Kesabaran adalah ketika hati tidak merasa marah terhadap apa yang sudah ditakdirkan, dan mulut tidak mengeluh.” – Ibnu Qayyim
***
“Bagaimana kalau aku mencoba pinjam uang ke Bu Cynthia, walaupun aku harus bekerja padanya seumur hidup aku rela yang penting Dewa selamat dan sembuh,” ucap Nirina, kedua orang tuanya, pak Iwan dan Rika langsung menatapnya.
“Kamu yakin Bu Cynthia akan meminjamimu, Nak?” tanya Retno.
“Insyaallah, Bu. Doakan, aku akan segera ke rumahnya bersama Rika.”
***
Saat ini Nirina dan Rika pergi ke rumah Cynthia. Mereka sengaja naik taksi karena sudah sedikit malam untuk cari angkot akan sedikit susah.
Saat tiba di rumah mewah itu mereka harus menunggu di teras, karena saat ini pemilik rumah sedang makan malam, sedangkan pembantu Cynthia tidak mengizinkan mereka masuk itu pun karena perintah Cynthia.
Dua puluh menit mereka menunggu. Saat masih menunggu, pintu terbuka. Nirina langsung berdiri. Namun, ia harus kecewa yang membuka pintu itu bukan Cynthia, tapi Haziq. Dengan tatapan elangnya Haziq menatap Nirina yang terlihat berantakan dengan pakaian yang lusuh.
Setelah melihat Nirina, Haziq berlalu begitu saja, menuju mobil. Pukul delapan malam, Cynthia baru menemui mereka setelah menunggu 30 menit.
“Silakan masuk! silakan duduk!”
“Ada perlu apa kamu ke sini malam-malam?” tanya Cynthia setelah keduanya duduk
“Mohon maaf, saya perlu bantuan Ibu.”
“Maksud kamu, bantuan apa?” tanyanya dingin.
“Mohon maaf, kami mau meminjam uang pada ibu.”
“Pinjam uang! Emang berapa yang kamu butuhkan?”
“Seratus lima puluh juta,Bu.”
“Apa!? Seratus lima puluh juta, apa saya tidak salah dengar?” tanyanya terkejut.
“Ti-tidak, Bu,” jawab Nirina terbata.
“Terus kamu mau pinjam uang sebanyak itu buat apa, dan dengan apa kamu akan melunasinya?”
“Saya mau bekerja apapun sesuai perintah Ibu untuk melunasi utang. Asalkan Bu Cynthia mau meminjami.”
“Kamu yakin mau melakukan apapun demi mendapatkan uang itu?”
“I-iya, Bu, “ jawab Nirina meskipun ragu.
“Baiklah, tapi untuk apa uang itu?”
Nirina pun menceritakan tentang kecelakaan yang dialami Dewa dan menceritakan tentang biaya yang diperlukan seperti yang dikatakan dokter.
“Pucuk di cinta ulam pun tiba, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Di saat Nirina membutuhkan uang banyak untuk membiayai calon suaminya yang kecelakaan. Aku akan ngasih penawaran padanya,” gumamnya.
“Baiklah aku akan meminjamimu, tapi dengan satu syarat!”
Nirina tersenyum senang ketika Cynthia mau meminjami. Ia akan melakukan apapun untuk kesembuhan Dewa.
“A-apa syaratnya?”
“Kamu harus mau menikah dengan putraku. Melahirkan keturunan Priambudi untuk kami, setelah itu aku anggap utangmu lunas. Aku akan membebaskanmu dan menyuruh putraku untuk melepasmu.”
Seketika hati Nirina hancur, bagaikan mendengar petir di siang hari yang terik tidak ada mendung tidak ada hujan.
“A-apa ...?” ucap Nirina terbata. Kini air matanya langsung luruh.
“Apa kurang jelas yang aku katakan tadi.”
“A-aku akan menikah dengan Dewa, kami saling mencintai tidak mungkin aku menikah dengan putra Anda.”
“Itu pun kalau calon suamimu selamat dan tidak meninggal. Baiklah kalau kamu menolak, masih banyak perempuan di luar sana yang mengharapkan ini.”
“Ya sudah, kalian keluar dari rumahku, kalian sudah banyak menyita waktuku untuk istirahat. Kalian tau kan pintu keluarnya?” ucap Cynthia berdiri dengan angkuh.
