“Harus berapa lama lagi aku menunggu?! Papa dan Mama sudah sangat lama menanti hadirnya pewaris dariku!”
Veronica, perempuan cantik yang sedang dimarahi itu hanya bisa menunduk. Bahkan saat suaminya melemparkan sebuah gelas kosong dan mengenai hingga melukai keningnya. Dia hanya bisa tertunduk diam, menelan semua makian yang diberikan padanya secara mentah-mentah.
“Argh! Wanita jalang ini. Jangan-jangan kamu mandul lagi?!” Victor, suaminya mengacak-acak rambut frustrasi. Wajahnya terlihat jelas sedang marah. “Sial! Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk menikahimu. Kukira aku akan mendapatkan telur emas, ternyata hanya sebuah telur busuk.”
Dia berjalan mondar-mandir di hadapan Veronica dengan wajah uring-uringan, mulutnya tak berhenti berkomat-kamit tak jelas dan mengeluarkan sumpah serapah pada istrinya yang hanya terdiam sejak tadi.
Veronica bisa merasakan adanya cairan kental berwarna kemerahan yang mengalir dari keningnya, tangannya naik untuk mengusap cairan itu dan melihatnya.
Darah.
Namun, dia lagi-lagi hanya mengabaikannya seolah hal itu telah biasa dilihatnya. Dia bahkan mengabaikan rasa perih di keningnya akibat tergores pecahan kaca.
Victor mendekati istrinya, mencengkeram dagu wanita itu tanpa belas kasih dan menatapnya tajam. “Apa kamu tahu? Jabatanku sekarang sedang dalam bahaya, dan itu semua karenamu sialan!” maki Victor lagi.
Kening Veronica mengernyit halus, entah karena bingung atau karena merasa sakit. “Apa maksudmu, Vic?” tanya Veronica memberanikan diri, suaranya terdengar sangat kecil dan bahkan mirip seperti sebuah bisikan.
Victor melepaskan cengkeramannya dari dagu Veronica, membuatnya sedikit bernapas lega. Namun ternyata tak berhenti sampai di situ saja, Victor malah menjambak rambut istrinya dan membuat Veronica mendongak menatapnya.
“Papa tadi memberitahuku, jika tak bisa memberikannya keturunan dalam waktu dua bulan ini, dia tidak akan mewariskan semua hartanya padaku!” jawab Victor ketus.
Ucapan suaminya sontak membuat Veronica menahan napas, seolah ada beban besar yang bertambah di pundaknya. Dia sangat tahu arti ucapan Victor dan mengapa pria itu memberitahu hal ini padanya.
“Waktumu satu bulan,” ucap Victor tiba-tiba.
“M-maksudmu ... ?”
Tidak.
“Jika dalam satu bulan kamu tidak hamil juga, aku akan mencari perempuan lain yang bisa memberikanku keturunan,” ucap Victor lagi, kali ini lebih terdengar menuntut dan tajam.
Dia menghempaskan tubuh Veronica di atas ranjang dengan kasar, berbalik dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan istrinya tanpa belas kasihan. Tak memedulikan luka yang telah dia goreskan di kening Veronica.
BLAM!
Suara dentuman pintu yang ditutup dengan kasar terdengar mengikuti kepergian Victor. Meninggalkan Veronica yang terduduk di ranjang dengan penampilan yang berantakan.
Rambut acak-acakan dan kening yang mengalirkan darah. Sangat berbeda dengan penampilan Veronica yang diketahui orang-orang di luar sana. Kepalanya terasa berdenyut hebat akibat jambakan Victor yang sangat kasar, ditambah luka di keningnya, rahangnya juga terasa sakit.
“Satu bulan?” gumam Veronica, terkekeh hambar.
Dia seolah telah kehilangan semangatnya, pandangannya menatap kosong ke depan.
Satu bulan adalah waktu yang sangat singkat. Usaha yang mereka telah jalani selama tiga tahun ini saja belum membuahkan hasil sama sekali, bagaimana bisa dia tiba-tiba hamil dalam waktu satu bulan?
“Apa ini akhir pernikahanku?” monolog Veronica pada dirinya sendiri.
