Dalam penderitaan teruji kesabaran. Dalam perjuangan teruji keikhlasan.
(Nirina – Cinta yang Tergadaikan)***Nirina menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Mulai dari menyiapkan keperluan Haziq. Meskipun ia tahu sang suami tidak akan menghargainya.Saat keluar dari kamar mandi, ia melihat laptopnya dalam keadaan tertutup. Seketika ia langsung marah pada Nirina yang masih sibuk membereskan tempat tidur."Berani-beraninya kamu menyentuh laptopku. Kamu tau aku sudah mengerjakan pekerjaan itu sejak tadi malam, dan file itu belum aku simpan, dengan ceroboh kamu langsung menutupnya," ucapnya geram. Membuat Nirina takut, bahkan gadis itu tidak berani mengangkat kepala."Kamu itu udah miskin, ceroboh, bodoh. Aku enggak habis pikir kenapa Mama memilih wanita rendahan kayak kamu."Degg!Seketika tubuh Nirina bergetar, air matanya langsung menetes. Ia sangat ketakutan. Baru kali ini ada orang yang mengatainya demikian, dan orang itu adalah suaminya."Kenapa nangis? Makanya jangan ceroboh dan jangan berani sentuh barang-barangku." ucap Haziq dingin. "Kamu pikir mudah membuat laporan untuk persentase dengan klien,” ucapnya menggerutu.Tiba-tiba pintu kamar diketok. Nirina segera membuka pintu itu."Mbk Nirina dan Aden disuruh Nyonya dan Yuan untuk sarapan," ucap Bik Jum."I-iya, Bik. Kami segera turun."“Mama dan Papa sudah menunggu, sebaiknya Mas sarapan dulu,”"Kalau kamu mau makan silakan, aku nggak nafsu," ucap Haziq ketus."Ma-maafkan aku ... aku janji enggak akan pegang barang Mas lagi.""Mudah banget minta maaf, semuanya tidak bisa diselesaikan dengan cuma minta maaf.""Cepat keluar, melihatmu hanya merusak moodku saja!” usirnya."Di mana suamimu, Nak?" tanya Bambang saat melihat Nirina berjalan sendirian."Mas Haziq masih menyelesaikan tugas presentasinya. Habis ini pasti turun," ucapnya sopan.Haziq baru bergabung setelah semuanya hampir selesai sarapan."Makan dulu, Sayang!" ajak Cynthia."Enggak usah, Ma. Minum saja, udah telat ... Semua yang aku kerjakan sejak tadi malam hancur gara-gara dia,” ucapnya dengan menunjuk ke arah Nirina yang sejak tadi menunduk."Maksud kamu apa, Sayang?" tanya Bambang lembut pada putra semata wayangnya."Papa tanya aja sama menantu papa, Aku pergi dulu.""Ceritakan pada kami, ada apa dengan suamimu? Kenapa semarah itu?" tanya Bambang dengan lembut."Emangnya kamu berbuat apa hingga Haziq marah-marah di pagi hari?" tanya Cynthia dengan ketus."Ma, kalau tanya nggak usah dibarengi emosi, lihat Nirina jadi ketakutan.""Ma-maafkan saya, Ma, Pa. Tadi saya tidak sengaja menutup laptop Mas Haziq saat merapikan kamar tidur," ucapnya takut."Ya jelas Haziq marah, kadang Haziq lupa tidak mengaktifkan tombol save secara otomatis. Jadi kalau ditutup langsung hilang semua.""Ya sudah, Haziq pasti bisa nyelesaiin, Ma. Haziq 'kan anak yang pintar dalam menangani presentasi kayak gini. Ya sudah Papa mau berangkat kerja sekarang."Cynthia segera menyalami suaminya. Nirina merapikan meja makan lalu mencuci piring bekas sarapan dan peralatan dapur yang digunakan memasak tadi. Bik Jum sedang belanja ke pasar bersama Mang Darman. Tukang kebun di rumah ini.Nirina hampir saja mengetuk pintu kamar Cynthia. Namun, Cynthia sudah keluar dari kamar duluan, Cynthia bersiap pergi ke toko."Ma-maaf, Ma. Sa-saya mau minta izin untuk melihat kondisi Dewa.""Panggil aku Bu Cynthia bila