"Vio ... Vio ...." Maura memanggil sambil mengetuk pintu kamar Viola, di tangan satunya lagi berisikan makanan yang dipesan Alex secara online.Tak kunjung dibuka dan tak ada sahutan dari dalam kamar, Maura pun menekan handle pintu, memastikan apakah pintunya dikunci atau tidak.Ceklek!!!Pintu terbuka setelah Maura menekannya. Di sudut sana, di atas kasur tanpa dipan, Viola duduk memeluk lututnya dengan kepala bertumpu pada lutut. Dia menangis tanpa suara."Vio ...," panggil Maura, dia melemparkan pandangan ke arah botol yang ada di atas meja."Kamu sudah meminumnya? Sakit ya? Ada tanda-tanda?"" Deretan pertanyaan yang terlontar dari mulut Maura membuat Viola mengangkat kepalanya."Lihat saja di sana buktinya, biar kamu bisa ngasih tahu Alex kalau aku sudah minum semuanya.""Terus, sekarang gimana rasa perutnya? Ngilu? Udah ada darah yang keluar?""Bisa nggak, kamu itu nggak kepoan jadi orang. Bisa nggak prihatin dikit sama kondisi aku. Kalau kamu ke sini cuma mau ngusik mending kelua
Pak Budi dengan tegas menyuruh Viola dan Alex masuk ke dalam rumahnya. Untung saja, para warga tidak begitu ikut campur saat Viola dan Alex masuk ke dalam rumah, karena Pak Budi akan menuntaskan persoalan pasangan muda-mudi ini."Paling juga heboh karena kumpul kebo," bisik seorang ibu pada temannya yang juga ikut menyaksikan pertengkaran Viola dan Alex."Anak-anak sekarang kok pada b*d*h ya, lelaki itu cuma mau enak doang. Modal cinta mau aja mengorbankan harga diri," celetuknya menggebu."Sssstttt ..., belum tentu juga kali, Bu. Siapa tahu pacarnya selingkuh atau masalah lain, anak zaman sekarang 'kan ada aja masalahnya," sanggah ibu satunya lagi. Dua perempuan berusia empat puluh lima tahun ini tengah berjalan kaki menuju rumah mereka yang kebetulan berjarak 100 meter dari rumah Pak Budi."Yeee si ibu, zaman sekarang malah masalah mereka seputar cinta hamildun itu-itu aja." Ibu berambut hitam bercampur pirang itu tak terima pendapat temannya. Ditambah dengan mengibas angin disertai
"Viola?" Rinjani tersentak kaget. Belum usai sesak dadanya melihat keponakannya hamil di luar nikah, kini timbul lagi masalah lain."Benar, Tan. Bahkan dia sudah membelikan aku lima botol minuman pelancar haid.""Kamu minum?""Iya, aku meminum semuanya.""Lalu? Apa reaksinya?"Viola menggelengkan kepala, "tidak ada reaksi apapun, Tan. Dan, dia makin marah karena aku baik-baik saja. Bahkan dia mengusulkan untuk aborsi," jelas Viola.Viola seakan dapat kekuatan setelah melihat Rinjani datang. Walaupun di sisi lain, dirinya sangat merasa bersalah, akan tetapi tak ingin memberi kesempatan lagi pada laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu, Viola berniat untuk memasukkan Alex ke penjara.Bukan Rinjani saja yanvg terkejut mendengar penjelasan singkat Viola, Pak Budi juga tidak menyangka."Saya nggak ngerti sama jalan pikiran kamu anak muda. Sudah tidak mau tanggung jawab, malah meragukan kandungan dia, sekarang kamu menyuruh dia untuk menggugurkan janin yang tidak bersalah itu. Nyali kala
Viola semakin dirundung rasa bersalah, tak bersemangat menggigit roti selai coklat yang dibuatkan Rinjani. Dia menatap Rinjani yang masih mengolesi roti dengan selai coklat."Tan, kenapa Tante nggak marah sedikitpun sama aku? Padahal, aku sudah membuat tante kecewa. Apalagi ini aib yang sangat mencoreng nama baik tante. Aku juga tidak bisa membuat ibu di kampung bangga denganku," lirih Viola.Rinjani melirik sekilas sampai akhirnya menyelesaikan olesan yang sedikit lagi memenuhi roti tawar di tangannya."Kalau kamu nanya soal kecewa, jelas tante sangat kecewa sama kamu, Viola. Harapan tante begitu besar supaya kamu fokus untuk kuliah dan segera lulus. Namun, selain tante, ada wanita yang sangat-sangat kecewa, yaitu ibu kamu. Wanita kuat yang begitu penuh perjuangan dari kamu di kandungan hingga kamu sebesar ini."Nada bicara Rinjani yang pelan, membuat mata batin Viola semakin tersentuh bahkan makin merasa bersalah atas aib yang dia lakukan, ulah berpikir pendek bermodalkan buaian dir
