Nirina sampai di rumah sedikit malam, karena Dewa mengajak makan malam di warung langganannya.
Kebetulan hari ini Dewa gajian. Ia berusaha memanjakan sang kekasih dengan mengajak makan. Hal yang jarang ia berikan pada Nirina karena keterbatasan ekonomi. Namun, setiap satu bulan setelah gajian ia menyisihkan gaji untuk mengajak Nirina jalan-jalan atau pun makan. Ya, meskipun tidak di restoran mahal hanya di warung lesehan, itu sudah membuat mereka berdua bahagia. "Makasih ya sudah ngajak aku makan," ucap Nirina berbinar. "Maaf, hanya bisa mengajak makan di warung.""Meskipun di warung dengan sepiring berdua aku pun mau, asalkan bersama kamu," ucap Nirina sambil tersenyum tulus. "Makasih sudah mau nerima dan mencintaiku apa adanya," ucap Dewa. Ia merasa belum bisa membahagiakan gadis yang sangat ia cintai itu."Sama-sama, selalu ... Aku akan selalu ada untukmu dan selalu mencintaimu.""Ya sudah, ini sudah malam kamu masuk! istirahat ya biar besok makin semangat kerja," ucap Dewa pamit. "Ya udah aku masuk, kamu hati-hati ya di jalan.""Iya ...."Setelah mengerjakan sholat isya' Nirina segera tidur, tadi pas ia masuk ke rumah sang ibu dan sang bapak sudah tidur. Nirina tidak mau membangunkan mereka, karena ia sudah membawa kunci rumah, jadi tidak perlu gedor-gedor pintu. ***Pagi ini Nirina begitu semangat. Seperti biasa ia membantu sang ibu memasak di dapur. "Semalam pulang jam berapa, Nak?""Pukul setengah sembilan, Bu.""Emang dari mana kok malam pulangnya?""Dewa mengajak makan karena gajian, Bu.""Bilang sama Nak Dewa supaya lebih bijak membelanjakan uang, tidak perlu menghamburkannya. Masih banyak keperluan untuk masa depan kalian dan untuk adiknya Dewa juga. Ibu ngomong gini karena ibu peduli, ibu enggak mau kalau tabungan Dewa habis hanya untuk mengajakmu makan dan jalan-jalan. alangkah baiknya uang itu ditabung.""Iya, Bu. Terima kasih nasihatnya, tapi jarang-jarang Dewa juga ingin menyenangkan Nirina, Bu. Itu pun cuma sebulan sekali, Nirina merasa tidak enak kalau harus menolak," ucap Nirina sambil menundukkan kepala."Ya sudah, tapi jangan mau ya kalau sering-sering, kasihan Nak Dewa. Karena Nak Dewa harus bantu ayahnya menyekolahkan adiknya, jadi perlu untuk berhemat.""Iya, Bu. Kan sudah Nirina bilang jarang-jarang. Nirina mandi dulu ya, habis sarapan langsung berangkat.""Iya, Nak."Setelah sarapan, Nirina segera pamit pada sang ibu dan sang bapak. Pak Rahmat, sang bapak menawarkan untuk mengantar, tapi Nirina menolak. Karena tidak se arah, takut sang bapak telat kalau harus mengantarnya dulu.Seperti biasa Nirina menunggu Dewa di depan gang masuk rumahnya. Sampai di toko Nirina berpapasan dengan Arisa. Mereka berdua masuk ke dalam toko bersamaan. Di dalam sudah berdiri dengan angkuh pemilik toko itu. Ya, Cynthia sudah berdiri di depan ruangannya. Arisa dan Nirina menyapa sekedar basa-basi dengan bos sombongnya itu. "Arisa gadis yang baik juga rajin, tapi sedikit ceroboh, meskipun tidak terlalu cantik, tapi Arisa gadis yang suka nyinyir dan suka membantah. Kalau Nirina ... juga baik, cerdas, cekatan, rajin, cantiknya biasa aja, tapi juga lumayan manis daripada Arisa. Nirina juga pendiam dan nggak banyak tingkah, tapi aku lihat Nirina sering diantar jemput laki-laki, apa mungkin laki-laki itu pacarnya?" batin Cynthia membandingkan dua karyawan yang menyapa tadi. Setelah sepuluh karyawannya sudah datang, Cynthia menghampiri mereka. "Kerja yang benar, jangan suka menggosip dan selalu ramah pada pembeli. Utamakan kepuasan untuk para pelanggan dan pembeli," ucap Cynthia tegas. " Baik, Bu..." ucap mereka bersamaan. Setelah mengucapkan itu Cynthia kembali masuk ke ruangan. "Menyuruh kita ramah sama pembeli, tapi ia sendiri tidak