"Aku juga nggak tahu, kita coba panggil lagi siapa tahu tadi Viola nggak dengar." Rinjani masih berpikiran positif meskipun dirinya sebenarnya turut cemas."Vio ... buka pintunya!" panggil Rinjani sekali lagi beriringan dengan ketukan pintu."Mbak, Viola kemana? Mbak yakin dia di rumah nggak balik ke kost-nya?" tanya Rinata memastikan. "Dia di sini, Ri. Sudah hampir seminggu malahan di rumahku."Rinjani bertolak ke bawah menemui asisten rumah tangganya untuk menanyakan soal Viola. Terakhir Rinjani bertemu Viola selepas makan siang."Mbak, sebenarnya ada masalah apa sih dengan Viola? Apa dia nggak mau kuliah lagi? Atau apa, Mbak?" Rinata yang cemas terus saja mendesak Rinjani, meskipun mereka sedang menuruni anak tangga menuju dapur."Nanti kamu juga akan tahu, Ri. Tenang dulu.""Gimana aku bisa tenang, Mbak. Sampe di sini malah nggak ketemu sama Viola-nya."Rinata terus saja mengoceh seraya mengiringi langkah kakak tirinya itu."Bik, liat Viola nggak?"Bik Yeyen yang sedang mencuci p
"Nggak perlu dibahas ya, Vio. Sekarang kita fokus sama kehamilan kamu saja, gimana masa depan kamu. Dan, proses Alex di kepolisian."Viola tidak mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih dalam setelah mendengar jawaban tantenya. Mana bisa dia menyangkal apapun kata yang keluar dari mulut tantenya itu. "Alex? Siapa dia, Mbak?""Apa dia lelaki yang sudah merenggut kesucian kamu, Vio?" tanya Rinata penuh penekanan. Gurat wajahnya yang sempat sendu, berubah tegas seketika."Iya, Bu. Dia orangnya," jawabnya pasrah."Antarkan ibu ketemu dia, Viola. Ibu mau kasih dia pelajaran dan sekalian menemui orang tuanya!""Berarti mbak sudah ketemu si Alex itu?""Sudah, nanti aku ceritakan. Sekarang kamu ke kamar. Biar tante saja yang jelasin semuanya pada ibu kamu."Viola mengangguk setuju dan bangkit, sebelumnya dia berpamitan dengan Rinata dan Rinjani.Lima menit tak lama Viola bangkit dari kursi meja makan, Rinjani pun menceritakan soal Alex."Benar nggak ada otaknya dia ya, Mbak. Udah ngehamili
"Ya! Seperti tertera di sana. Viola di drop out, karena mencoreng nama baik kampus ini.""Apa tidak bisa diberi keringanan, Bu?" pinta Rinata sendu penuh harap."Keputusan ini sudah tidak bisa diganggu gugat, Bu. Maaf, kami pihak kampus tidak bisa memberi toleransi. Apa kata masyarakat banyak jika kami masih mempertahankan mahasiswa yang tidak bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang perempuan."Ucapan Bu Dira sangat menyayat hati Rinjani dan Rinata. Ingin sekali Rinata memberontak ada rasa tak terima dengan ucapan penasehat akademik anaknya barusan. Namun, urung, Rinjani lebih dulu memegang tangan adik tirinya itu."Kami permisi, Bu. Maaf sudah membuat semuanya rusak. Dan, terima kasih sudah memberikan ilmu pada Viola selama ini," ucap Rinjani menutup pertemuan sebelum akhirnya berpamitan.Rinata meninggalkan senyum terpaksa saat bersalaman dengan Bu Dira. Terakhir, Viola. "Maaf, Bu." Hanya dua kata itu yang terucap dari bibirnya, itupun tampak bergetar. Disusul dengan bul
"Iya, Bu." Perawat itu hanya menjawab singkat. Viola terlihat semakin ketakutan."Kamu cek tensinya, aku mau telpon dokternya dulu," bisiknya pada rekan sejawat yang menangani Viola.Sejak Viola masuk memang belum ada dokter yang menanganinya secara langsung, hanya perawat saja yang menjadi perantara. Meski kesal, akan tetapi Rinjani masih punya stok sabar dengan iming-iming pembukaan akan bertambah, karena setiap orang beda-beda, begitu info yang diberikan dokter melalui perawatnya."Mbak, apa nggak ada dokter lain? Biasanya ada dokter jaga 'kan? Kalau begini, nyawa keponakan dan calon cucu saya bisa terancam!" ucap Rinjani mulai tegas."Iya, Bu. Kami usahakan hubungi dokter yang standby." Jawaban perawat yang terkesan kurang bertanggung jawab membuat dada Rinjani terasa sesak menahan emosi.Cukup mencengangkan, pelayanan rumah sakit ini, tidak punya dokter standby khusus untuk persalinan yang notabenenya darurat. Jika bukan karena kondisi yang darurat, Rinjani masih bisa memilih rum