Tiga tahun. Apakah pernikahannya selama tiga tahun akan berakhir sampai di sini? Veronica sendiri tak masalah jika akan bercerai, justru dia akan merasa sangat senang bisa terlepas dari pernikahannya.
Namun ...
Tiba-tiba saja bayangan ayahnya terbesit dalam pikiran Veronica, membuatnya menggeleng tegas. “Tidak! Aku tidak boleh berakhir seperti ini. Aku harus mempertahankan pernikahan ini!” ucap Veronica.
Hingga, suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Veronica. Dia segera merapikan rambutnya dan pakaiannya, berdehem pelan untuk mengetes suaranya dan mengubah posisi duduknya menjadi lebih baik.
“Nyonya, ini saya.” Suara seorang pria terdengar menyapa dari luar, diikuti dengan pintu yang dibuka sopan dan hati-hati.
Seorang pria bertubuh tegap, masuk ke dalam kamar Veronica dengan membawa sebuah kotak P3K di tangannya. Dia adalah Edward, pengawal pribadi Veronica yang sengaja diperkerjakan oleh Victor untuknya.
“Ada apa? Aku tidak memanggilmu kemari,” ucap Veronica, wajahnya dibuat senormal mungkin dan seolah tak terjadi apapun sejak tadi.
“Saya mendengar suara pecahan dari kamar dan saya tahu kalau Nyonya pasti akan membutuhkan ini setelahnya.” Edward mengangkat kotak P3K yang dibawanya, seolah telah hafal apa yang terjadi pada majikannya.
Edward mendekat pada Veronica, berlutut di hadapan wanita itu dan menaruh kotak obat yang dibawanya di atas ranjang. Tangannya mengambil kasa bersih dan pembersih luka, kemudian menuangkannya pada kasa.
“Permisi sebentar, Nyonya,” ucap Edward dengan sopan. Tangannya bergerak dengan lincah membersihkan luka goresan yang cukup dalam di kening Veronica, juga sisa-sisa darah yang hampir mengering di sekitarnya. “Cukup dalam, tapi tidak perlu dijahit.”
Kedua sudut bibir Veronica menyunggingkan senyum hambar. “Kali ini dia memberikan bekas di wajahku. Kamu pasti senang karena bisa dipastikan beberapa minggu ke depan kamu akan menganggur.”
Tentu saja Victor tak akan membiarkannya keluar dan memperlihatkan pada masyarakat luas wajahnya yang tiba-tiba saja memiliki bekas luka seperti ini. Itu sama saja seperti bunuh diri.
“Saya senang menganggur. Tapi, saya tidak senang jika itu karena Nyonya yang terluka,” ucap Edward tanpa mengalihkan pandangannya dari kening Veronica.
Dari jarak sedekat ini Veronica bisa melihat betapa seriusnya Edward dalam mengobati lukanya. Juga dari jarak sedekat ini dia bisa melihat bahwa Edward memiliki rupa yang ... eum cukup tampan?
Dia tak berbohong. Bahkan kerap kali Veronica mencuri dengar obrolan para pelayan di rumahnya yang menggemari Edward dan mengatakan rupa pria itu paling tampan di antara seluruh pekerja pria di rumahnya.
“Nah, sudah selesai Nyonya,” ucap Edward, tersenyum puas melihat luka di kening Veronica yang tela tertutupi perban. “Pastikan untuk jangan membuatnya basah sebelum luka di kening Nyonya mengering.”
Veronica mengulas senyum tipis dan mengangguk pelan. “Terima kasih, Ed.”
“Masih karena masalah yang sama?” tebak Edward yang sangat tepat sasaran. Dia masih setia dengan posisi berjongkok di hadapan Veronica, membuatnya dapat dengan mudah melihat ekspresi wajah majikannya.
Lagi-lagi Veronica mengangguk pelan. “Bukankah hanya itu masalah kami? Tapi kalau ini sedikit berbeda.” Dia terdiam sejenak, menimang-nimang apakah hal ini pantas diceritakan pada Edward atau tidak.
Edward yang menyadari keraguan nyonyanya pun menarik napas dan berkata, “Jika Nyonya tidak ingin mengatakannya juga tidak apa-apa. Nyonya tidak berkewajiban menceritakannya pada saya.”
Benar.