sedang di luar rumah. Kalau ada suamiku kamu panggil aku Mama," ucap Cynthia dingin."I-iya.""Aku ngizinin kamu, tapi untuk terakhir kalinya, setelah hari ini aku enggak mau kamu menemui mantan calon suamimu itu.""Ba-baiklah, ta-tapi apa saya masih boleh bekerja di toko kembali.""Enggak boleh, nanti kamu malah cerita-cerita ke teman-teman kamu kalau kamu jadi menantuku, aku enggak mau malu.""Sa-saya berjanji tidak akan cerita pada teman-teman, Bu.""Saya bilang tidak usah kerja lagi ya enggak usah. Kamu cukup bantuin Bik Jum aja beres-beres rumah."Mau tidak mau ia harus menuruti kemauan Cynthia.Setelah Cynthia pergi ia segera bersiap-siap.Nirina sampai di rumah sakit, ia segera menanyakan ruang rawat inap Dewa pada suster jaga. Ia berusaha menerima apa yang sudah menjadi takdirnya, tidak ada air mata, ia harus ikhlas supaya pengorbanannya tidak sia-sia. Nirina harus rela menganggap Dewa sahabat. Meskipun rasa cinta itu tetap ada. Nirina hanya berharap akan mendapatkan kebahagiaan, meskipun tidak dengan Dewa. Begitu juga dengan Dewa, semoga laki-laki itu bahagia meskipun tidak dengannya.Nirina mengetuk pintu ruang rawat inap Dewa. Rika yang sedang menunggu membukakan pintu itu. Melihat kondisi Dewa yang belum sadar, Nirina merasa kasihan."Bagaimana keadaannya? apa yang dikatakan dokter? Maaf aku baru bisa jenguk Dewa hari ini," tanyanya bertubi."Kak Dewa masih belum safar, Kak. Kemarin operasi pemasangan pen ditangan dan kakinya. Nanti hasil X-ray akan diumumkan. Enggak apa, Kak. Aku tau kak Nirina sudah tidak bebas lagi. Terima kasih atas segala pengorbanan Kakak, maafkan aku kami hanya jadi bebanmu," ucap Rika sambil sesenggukan.Nirina mencoba tegar dan tidak menangis. "Sudahlah Rika, aku sudah ikhlas, yang penting saat ini adalah kesembuhan Dewa. O iya maafkan aku ini hari terakhirku menjenguk Dewa karena Bu Cynthia tidak mengizinkan aku untuk berhubungan lagi dengan Dewa. Maafkan aku.""Iya, Kak aku paham. Maafkan kami, gara-gara kami hidup Kakak terbelenggu.""Jangan pernah bilang seperti itu, aku yang memutuskan ini jadi kamu jangan pernah merasa bersalah.""Rik, kalau Dewa sadar dan mencariku, cari alasan untuk berbohong dulu, katakan kejujuran itu secara pelan-pelan jangan langsung bilang semuanya secara langsung, aku tidak mau kondisi Dewa memburuk gara-gara ini. Biarkan Dewa sembuh dulu, katakan sejujurnya, tapi perlahan setelah Dewa benar-benar sembuh dan kuat menerima kenyataan ini.""Baiklah, Kak. Aku ngerti.""O iya, aku mau pulang dulu, udah waktunya memasak untuk makan siang, enggak enak kalau aku tidak segera pulang," pamit Nirina."Iya, Kak. Terima kasih. Sekali lagi maafkan kami." Nirina mengusap bahu Rika lalu memeluknya.Pukul 11.00, Nirina baru sampai rumah, dilihatnya Bik Jum sedang sibuk memasak. Nirina segera menghampiri dan membantunya. Kebiasaan Cynthia, selalu pulang untuk makan siang di rumah, itu pun kalau tidak dalam keadaan bertemu klien atau pelanggan."Maaf, Bik. Aku telat.""Tidak apa Mbak Nirina, santai saja, Bibi sudah biasa ngerjain sendiri."Nirina tersenyum. “Mulai sekarang Bik Jum nggak akan ngerjain sendiri, aku akan bantu memasak dan membereskan rumah.""Terima kasih, Mbak. Sebenarnya Bibi merasa tidak enak, Mbak Nirina kan menantu di rumah ini, tapi gimana lagi Nyonya Cynthia yang menyuruh," ucapnya."Enggak apa, Bik. Sebagai menantu yang baik