membuka pintu, Andrew berlari masuk ke dalam. "Arra!" Melotot pria itu saat melihat Arra duduk berjongkok mengobrak-abrik isi kopernya. "Aaaa ...." Melihat Andrew muncul di dalam kamarnya, Arra reflek mengambil dan melempar barang dari dalam kopernya. Dan itu mengenai kepala Andrew. "Dokter ... Kenapa kau masuk tidak mengetuk pintu?" Arra seketika menutupi dadanya yang sialnya anggota tubuhnya yang lain malah terekspos di depan Andrew. "A-aku kaget. Eh, maksudku, aku tadi khawatir kamu bilang ingin sendiri. Aku takut kamu -" "Dokter, jangan khawatir! Aku tidak seberani adikmu," jawab Arra sembari berbalik badan membelakangi Andrew. "Aku
'Apa Dokter Andrew ini tak sebaik yang aku kira.' 'Ah, sekalipun iya, sepertinya dia hanya gila wanita. Bukan jahat yang tega membunuh orang seperti pria gila itu.' Arra bergumam dalam hatinya. Pria gila yang dia maksud tentu saja Eiden. Dari rasa yang mulai tumbuh seketika berubah menjadi kebencian, bak tunas tanaman yang siap tumbuh menjadi batang, namun disiram air panas yang langsung mati seketika. Begitulah perumpamaan hati Arra sekarang. Arra menghela napas panjang, bodoh sekali! Entah kenapa di setiap situasi, dia selalu membawa nama Eiden di pikirannya. Kendati sebatas membandingkan, tapi itu justru membuat Arra mengingat pria itu tanpa disadari. "Bi ... Jangan paksa dia, biarkan Arra yang memilih sendiri. Toh, selama ini tak ada siapapun yang mau pakai kamar itu karena bekas orang mati." Tiba-tiba Andrew muncul, wajahnya tampak sendu. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa tak pantas memakai kamar ini, karena aku bukan Mia, gadis kecil yang kalian sayang.
"Ya. Selamat! Kau akan jadi ibu, Nona. usia kehamilanmu baru satu minggu." Syok dan kaget Arra mendengar pernyataan dari dokter itu, dia bahkan nyaris terjatuh namun buru-buru berpegangan pada pinggiran ranjang rumah sakit. "T-tidak mungkin!" Arra bergumam sendiri. Seketika bayangan seminggu yang lalu terekam dalam ingatannya. Bagaimana dia mabuk sampai menghabiskan malam panas bersama dengan Eiden. Pria itu sungguh brengsek! Setelah tidur dengan Arra, dia lalu membunuh orang tua Arra, lalu sekarang, bisa-bisanya dia bikin Arra hamil?! Arkh ... Arra seperti mau gila memikirkan ini. Ditambah selama seminggu tinggal di mansion Eiden, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Meski Arra tak diperbolehkan keluar, tapi hampir setiap malam Eiden memberi kejutan manis padanya, entah itu makan malam romantis atau sekedar memberi hadiah padanya. Jika teringat perlakuan manis pria itu, rasanya Arra ingin kembali dan memberitahu kehamilannya. Tapi bayangan kematian sang a