Sejak awal Veronica tak memiliki kewajiban untuk menceritakan segalanya pada Edward. Namun, selama ini hanya Edward yang mau mendengarkan ceritanya, lebih tepatnya hanya Edward yang bisa mendengarnya.
Victor selalu membatasi segala aktivitas dan pergaulannya, dia tak boleh sembarang bercerita apalagi mengenai rumah tangga mereka.
Veronica terdiam cukup lama. Kepalanya memikirkan ucapan Victor yang memberikan tenggat satu bulan agar dirinya hamil. Sungguh dia tak percaya diri akan bisa mewujudkan hal mustahil itu, apalagi Victor sangat jarang pulang ke rumah.
Kecuali ...
Pandangan Veronica tiba-tiba menatap Edward intens, membuat Edward sedikit risih dengan tatapan majikannya yang berbeda dari biasanya. Veronica seolah tengah memindai satu persatu bagian di wajahnya.
“Ada apa, Nyonya? Apakah ada yang salah?”
‘Wajahnya cukup tampan, hampir mirip dengan Victor. Bahkan ... harus kuakui jika dia lebih tampan dibanding Victor,’ batin Veronica menilai rupa pengawalnya.
Tiba-tiba saja sebuah ide gila terbesit di dalam kepala Veronica, dia lantas menarik kerah kemeja Edward dan membuat pria itu mendekat padanya. Kedua mata mereka saling menatap lekat dengan jarak yang sangat dekat.
“Ed, hamili aku!”
**
Mata Edward membulat terkejut, sontak memundurkan tubuhnya dan melepaskan cengkeraman Veronica dari kerah kemeja yang dikenakannya. Dia memandang tak percaya pada nyonyanya.“A-apa yang Nyonya katakan? Jangan berbicara sembarang, Nyonya!” ucap Edward gugup, ada semburat kemerahan yang tampak di wajahnya. “Nyonya bisa dalam masalah jika ada orang yang mendengar dan melaporkan ucapan Nyonya barusan pada Tuan.”Edward menggaruk tengkuknya yang tak gatal, pandangannya bergerak tak fokus ke arah lain dan seolah menghindari tatapan Veronica.Berbeda dengan Edward yang tampak gelisah tak jelas, Veronica sendiri tampak sangat yakin dan mantap. Dia tak terlihat seperti orang yang salah berucap atau menyesali apa yang diucapkannya.“Aku bersungguh-sungguh, Ed. Hamili aku!” ucap Veronica mengulang permintaannya, kali ini berhasil membuat Edward kembali fokus menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.“Saya akan pergi, tugas saya telah selesai,” tukas Edward. Tangannya bergerak cepat membe
“Aku mencintaimu.” Ucapan Veronica terus terngiang-ngiang memenuhi kepala Edward, apalagi dia masih dapat mengingat jelas suara majikannya yang terdengar ... menggoda. Edward mengacak-acak rambutnya frustrasi. Dia mengambil gelas di atas meja, menyeruput isinya hingga tandas tak tersisa. Tak cukup sampai di situ, Edward meraih botol alkohol di atas meja dan meneguknya dengan asal-asalan, bahkan menetas membasahi pakaiannya. Edward menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam, matanya melirik keluar dari jendela kamarnya yang langsung berhadapan dengan paviliun Veronica. Kamarnya memang sengaja tak jauh dari paviliun karena tugasnya sebagai pengawal Veronica. Dia bisa melihat lampu bangunan itu menyala, seolah memang sengaja dinyalakan untuk memberikan tanda padanya. “Sial!” maki Edward. “Tidak pernah kubayangkan aku akan selemah ini hanya karena wanita.” Pada akhirnya dia berjalan keluar dari kamar, menuju paviliun seperti undangan Veronica siang tadi. Beberapa kali