Nirina dan Rika pun beranjak keluar dari rumah itu.
“O iya penawaran itu masih berlaku kalau kamu berubah pikiran silakan datang ke sini,” ucapnya sebelum melangkah meninggalkan mereka.
Kini Nirina dan Rika sudah kembali ke rumah sakit. Nirina menceritakan pada kedua orang tuanya dan calon mertuanya tentang penawaran Cynthia.
“Jangan, Nak. Jangan lakukan itu! Dewa tidak akan suka kamu mengorbankan cintamu hanya untuk kesembuhannya,” ucap Rahmat.
“Saat ini hanya Bu Cynthia yang bisa membantu, Pak,” ucap Rika sedih.
“Iya, Nak. Ibu tau kamu tidak ingin kehilangan kakakmu begitu juga Nirina, tapi Ibu juga tidak mau Nirina menggadaikan cintanya. Bagaimana perasaan Dewa saat dia sadar? Kalau Nirina meninggalkannya, menikahi laki-laki lain demi menyelamatkan nyawanya, pikirkan itu! Ibu tidak mau Dewa membenci Nirina.”
“Apa tidak ada cara lain selain harus menikahi putranya Bu Cynthia?” tanya Iwan.
“Tidak ada, Pak,” jawab Rika.
“Bagaimana keputusanmu, Nak?” tanya Iwan pada Nirina.
“Kalau bapak mengizinkan, saya sependapat dengan Rika. Menerima tawaran Bu Cynthia. Bapak, Ibu, biarkan Nirina berkorban demi Dewa,” ucapnya memohon pada Iwan, juga pada kedua orang tuanya.
“Ibu hanya tidak mau Dewa membencimu, Nak. Dewa sangat mencintaimu, tidak akan rela kamu menikah dengan laki-laki lain. Begitu juga kamu sangat mencintai Dewa. Apa kamu bisa menikah dan menjalani hidup dengan laki-laki yang tidak kamu cinta dan tidak mencintaimu?”
“Insyaallah saya ikhlas, yang terpenting Dewa segera mendapatkan perawatan, segera ditangani oleh pihak rumah sakit. Nirina hanya mau yang terbaik untuk kesembuhan Dewa, tidak peduli seberapa besar pengorbanan ini.”
“Baiklah kalau ini sudah menjadi keputusanmu, Bapak dan Ibu hanya bisa membantu doa supaya kamu selalu mendapatkan kebahagiaan,” ucap Rahmat dengan lembut.
“Terima kasih, Pak.”
Malam semakin larut, Dewa belum mendapatkan pertolongan lagi, hanya terpasang infus dan juga kantong darah, sebagai langkah awal pertolongannya. Ingin sekali Nirina berlari kembali ke rumah Cynthia. Namun, hal itu tidak mungkin ia lakukan. Sudah larut malam.”
Nirina dan kedua orang tuanya masih setia menunggu di rumah sakit. Setelah salat Subuh, Nirina segera mengajak Rika untuk bersiap kembali ke rumah Cynthia.
Pukul setengah enam pagi Cynthia sudah berada di depan gerbang rumah. Mereka meminta satpam yang bertugas untuk membukakan gerbang.
Mendengar kedatangan Nirina, Cynthia menyeringai. Ia tahu gadis itu sangat membutuhkan uang saat ini.
“Bagaimana? Apa kamu setuju dengan penawaranku?”
“I-iya, saya setuju.”
Nirina tidak bisa lagi menahan air matanya supaya tidak luruh. Hari ini seharusnya adalah hari bahagianya bersama Dewa. Hari ini seharusnya hari di mana ijab qobul diucapkan Dewa untuk menghalalkannya. Namun, tragedi memilukan terjadi pada Dewa dan kini Nirina harus menjatuhkan harga dirinya pada bos sombongnya. Menerima tawaran untuk menikahi laki-laki yang tidak dicintainya dan juga tidak mencintainya. Ya, semua itu demi menyelamatkan nyawa Dewa. Ia tahu keputusan besar yang diambilnya akan membuat Dewa kecewa bahkan akan membencinya.
Nirina rela kalau harus dibenci Dewa, yang dipikirkannya saat ini hanya Dewa segera mendapatkan perawatan.
“Baiklah, ini surat perjanjiannya, kamu baca, kamu pahami dan tanda tangani.”