Sang dokter tampak mengusap dada, tangan, kaki, hingga punggung sang bayi. Namun, belum juga ada tanda-tanda. Gurat cemas pun terpasang jelas di wajah dokter itu. Meski peluhnya mulai tampak di bagian dahi, tak menyurut rasa semangat dan berjuangnya demi makhluk kecil yang beberapa menit lalu susah payah dia keluarkan ke dunia."Hamba mohon pertolonganmu, Ya Allah, Kunfayakunmu Ya Rabb," bisiknya disertai tetesan air mata. Air mata yang jarang sekali tumpah, padahal sudah tidak terhitung berapa ratus bayi yang dia bantu keluar dari rahim perempuan yang diberi gelar ibu."Oooaaaakkk ... Oooaaakkkk ... Oooaaakkk ...."Suasana ruang operasi yang dingin serta sangat mencekam itu, sepersekian detik berubah haru dan syukur. Senyum indah terlukis di bibir mereka satu per satu."Alhamdulillah, semoga menjadi anak sholeh kamu, Nak," bisik sang dokter.Di saat semuanya haru menyambut tangis sang bayi, berbeda dengan Viola, yang merasa aneh melihat beberapa wajah itu."Baru terdengar nangisnya y
Viola menoleh ke perempuan yang berjalan mendekat ke arahnya. Keningnya mengkerut seolah tak kenal dengan perempuan tinggi semampai itu."Kamu apa kabar? Makin cantik ya sekarang. Pantas aja tadi aku sampai agak ragu nyapa kamu," ucap perempuan itu seraya mengulurkan tangan seulas senyum tampak di bibir berpoles lipstik merah jambu.Meski dalam kebingungan dengan sosok perempuan yang ada di depannya, Viola tetap menjabat tangan perempuan berpakaian serba ngepas di badan itu."Baik. Kamu siapa? Kita saling kenal kah?" Ammar melemparkan pandangan ke kiri dan ke kanan dengan kepala mengangkat ke atas."Kamu lupa ya. Aku Mia, kita sempat sekelas dulu.""Iya, lupa. Udah lama juga soalnya." Viola tersenyum kaku, di benaknya benar-benar tidak ingat dengan sosok ini."Wajarlah lupa, kita cuma bentaran sekelasnya. Lagian kita sekelasnya cuma dua mata kuliah kalau nggak salah."Mia melirik ke Ammar, lalu tersenyum dan berjongkok."Ini yang dalam kandungan waktu itu ya? Gemes banget anak kamu,
Hari ke hari, Ammar terlihat sering murung, dalam sehari mungkin ada tiga kali dia mengatakan ingin bertemu ayahnya. Namun, Viola masih bersikeras tak memberi ruang dengan berbagai alasan yang bisa dicerna Ammar. Hingga terakhir kemarin, hari Jumat, Ammar sampai tidak mau ke sekolah karena takut dibully oleh teman-temannya. Viola terus membujuk dan akhirnya berhasil, anak lelaki yang memiliki tahi lalat di ujung bibir sebelah kanan itu kembali merengek ingin bertemu."Kalau bunda ganti sama ayah baru aja apa kamu mau? 'Kan nantinya bisa nganterin Ammar ke sekolah, jadi sama kayak temen kamu yang lainnya. Gimana?""Hmm, memangnya orangnya sudah ada, Bund?""Ada sih, dikenalin sama Oma Rinjani, gimana? Kalau Ammar mau, bunda coba kenalan juga.""Mau ... biar Ammar bisa pamerin di sekolah kalau Ammar punya ayah sama kayak mereka.""Sstt ... nggak boleh gitu juga, Mmar. Nggak baik, Allah nggak suka," ucap Viola mengingatkan."Ya ... abis mereka sering mengejek Ammar, Bund. Mentang-mentang
Beberapa pasang mata tampak menjurus ke sumber suara, ada juga yang berlari mendekat."Saya tidak apa-apa," jawab Viola berusaha berdiri sendiri tanpa menjabat uluran tangan lelaki berkulit sawo matang itu. Tampak bundanya susah payah untuk berdiri, Ammar dengan sigap membantu."Biar Ammar bantu, Bund," ucap Ammar seraya memegang tangan kanan Viola.Lelaki yang menabrak tadi masih berdiri dengan rasa bersalahnya."Sekali lagi saya minta maaf, Mbak. Nggak sengaja tadi," ucap lelaki itu saat Viola sudah berdiri sediakala."Iya, Mas. Nggak papa.""Apa perlu diperiksa ke dokter?" tawar lelaki itu, bukan tanpa alasan tentunya, karena dia melihat Viola meringis menahan sakit."Oh, nggak perlu, Mas. Permisi."Lelaki yang memakai outfit casual itupun mundur beberapa langkah untuk memberi Viola dan Ammar jalan, dan hanya menatap ibu dan anak itu saat melewati dirinya.Ammar tetap memegang tangan Viola menuju pintu utama supermarket, langkah Viola tampak pincang sedikit."Bund, bagian mana yang