Aura ketegangan begitu kentara di ruangan bercat putih dengan perabotan didominasi warna biru.
Saat ini hanya terdengar suara deru napas beradu dengan AC yang dingin, tapi terasa panas karena hawa di sana tidak bersahabat antara Dewantara dan Abimanyu.
Setelah Aryan memberikan izin Senja untuk berdiskusi dengan Dewantara--kekasih Senja, kini berubah menjadi ajang perdebatan antara kedua pria itu.
Di samping itu, Aryan hanya mampu berdiam diri. Untuk saat ini menjadi pengamat lebih baik. Bukan tanpa alasan, sebenarnya Abimanyu sengaja memancing keterangan dari orang terdekat Senja.
Namun, ternyata reaksi Dewantara di luar dugaan. Dia terlalu berani jika berstatus kekasih.
"Kalian tidak perlu khawatir, Senja aman bersama saya. Kami akan segera menikah, jadi tidak perlu menggunakan jasa bodyguard," terang Dewantara bersikukuh.
"Sayangnya itu tidak bisa. Senja sekarang menjadi tanggung jawab saya," sergah Abimanyu tenang.
Senja dan Aryan masih setia diam. Bagi Senja, ada rasa tak enak hati kepada Dewantara. Karena dialah, Dewantara ikut terseret dalam masalahnya.
"Kamu siapa bagi Senja?" tanya Dewantara dengan seringainya.
"Saya utusan resmi dari wasiat Pak Wijaksana, kamu? Hanya seorang kekasih yang tidak datang di saat pemakaman orangtuanya." Abimanyu mengatakan itu dengan tegas, menusuk sisi tenang Dewantara.
Senja terlonjak tatkala perkataan itu meluncur dari Abimanyu. Benar adanya jika Dewantara tidak datang ke pemakaman Wijaksana, tapi itu semua beralasan.
Dewantara tampak menahan malu, terlihat dari raut wajahnya yang memerah.
"Aku tidak datang bukan berarti tak peduli," sergah Dewantara membela diri.
Abimanyu membuang napas kasar, lalu melipat tangan di depan dada. Dia menatap Senja yang mematung dengan wajah murung, entah apa yang dipikirkan gadis berparas ayu itu. Namun, Abimanyu punya firasat lain, baginya tugas kali ini tidak main-main.
"Apa pun alasannya, kalau kamu merasa paling dekat harusnya paling memedulikan dia. Bukan begitu, Senja?"
Senja bertemu pandang dengan Abimanyu. Sorot matanya menerangkan bahwa kekecewaan sudah menguasai Senja. Dengan lemah, Senja mengangguk. Menyetujui perkataan Abimanyu.
"Kamu lihat? Senja saja berpikiran sama. Jadi, tidak ada alasan kamu untuk tidak setuju dengan keputusan kami." Abimanyu menantang Dewantara dengan ucapan telak darinya.
Sementara Dewantara terlihat tidak tenang, dia menatap Senja tak percaya. Gadis yang sudah menjalin hubungan selama satu tahun itu meragukan kesungguhan hatinya.
"Senja, kamu pikir aku seperti yang pria itu katakan?!" tanya Dewantara menahan emosi yang mulai muncul ke permukaan.
Senja tertunduk dalam, dadanya sesak mengingat perkataan saat dia meminta Dewantara datang ke pemakaman sang ayah. Bagi Dewantara, pekerjaan lebih penting dibandingkan perasaannya. Tanpa terasa air mata sudah meluncur bebas di pipi putih itu, mencairkan rasa yang tak terlukiskan karena terlalu banyak kesedihan juga kekecewaan.
"Maaf, Mas. Untuk saat ini, aku lebih memilih cara Abimanyu dan Pak Aryan," lirih Senja dengan isakan tangis.
Dewantara menggeleng tak percaya. Perempuan yang berstatus kekasih malah membela orang lain. Rasa kesal memenuhi rongga dada, mendorong emosi hingga naik ke ubun-ubun.
Ditariknya kerah baju Abimanyu, tapi Abimanyu bersikap tenang tanpa perlawanan. Sedangkan Senja, tubuhnya bergetar, tangan dan kakinya terasa dingin, kini ketakutan menguasai Senja.
