Bab 42. Nafkah"Ayah, bagaimana dengan buku yang Ayah terbitkan?" tanya Rafa menatapku."Gagi Ayah satu bulan sudah dikirimkan, Nak. Tapi ….""Tapi kenapa, Yah?""Ayah belum buka rekening.""Nanti biar aku temani saja, Bang. Kalau Abang mau buka rekening.""Masalahnya Abang gak punya uang buat buka tabungan, Rehan.""Eh, iya, ya, Bang. Maaf, Bang. Aku juga gak bisa bantu.""Gapapa, Rehan. Abang ngerti kok. Abang juga gak mau kalau kamu mencuri hanya karena kita miskin."Rehan bergeming. Kami sama-sama diam seribu bahasa. Hanya suara deru mesin mobil yang terdengar. Gudang tua yang kami tempati tidak jauh dari jalan besar. Suara bising dari arus lalu lintas di jalan raya."Aku punya ide, Bang. Gimana kalau aku kerja jadi kuli pasar Tanah Abang. Lumayan hasilnya buat buka rekening tabungan.""Tapi bagaimana dengan anak buah Bang Togar jika melihatmu bekerja jadi kuli. Mereka pasti akan merampas hasil keringatmu."Rehan terdiam. Mungkin dia juga memikirkan apa yang baru saja kukatakan ta
Bab 43. Pahlawan WanitaSeorang wanita berpenampilan tomboy, dan berkulit sawo matang menangkis tangan Togar. Awalnya, Togar sudah bersiap melayangkan tinju ke wajahku. Namun, wanita itu membuang tangan; ke sembarang arah."Rani?!" Seru Togar."Kenapa?" mata wanita yang dipanggil Rani pun memandang tajam, ke arah Togar."Jangan ikut campur urusanku dengan pria cacat ini!" hardik Togar. "Minggir! Atau kau akan kuhabisi.""Dengan senang hati aku akan melayanimu, Togar," ucap Rani tersenyum tipis.Wanita yang bernama Rani, menatap tajam ke arah Togar. Seolah dia tidak takut menghadapi pria yang minim akhlak."Aku rasa kau sudah kehilangan nyali, Togar. Lebih baik ganti saja celanamu dengan rok. Masa pria kekar, otot kawat tulang besi Meu melawan pria lemah," sarkas Rani. "Atau urat saraf malumu sudah putus, ya. Hingga mengeroyok tiga orang lemah?""Ha ha ha!" anak buah Rani semua tertawa. Mereka empat pria yang juga bertubuh besar seperti Togar, dan Baron."Togar-Togar. Masa kau tidak pu
Bab 44. TawaranBeberapa hari aku masih mengamen di terminal bersama Rafa, dan Rehan. Tinggal dikit lagi uang terkumpul untuk membuka rekening tabungan. Setelah pulang mengamen, aku melanjutkan menulis di sebuah aplikasi.Pendapatanku di aplikasi juga sudah lumayan. Ada sekitar dua juta dalam satu aplikasi. Tidak semua naskah dikontrak eksklusif. Ada juga yang non di aplikasi lain. Namun, semua dana tidak bisa kutarik karena belum buka rekening.Kartu identitasku juga belum bisa ditemukan. Aku masih menggunakan Nik yang lama. Ada foto KTP yang tertinggal di ponsel kemarin."Ayah, apa kita hari ini mau pergi mengamen lagi?""Iya, Nak. Setelah Ayah berhasil membuka rekening, kita tidak usah nyanyi di bus lagi. Gaji Ayah sudah cukup untuk kita makan dan mengontrak rumah.""Benarkah?" tanya Rafa dengan mata berbinar. "Alhamdulillah.""Bang, aku juga lagi belajar nulis nih. Nanti kalau salah Abang tolong koreksi, ya.""Iya."Kami kembali berangkat setelah selesai sarapan. Kadang, aku meras
Bab 45. Dia DatangDadaku langsung bergemuruh ketika mendengar nama Vans Wistara disebut. Dalam pikiran sempat bertanya-tanya. Mungkinkah Vans Wistara yang di depanku ini, dia adalah kakek?"Bagaimana, Nak Danu? Apakah kamu terima tawaran saya untuk bekerja sama menjadi bagian dari PT Permata Berlian?""Maaf, Tuan. Sebelumnya saya ingin bertanya. Berapa lama buku saya dikontrak? Dan bagaimana sistemnya?""Em … begini, Danu. Sebenarnya, kami bukan hanya mengontrak buku Anda saja. Tapi sistem kami juga mengontrak Anda. Agar menjadi penulis tetap di perusahaan.""Maksud Anda saya menjadi penulis tetap dengan menghasilkan banyak karya?""Iya. Selama dua tahun kami mengontrak. Dan Anda harus menamatkan satu buku dalam waktu tiga bulan. Apakah Anda sanggup?""Berapa payment yang saya dapat jika menghasilkan satu buku dalam waktu tiga bulan?""Kami akan membayar buku Anda dua puluh juta jika menghasilkan satu buku dalam waktu tiga bulan. Apakah Anda setuju?"Aku terdiam. Sejenak berpikir seb