sudah seharusnya enggak malas-malasan, betul apa betul, Bik," ucapnya mencoba melucu."Mbak Nirina sangat baik, semoga Mbak Nirina selalu bahagia.""Aamiin ... makasih, Bik. Semoga dikabulkan Allah.""Aamiin ...."Sebelum selesai menyiapkan makanan di meja makan, Cynthia sudah datang dan menghampiri Nirina. "Jadi tadi pergi ke rumah sakitnya? Gimana keadaan mantan calon suamimu itu?""Iya, Bu. Keadaannya Sudah mulai membaik, tapi belum sadar.""Ya sudah, tapi ini terakhir kalinya. Aku enggak mau kamu ke sana lagi untuk menjenguknya.""Iya, Bu. Saya mengerti.""Baguslah kalau kamu sudah mengerti, aku tidak usah mengatakannya lagi!""Silakan makan, makanannya sudah siap!"Setelah makan siang Cynthia kembali lagi ke tokonya. Pukul 18.00 Haziq dan Bambang baru pulang dari kantor. Kantor mereka berbeda, Bambang bekerja di kantor pusat sedangkan Haziq di kantor cabang. Nirina dan Bik Jum sudah menyiapkan makan malam.Cynthia menyambut kedatangan putra dan suaminya dengan hangat. Cynthia adalah sosok wanita karir penyayang keluarga. Namun, egois dan suka memaksakan kehendaknya. Apapun yang sudah menjadi keinginannya harus dicapai meskipun harus mengorbankan orang lain untuk mencapainya.“Ini tiket buat kalian berdua, hadiah pernikahan kalian dari Papa," ucap Bambang pada Haziq saat mereka masih berada di ruang makan."Aku tidak butuh itu, Pa. Kami tidak akan pergi bulan madu.""Kenapa emangnya? Bulan madu itu impian semua pasangan yang baru menikah, Nak.”Cynthia melotot pada Haziq berusaha mengkode untuk menerima tiket itu. "I-iya, Pa, ta-tapi aku masih sibuk. Lain kali aja aku bulan madunya," tolak Haziq."Enggak bisa gitu dong, Sayang. Kalian perlu bulan madu, Mama tidak sabar menimang cucu," ucap Cynthia menimpali."Ma, meskipun enggak bulan madu aku akan ngasih cucu buat Mama," tantang Haziq, Nirina terkejut dengan ucapan Haziq."Ya sudah, terserah kalian yang penting papa udah ngasih hadiah bulan madu ke Lombok. Kapan kalian berangkat terserah kalian saja," ucap Bambang sambil meninggalkan meja makan.Tiga minggu sudah Nirina menikah dengan Haziq. Malam ini Cynthia mempunyai rencana untuk Haziq dan Nirina. Ia berharap rencananya akan berjalan mulus dan segera mendapatkan apa yang diinginkan. "Sedang apa Nyonya di sini malam-malam? Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Nya""Iya, Bik. Terima kasih. Aku hanya ingin buatin minuman khusus buat Haziq dan Nirina.""Owalah, begitu, ya, Nya." Jujur, Bik Jum heran dengan apa yang dilakukan sang majikan, tetapi ia enggan bertanya."Bik, tolong antar minuman ini ke kamar mereka, tapi jangan bilang aku yang buatin.""Baik, Nya." Haziq membukakan pintu setelah mendengar pintu diketok. Sedangkan Nirina mengerjakan salat Isya."Masuk, Bik! Langsung letakkan di meja, makasih, ya, Bik.”Meskipun Haziq dan keluarganya terlihat dingin dan arogant. Namun, tidak pada pembantunya. Bik Jum dan suaminya selalu mendapatkan perlakuan baik dari mereka. "Iya, Den. Sekalian buat Mbak Nirina. Segera diminum mumpung hangat.""Oke, Bik.”"Makasih, Bik," uca
