"Viola?" Rinjani tersentak kaget. Belum usai sesak dadanya melihat keponakannya hamil di luar nikah, kini timbul lagi masalah lain."Benar, Tan. Bahkan dia sudah membelikan aku lima botol minuman pelancar haid.""Kamu minum?""Iya, aku meminum semuanya.""Lalu? Apa reaksinya?"Viola menggelengkan kepala, "tidak ada reaksi apapun, Tan. Dan, dia makin marah karena aku baik-baik saja. Bahkan dia mengusulkan untuk aborsi," jelas Viola.Viola seakan dapat kekuatan setelah melihat Rinjani datang. Walaupun di sisi lain, dirinya sangat merasa bersalah, akan tetapi tak ingin memberi kesempatan lagi pada laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu, Viola berniat untuk memasukkan Alex ke penjara.Bukan Rinjani saja yanvg terkejut mendengar penjelasan singkat Viola, Pak Budi juga tidak menyangka."Saya nggak ngerti sama jalan pikiran kamu anak muda. Sudah tidak mau tanggung jawab, malah meragukan kandungan dia, sekarang kamu menyuruh dia untuk menggugurkan janin yang tidak bersalah itu. Nyali kala
Viola semakin dirundung rasa bersalah, tak bersemangat menggigit roti selai coklat yang dibuatkan Rinjani. Dia menatap Rinjani yang masih mengolesi roti dengan selai coklat."Tan, kenapa Tante nggak marah sedikitpun sama aku? Padahal, aku sudah membuat tante kecewa. Apalagi ini aib yang sangat mencoreng nama baik tante. Aku juga tidak bisa membuat ibu di kampung bangga denganku," lirih Viola.Rinjani melirik sekilas sampai akhirnya menyelesaikan olesan yang sedikit lagi memenuhi roti tawar di tangannya."Kalau kamu nanya soal kecewa, jelas tante sangat kecewa sama kamu, Viola. Harapan tante begitu besar supaya kamu fokus untuk kuliah dan segera lulus. Namun, selain tante, ada wanita yang sangat-sangat kecewa, yaitu ibu kamu. Wanita kuat yang begitu penuh perjuangan dari kamu di kandungan hingga kamu sebesar ini."Nada bicara Rinjani yang pelan, membuat mata batin Viola semakin tersentuh bahkan makin merasa bersalah atas aib yang dia lakukan, ulah berpikir pendek bermodalkan buaian dir
"Aku juga nggak tahu, kita coba panggil lagi siapa tahu tadi Viola nggak dengar." Rinjani masih berpikiran positif meskipun dirinya sebenarnya turut cemas."Vio ... buka pintunya!" panggil Rinjani sekali lagi beriringan dengan ketukan pintu."Mbak, Viola kemana? Mbak yakin dia di rumah nggak balik ke kost-nya?" tanya Rinata memastikan. "Dia di sini, Ri. Sudah hampir seminggu malahan di rumahku."Rinjani bertolak ke bawah menemui asisten rumah tangganya untuk menanyakan soal Viola. Terakhir Rinjani bertemu Viola selepas makan siang."Mbak, sebenarnya ada masalah apa sih dengan Viola? Apa dia nggak mau kuliah lagi? Atau apa, Mbak?" Rinata yang cemas terus saja mendesak Rinjani, meskipun mereka sedang menuruni anak tangga menuju dapur."Nanti kamu juga akan tahu, Ri. Tenang dulu.""Gimana aku bisa tenang, Mbak. Sampe di sini malah nggak ketemu sama Viola-nya."Rinata terus saja mengoceh seraya mengiringi langkah kakak tirinya itu."Bik, liat Viola nggak?"Bik Yeyen yang sedang mencuci p
"Nggak perlu dibahas ya, Vio. Sekarang kita fokus sama kehamilan kamu saja, gimana masa depan kamu. Dan, proses Alex di kepolisian."Viola tidak mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih dalam setelah mendengar jawaban tantenya. Mana bisa dia menyangkal apapun kata yang keluar dari mulut tantenya itu. "Alex? Siapa dia, Mbak?""Apa dia lelaki yang sudah merenggut kesucian kamu, Vio?" tanya Rinata penuh penekanan. Gurat wajahnya yang sempat sendu, berubah tegas seketika."Iya, Bu. Dia orangnya," jawabnya pasrah."Antarkan ibu ketemu dia, Viola. Ibu mau kasih dia pelajaran dan sekalian menemui orang tuanya!""Berarti mbak sudah ketemu si Alex itu?""Sudah, nanti aku ceritakan. Sekarang kamu ke kamar. Biar tante saja yang jelasin semuanya pada ibu kamu."Viola mengangguk setuju dan bangkit, sebelumnya dia berpamitan dengan Rinata dan Rinjani.Lima menit tak lama Viola bangkit dari kursi meja makan, Rinjani pun menceritakan soal Alex."Benar nggak ada otaknya dia ya, Mbak. Udah ngehamili