"Dengar! Aku mengalah bukan berarti kalah. Jangan macam-macam pada Senja! Atau kamu akan tahu akibatnya!" Dewantara menggeram, kilatan amarah begitu kentara.
Dengan kasar, Dewantara melepaskan cengkeraman pada kerah Abimanyu. Lalu, dia berjongkok di depan Senja. Dengan sekuat hati, meredam amarah yang sudah menguasai.
Digenggamnya tangan Senja, lalu seulas senyum terbit di wajah Dewantara.
"Baiklah, jika itu keputusanmu, aku terima. Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa hubungi aku, ya?"
Dewantara mengusap pipi Senja dengan lembut. Sedangkan Senja merasa tak enak hati atas keputusannya. Namun, memang untuk sekarang tidak ada pilihan lain selain mengikuti wasiat Wijaksana.
Setelah tak ada yang disampaikan lagi, Dewantara pamit. Walaupun berat menerima keputusan Senja, tapi setidaknya dia sudah mencoba menawarkan diri untuk menjadi pelindung kekasihnya.
***
Senja berdiam diri menyaksikan aktivitas Abimanyu yang sedang mengatur ulang barang-barang di rumahnya. Entah untuk apa, yang pasti Senja hanya bisa manut.
Senja menelisik setiap inci wajah Abimanyu. Sosoknya tampak tak asing, tapi entah kapan tepatnya mereka pernah bertemu.
Kecanggungan begitu terasa antara Abimanyu dan Senja. Sungkan untuk memulai percakapan.
Begitu pun dengan Abimanyu. Baginya, berdua di dalam rumah dengan lawan jenis adalah hal yang tabu. Walaupun tugasnya kadang mengharuskan dia siap dalam berbagai situasi dan kondisi. Namun, kali ini ada perasaan yang berbeda.
Cukup lama keheningan menyelimuti, hanya suara deritan atau benda-benda yang berpindah tempat sebagai melodi mengiringi kecanggungan.
Senja tidak kuat jika terus berada dalam situasi seperti itu, hingga dia berinisiatif untuk memulai percakapan.
"Em, aku harus panggil kamu apa?" tanya Senja sembari memilin ujung bajunya, menyalurkan rasa gugup yang datang melanda.
Abimanyu seketika membalikkan badan, sejenak menghentikan aktivitas. Ditatapnya gadis yang lebih muda lima tahun darinya, mencoba mencari sesuatu dari raut wajah itu.
"Terserah. Kamu majikan, jadi berhak memanggil apa saja." Abimanyu kembali membereskan beberapa figura bergambar Wijaksana, tata letak di rumah ini harus berubah.
"Yang pasti, aku lebih tua darimu," sambung Abimanyu seraya melenggang pergi membawa kotak berisi figura tadi.
Senja mencibir, kesal dengan perlakuan bodyguard tampan itu. Harusnya dia tidak berbicara dengan kulkas berjalan.
"Kalau enggak tampan, sudah kugaruk wajahnya dengan garfu!" gerutu Senja, lalu bangkit menyusul Abimanyu.
Senja merasa bosan karena hanya berdiam diri menjadi penonton aksi bodyguard-nya yang tidak bisa diam.
Sesekali dia mencoba untuk membantu Abimanyu, tapi ditolak dengan cara mengambil apa saja yang Senja bawa. Hingga kekesalan datang memenuhi relung hati.
"Setidaknya buat aku lebih berguna di sini. Kamu itu kulkas atau manusia, sih? Enggak ada ramah-ramahnya!" gerutu Senja, kontan mendapat tatapan tajam dari Abimanyu.
Abimanyu bersandar pada meja yang isinya hiasan dari kaca, dia membuang napas kasar seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana.
Senja terkesima melihat Abimanyu. Dia seperti tengah melihat model berpose, tampan dan memesona. Namun, seketika bayangan Dewantara membuatnya sadar.
"Jangan berpikiran aneh. Kalau kamu mau dirimu berguna, siapkan dokumen perpindahan kuliahmu," tutur Abimanyu, kembali membelakangi Senja. Dia mulai berkutat dengan laptop yang dibawanya.
Senja terdiam sesaat mencerna penuturan Abimanyu. Lalu, dengan kesal dia menarik Sang bodyguard, hendak memaki atas keputusan sepihak. Namun, lagi-lagi semua hanya cukup sampai kerongkongan.