Kesabaran itu ada dua macam. Sabar atas sesuatu yang tidak di inginkan dan sabar menahan diri dari sesuatu yang diinginkan.***Sore ini Nirina kembali mengerjakan tugas seperti biasanya. Memasak ayam rica-rica kesukaan Haziq yang sudah ia ketahui dari Bik Jum. Saat memasak Nirina mendengar bunyi bel rumah. Tidak mau tamu menunggu lama, ia segera berlari membukakan pintu itu. Betapa bahagia hati Nirina, yang berkunjung sore ini adalah kedua orang tuanya. Setelah menikah ia belum sempat mengunjungi keduanya. Ia sangat merindukan ibu dan bapaknya, tetapi untuk menelepon ia tidak punya pulsa. Untuk meminta uang pada Haziq ia masih malu dan canggung. Haziq belum pernah mengatakan tentang nafkah.“Bapak, Ibu. Bagaimana kabar kalian? Nirina kangen,” ucapnya sedikit terisak. Ia langsung memeluk erat keduanya.“Alhamdulillah, Nak. Kami sehat, bagaimana keadaanmu? Apa kamu bahagia tinggal di sini? Apa mereka memperlakukanmu dengan baik?” tanya Retno bertubi-tubi pada sang putri. “Iya, Bu. Ni
Jalan yang kita lalui memang tidak mudah. Banyak duri yang membuat kita terluka dan menangis, tetapi yakinlah. Jika aku memang tercipta untukmu aku akan kembali padamu, tanpa harus bersusah payah berusaha. Namun, bila tidak, terimalah yang sudah menjadi ketentuanNya dengan selalu berlapang dada. Percayalah ... jika memang jodoh, benang merah itu akan selalu menuntunku padamu. Allah akan punya ribuan cara untuk memisahkan atau pun menyatukan kita. Bersama siapa pun kita nantinya kamu akan tetap menempati sudut hatiku yang paling dalam, yang tak akan tersentuh oleh siapa pun kecuali dirimu. Allah Maha membolak-balikkan hati hambanya. Lupakan aku bila itu bisa membuatmu bahagia. Aku akan bahagia bila kamu bahagia. Jangan pernah merasa aku telah berkorban untukmu. Aku melakukan ini semua karena nyawamu lebih berharga untukku. Setelah kepergianku jangan pernah sia-siakan hidupmu. Aku tidak meminta kamu melakukannya demi aku, karena mungkin saat ini aku adalah perempuan yang sangat kamu ben
Kesakitan menjadikanmu lebih kuat. Kuat untuk menjalani hidup. Kesakitan membuatmu berpikir. Berpikir membuatmu bijaksana. Kebijaksanaan membuat kita bertahan dalam hidup. Menentukan yang terbaik untuk seseorang, walaupun harus berkorban dan menyimpan semua kesedihan.(Nirina Amirul Haqqon)***Pukul 09.00 dokter keluarga Haziq yang bernama Dokter Dony baru datang. Ternyata dokter itu adalah sahabatnya Haziq sendiri. Nirina segera membukakan pintu dan menyuruhnya masuk. “Permisi saya Dokter Dony, apakah nona manis ini asisten Tante Cynthia yang baru?” tanya Dony sambil memindai Nirina dari atas ke bawah. Nirina gugup tidak tahu harus menjawab apa, ingin bilang kalau ia adalah istri Haziq pun takut karena Cynthia pernah bilang padanya untuk menutupi pernikahan mereka.“I-iya, Dok?” jawabnya terbata terpaksa berbohong. “Baiklah saya langsung ke kamar sahabat manja saya dulu untuk memeriksanya.”“Si-silakan, Dok!”“Makanya kalau kerja itu inget waktu, nih asam lambung kamu kumat,” uc
Saat ini Dewa sudah diizinkan untuk pulang setelah hampir dua bulan ia dirawat di rumah sakit. Kondisinya sudah membaik, kepalanya sudah tidak pernah merasakan sakit lagi. Rika sampai sekarang belum mengatakan kebenaran tentang Nirina pada sang kakak. Dewa selalu berusaha untuk menanyakan. Namun, Rika belum mau menjawab. Dipaksa pun percuma, ujung-ujungnya mereka akan bertengkar. Dewa mencoba sabar untuk menunggu sang adik memberitahu kebenaran itu dan maksud dari surat Nirina. Kalau boleh jujur, saat ini Dewa sangat merindukan Nirina. Dewa ingin bertemu Nirina menanyakannya langsung alasan yang membuat Nirina tidak mau menemuinya."Nirina aku sangat merindukanmu! Di mana kamu sekarang? Aku rindu senyummu, tawa ceriamu," ucap Dewa. Saat ini Dewa tak tahu harus berbuat apa, pekerjaan pun ia sudah tidak punya, tempat ia bekerja sebagai OB sudah diganti orang karena lama dirinya koma. Kini ia hanya pengangguran sedangkan Rika sekarang sudah bekerja di sebuah kafe. Merasa tidak berguna