ramah pada karyawan, dasar majikan songong," ucap Rani menggerutu. "Hush ... kamu jangan ngomong gitu nanti bos songong denger kamu bisa kena pecat lo," ucap Santi mengingatkan. "Huh ... kalau aku tidak butuh pekerjaan aku udah keluar dari toko ini," lirih Arisa sambil menghela napas. "Ya ini memang sudah nasib kita, kita jalani aja," ucap Fitri. "Sudah, ayo kita kerja nanti Bu Cynthia tau, ‘kan ada CCTV di setiap sudut ruangan," ucap Nirina mengingatkan teman-temannya. "Untung di ruang ganti ini nggak ada CCTV," ucap Rani. "Tapi kita harus hati-hati juga kali, Ran," ucap Fitri. Mereka mulai bekerja sesuai tugas yang sudah di jadwal masing-masing yang sudah diatur oleh Cynthia. ***Seperti biasa Dewa menjemput Nirina, bahkan ia datang lebih awal karena ia sudah pulang lebih awal. Dewa menunggu Nirina di tempat parkir, ia mencoba untuk menelepon Nirina, tapi tidak diangkat.Dari arah pintu keluar toko, Dewa melihat Bu Cynthia. Pemilik toko itu sudah keluar dengan menenteng tas mahal. Cynthia melewati Dewa dengan angkuh menuju mobilnya. Saat ingin membuka pintu mobil Cynthia melihat ke arah Dewa sambil berpikir. "Itu kan cowok yang suka mengantar jemput Nirina, apa perlu aku bertanya apa hubungannya dengan Nirina," batin Cynthia. "Hai, kamu teman Nirina ya?" tanyanya masih dengan nada tegas dan sombong.Dewa merasa canggung. Bagaimana tidak? Nirina selalu menceritakan tentang kesombongan sang bos pada Dewa.
"I-iya, Bu. Ke-kenapa ya?" tanyanya terbata."Apa hubunganmu dengan Nirina?" tanyanya lagi dengan angkuh. "Ni-Nirina adalah tunangan saya, Bu," ucapnya masih terbata. "Ngapain sih nih orang pakai nanya-nanya hubungan aku dengan Nirina. Ngapain juga ngurusin urusan karyawan, nggak biasanya bos songong Nirina ini mau nyapa, apalagi dengan orang kecil kayak aku," batin Dewa. "Oo, kamu tunangannya? kerja apa sudah berani memutuskan menikah?" tanya Cynthia merendahkan sambil meneliti penampilan Dewa dari ujung kepala hingga ujung rambut. "Ngapain lagi nih orang lihat aku sampai segitunya bikin risih aja, emang ada yang salah dengan penampilanku? Ngapain juga nanyain tentang kerjaanku, emang menikah harus nunggu mapan semapan-mapannya, bukannya harta bisa dicari dan lebih barokah bila kita sudah menikah, dan bisa bertanggungjawab terhadap istri kita? Lagian aku nggak mau lama-lama berpacaran dengan Nirina takut khilaf," batin Dewa."Iya saya tunangannya dan kami akan segera menikah, meskipun pekerjaan saya hanya sebagai office boy yang penting halal dan saya akan berusaha membahagiakan Nirina, kenapa harus nunggu mapan? Setelah menikah kami bisa berjuang bersama-sama," ucap Dewa. Seketika membuat Cynthia terdiam dan mengangguk sambil tersenyum meremehkan. "Dasar ya, mental orang miskin. Miskin ya tetap miskin. Kalau kami orang kaya lebih mengedepankan kemapanan dalam pernikahan dan pekerjaan pasangan itu nomer satu.""Maaf, maksud ibu ngomong gitu sejak tadi ada apa ya? Emang masalah buat ibu kalau saya menikah dengan Nirina? Saya tegaskan ya, Bu. Menikah itu niatnya ibadah bukan niat ajang pamer kekayaan dan jabatan. Dalam rumah tangga itu kita dituntut bertanggung jawab pada pasangan, pekerjaan itu juga penting, tapi untuk menunggu sampai mapan buat kami yang memang benar kata ibu kami miskin, harus berapa lama lagi kami akan menikah kalau nunggu mapan, yang penting saya sudah punya pekerjaan yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarga," ucapnya jengah dengan semua sindiran Cynthia padanya. Hampir 15 menit Dewa menanggapi Cynthia yang menurutnya menguras emosi. Akhirnya Nirina keluar dari toko dan melambaikan tangan ke arah Dewa. Nirina begitu kaget dan juga heran melihat Cynthia yang berdiri tidak jauh dari Dewa. Melihat