Edward terbangun, merasakan kepalanya pusing dan berat akibat terlalu banyak meneguk alkohol semalam. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya untuk menormalkan penglihatannya. Ia menatap sekeliling kamar, menatap asing dengan ruangan tempatnya terbangun.“Tunggu, bukankah ini paviliun Nyonya?” gumam Edward menyadari di mana dia berada.Kepalanya berusaha mengingat kejadian semalam yang membuatnya berakhir tertidur di ranjang ini, ranjang sang Nyonya. Kesadarannya perlahan mulai pulih dan mengingat jelas apa yang dilakukannya.Dia mendatangi paviliun ini dengan keadaan sadar, menyetujui kontrak yang diajukan oleh nyonyanya dan mereka ... melakukan kegiatan itu. Wajah Edward memanas mengingat kejadian semalam, betapa dia sangat menikmati sentuhan Veronica yang lebih mendominasi.Majikannya itu benar-benar ahli dalam urusan ranjang, bahkan Veronica lah yang beberapa kali memimpin permainan mereka dan membuatnya puas.“Sial,” umpat Edward menyadari bagian bawahnya kembali terbangun saat mem
“Sial, apa lagi yang bajingan itu perbuat pada Nyonya!”Edward langsung berlari meninggalkan pelayan yang berdiri di depan kamarnya, berlari sekencang yang dia bisa menuju rumah utama. Bahkan dia melupakan cara bernapas selama berlari, yang ada di pikirannya hanyalah keadaan Veronica. Ia tak lagi memikirkan kemungkinan alasan perkelahian majikannya adalah karena dirinya.Begitu memasuki rumah utama Edward bisa mendengar suara bentakan dan teriakan Victor, majikan laki-lakinya. Dia melihat Veronica sudah terkulai tak berdaya di atas lantai, darah bahkan berceceran di sekitar lantai.Bisa Edward pastikan kalau darah itu adalah milik Veronica.“Siapa yang menyuruhmu kemari?! Pergi!” usir Victor marah melihat kedatangan Edward yang tak diundang.Dari jauh tampan beberapa pelayan bersembunyi, merasa kasihan dengan nyonya mereka tetapi mereka sendiri pun tak memiliki kuasa yang cukup besar untuk membantu Veronica.“Apa yang Anda lakukan pada Nyonya, Tuan?!”Edward menatap tajam dan marah pa
“Nyonya, dokter datang untuk mengecek kondisi Nyonya.”Veronica yang tengah melamun tersentak pelan kala pintu kamarnya diketuk dan dibuka seperkian detik kemudian, menampilkan kepala pelayan datang bersama seorang wanita memakai jas putih.“Selamat pagi Nyonya Stark,” sapa dokter tersebut ramah, menghampiri Veronica dan meletakkan tasnya di atas ranjang. “Bagaimana perasaan Anda hari ini?”Veronica menyunggingkan senyum ramah. “Pagi. Hari ini saya sudah merasa sangat segar, tapi sejak pagi tadi saya merasa perut saya kurang enak,” ucap Veronica menceritakan jujur keadaannya.Sudah seminggu lewat sejak kejadian di mana dirinya hampir mati karena ulah Victor, hal itu membuatnya bahkan tak bisa bangkit dari ranjang hingga tiga hari. Hingga hari ini pun Veronica masih merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, dan lebam-lebam yang membekas membuatnya tak dapat keluar dari rumah.Seminggu ini Veronica merasa layaknya burung di dalam sangkar emas, semua kebutuhannya terpenuhi tetapi pergera
“T-tunggu ... apa maksud Nyonya?”Mendengar berita yang disampaikan oleh Veronica dengan wajah semringah membuat tubuh Edward mematung, ia tak tahu harus berekspresi bagaimana dalam menanggapi berita kali ini.“Aku akhirnya hamil, Ed!” pekik Veronica kegirangan. “Hal yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang! Semua ini pasti karena hasil dari malam panas itu.”Wajah Veronica merona malu-malu mengatakan hal tersebut, mengingat betapa panasnya kegiatan yang mereka lewati sepanjang malam. Ia bahkan tak menyangkal untuk mengatakan bahwa Edward benar-benar mampu memuaskannya.Lebih dari Victor selama ini.“Ed? Apa kamu tidak senang mendengar berita ini?” tanya Veronica, menatap bingung pada Edward yang hanya diam tanpa reaksi. Pria itu termenung, wajahnya tampak sedang berpikir berat.Edward tersentak. Dia jelas lebih dari sekadar senang, dia sangat bahagia mendengar berita tersebut.Edward bingung ingin mengekspresikan perasaan bahagianya dengan cara apa. Jika saja berita ini datang dari kek