"Jangan membantah. Ini demi keselamatanmu!" seru Abimanyu, kembali fokus pada pekerjaannya.
Senja mengacak rambut seraya menggeram dengan tangan yang mengepal kuat. Kini emosinya sudah membuncah, dia mengentak-entakkan kaki dan pergi meninggalkan Abimanyu yang tak acuh.
***
Untuk ke sekian kalinya Senja berdecak, kesal melihat keberadaan Abimanyu di kamarnya.
"Kamu ngapain ke sini? Sana keluar!" usir Senja kasar.
Sayangnya Abimanyu tak menggubris. Dia malah membenarkan posisi CCTV dekat jendela kamar Senja.
Pasalnya, tadi siang Abimanyu memasang CCTV di setiap sudut ruangan yang diperkirakan berbahaya dan sebagai antisipasi agar sang pembunuh tidak bisa mengincar nyawa Senja.
"Hei, kulkas! Kamu dengerin aku enggak, sih?!" Kali ini Senja mulai tersulut emosi, tapi sayangnya Abimanyu setia bergeming.
Kesal karena tidak dihiraukan, Senja melempar bantal ke arah Abimanyu, tapi ternyata bodyguard itu berhasil menangkisnya.
Senja semakin gemas, hingga dia nekat menarik Abimanyu untuk keluar dan sayangnya tak ada pergerakan dari pria itu.
Tingkah Senja malah membuat Abimanyu ingin terbahak. Sebisa mungkin Abimanyu bersikap wajar, jangan sampai dia terlihat goyah di depan Senja. Baginya, bersikap dingin dan cuek adalah pilihan tepat, melihat situasi dan kondisi saat ini tidak menutup kemungkinan hal buruk akan terjadi.
Napas Senja tersengal-sengal. Emosi, malu dan lelah berbaur menjadikan dirinya menyerah untuk mengusir Abimanyu dari kamarnya sendiri.
"Baiklah, aku bicara baik-baik. Keluar dari sini. Kamu tidak berhak berada di kamar seorang gadis," papar Senja yang masih mencoba mengatur napas.
Kini giliran Abimanyu yang menelisik penampilan Senja. Dia melipat satu tangan di depan dada dan satunya mengelus-elus dagu.
"Apa kamu berpikir aku akan melalukan sesuatu padamu? Sayangnya, penampilanmu 6 dari 10. Bukan perempuan ideal," terang Abimanyu membuat emosi yang mulai reda kembali membludak.
Baru saja akan berucap, Abimanyu melenggang pergi. Meninggalkan Senja yang mematung dengan perasaan campur aduk.
"Dasar kulkas gila!" teriak Senja yang masih didengar oleh Abimanyu.
Abimanyu tersenyum simpul, ada rasa bahagia yang terselip tatkala wajah Senja yang tengah marah. Baginya itu lucu.
Keheningan menyertai perjalanan Senja dan Abimanyu menuju kampus tempat sang gadis menuntut ilmu.Hari ini, Senja akan mengurus perpindahan kuliahnya. Semua itu atas perintah bodyguard yang seenak hati mengambil keputusan.Bagi Abimanyu, dia tak ambil pusing dengan sikap Senja. Entah kesal atau benci sekalipun, semua tidak berarti baginya. Karena untuk saat ini, keselamatan Senja lebih utama.Tak ada musik sebagai pencair suasa, hanya deru mesin berbaur dengan dinginnya AC membuat suasa semakin membeku. Mereka menjelajah dengan segala macam pemikiran yang terus menari-nari tanpa tahu ujung rimbanya.Beberapa kali berhenti karena rambu lalu lintas berwarna merah, juga macet yang tak terhindarkan. Ibu kota memang berbeda, tidak ada waktu longgar di jalanan. Semua sibuk dan padat tanpa istirahat.Suara dering ponsel memecah kesunyian. Seseorang yang sangat penting meneleponnya di saat yang tidak tepat.Abimanyu berdehem sebelum menjawab panggilan itu. Debar jantung tak menentu mengiringi