"Aku juga nggak tahu, kita coba panggil lagi siapa tahu tadi Viola nggak dengar." Rinjani masih berpikiran positif meskipun dirinya sebenarnya turut cemas."Vio ... buka pintunya!" panggil Rinjani sekali lagi beriringan dengan ketukan pintu."Mbak, Viola kemana? Mbak yakin dia di rumah nggak balik ke kost-nya?" tanya Rinata memastikan. "Dia di sini, Ri. Sudah hampir seminggu malahan di rumahku."Rinjani bertolak ke bawah menemui asisten rumah tangganya untuk menanyakan soal Viola. Terakhir Rinjani bertemu Viola selepas makan siang."Mbak, sebenarnya ada masalah apa sih dengan Viola? Apa dia nggak mau kuliah lagi? Atau apa, Mbak?" Rinata yang cemas terus saja mendesak Rinjani, meskipun mereka sedang menuruni anak tangga menuju dapur."Nanti kamu juga akan tahu, Ri. Tenang dulu.""Gimana aku bisa tenang, Mbak. Sampe di sini malah nggak ketemu sama Viola-nya."Rinata terus saja mengoceh seraya mengiringi langkah kakak tirinya itu."Bik, liat Viola nggak?"Bik Yeyen yang sedang mencuci p
"Nggak perlu dibahas ya, Vio. Sekarang kita fokus sama kehamilan kamu saja, gimana masa depan kamu. Dan, proses Alex di kepolisian."Viola tidak mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih dalam setelah mendengar jawaban tantenya. Mana bisa dia menyangkal apapun kata yang keluar dari mulut tantenya itu. "Alex? Siapa dia, Mbak?""Apa dia lelaki yang sudah merenggut kesucian kamu, Vio?" tanya Rinata penuh penekanan. Gurat wajahnya yang sempat sendu, berubah tegas seketika."Iya, Bu. Dia orangnya," jawabnya pasrah."Antarkan ibu ketemu dia, Viola. Ibu mau kasih dia pelajaran dan sekalian menemui orang tuanya!""Berarti mbak sudah ketemu si Alex itu?""Sudah, nanti aku ceritakan. Sekarang kamu ke kamar. Biar tante saja yang jelasin semuanya pada ibu kamu."Viola mengangguk setuju dan bangkit, sebelumnya dia berpamitan dengan Rinata dan Rinjani.Lima menit tak lama Viola bangkit dari kursi meja makan, Rinjani pun menceritakan soal Alex."Benar nggak ada otaknya dia ya, Mbak. Udah ngehamili
"Ya! Seperti tertera di sana. Viola di drop out, karena mencoreng nama baik kampus ini.""Apa tidak bisa diberi keringanan, Bu?" pinta Rinata sendu penuh harap."Keputusan ini sudah tidak bisa diganggu gugat, Bu. Maaf, kami pihak kampus tidak bisa memberi toleransi. Apa kata masyarakat banyak jika kami masih mempertahankan mahasiswa yang tidak bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang perempuan."Ucapan Bu Dira sangat menyayat hati Rinjani dan Rinata. Ingin sekali Rinata memberontak ada rasa tak terima dengan ucapan penasehat akademik anaknya barusan. Namun, urung, Rinjani lebih dulu memegang tangan adik tirinya itu."Kami permisi, Bu. Maaf sudah membuat semuanya rusak. Dan, terima kasih sudah memberikan ilmu pada Viola selama ini," ucap Rinjani menutup pertemuan sebelum akhirnya berpamitan.Rinata meninggalkan senyum terpaksa saat bersalaman dengan Bu Dira. Terakhir, Viola. "Maaf, Bu." Hanya dua kata itu yang terucap dari bibirnya, itupun tampak bergetar. Disusul dengan bul
"Iya, Bu." Perawat itu hanya menjawab singkat. Viola terlihat semakin ketakutan."Kamu cek tensinya, aku mau telpon dokternya dulu," bisiknya pada rekan sejawat yang menangani Viola.Sejak Viola masuk memang belum ada dokter yang menanganinya secara langsung, hanya perawat saja yang menjadi perantara. Meski kesal, akan tetapi Rinjani masih punya stok sabar dengan iming-iming pembukaan akan bertambah, karena setiap orang beda-beda, begitu info yang diberikan dokter melalui perawatnya."Mbak, apa nggak ada dokter lain? Biasanya ada dokter jaga 'kan? Kalau begini, nyawa keponakan dan calon cucu saya bisa terancam!" ucap Rinjani mulai tegas."Iya, Bu. Kami usahakan hubungi dokter yang standby." Jawaban perawat yang terkesan kurang bertanggung jawab membuat dada Rinjani terasa sesak menahan emosi.Cukup mencengangkan, pelayanan rumah sakit ini, tidak punya dokter standby khusus untuk persalinan yang notabenenya darurat. Jika bukan karena kondisi yang darurat, Rinjani masih bisa memilih rum