“Kamu mau ke mana lagi?”Veronica menatap bingung melihat suaminya, bukannya berganti pakaian menjadi santai pria itu malah keluar dari kamar ganti dengan pakaian rapi dan bergaya kasual. Aroma parfum tercium menyeruak dari pakaiannya.Langkah Victor terhenti, ia menatap datar pada istrinya. Tak ada sedikit pun siratan kasih sayang yang terbesit di balik tatapannya.“Jangan ikut campur urusanku. Lebih baik beristirahat dan jaga kandunganmu baik-baik. Ingat kalau bayi yang kamu kandung itu adalah penyelamatmu,” ucap Victor dingin. “Kalau saja terjadi sesuatu pada bayi itu, aku tidak akan melepaskanmu.”Tubuh Veronica menegang, menatap Victor yang benar-benar meninggalkannya dengan dingin. Pria itu bahkan enggan berbalik sejenak menatapnya atau menanyakan hal yang dia butuhkan.Bukankah ibu hamil lainnya biasa sangat disayangi dan dimanja oleh suaminya?Lantas mengapa Veronica tak merasakan hal itu sedikit pun dari Victor, suaminya?Veronica berdesis sinis. “Kamu pasti pergi menemui pel
Suara ketukan membuat tidur Veronica terganggu, ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan memulihkan kesadarannya. Veronica merasakan perutnya berat, membuatnya menoleh dan seketika membulatkan mata menyadari jika semalaman ia tertidur di dalam pelukan Edward.Tangan pengawalnya lagi-lagi dengan lancang memeluk pinggangnya bahkan terus berada di perutnya sepanjang malam. Veronica mengingat jika semalam dialah yang memberikan kode pada Edward untuk mendatanginya ke paviliun dan meminta pria itu untuk mengelus perutnya hingga berakhir tertidur bersama kembali. Bedanya, kali ini mereka tidaklah melakukan hal aneh. Murni hanya tertidur bersama. “Nyonya? Apa Anda baik-baik saja di dalam?” Suara kepala pelayannya yang terdengar setengah berteriak membuat Veronica seketika sadar dan bangkit dengan hati-hati dari ranjangnya. Edward yang juga merasa tidurnya terganggu pun terbangun dan langsung menyadari situasi yang menimpa mereka. “Ya, aku baik-baik saja Emily!” sahut Veronica sedikit b
Edward sedang duduk berhadapan dengan seorang perempuan berpakaian formal di sebuah kafe yang lumayan sepi, keduanya bahkan memilih meja yang berada di paling pojok, paling jauh dari jangkauan pandangan orang-orang.“Lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?” tanya perempuan itu, wajahnya sama sekali tak menunjukkan tanda kerinduan atau senang layaknya teman lama yang bertemu kembali setelah sekian lama.Justru tatapan tajam dan wajah datar lah yang saling mereka lemparkan satu sama lain, membuat mereka lebih pantas disebut bermusuhan.“Aku tahu kamu datang ke sini bukan untuk berbasa-basi omong kosong seperti itu, jadi katakanlah dengan cepat apa maumu, An. Aku tidak punya banyak waktu,” ucap Edward dingin.Anne, wanita yang duduk bersama Edward itu mendengus sinis, ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegap dan menautkan jari-jarinya di atas meja. “Ternyata sifatmu sama sekali tak berubah, ya.”Edward menatap semakin tajam pada Anne, membuat Anne terkekeh geli dan berdehem pela
“Perbaiki sikapmu! Jangan sampai ayah curiga pada hubungan kita!” peringat Victor disertai tatapan tajam yang mengancam.Veronica menghela napas panjang mengangguk pelan dan melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Tatapan tajam pria itu seketika menghilang tergantikan dengan tatapan hangat dan senyum manis yang palsu. Victor membantu Veronica untuk turun dari mobil dan langsung memeluk pinggang istrinya.Bagi Veronica, berakting di hadapan mertuanya adalah hal yang sangat mudah. Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, selama itu pula Veronica selalu harus berakting ketika bertemu dengan mertuanya. Berpura-pura layaknya istri dan pasangan yang ideal bersama Victor.Seolah-olah rumah tangga mereka baik-baik saja dan sangat harmonis seperti yang selama ini terlihat di publik.Keduanya berjalan bersama memasuki sebuah rumah mewah yang lebih mewah jika dibandingkan dengan kediaman milik Victor. Gaya berkelas dan anggun terlihat jelas menyapu bangunan itu, seolah bangunan itu telah digunak