"Sana pergi!" perintah Senja, tapi tak dihiraukan Abimanyu.Tiga puluh menit sudah Senja menunggu Dewantara. Walaupun tak diharapkan, Abimanyu tetap menemani gadis itu.Semalam, Dewantara meminta untuk bertemu dengan Senja. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Namun, sampai detik ini tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Bahkan telepon Dewantara tidak bisa dihubungi.Kesal dan khawatir merasuki relung hati. Senja memilin ujung baju, menyalurkan perasaan tak nyaman. Terlebih lagi, Abimanyu tidak bisa diajak kompromi. Pria itu bersikukuh untuk ikut.Sebelumnya, Senja mengedap-endap keluar rumah dan menjalankan mobil dengan cepat, tapi ternyata baru 10 menit berselancar di jalanan, Abimanyu sudah ada di belakang mobilnya. Dengan pakaian kasual dan hoodie cokelat, Abimanyu mengikuti ke mana avanza itu melaju.Senja memukul pelan kepalanya, merutuki kebodohan diri. Harusnya dia sadar kalau Abimanyu bukan orang yang mudah dikelabui. Strateginya gagal, ditambah dengan Dewantara yang entah di
Untuk ke sekian kalinya Senja mengubah posisi tidur, berharap kantuk akan datang. Namun, semuanya sia-sia.Diliriknya jam weker yang bertengger manis di nakas, pukul 22.00 WIB. Hampir tengah malam dan dirinya terus memikirkan kejadian tadi siang.Bukannya merasa bersalah, tapi Senja justru dibuat penasaran dan tertantang untuk mengetahui tentang kehidupan bodyguard-nya itu.Seorang pria dengan penampilan menarik seperti Abimanyu mustahil tak ada yang terpikat. Tidak dapat dipungkiri, Senja pun terpesona pada Abimanyu. Hanya saja, dia mencoba menjaga hati dan batasannya. Karena, dia sudah menetapkan hati pada Dewantara seorang.Di tengah imajinasinya yang melambung, suara perut menghempaskannya ke alam sadar. Akhir-akhir ini dia cepat lapar. Tak mau menunggu sampai cacing di perutnya berdemo lebih keras lagi, Senja bergegas pergi ke dapur mencari pelipur lapar.Baru saja ke luar kamar beberapa langkah, dirinya dikejutkan dengan sosok Abimanyu yang tengah duduk di sofa dekat pintu kamar
"Kami mau cek in, satu kamar," ujar Abimanyu pada resepsionis yang mengamati penampilan pria tampan di hadapannya.Sang resepsionis kemudian memberikan kunci kamar pada Abimanyu seraya tersenyum ramah, tapi sayangnya Abimanyu tak menghiraukan itu. Dengan cepat, Abimanyu menghampiri Senja yang sedang berdiri tak jauh darinya."Ayo!" ajak Abimanyu menarik tangan Senja.Gadis itu pasrah mengikuti langkah Abimanyu. Biasanya, dia anti jika harus bersentuhan dengan pria itu. Kejadian hari ini cukup membuatnya lupa akan batasan yang dibuatnya sendiri.Tidak lama kemudian, mereka sampai di kamar yang dituju. Senja membisu tatkala Abimanyu menyuruhnya masuk, tapi saat tahu pria itu mengunci pintu dari dalam di ruangan yang sama, membuat Senja tersadar dengan keadaan."Eh, kamu ngapain di sini?" tanya Senja, panik.Pria dingin itu hanya menatapnya datar. Bukannya menjawab, dia malah masuk ke kamar mandi."Hei, kulkas berjalan! Kamu dengar tidak?!" Kini kesadaran Senja kembali, berteriak tak ter
Senja menatap kagum rumah yang ada di hadapannya. Setelah tiga puluh menit berada di jalanan yang macet, akhirnya lelah itu terbayar lunas tatkala disuguhi pemandangan yang memanjakan mata.Rumah minimalis bercat biru muda dengan halaman yang penuh dengan aneka bunga. Di ujung dekat jendela kamar sebelah kiri, ada sebuah pohon mangga yang baru berbunga.Senja menelan ludah, pastinya segar kalau memakan buah di teriknya matahari."Ayo masuk!" ajak Abimanyu seraya memutar kenop pintu.Kini pupil mata Senja kembali membesar melihat isi rumah itu. Benda-benda bernuansa cokelat berbaur dengan cat putih, terkesan elegan dan rapi. Tidak terlalu banyak perabotan di sini, tapi cukup menarik perhatian bagi seseorang yang bertamu."Ini rumah siapa?" tanya Senja seraya mengamati setiap sudut ruang tamu.Abimanyu menarik dua koper, dia masuk ke salah satu kamar lalu kembali mendekati Senja yang masih terkagum-kagum dengan tempat tinggalnya."Ini rumahku." Abimanyu kembali membawa tas ransel milikn