Nirina keluar Cynthia segera melangkahkan kaki ke arah mobilnya dengan angkuh. Cynthia segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu di depan Dewa juga Nirina. "Maaf, udah lama nunggu ya?""Iya nggak apa, cuma kurang lebih 15 menit doang.""Tadi harus nyelesaiin mengepak paket yang harus dikirim lewat kurir, terus kenapa Bu Cynthia kok berdiri di sampingmu. Apa kamu melakukan kesalahan tadi?" tanya Nirina takut. "Nggak kok, tadi cuma nanya aku apanya kamu, terus nanya aku kerja apa?" jawab Dewa menjelaskan. Dewa memberikan helm pada Nirina. Setelah siap Dewa langsung tancap gas melajukan montor buntutnya."Terus kamu jawab apa?" tanya Nirina saat sudah berada di motor . Nirina masih penasaran dengan yang diobrolkan Dewa dan Cynthia."Aku bilang kamu tunanganku, dan aku kerja sebagai OB.""Oo, cuma gitu?""Iya, tadi bos kamu bilang kerja gitu kok udah mau nikah nggak nunggu mapan. Pokoknya bete deh ... bos kamu sok pingin tau aja," ucap Dewa kesal. "Yaudah nggak usah diladenin."Mereka memutuskan obrolan ketika Nirina sudah sampai di mulut gang masuk rumah. Berucap terima kasih pada Dewa dan melangkah meninggalkan Dewa. ***Sudah satu bulan Cynthia memberi penawaran pada sang putra. Namun, ia belum menemukan gadis yang mau dijadikan menantu. "Susah juga ya, cari gadis yang mau menikah hanya untuk mengandung dan melahirkan saja. Ada sih kalau mau wanita nakal, juga banyak wanita yang matre dan licik. Ah ... aku nggak mau kalau bisa gadis itu polos dan nggak tersentuh. Yang melahirkan keturunan Priambudi harus wanita baik-baik meskipun miskin. Dan mudah dikendalikan tentunya, " gerutu Cynthia. Dewa memutuskan untuk menikahi Nirina dua minggu lagi setelah kelulusan sang adik. Berbagai persiapan sudah disiapkan kedua keluarga itu, meskipun semua serba sederhana tetap saja butuh waktu dan uang, karena keterbatasan biaya mereka harus menyiapkan dengan sehemat mungkin."Nanti cari kemeja dan kebaya di pasar aja ya, biar murah meriah. Enggak perlu mahal yang penting berkesan," ucap Nirina. Sesungguhnya Dewa ingin membelikan kebaya di butik, meskipun bukan butik terkenal dan mahal, tapi kalau ada embel-embel butik kan lebih wah gitu. Namun Nirina menolak dengan halus. Nirina tidak mau Dewa menghamburkan uang hanya untuk kebaya yang digunakan sekali pakai. "Yah ... ya udah deh terserah kamu, tapi kalau kamu berubah pikiran mau ke butik juga nggak apa kok," ucap Dewa masih merayu. "Kita masih banyak kebutuhan, bukan beli kebaya dan kemeja aja, untuk souvenir dan juga jamuan itu juga butuh uang, jadi nggak usah yang mahal kebayanya," ucap Nirina bijak. "Iya-iya calon istriku yang cantik, meskipun pakai kebaya murah Insyaallah tetap cantik kok.""Iya itu, meskipun barang murah yang penting nyaman, kecantikan alami akan terpancar dengan sendiri."Nirina tersenyum tulus. Dewa hanya nyengir. "Alhamdulillah aku dikaruniai calon istri yang manis, baik hati dan tidak suka menuntut, mengerti keadaan keuanganku, meskipun jauh dari lubuk hatiku ingin sekali membahagiakannya dengan memberi sedikit barang mewah, mewah dalam artian kantong seorang office boy," batin Dewa.Persiapan sudah hampir 70℅. Nirina sangat bahagia. Hari-hari Nirina lalui dengan penuh semangat dan suka cita. Ia juga belum mengambil cuti kerja. Nirina masih bekerja seperti biasa, begitu juga Dewa. Aktivitasnya tetap sama bekerja, diantar jemput Dewa. Untuk cuti Nirina dan Dewa memutuskan cuti satu hari sebelum ijab qobul dan 3 hari setelah ijab qobul. Hari ini dengan senyum yang mengembang Nirina membagikan undangan pernikahan yang sangat sederhana pada semua teman yang ada di toko. Bu cynthia yang melihat Nirina sedang membagikan sesuatu merasa penasaran. "Sedang membagikan apa sih kok semua pada kumpul," batin Cynthia."Ngapain ngumpul disitu semua? Ayo bubar, kembali kerja!" teriak Cynthia. Semua karyawan lari berhamburan mengerjakan tugasnya masing-masing. "Apa yang kamu pegang Nirina?" tanyanya mendekati Nirina. "Ma-maaf, Bu. Ini undangan pernikahan saya, silakan ibu datang menghadiri! kedatangan ibu sangat berarti bagi saya," ucapnya tulus. "Mana lihat!" ucapnya mere