"Ya! Seperti tertera di sana. Viola di drop out, karena mencoreng nama baik kampus ini.""Apa tidak bisa diberi keringanan, Bu?" pinta Rinata sendu penuh harap."Keputusan ini sudah tidak bisa diganggu gugat, Bu. Maaf, kami pihak kampus tidak bisa memberi toleransi. Apa kata masyarakat banyak jika kami masih mempertahankan mahasiswa yang tidak bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang perempuan."Ucapan Bu Dira sangat menyayat hati Rinjani dan Rinata. Ingin sekali Rinata memberontak ada rasa tak terima dengan ucapan penasehat akademik anaknya barusan. Namun, urung, Rinjani lebih dulu memegang tangan adik tirinya itu."Kami permisi, Bu. Maaf sudah membuat semuanya rusak. Dan, terima kasih sudah memberikan ilmu pada Viola selama ini," ucap Rinjani menutup pertemuan sebelum akhirnya berpamitan.Rinata meninggalkan senyum terpaksa saat bersalaman dengan Bu Dira. Terakhir, Viola. "Maaf, Bu." Hanya dua kata itu yang terucap dari bibirnya, itupun tampak bergetar. Disusul dengan bul
"Iya, Bu." Perawat itu hanya menjawab singkat. Viola terlihat semakin ketakutan."Kamu cek tensinya, aku mau telpon dokternya dulu," bisiknya pada rekan sejawat yang menangani Viola.Sejak Viola masuk memang belum ada dokter yang menanganinya secara langsung, hanya perawat saja yang menjadi perantara. Meski kesal, akan tetapi Rinjani masih punya stok sabar dengan iming-iming pembukaan akan bertambah, karena setiap orang beda-beda, begitu info yang diberikan dokter melalui perawatnya."Mbak, apa nggak ada dokter lain? Biasanya ada dokter jaga 'kan? Kalau begini, nyawa keponakan dan calon cucu saya bisa terancam!" ucap Rinjani mulai tegas."Iya, Bu. Kami usahakan hubungi dokter yang standby." Jawaban perawat yang terkesan kurang bertanggung jawab membuat dada Rinjani terasa sesak menahan emosi.Cukup mencengangkan, pelayanan rumah sakit ini, tidak punya dokter standby khusus untuk persalinan yang notabenenya darurat. Jika bukan karena kondisi yang darurat, Rinjani masih bisa memilih rum
Sang dokter tampak mengusap dada, tangan, kaki, hingga punggung sang bayi. Namun, belum juga ada tanda-tanda. Gurat cemas pun terpasang jelas di wajah dokter itu. Meski peluhnya mulai tampak di bagian dahi, tak menyurut rasa semangat dan berjuangnya demi makhluk kecil yang beberapa menit lalu susah payah dia keluarkan ke dunia."Hamba mohon pertolonganmu, Ya Allah, Kunfayakunmu Ya Rabb," bisiknya disertai tetesan air mata. Air mata yang jarang sekali tumpah, padahal sudah tidak terhitung berapa ratus bayi yang dia bantu keluar dari rahim perempuan yang diberi gelar ibu."Oooaaaakkk ... Oooaaakkkk ... Oooaaakkk ...."Suasana ruang operasi yang dingin serta sangat mencekam itu, sepersekian detik berubah haru dan syukur. Senyum indah terlukis di bibir mereka satu per satu."Alhamdulillah, semoga menjadi anak sholeh kamu, Nak," bisik sang dokter.Di saat semuanya haru menyambut tangis sang bayi, berbeda dengan Viola, yang merasa aneh melihat beberapa wajah itu."Baru terdengar nangisnya y
Viola menoleh ke perempuan yang berjalan mendekat ke arahnya. Keningnya mengkerut seolah tak kenal dengan perempuan tinggi semampai itu."Kamu apa kabar? Makin cantik ya sekarang. Pantas aja tadi aku sampai agak ragu nyapa kamu," ucap perempuan itu seraya mengulurkan tangan seulas senyum tampak di bibir berpoles lipstik merah jambu.Meski dalam kebingungan dengan sosok perempuan yang ada di depannya, Viola tetap menjabat tangan perempuan berpakaian serba ngepas di badan itu."Baik. Kamu siapa? Kita saling kenal kah?" Ammar melemparkan pandangan ke kiri dan ke kanan dengan kepala mengangkat ke atas."Kamu lupa ya. Aku Mia, kita sempat sekelas dulu.""Iya, lupa. Udah lama juga soalnya." Viola tersenyum kaku, di benaknya benar-benar tidak ingat dengan sosok ini."Wajarlah lupa, kita cuma bentaran sekelasnya. Lagian kita sekelasnya cuma dua mata kuliah kalau nggak salah."Mia melirik ke Ammar, lalu tersenyum dan berjongkok."Ini yang dalam kandungan waktu itu ya? Gemes banget anak kamu,
Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan