Bab 47. Hukuman Untuk NainaKupandang tubuh Naina yang pergi dengan perut membuncit. Pun dengan Nyai Rosmah yang menggandeng tangan putrinya. Menjauh dari rumah. Perlahan tapi pasti, tubuh keduanya menghilang dari balik pintu pagar yang menjulang tinggi.Jujur, dalam hatiku merasa kasihan dengan keadaan Naina. Entah apa yang terjadi dengannya beberapa bulan belakangan. Keadaannya seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik.Sebelum pergi, Naina sempat berpamitan. Dia juga sengaja datang ke sini mencari alamat tempat tinggal, yang diketahui melalui internet. Gosip mudah menyebar. Kesuksesanku telah dikenal di seluruh dalam negeri. Mudah bagi Naina menemukan di rumah kakek berada."Bang, benarkah dia mantan istrimu?" tanya Rani menatapku."Iya," jawabku acuh."Cantik, ya.""Hem."Wajah Rani berubah cemberut. Aku tahu dia pasti kecewa. Hati wanita mana yang tidak terluka. Bila suaminya memuji perempuan lain. Di satu sisi aku ingin mendengar cerita Naina. Mengapa dan kenapa keadaann
Bab 48. Kisah Kita Belum SelesaiKutatap anak kecil yang berkisar umur empat atau lima tahun. Bocah itu berlari kecil ke arah Elma. Mendekap sambil menangis. Keduanya berpelukan menumpahkan air mata. Seolah tidak ingin berpisah satu sama lain."Mama, kenapa tangan Mama diborgol? Mama mau dibawa ke mana sama Bapak polisi? Vina ikut Mama, ya? Kalau Mama pergi nanti Vina sama siapa di rumah?""Vina, Sayang. Maafkan Mama, ya. Mama tidak bisa menjagamu. Mereka akan menangkap Mama, lalu memenjarakan Mama untuk waktu yang lama.""Jika Mama dipenjara, lalu Vina sama siapa, Ma? Hiks, hiks!" Vina kembali menangis. Derain air mata demi seruan jatuh membasahi pipinya yang cabi.Elma memeluk Vina, menciumnya sambil menangis. Jujur, dalam hati merasa sesak melihat ibu dan anak yang akan berpisah. Sesungguhnya, aku tidak tega memisahkan antara ibu dan anak. Akan tetapi, hukum tetap berlaku bagi Elma. Bagaimanapun juga; harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan, yang dilakukan.Kemudian, Elma berj
Bab 49. Maaf"Bang Danu?" Seru Rani. Dia menyambutku pulang. Ketika mobil berhenti terparkir di depan halaman.Senyumnya seketika menghilang. Saat melihatku membawa Naina, dan Nyai Rosmah pulang ke rumah. Untuk beberapa saat Rani bergeming di tempat. Kulihat embun bening mengajak sungai menenggelamkan bola matanya."Nanti Abang jelaskan, Dek. Sekarang bawa masuk dulu, ya tamunya," ucapku memberi pengertian.Rani mengangguk. Dia tak membantah ataupun protes. Antara mematuhi suami, yang membawa perempuan lain pulang ke rumah. Cemburu itu pasti. Apalagi, terluka. Aku bisa merasakan sakit hati Rani yang dirasakan.Terluka itu pasti ditambah rasa sakit bagai disayat-sayat sembilu. Bukan kutak menghargai Rani, tetapi aku punya alasan sendiri. Mengapa membawa Naina pulang ke rumah. Hanya satu alasannya; butuh perlindungan."Naina, Ibu, ini kamar kalian berdua. Untuk sementara tinggalah dulu di sini. Jika ada keperluan katakan saja pada Bibi. Nanti beliau yang akan membantu.""Terima kasih, K
Bab 50. Bukan Wanita BiasaSiang itu, aku mengantarkan Naina dan ibunya pergi ke rumah sakit. Nyai Rosmah akan menjalankan terapi. Sebelumnya, Rani sudah mengizinkan. Dia ingin ikut menemani pergi, tetapi ibunya meminta untuk datang ke rumah. Katanya ada urusan penting masalah tanah warisan.Sepanjang jalan kami hanya diam tak saling berbicara. Hanya sesekali saja aku melirik ke arah Naina. Beberapa hari tinggal di rumah, wajahnya terlihat segar. Mungkin juga karena pengaruh pikiran. Bahkan, Naina tampak lebih sehat dari sebelumnya. Kini, senyumnya yang dulu manis bisa dilihat kembali."Maaf, Kang. Neng terus merepotkan. Meminta Kang Danu untuk mengantarkan ke rumah sakit.""Gapapa, Neng. Akang ikhlas kok membantu.""Terima kasih atas bantuan Kang Danu selama ini. Neng banyak berhutang budi.""Anggap aja ibadah, Neng."Hening. Naina hanya membalas senyum. Terlebih Nyai Rosmah yang terlihat pucat. Hidupnya hanya bergantung dengan obat. Mungkin tidak akan bertahan lama. Kemoterapi cuma