Sudah dua bulan Nirina menjalani perannya sebagai seorang istri. Ia bagaikan terpenjara di sangkar emas. Bahkan untuk menjenguk orang tuanya pun Cynthia tidak mengizinkan. Orang tuanya yang bijaksana memaklumi dengan sering datang ke rumah mewah itu.Pagi ini saat bangun tidur tubuh Nirina terasa sangat lemas. Kepalanya pusing dan perutnya mual, ingin muntah. Namun, tidak sedikit pun mengeluarkan muntahan, hanya lendir yang pahit. Sudah dua kali Nirina keluar masuk kamar mandi usai salat Subuh, bahkan ia tidak kuat harus keluar kamar dan membantu bik Jum. Haziq yang sudah terbangun hanya memicingkan mata, heran melihat Nirina yang berulang kali keluar masuk kamar mandi. Meskipun terlihat dingin dan tak tersentuh, Haziq masih mempunyai hati. Ia kasihan melihat Nirina. Haziq menyusul Nirina yang sudah berada di kamar mandi. "Kamu kenapa?" tanya Haziq khawatir melihat Nirina muntah-muntah. "Huweek ... huweeek ...."Belum menjawab Nirina semakin merasakan mual di perutnya. Haziq mendek
Saat ini Nirina dan Haziq berada di rumah sakit. Haziq merasa kasihan dengan Nirina, yang sejak tadi terlihat lemas. Saat berada di ruang tunggu dokter obgyn, Haziq selalu berada di dekat Nirina. Ia berusaha memberikan kenyamanan dengan menyuruh Nirina meletakkan kepala di bahunya. Karena lemas Nirina menuruti apa yang dikatakan Haziq. "Nyonya Haziq Prambudi silakan masuk!" ucap suster. Nirina segera berdiri dengan digandeng Haziq."Silakan, langsung berbaring di brankar," ucap dokter obgyn itu. Nirina mengangguk dan langsung berbaring. Hal itu tidak luput dari penglihatan Haziq. Hingga dokter obgyn yang diketahui namanya adalah Santi, menyuruhnya melihat monitor untuk melihat hasil USG. Hati Haziq seketika bergetar melihat ada gumpalan kecil di rahim Nirina. Hatinya berdesir. Di sana ada janin, darah dagingnya.Setelah pemeriksaan selesai, Haziq dan Nirina segera duduk mendengarkan penjelasan dokter Santi. "Baik, Mas, Mbak, usia kandungannya memasuki 5 minggu. Mbaknya harus le
Pukul empat sore Nirina bangun. Ia terkejut saat mendapati dirinya tidur di ranjang.“Tadi aku tidurnya di sofa, kok sekarang malah tidur di ranjang,” ucap Nirina. Saat ia sibuk dengan pemikirannya, Haziq muncul dari dalam kamar mandi. Laki-laki itu melewatinya begitu saja.Nirina segera bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi, setelah itu ia akan membantu Bik Jum. Namun, sebelum ia keluar dari kamar Haziq mencegahnya. “Tunggu, aku pingin ngomong sama kamu,” ucap Haziq. Nirina menoleh.“Silakan! Aku akan dengarkan.”“Duduklah!” perintah Haziq. Nirina segera duduk di samping laki-laki itu. “Aku mau tanya, apa hubunganmu dengan pria yang tadi marah-marah ke kamu di rumah sakit?” tanya Haziq masih dengan tatapan menyelidik, tatapan tajam setajam mata elang membuat Nirina sedikit takut. “Mantan calon suamiku, bagian dari hidupku, alasanku bisa berada di sini,” ucapnya dibuat sedatar mungkin. Tidak mau Haziq mengasihaninya. Ia harus tegar menjalani hidup, meskipun itu sangat sakit,