Setelah Nirina dan Rika membaca surat perjanjian itu, tangan Nirina bergetar. Hatinya dirundung keraguan. Apakah keputusannya sudah tepat? Ia akan terjerat dalam pernikahan yang sah menurut agama dan hukum, tapi point yang tertulis dalam Perjanjian itu sangat merugikannya sebagai istri. Istri mana yang tidak sakit hati melihat suaminya berduaan bahkan bermesraan dengan pacarnya, meskipun tidak saling mencintai. Istri yang hanya dijadikan pemuas nafsu untuk mewujudkan impian ibu mertuanya yang ingin segera mempunyai cucu. Istri yang ada karena hitam di atas putih. Istri yang tak dianggap karena tak akan dipublikasikan kepada sanak saudara maupun kerabat sang suami. Istri yang bagaikan burung di dalam sangkar emas. Istri yang bagaikan boneka.
Apakah Nirina bisa melakukan itu? Menggadaikan kebebasannya demi menyelamatkan Dewa.
Nirina tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rika yang melihat isi perjanjian itu sungguh tidak tega. Rika tahu setelah menandatangani perjanjian ini hidup Nirina tidak akan sebebas dulu. Hidup Nirina di luarnya terlihat seperti surga, tapi dalamnya adalah neraka.
“Kak, kalau kakak tak sanggup jangan dilanjutkan kita bisa mencari cara lain untuk nyelamatin Kak Dewa,” ucap Rika lirih, meskipun ia tidak yakin ke mana mencari bantuan selain di sini.
Nirina mencoba tersenyum dan tegar di hadapan Rika. “Enggak apa, Rik. Aku akan menandatangani perjanjian ini.”
“Kakak yakin ...?”
“Insyaallah.” Nirina segera menyeka air matanya dan menandatangani perjanjian itu, dengan Rika yang menjadi saksinya. Cynthia keluar dari kamar dan melihat apakah Nirina sudah menandatangani perjanjiannya.
“Baiklah, dan ini kamu sebagai saksi juga harus tanda tangan di bawahnya,” tunjuk Cynthia pada Rika.
Rika juga ikut menandatangani surat itu. Cynthia tersenyum menyeringai.
“Berapa nomor rekeningmu biar aku transfer?”
Nirina segara memberikan nomor rekeningnya. Tidak butuh waktu lama Nirina sudah mendapatkan pesan dari ponselnya. Ia sudah mendapatkan transfer uang sejumlah seratus lima puluh juta di rekeningnya.
“Besok kamu dan kedua orang tuamu datanglah ke sini untuk menepati janjimu.”
“Ba-baik, Bu.”
Sesampainya di rumah sakit Nirina dan Rika segera menuju ruang administrasi membayar biaya pengobatan untuk Dewa.
Setelah menyelesaikan administrasi Nirina menemui orang tuanya ia langsung memeluk sang ibu, meminta dukungan, saat ini dirinya begitu rapuh. Bu Retno yang melihat putri semata wayangnya menangis menyembunyikan wajahnya dalam pelukannya hanya bisa mengusap lembut punggung sang putri.
