Share

Bab 2 Curiga

Aura ketegangan begitu kentara di ruangan bercat putih dengan perabotan didominasi warna biru.

Saat ini hanya terdengar suara deru napas beradu dengan AC yang dingin, tapi terasa panas karena hawa di sana tidak bersahabat antara Dewantara dan Abimanyu.

Setelah Aryan memberikan izin Senja untuk berdiskusi dengan Dewantara--kekasih Senja, kini berubah menjadi ajang perdebatan antara kedua pria itu.

Di samping itu, Aryan hanya mampu berdiam diri. Untuk saat ini menjadi pengamat lebih baik. Bukan tanpa alasan, sebenarnya Abimanyu sengaja memancing keterangan dari orang terdekat Senja.

Namun, ternyata reaksi Dewantara di luar dugaan. Dia terlalu berani jika berstatus kekasih.

"Kalian tidak perlu khawatir, Senja aman bersama saya. Kami akan segera menikah, jadi tidak perlu menggunakan jasa bodyguard," terang Dewantara bersikukuh.

"Sayangnya itu tidak bisa. Senja sekarang menjadi tanggung jawab saya," sergah Abimanyu tenang.

Senja dan Aryan masih setia diam. Bagi Senja, ada rasa tak enak hati kepada Dewantara. Karena dialah, Dewantara ikut terseret dalam masalahnya.

"Kamu siapa bagi Senja?" tanya Dewantara dengan seringainya.

"Saya utusan resmi dari wasiat Pak Wijaksana, kamu? Hanya seorang kekasih yang tidak datang di saat pemakaman orangtuanya." Abimanyu mengatakan itu dengan tegas, menusuk sisi tenang Dewantara.

Senja terlonjak tatkala perkataan itu meluncur dari Abimanyu. Benar adanya jika Dewantara tidak datang ke pemakaman Wijaksana, tapi itu semua beralasan.

Dewantara tampak menahan malu, terlihat dari raut wajahnya yang memerah.

"Aku tidak datang bukan berarti tak peduli," sergah Dewantara membela diri.

Abimanyu membuang napas kasar, lalu melipat tangan di depan dada. Dia menatap Senja yang mematung dengan wajah murung, entah apa yang dipikirkan gadis berparas ayu itu. Namun, Abimanyu punya firasat lain, baginya tugas kali ini tidak main-main.

"Apa pun alasannya, kalau kamu merasa paling dekat harusnya paling memedulikan dia. Bukan begitu, Senja?"

Senja bertemu pandang dengan Abimanyu. Sorot matanya menerangkan bahwa kekecewaan sudah menguasai Senja. Dengan lemah, Senja mengangguk. Menyetujui perkataan Abimanyu.

"Kamu lihat? Senja saja berpikiran sama. Jadi, tidak ada alasan kamu untuk tidak setuju dengan keputusan kami." Abimanyu menantang Dewantara dengan ucapan telak darinya.

Sementara Dewantara terlihat tidak tenang, dia menatap Senja tak percaya. Gadis yang sudah menjalin hubungan selama satu tahun itu meragukan kesungguhan hatinya.

"Senja, kamu pikir aku seperti yang pria itu katakan?!" tanya Dewantara menahan emosi yang mulai muncul ke permukaan.

Senja tertunduk dalam, dadanya sesak mengingat perkataan saat dia meminta Dewantara datang ke pemakaman sang ayah. Bagi Dewantara, pekerjaan lebih penting dibandingkan perasaannya. Tanpa terasa air mata sudah meluncur bebas di pipi putih itu, mencairkan rasa yang tak terlukiskan karena terlalu banyak kesedihan juga kekecewaan.

"Maaf, Mas. Untuk saat ini, aku lebih memilih cara Abimanyu dan Pak Aryan," lirih Senja dengan isakan tangis.

Dewantara menggeleng tak percaya. Perempuan yang berstatus kekasih malah membela orang lain. Rasa kesal memenuhi rongga dada, mendorong emosi hingga naik ke ubun-ubun.

Ditariknya kerah baju Abimanyu, tapi Abimanyu bersikap tenang tanpa perlawanan. Sedangkan Senja, tubuhnya bergetar, tangan dan kakinya terasa dingin, kini ketakutan menguasai Senja.

"Dengar! Aku mengalah bukan berarti kalah. Jangan macam-macam pada Senja! Atau kamu akan tahu akibatnya!" Dewantara menggeram, kilatan amarah begitu kentara.

Dengan kasar, Dewantara melepaskan cengkeraman pada kerah Abimanyu. Lalu, dia berjongkok di depan Senja. Dengan sekuat hati, meredam amarah yang sudah menguasai.

Digenggamnya tangan Senja, lalu seulas senyum terbit di wajah Dewantara.

"Baiklah, jika itu keputusanmu, aku terima. Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa hubungi aku, ya?"

Dewantara mengusap pipi Senja dengan lembut. Sedangkan Senja merasa tak enak hati atas keputusannya. Namun, memang untuk sekarang tidak ada pilihan lain selain mengikuti wasiat Wijaksana.

Setelah tak ada yang disampaikan lagi, Dewantara pamit. Walaupun berat menerima keputusan Senja, tapi setidaknya dia sudah mencoba menawarkan diri untuk menjadi pelindung kekasihnya.

***

Senja berdiam diri menyaksikan aktivitas Abimanyu yang sedang mengatur ulang barang-barang di rumahnya. Entah untuk apa, yang pasti Senja hanya bisa manut.

Senja menelisik setiap inci wajah Abimanyu. Sosoknya tampak tak asing, tapi entah kapan tepatnya mereka pernah bertemu.

Kecanggungan begitu terasa antara Abimanyu dan Senja. Sungkan untuk memulai percakapan.