Perempuan berbaju biru laut dan bando yang mempercantik penampilannya menatap bingung pada Senja."Kenapa?" tanyanya memegang pundak Senja."Ka-kamu ....""Oh, aku Marisa. Teman sekelasmu," potong perempuan bernama Marisa seraya mengulurkan tangan.Senja kembali diserang kekagetan. Belum juga terjawab pertanyaan yang sebelumnya datang, kini pertanyaan baru muncul."Sekelas?" tanya Senja, polos.Marisa yang melihat raut wajah Senja langsung tertawa. Baginya, anak baru di depannya begitu lucu."Iya, kita sekelas. Oke, aku paham. Kamu masih baru, jadi belum mengenali teman sekelas. So, mau berteman denganku?" tanya Marisa kembali mengulurkan tangan yang sempat tak tersambut.Ragu, Senja menyambut uluran tangan Marisa. Segala pertanyaan yang muncul dia simpan sejenak, untuk sekarang mendapat teman sekelas memang hal yang penting. Apalagi Marisa adalah perempuan yang dia cari, mudah mengorek informasi darinya tentang hubungan Marisa dan Abimanyu."Hai Marisa. Salam kenal juga," ujar Sen
Abimanyu mencoba menghubungi nomor yang memberikan pesan singkat itu, tapi tak terhubung juga. Dia benar-benar bingung dan kalut. Bersamaan dengan itu, Rasti telepon."Halo, untung kamu telepon, Ras. Aku butuh bantuanmu!" seru Abimanyu to the point.Suara di seberang sana mengerti jika Abimanyu tengah kesusahan. Tanpa menimpali seruan Abimanyu, Rasti bergegas menemui Abimanyu.Sebelum Rasti sampai, Abimanyu mencoba menghubungi Senja. Ponselnya aktif, tapi tak ada jawaban dari si empunya. Sungguh Abimanyu sangat menyesali perbuatan sebelumnya, dia kurang sabar menghadapi Senja yang terlalu polos. Harusnya dia mengerti jika gadis itu punya tabiat berbeda dari perempuan lain. Angannya kembali pada ingatan masa lampau. Lima belas tahun yang lalu, dia menghadiri pemakaman rekan ayahnya. Seorang hakim yang tengah berkabung dengan anak kecil berusia lima tahun begitu terpukul dan menangis di pusaran dengan nisan tertulis 'Ayudia Armandini'.Semua pelayat sudah pulang, tersisa ayahnya dan di
Senja masih memasang muka masam. Dia tidak berniat membuka percakapan dengan pria yang tengah mengendarai mobil avanza hitam.Kejadian di kantor Dewantara membuatnya kesal dan malu. Apalagi, orang kantor mengetahui jika dirinya adalah kekasih pemilik kantor itu. Mungkin, sekarang sudah tersebar gosip tentang dirinya dan Abimanyu.“Oke, aku minta maaf. Aku hanya khawatir,” ucap Abimanyu mencoba membujuk Senja.Bukannya menimpali, gadis itu malah membuang muka. Dia enggan menatap wajah tampan tapi menyebalkan milik Abimanyu. Mungkin mendiamkannya bisa menjadi hukuman paling baik, dari itulah Senja sengaja mogok bicara.Abimanyu beberapa kali menoleh, melihat raut wajah Senja yang ditekuk. Ternyata Senja benar-benar marah, itu yang ada dalam pikirannya.Karena tak ada respons dari Senja, akhirnya Abimanyu menyerah juga. Baginya, usahanya sudah cukup dan dia tinggal menunggu emosi Senja reda.Senja yang tak mendengar lagi suara Abimanyu menoleh sekilas, ternyata pria tampan itu tengah fok