Bab 46. Kaya Dalam SemalamDadaku seketika bergemuruh. Melihat foto ibu semasa gadis. Dia wanita cantik yang ternyata, anak seorang pria kaya raya. Kulit putih mulus tanpa noda sedikit pun."Ayah, kenapa Ayah menangis?" tanya Rafa menghapus jejak air mata."Ayah gak menangis, Nak."Teringat perjuangan ibu membesarkanku kala itu. Andai, ibu putri konglongmerat kenapa hidupnya menderita? Teka teki itu masih belum terjawab sampai dia menutup mata.Kukeluarkan gelang dari saku celana, lalu memperlihatkan kepada Tuan Vans. Gelang pemberian ibu, yang disimpan di dalam kotak kayu Cendana. Bersama dengan surat wasiat."Tuan, Ibu berpesan kepadaku. Jika aku sudah menemukanmu, harus menunjukan gelang ini.""Parwati, anakku." Vans Wistara menangis tersedu-sedu. Setelah mengambil gelang dari tanganku. Pria yang ditumbuhi uban di seluruh kepala itu, pun menangis. Pipinya yang keriput tampak tirus.Lelaki yang sudah terlihat sepuh itu, lalu mencium gelang dari almarhum ibu. Entah apa yang dipikirka
Bab 47. Hukuman Untuk NainaKupandang tubuh Naina yang pergi dengan perut membuncit. Pun dengan Nyai Rosmah yang menggandeng tangan putrinya. Menjauh dari rumah. Perlahan tapi pasti, tubuh keduanya menghilang dari balik pintu pagar yang menjulang tinggi.Jujur, dalam hatiku merasa kasihan dengan keadaan Naina. Entah apa yang terjadi dengannya beberapa bulan belakangan. Keadaannya seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik.Sebelum pergi, Naina sempat berpamitan. Dia juga sengaja datang ke sini mencari alamat tempat tinggal, yang diketahui melalui internet. Gosip mudah menyebar. Kesuksesanku telah dikenal di seluruh dalam negeri. Mudah bagi Naina menemukan di rumah kakek berada."Bang, benarkah dia mantan istrimu?" tanya Rani menatapku."Iya," jawabku acuh."Cantik, ya.""Hem."Wajah Rani berubah cemberut. Aku tahu dia pasti kecewa. Hati wanita mana yang tidak terluka. Bila suaminya memuji perempuan lain. Di satu sisi aku ingin mendengar cerita Naina. Mengapa dan kenapa keadaann
Bab 48. Kisah Kita Belum SelesaiKutatap anak kecil yang berkisar umur empat atau lima tahun. Bocah itu berlari kecil ke arah Elma. Mendekap sambil menangis. Keduanya berpelukan menumpahkan air mata. Seolah tidak ingin berpisah satu sama lain."Mama, kenapa tangan Mama diborgol? Mama mau dibawa ke mana sama Bapak polisi? Vina ikut Mama, ya? Kalau Mama pergi nanti Vina sama siapa di rumah?""Vina, Sayang. Maafkan Mama, ya. Mama tidak bisa menjagamu. Mereka akan menangkap Mama, lalu memenjarakan Mama untuk waktu yang lama.""Jika Mama dipenjara, lalu Vina sama siapa, Ma? Hiks, hiks!" Vina kembali menangis. Derain air mata demi seruan jatuh membasahi pipinya yang cabi.Elma memeluk Vina, menciumnya sambil menangis. Jujur, dalam hati merasa sesak melihat ibu dan anak yang akan berpisah. Sesungguhnya, aku tidak tega memisahkan antara ibu dan anak. Akan tetapi, hukum tetap berlaku bagi Elma. Bagaimanapun juga; harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan, yang dilakukan.Kemudian, Elma berj
Bab 49. Maaf"Bang Danu?" Seru Rani. Dia menyambutku pulang. Ketika mobil berhenti terparkir di depan halaman.Senyumnya seketika menghilang. Saat melihatku membawa Naina, dan Nyai Rosmah pulang ke rumah. Untuk beberapa saat Rani bergeming di tempat. Kulihat embun bening mengajak sungai menenggelamkan bola matanya."Nanti Abang jelaskan, Dek. Sekarang bawa masuk dulu, ya tamunya," ucapku memberi pengertian.Rani mengangguk. Dia tak membantah ataupun protes. Antara mematuhi suami, yang membawa perempuan lain pulang ke rumah. Cemburu itu pasti. Apalagi, terluka. Aku bisa merasakan sakit hati Rani yang dirasakan.Terluka itu pasti ditambah rasa sakit bagai disayat-sayat sembilu. Bukan kutak menghargai Rani, tetapi aku punya alasan sendiri. Mengapa membawa Naina pulang ke rumah. Hanya satu alasannya; butuh perlindungan."Naina, Ibu, ini kamar kalian berdua. Untuk sementara tinggalah dulu di sini. Jika ada keperluan katakan saja pada Bibi. Nanti beliau yang akan membantu.""Terima kasih, K