Sore hari setelah sholat Ashar. Rika datang dengan menangis. Membuat semua orang yang ada di rumah Nirina mendekat heran. Rika mengabarkan kalau sang kakak mengalami kecelakaan di Lembang. Mobil yang dikendarai sang kakak ditabrak truk yang remnya blong. Saat ini kondisi Dewa sedang kritis. Nirina yang sayup-sayup mendengarkan cerita Rika pada kedua orang tuanya menjerit histeris. "Tidak ... tidak mungkin ... tidak mungkin Dewa mengalami kecelakaan!” teriaknya histeris. Retno segera berlari menenangkan sang putri. Retno tahu saat ini Nirina sedang kacau. Bagaimana tidak? Besok adalah hari pernikahan mereka sedangkan Dewa, mempelai pria mengalami kecelakaan. "Tenang, Nak. Sabar ... ucap istighfar.""Katakan ini tidak benarkan, Bu? Tidak benarkan, Bu?" tangisnya pilu menyayat hati. Para kerabat tidak tega melihat kondisi Nirina. Banyak yang berusaha menenangkan. Rika hanya menangis sambil mendekati Nirina. "Semua ini tidak benarkan, Rik. Kamu bohong ‘kan? Kalian pasti cuma ngepr
Kesabaran adalah ketika hati tidak merasa marah terhadap apa yang sudah ditakdirkan, dan mulut tidak mengeluh.” – Ibnu Qayyim***“Bagaimana kalau aku mencoba pinjam uang ke Bu Cynthia, walaupun aku harus bekerja padanya seumur hidup aku rela yang penting Dewa selamat dan sembuh,” ucap Nirina, kedua orang tuanya, pak Iwan dan Rika langsung menatapnya.“Kamu yakin Bu Cynthia akan meminjamimu, Nak?” tanya Retno.“Insyaallah, Bu. Doakan, aku akan segera ke rumahnya bersama Rika.”***Saat ini Nirina dan Rika pergi ke rumah Cynthia. Mereka sengaja naik taksi karena sudah sedikit malam untuk cari angkot akan sedikit susah.Saat tiba di rumah mewah itu mereka harus menunggu di teras, karena saat ini pemilik rumah sedang makan malam, sedangkan pembantu Cynthia tidak mengizinkan mereka masuk itu pun karena perintah Cynthia.Dua puluh menit mereka menunggu. Saat masih menunggu, pintu terbuka. Nirina langsung berdiri. Namun, ia harus kecewa yang membuka pintu itu bukan Cynthia, tapi Haziq. Deng
Satu di antara penghargaan terhadap diri adalah dengan menghargai hidup orang lain.(Nirina Amirul Haqqon)***Dewa segera mendapatkan perawat, setelah Nirina menyelesaikan administrasi. Kini Dewa sedang menjalani serangkaian prosedur pemeriksaan X-ray. Kedua orang tua Nirina pamit pulang untuk meminta maaf pada tetangga dan undangan yang mungkin sudah hadir hari ini ke rumah mereka. Dengan berat hati Retno dan Rahmat membatalkan pernikahan. Banyak kerabat dan tetangga yang bersimpati. Namun, ada juga tetangga yang nyinyir tak berperasaan menyudutkan dengan menjelekkan Nirina.Saat ini Nirina berada di masjid rumah sakit. Ia menumpahkan kesedihan dengan menangis. Besok adalah hari kebebasannya akan direnggut. Cintanya sudah tergadaikan. Ia harus siap dibenci Dewa nantinya. Nirina hanya bisa berkeluh kesah pada Sang Pencipta, meluruhkan tangis dan meluapkan apa yang mengimpit di dadanya.Rika tahu saat ini yang begitu sakit adalah Nirina. Sakit yang dirasakan kakaknya saat ini, yang