Suara ketukan membuat tidur Veronica terganggu, ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan memulihkan kesadarannya. Veronica merasakan perutnya berat, membuatnya menoleh dan seketika membulatkan mata menyadari jika semalaman ia tertidur di dalam pelukan Edward.Tangan pengawalnya lagi-lagi dengan lancang memeluk pinggangnya bahkan terus berada di perutnya sepanjang malam. Veronica mengingat jika semalam dialah yang memberikan kode pada Edward untuk mendatanginya ke paviliun dan meminta pria itu untuk mengelus perutnya hingga berakhir tertidur bersama kembali. Bedanya, kali ini mereka tidaklah melakukan hal aneh. Murni hanya tertidur bersama. “Nyonya? Apa Anda baik-baik saja di dalam?” Suara kepala pelayannya yang terdengar setengah berteriak membuat Veronica seketika sadar dan bangkit dengan hati-hati dari ranjangnya. Edward yang juga merasa tidurnya terganggu pun terbangun dan langsung menyadari situasi yang menimpa mereka. “Ya, aku baik-baik saja Emily!” sahut Veronica sedikit b
“Kamu mau ke mana lagi?”Veronica menatap bingung melihat suaminya, bukannya berganti pakaian menjadi santai pria itu malah keluar dari kamar ganti dengan pakaian rapi dan bergaya kasual. Aroma parfum tercium menyeruak dari pakaiannya.Langkah Victor terhenti, ia menatap datar pada istrinya. Tak ada sedikit pun siratan kasih sayang yang terbesit di balik tatapannya.“Jangan ikut campur urusanku. Lebih baik beristirahat dan jaga kandunganmu baik-baik. Ingat kalau bayi yang kamu kandung itu adalah penyelamatmu,” ucap Victor dingin. “Kalau saja terjadi sesuatu pada bayi itu, aku tidak akan melepaskanmu.”Tubuh Veronica menegang, menatap Victor yang benar-benar meninggalkannya dengan dingin. Pria itu bahkan enggan berbalik sejenak menatapnya atau menanyakan hal yang dia butuhkan.Bukankah ibu hamil lainnya biasa sangat disayangi dan dimanja oleh suaminya?Lantas mengapa Veronica tak merasakan hal itu sedikit pun dari Victor, suaminya?Veronica berdesis sinis. “Kamu pasti pergi menemui pel
“T-tunggu ... apa maksud Nyonya?”Mendengar berita yang disampaikan oleh Veronica dengan wajah semringah membuat tubuh Edward mematung, ia tak tahu harus berekspresi bagaimana dalam menanggapi berita kali ini.“Aku akhirnya hamil, Ed!” pekik Veronica kegirangan. “Hal yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang! Semua ini pasti karena hasil dari malam panas itu.”Wajah Veronica merona malu-malu mengatakan hal tersebut, mengingat betapa panasnya kegiatan yang mereka lewati sepanjang malam. Ia bahkan tak menyangkal untuk mengatakan bahwa Edward benar-benar mampu memuaskannya.Lebih dari Victor selama ini.“Ed? Apa kamu tidak senang mendengar berita ini?” tanya Veronica, menatap bingung pada Edward yang hanya diam tanpa reaksi. Pria itu termenung, wajahnya tampak sedang berpikir berat.Edward tersentak. Dia jelas lebih dari sekadar senang, dia sangat bahagia mendengar berita tersebut.Edward bingung ingin mengekspresikan perasaan bahagianya dengan cara apa. Jika saja berita ini datang dari kek