Satu di antara penghargaan terhadap diri adalah dengan menghargai hidup orang lain.(Nirina Amirul Haqqon)***Dewa segera mendapatkan perawat, setelah Nirina menyelesaikan administrasi. Kini Dewa sedang menjalani serangkaian prosedur pemeriksaan X-ray. Kedua orang tua Nirina pamit pulang untuk meminta maaf pada tetangga dan undangan yang mungkin sudah hadir hari ini ke rumah mereka. Dengan berat hati Retno dan Rahmat membatalkan pernikahan. Banyak kerabat dan tetangga yang bersimpati. Namun, ada juga tetangga yang nyinyir tak berperasaan menyudutkan dengan menjelekkan Nirina.Saat ini Nirina berada di masjid rumah sakit. Ia menumpahkan kesedihan dengan menangis. Besok adalah hari kebebasannya akan direnggut. Cintanya sudah tergadaikan. Ia harus siap dibenci Dewa nantinya. Nirina hanya bisa berkeluh kesah pada Sang Pencipta, meluruhkan tangis dan meluapkan apa yang mengimpit di dadanya.Rika tahu saat ini yang begitu sakit adalah Nirina. Sakit yang dirasakan kakaknya saat ini, yang
Dalam penderitaan teruji kesabaran. Dalam perjuangan teruji keikhlasan.(Nirina – Cinta yang Tergadaikan)***Nirina menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Mulai dari menyiapkan keperluan Haziq. Meskipun ia tahu sang suami tidak akan menghargainya.Saat keluar dari kamar mandi, ia melihat laptopnya dalam keadaan tertutup. Seketika ia langsung marah pada Nirina yang masih sibuk membereskan tempat tidur."Berani-beraninya kamu menyentuh laptopku. Kamu tau aku sudah mengerjakan pekerjaan itu sejak tadi malam, dan file itu belum aku simpan, dengan ceroboh kamu langsung menutupnya," ucapnya geram. Membuat Nirina takut, bahkan gadis itu tidak berani mengangkat kepala."Kamu itu udah miskin, ceroboh, bodoh. Aku enggak habis pikir kenapa Mama memilih wanita rendahan kayak kamu."Degg!Seketika tubuh Nirina bergetar, air matanya langsung menetes. Ia sangat ketakutan. Baru kali ini ada orang yang mengatainya demikian, dan orang itu adalah suaminya."Kenapa nangis? Makanya janga
Tiga minggu sudah Nirina menikah dengan Haziq. Malam ini Cynthia mempunyai rencana untuk Haziq dan Nirina. Ia berharap rencananya akan berjalan mulus dan segera mendapatkan apa yang diinginkan. "Sedang apa Nyonya di sini malam-malam? Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Nya""Iya, Bik. Terima kasih. Aku hanya ingin buatin minuman khusus buat Haziq dan Nirina.""Owalah, begitu, ya, Nya." Jujur, Bik Jum heran dengan apa yang dilakukan sang majikan, tetapi ia enggan bertanya."Bik, tolong antar minuman ini ke kamar mereka, tapi jangan bilang aku yang buatin.""Baik, Nya." Haziq membukakan pintu setelah mendengar pintu diketok. Sedangkan Nirina mengerjakan salat Isya."Masuk, Bik! Langsung letakkan di meja, makasih, ya, Bik.”Meskipun Haziq dan keluarganya terlihat dingin dan arogant. Namun, tidak pada pembantunya. Bik Jum dan suaminya selalu mendapatkan perlakuan baik dari mereka. "Iya, Den. Sekalian buat Mbak Nirina. Segera diminum mumpung hangat.""Oke, Bik.”"Makasih, Bik," uca
Kesabaran itu ada dua macam. Sabar atas sesuatu yang tidak di inginkan dan sabar menahan diri dari sesuatu yang diinginkan.***Sore ini Nirina kembali mengerjakan tugas seperti biasanya. Memasak ayam rica-rica kesukaan Haziq yang sudah ia ketahui dari Bik Jum. Saat memasak Nirina mendengar bunyi bel rumah. Tidak mau tamu menunggu lama, ia segera berlari membukakan pintu itu. Betapa bahagia hati Nirina, yang berkunjung sore ini adalah kedua orang tuanya. Setelah menikah ia belum sempat mengunjungi keduanya. Ia sangat merindukan ibu dan bapaknya, tetapi untuk menelepon ia tidak punya pulsa. Untuk meminta uang pada Haziq ia masih malu dan canggung. Haziq belum pernah mengatakan tentang nafkah.“Bapak, Ibu. Bagaimana kabar kalian? Nirina kangen,” ucapnya sedikit terisak. Ia langsung memeluk erat keduanya.“Alhamdulillah, Nak. Kami sehat, bagaimana keadaanmu? Apa kamu bahagia tinggal di sini? Apa mereka memperlakukanmu dengan baik?” tanya Retno bertubi-tubi pada sang putri. “Iya, Bu. Ni