Begitu pun dengan Abimanyu. Baginya, berdua di dalam rumah dengan lawan jenis adalah hal yang tabu. Walaupun tugasnya kadang mengharuskan dia siap dalam berbagai situasi dan kondisi. Namun, kali ini ada perasaan yang berbeda.

Cukup lama keheningan menyelimuti, hanya suara deritan atau benda-benda yang berpindah tempat sebagai melodi mengiringi kecanggungan.

Senja tidak kuat jika terus berada dalam situasi seperti itu, hingga dia berinisiatif untuk memulai percakapan.

"Em, aku harus panggil kamu apa?" tanya Senja sembari memilin ujung bajunya, menyalurkan rasa gugup yang datang melanda.

Abimanyu seketika membalikkan badan, sejenak menghentikan aktivitas. Ditatapnya gadis yang lebih muda lima tahun darinya, mencoba mencari sesuatu dari raut wajah itu.

"Terserah. Kamu majikan, jadi berhak memanggil apa saja." Abimanyu kembali membereskan beberapa figura bergambar Wijaksana, tata letak di rumah ini harus berubah.

"Yang pasti, aku lebih tua darimu," sambung Abimanyu seraya melenggang pergi membawa kotak berisi figura tadi.

Senja mencibir, kesal dengan perlakuan bodyguard tampan itu. Harusnya dia tidak berbicara dengan kulkas berjalan.

"Kalau enggak tampan, sudah kugaruk wajahnya dengan garfu!" gerutu Senja, lalu bangkit menyusul Abimanyu.

Senja merasa bosan karena hanya berdiam diri menjadi penonton aksi bodyguard-nya yang tidak bisa diam.

Sesekali dia mencoba untuk membantu Abimanyu, tapi ditolak dengan cara mengambil apa saja yang Senja bawa. Hingga kekesalan datang memenuhi relung hati.

"Setidaknya buat aku lebih berguna di sini. Kamu itu kulkas atau manusia, sih? Enggak ada ramah-ramahnya!" gerutu Senja, kontan mendapat tatapan tajam dari Abimanyu.

Abimanyu bersandar pada meja yang isinya hiasan dari kaca, dia membuang napas kasar seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana.

Senja terkesima melihat Abimanyu. Dia seperti tengah melihat model berpose, tampan dan memesona. Namun, seketika bayangan Dewantara membuatnya sadar.

"Jangan berpikiran aneh. Kalau kamu mau dirimu berguna, siapkan dokumen perpindahan kuliahmu," tutur Abimanyu, kembali membelakangi Senja. Dia mulai berkutat dengan laptop yang dibawanya.

Senja terdiam sesaat mencerna penuturan Abimanyu. Lalu, dengan kesal dia menarik Sang bodyguard, hendak memaki atas keputusan sepihak. Namun, lagi-lagi semua hanya cukup sampai kerongkongan.

"Jangan membantah. Ini demi keselamatanmu!" seru Abimanyu, kembali fokus pada pekerjaannya.

Senja mengacak rambut seraya menggeram dengan tangan yang mengepal kuat. Kini emosinya sudah membuncah, dia mengentak-entakkan kaki dan pergi meninggalkan Abimanyu yang tak acuh.

***

Untuk ke sekian kalinya Senja berdecak, kesal melihat keberadaan Abimanyu di kamarnya.

"Kamu ngapain ke sini? Sana keluar!" usir Senja kasar.

Sayangnya Abimanyu tak menggubris. Dia malah membenarkan posisi CCTV dekat jendela kamar Senja.

Pasalnya, tadi siang Abimanyu memasang CCTV di setiap sudut ruangan yang diperkirakan berbahaya dan sebagai antisipasi agar sang pembunuh tidak bisa mengincar nyawa Senja.

"Hei, kulkas! Kamu dengerin aku enggak, sih?!" Kali ini Senja mulai tersulut emosi, tapi sayangnya Abimanyu setia bergeming.

Kesal karena tidak dihiraukan, Senja melempar bantal ke arah Abimanyu, tapi ternyata bodyguard itu berhasil menangkisnya.

Senja semakin gemas, hingga dia nekat menarik Abimanyu untuk keluar dan sayangnya tak ada pergerakan dari pria itu.

Tingkah Senja malah membuat Abimanyu ingin terbahak. Sebisa mungkin Abimanyu bersikap wajar, jangan sampai dia terlihat goyah di depan Senja. Baginya, bersikap dingin dan cuek adalah pilihan tepat, melihat situasi dan kondisi saat ini tidak menutup kemungkinan hal buruk akan terjadi.

Napas Senja tersengal-sengal. Emosi, malu dan lelah berbaur menjadikan dirinya menyerah untuk mengusir Abimanyu dari kamarnya sendiri.

"Baiklah, aku bicara baik-baik. Keluar dari sini. Kamu tidak berhak berada di kamar seorang gadis," papar Senja yang masih mencoba mengatur napas.

Kini giliran Abimanyu yang menelisik penampilan Senja. Dia melipat satu tangan di depan dada dan satunya mengelus-elus dagu.

"Apa kamu berpikir aku akan melalukan sesuatu padamu? Sayangnya, penampilanmu 6 dari 10. Bukan perempuan ideal," terang Abimanyu membuat emosi yang mulai reda kembali membludak.

Baru saja akan berucap, Abimanyu melenggang pergi. Meninggalkan Senja yang mematung dengan perasaan campur aduk.

"Dasar kulkas gila!" teriak Senja yang masih didengar oleh Abimanyu.

Abimanyu tersenyum simpul, ada rasa bahagia yang terselip tatkala wajah Senja yang tengah marah. Baginya itu lucu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status