Dalam penderitaan teruji kesabaran. Dalam perjuangan teruji keikhlasan.(Nirina – Cinta yang Tergadaikan)***Nirina menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Mulai dari menyiapkan keperluan Haziq. Meskipun ia tahu sang suami tidak akan menghargainya.Saat keluar dari kamar mandi, ia melihat laptopnya dalam keadaan tertutup. Seketika ia langsung marah pada Nirina yang masih sibuk membereskan tempat tidur."Berani-beraninya kamu menyentuh laptopku. Kamu tau aku sudah mengerjakan pekerjaan itu sejak tadi malam, dan file itu belum aku simpan, dengan ceroboh kamu langsung menutupnya," ucapnya geram. Membuat Nirina takut, bahkan gadis itu tidak berani mengangkat kepala."Kamu itu udah miskin, ceroboh, bodoh. Aku enggak habis pikir kenapa Mama memilih wanita rendahan kayak kamu."Degg!Seketika tubuh Nirina bergetar, air matanya langsung menetes. Ia sangat ketakutan. Baru kali ini ada orang yang mengatainya demikian, dan orang itu adalah suaminya."Kenapa nangis? Makanya janga
Tiga minggu sudah Nirina menikah dengan Haziq. Malam ini Cynthia mempunyai rencana untuk Haziq dan Nirina. Ia berharap rencananya akan berjalan mulus dan segera mendapatkan apa yang diinginkan. "Sedang apa Nyonya di sini malam-malam? Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Nya""Iya, Bik. Terima kasih. Aku hanya ingin buatin minuman khusus buat Haziq dan Nirina.""Owalah, begitu, ya, Nya." Jujur, Bik Jum heran dengan apa yang dilakukan sang majikan, tetapi ia enggan bertanya."Bik, tolong antar minuman ini ke kamar mereka, tapi jangan bilang aku yang buatin.""Baik, Nya." Haziq membukakan pintu setelah mendengar pintu diketok. Sedangkan Nirina mengerjakan salat Isya."Masuk, Bik! Langsung letakkan di meja, makasih, ya, Bik.”Meskipun Haziq dan keluarganya terlihat dingin dan arogant. Namun, tidak pada pembantunya. Bik Jum dan suaminya selalu mendapatkan perlakuan baik dari mereka. "Iya, Den. Sekalian buat Mbak Nirina. Segera diminum mumpung hangat.""Oke, Bik.”"Makasih, Bik," uca
Kesabaran itu ada dua macam. Sabar atas sesuatu yang tidak di inginkan dan sabar menahan diri dari sesuatu yang diinginkan.***Sore ini Nirina kembali mengerjakan tugas seperti biasanya. Memasak ayam rica-rica kesukaan Haziq yang sudah ia ketahui dari Bik Jum. Saat memasak Nirina mendengar bunyi bel rumah. Tidak mau tamu menunggu lama, ia segera berlari membukakan pintu itu. Betapa bahagia hati Nirina, yang berkunjung sore ini adalah kedua orang tuanya. Setelah menikah ia belum sempat mengunjungi keduanya. Ia sangat merindukan ibu dan bapaknya, tetapi untuk menelepon ia tidak punya pulsa. Untuk meminta uang pada Haziq ia masih malu dan canggung. Haziq belum pernah mengatakan tentang nafkah.“Bapak, Ibu. Bagaimana kabar kalian? Nirina kangen,” ucapnya sedikit terisak. Ia langsung memeluk erat keduanya.“Alhamdulillah, Nak. Kami sehat, bagaimana keadaanmu? Apa kamu bahagia tinggal di sini? Apa mereka memperlakukanmu dengan baik?” tanya Retno bertubi-tubi pada sang putri. “Iya, Bu. Ni
Jalan yang kita lalui memang tidak mudah. Banyak duri yang membuat kita terluka dan menangis, tetapi yakinlah. Jika aku memang tercipta untukmu aku akan kembali padamu, tanpa harus bersusah payah berusaha. Namun, bila tidak, terimalah yang sudah menjadi ketentuanNya dengan selalu berlapang dada. Percayalah ... jika memang jodoh, benang merah itu akan selalu menuntunku padamu. Allah akan punya ribuan cara untuk memisahkan atau pun menyatukan kita. Bersama siapa pun kita nantinya kamu akan tetap menempati sudut hatiku yang paling dalam, yang tak akan tersentuh oleh siapa pun kecuali dirimu. Allah Maha membolak-balikkan hati hambanya. Lupakan aku bila itu bisa membuatmu bahagia. Aku akan bahagia bila kamu bahagia. Jangan pernah merasa aku telah berkorban untukmu. Aku melakukan ini semua karena nyawamu lebih berharga untukku. Setelah kepergianku jangan pernah sia-siakan hidupmu. Aku tidak meminta kamu melakukannya demi aku, karena mungkin saat ini aku adalah perempuan yang sangat kamu ben