Bab 51. Melahirkan Sesuai dengan titah kakek hari itu, aku membawa Naina dan ibunya pindah dari rumah. Sengaja mengontrak rumah di area, yang tidak jauh dari rumah sakit. Agar Naina bisa segera pergi ke sana walau aku tidak bisa mengantarnya. Kuminta pada Naina untuk berpamitan. Sebelum pergi ke kontrakan yang baru. Rani membantu Naina bersiap-siap pindahan. Kuantarkan Naina menemui kakek di ruangan kerjanya. To tok tok! Mengetuk pintu pelan. Sebelum masuk ke ruangan kakek. Satu menit menunggu di luar, akhirnya Kakek meminta kami untuk masuk. "Masuk!" Ceklek! Kutarik gagang pintu perlahan. Agar tidak menimbulkan derit suara. Melihat kakek masih duduk di kursi kebesarannya. Dia sedang membaca buku salah satu author ternama. "Kakek," sapaku lembut dengan suara pelan. Namun, jelas terdengar. "Duduklah!" Kutarik kursi untuk Naina. Kemudian, kami sama-sama menjatuhkan bobot tubuh masing-masing. Menatap wajah kakek yang masih terlihat tampan. "Naina ingin berpamitan, Kek." "Apa ka
Bab 52. Azam"Selamat, Tuan. Bayi Anda sudah lahir ke dunia. Berat badannya tiga kilogram dengan panjang 50 cm," ucap dokter yang menangani persalinan Naina.Naina sudah melahirkan anaknya ke dunia dengan selamat dan sehat. Rasa bahagia menyelimuti perasaanku. Walau bayi yang dilihatikan bukan darah dagingku, tetapi aku ikut bahagia merasakannya."Terima kasih, Dokter.""Sama-sama.""Apa boleh saya menemuinya sekarang?""Silahkan! Oh, ya. Bayinya laki-laki. Saya kira Anda harus mengadzaninya juga ""Iya, baiklah."Dokter langsung pergi. Setelah itu, aku masuk untuk melihat keadaan Naina. Dia masih terbaring terkulai lemas di atas ranjang rumah sakit."Bagaimana keadaanmu, Neng?""Kang Danu?!" Seru Naina. Dia berusaha bangun dari posisi tidur."Tidak usah bangun, Neng. Kamu harus banyak istirahat.""Maaf, Neng sudah merepotkanmu lagi, Kang." Air mata Naina kembali jatuh membasahi pipinya."Ssset!" Kuhapus jejak air mata yang mengajak sungai di pipi Naina. "Tidak usah menangis, Neng. Ak
Bab 53. Pesan Terakhir"Kang Danu, Ibu harus dirawat di rumah sakit. Kondisi sekarang ngedrop. Kata dokter Ibu menderita gagal ginjal." Naina berkata terisak. Kedua matanya merah, dan sembab karena baru saja menangis."Kapan Ibu dibawa ke rumah sakit?""Tadi siang.""Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ibu."Aku hanya duduk memandang Nyai Rosmah, yang kini terbaring lemah di atas bangsal. Wajahnya yang keriput terlihat memutih seperti kapas. Sementara, Haji Rusman hanya menunduk lesu. Menatap wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun, mendampingi hidupnya.Tak ada air mata ataupun kesedihan, yang biasa dihadapi pasangan suami. Hanya menatap kosong. Dimana sang istri sedang bertarung nyawa melawan sel kanker."Kamu lebih baik istirahat saja, Neng. Biar Akang yang akan bantu jaga malam ini.""Neng khawatir sama Ibu. Bagaimana bisa istirahat dengan tenang. Kalau keadaan Ibu masih belum sadarkan diri."Jujur, aku tidak tega melihat Naina yang terus bersedih. Baru beberapa hari yang lalu
Bab 54. MantanWajah Naina terlihat sendu. Ketika menyampaikan berita duka. Jelas, mata bening itu terlihat berkaca-kaca. Seolah sebentar lagi akan ada badai yang akan segera menghantam. Kehilangan ibu adalah duka yang mendalam.Aku langsung kembali menuju ke ruang ICU, yang baru saja tadi ditinggalkan. Di dalam ruang pasien terihat dokter, dan perawat sedang melepas alat-alat medis dari tubuh Nyai Rosmah. Sementara, bapak mertua hanya menunduk lesu, di samping jenazah istri tercintanya. Aku berusaha menghibur Haji Rusman dengan memberi semangat."Yang sabar, Pak. Semoga Ibu diterima disisi Gusti Allah. Dan keluarga ihklas menerima kepergian beliau," ucapku memberi semangat."Iya, Nak Danu. Bapak sudah mengikhlaskan kepergian Ibu menghadap Gusti Allah. Biar bagaimanapun manusia yang hidup pasti akan kembali ke pada Sang Pencipta," ucap bapak lirih. Sudut matanya berembun. Bahu yang terlihat kekar, kini terguncang. Dia begitu rapuh, saat pendamping hidupnya pergi lebih dulu.Dokter dan