“Nyonya, dokter datang untuk mengecek kondisi Nyonya.”Veronica yang tengah melamun tersentak pelan kala pintu kamarnya diketuk dan dibuka seperkian detik kemudian, menampilkan kepala pelayan datang bersama seorang wanita memakai jas putih.“Selamat pagi Nyonya Stark,” sapa dokter tersebut ramah, menghampiri Veronica dan meletakkan tasnya di atas ranjang. “Bagaimana perasaan Anda hari ini?”Veronica menyunggingkan senyum ramah. “Pagi. Hari ini saya sudah merasa sangat segar, tapi sejak pagi tadi saya merasa perut saya kurang enak,” ucap Veronica menceritakan jujur keadaannya.Sudah seminggu lewat sejak kejadian di mana dirinya hampir mati karena ulah Victor, hal itu membuatnya bahkan tak bisa bangkit dari ranjang hingga tiga hari. Hingga hari ini pun Veronica masih merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, dan lebam-lebam yang membekas membuatnya tak dapat keluar dari rumah.Seminggu ini Veronica merasa layaknya burung di dalam sangkar emas, semua kebutuhannya terpenuhi tetapi pergera
“Sial, apa lagi yang bajingan itu perbuat pada Nyonya!”Edward langsung berlari meninggalkan pelayan yang berdiri di depan kamarnya, berlari sekencang yang dia bisa menuju rumah utama. Bahkan dia melupakan cara bernapas selama berlari, yang ada di pikirannya hanyalah keadaan Veronica. Ia tak lagi memikirkan kemungkinan alasan perkelahian majikannya adalah karena dirinya.Begitu memasuki rumah utama Edward bisa mendengar suara bentakan dan teriakan Victor, majikan laki-lakinya. Dia melihat Veronica sudah terkulai tak berdaya di atas lantai, darah bahkan berceceran di sekitar lantai.Bisa Edward pastikan kalau darah itu adalah milik Veronica.“Siapa yang menyuruhmu kemari?! Pergi!” usir Victor marah melihat kedatangan Edward yang tak diundang.Dari jauh tampan beberapa pelayan bersembunyi, merasa kasihan dengan nyonya mereka tetapi mereka sendiri pun tak memiliki kuasa yang cukup besar untuk membantu Veronica.“Apa yang Anda lakukan pada Nyonya, Tuan?!”Edward menatap tajam dan marah pa
Edward terbangun, merasakan kepalanya pusing dan berat akibat terlalu banyak meneguk alkohol semalam. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya untuk menormalkan penglihatannya. Ia menatap sekeliling kamar, menatap asing dengan ruangan tempatnya terbangun.“Tunggu, bukankah ini paviliun Nyonya?” gumam Edward menyadari di mana dia berada.Kepalanya berusaha mengingat kejadian semalam yang membuatnya berakhir tertidur di ranjang ini, ranjang sang Nyonya. Kesadarannya perlahan mulai pulih dan mengingat jelas apa yang dilakukannya.Dia mendatangi paviliun ini dengan keadaan sadar, menyetujui kontrak yang diajukan oleh nyonyanya dan mereka ... melakukan kegiatan itu. Wajah Edward memanas mengingat kejadian semalam, betapa dia sangat menikmati sentuhan Veronica yang lebih mendominasi.Majikannya itu benar-benar ahli dalam urusan ranjang, bahkan Veronica lah yang beberapa kali memimpin permainan mereka dan membuatnya puas.“Sial,” umpat Edward menyadari bagian bawahnya kembali terbangun saat mem
“Aku mencintaimu.” Ucapan Veronica terus terngiang-ngiang memenuhi kepala Edward, apalagi dia masih dapat mengingat jelas suara majikannya yang terdengar ... menggoda. Edward mengacak-acak rambutnya frustrasi. Dia mengambil gelas di atas meja, menyeruput isinya hingga tandas tak tersisa. Tak cukup sampai di situ, Edward meraih botol alkohol di atas meja dan meneguknya dengan asal-asalan, bahkan menetas membasahi pakaiannya. Edward menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam, matanya melirik keluar dari jendela kamarnya yang langsung berhadapan dengan paviliun Veronica. Kamarnya memang sengaja tak jauh dari paviliun karena tugasnya sebagai pengawal Veronica. Dia bisa melihat lampu bangunan itu menyala, seolah memang sengaja dinyalakan untuk memberikan tanda padanya. “Sial!” maki Edward. “Tidak pernah kubayangkan aku akan selemah ini hanya karena wanita.” Pada akhirnya dia berjalan keluar dari kamar, menuju paviliun seperti undangan Veronica siang tadi. Beberapa kali