Jalan yang kita lalui memang tidak mudah. Banyak duri yang membuat kita terluka dan menangis, tetapi yakinlah. Jika aku memang tercipta untukmu aku akan kembali padamu, tanpa harus bersusah payah berusaha. Namun, bila tidak, terimalah yang sudah menjadi ketentuanNya dengan selalu berlapang dada. Percayalah ... jika memang jodoh, benang merah itu akan selalu menuntunku padamu. Allah akan punya ribuan cara untuk memisahkan atau pun menyatukan kita. Bersama siapa pun kita nantinya kamu akan tetap menempati sudut hatiku yang paling dalam, yang tak akan tersentuh oleh siapa pun kecuali dirimu. Allah Maha membolak-balikkan hati hambanya. Lupakan aku bila itu bisa membuatmu bahagia. Aku akan bahagia bila kamu bahagia. Jangan pernah merasa aku telah berkorban untukmu. Aku melakukan ini semua karena nyawamu lebih berharga untukku. Setelah kepergianku jangan pernah sia-siakan hidupmu. Aku tidak meminta kamu melakukannya demi aku, karena mungkin saat ini aku adalah perempuan yang sangat kamu ben
Kesakitan menjadikanmu lebih kuat. Kuat untuk menjalani hidup. Kesakitan membuatmu berpikir. Berpikir membuatmu bijaksana. Kebijaksanaan membuat kita bertahan dalam hidup. Menentukan yang terbaik untuk seseorang, walaupun harus berkorban dan menyimpan semua kesedihan.(Nirina Amirul Haqqon)***Pukul 09.00 dokter keluarga Haziq yang bernama Dokter Dony baru datang. Ternyata dokter itu adalah sahabatnya Haziq sendiri. Nirina segera membukakan pintu dan menyuruhnya masuk. “Permisi saya Dokter Dony, apakah nona manis ini asisten Tante Cynthia yang baru?” tanya Dony sambil memindai Nirina dari atas ke bawah. Nirina gugup tidak tahu harus menjawab apa, ingin bilang kalau ia adalah istri Haziq pun takut karena Cynthia pernah bilang padanya untuk menutupi pernikahan mereka.“I-iya, Dok?” jawabnya terbata terpaksa berbohong. “Baiklah saya langsung ke kamar sahabat manja saya dulu untuk memeriksanya.”“Si-silakan, Dok!”“Makanya kalau kerja itu inget waktu, nih asam lambung kamu kumat,” uc
Saat ini Dewa sudah diizinkan untuk pulang setelah hampir dua bulan ia dirawat di rumah sakit. Kondisinya sudah membaik, kepalanya sudah tidak pernah merasakan sakit lagi. Rika sampai sekarang belum mengatakan kebenaran tentang Nirina pada sang kakak. Dewa selalu berusaha untuk menanyakan. Namun, Rika belum mau menjawab. Dipaksa pun percuma, ujung-ujungnya mereka akan bertengkar. Dewa mencoba sabar untuk menunggu sang adik memberitahu kebenaran itu dan maksud dari surat Nirina. Kalau boleh jujur, saat ini Dewa sangat merindukan Nirina. Dewa ingin bertemu Nirina menanyakannya langsung alasan yang membuat Nirina tidak mau menemuinya."Nirina aku sangat merindukanmu! Di mana kamu sekarang? Aku rindu senyummu, tawa ceriamu," ucap Dewa. Saat ini Dewa tak tahu harus berbuat apa, pekerjaan pun ia sudah tidak punya, tempat ia bekerja sebagai OB sudah diganti orang karena lama dirinya koma. Kini ia hanya pengangguran sedangkan Rika sekarang sudah bekerja di sebuah kafe. Merasa tidak berguna
Sudah dua bulan Nirina menjalani perannya sebagai seorang istri. Ia bagaikan terpenjara di sangkar emas. Bahkan untuk menjenguk orang tuanya pun Cynthia tidak mengizinkan. Orang tuanya yang bijaksana memaklumi dengan sering datang ke rumah mewah itu.Pagi ini saat bangun tidur tubuh Nirina terasa sangat lemas. Kepalanya pusing dan perutnya mual, ingin muntah. Namun, tidak sedikit pun mengeluarkan muntahan, hanya lendir yang pahit. Sudah dua kali Nirina keluar masuk kamar mandi usai salat Subuh, bahkan ia tidak kuat harus keluar kamar dan membantu bik Jum. Haziq yang sudah terbangun hanya memicingkan mata, heran melihat Nirina yang berulang kali keluar masuk kamar mandi. Meskipun terlihat dingin dan tak tersentuh, Haziq masih mempunyai hati. Ia kasihan melihat Nirina. Haziq menyusul Nirina yang sudah berada di kamar mandi. "Kamu kenapa?" tanya Haziq khawatir melihat Nirina muntah-muntah. "Huweek ... huweeek ...."Belum menjawab Nirina semakin merasakan mual di perutnya. Haziq mendek