"Sana pergi!" perintah Senja, tapi tak dihiraukan Abimanyu.
Tiga puluh menit sudah Senja menunggu Dewantara. Walaupun tak diharapkan, Abimanyu tetap menemani gadis itu.
Semalam, Dewantara meminta untuk bertemu dengan Senja. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Namun, sampai detik ini tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Bahkan telepon Dewantara tidak bisa dihubungi.
Kesal dan khawatir merasuki relung hati. Senja memilin ujung baju, menyalurkan perasaan tak nyaman. Terlebih lagi, Abimanyu tidak bisa diajak kompromi. Pria itu bersikukuh untuk ikut.
Sebelumnya, Senja mengedap-endap keluar rumah dan menjalankan mobil dengan cepat, tapi ternyata baru 10 menit berselancar di jalanan, Abimanyu sudah ada di belakang mobilnya. Dengan pakaian kasual dan hoodie cokelat, Abimanyu mengikuti ke mana avanza itu melaju.
Senja memukul pelan kepalanya, merutuki kebodohan diri. Harusnya dia sadar kalau Abimanyu bukan orang yang mudah dikelabui. Strateginya gagal, ditambah dengan Dewantara yang entah di mana rimbanya.
"Aku yakini kekasihmu ingkar janji," kata Abimanyu seraya melihat jam di tangan.
Wajah Senja cemberut. Perkataan Abimanyu bisa saja benar, tapi baru kali ini Dewantara tidak menepati janji.
Segala kemungkinan yang menjadi praduga muncul di benak Senja. Dari mulai selingkuh sampai kecelakaan menjadi alternatif kecurigaan yang hadir. Namun, segera dia menepisnya tatkala suara panggilan masuk dari Dewantara, menggetarkan ponsel berwarna putih di tangannya.
Seulas senyum terbit hingga tanpa sadar dia mendekati Abimanyu yang tengah duduk di sandaran kursi Taman Kota.
"Tuh, kamu yang parno. Dasar kulkas!" cibir Senja seraya menjawab panggilan dan menjauh dari Abimanyu.
Abimanyu hanya mengedikkan bahu, kemudian bangkit dan berjalan mendekati Senja seraya menengok ke kanan dan ke kiri, memeriksa keamanan Senja.
Mengingat kejadian semalam membuat Abimanyu semakin ketat menjaga Senja. Kemungkinan besar, mereka adalah orang yang membunuh Wijaksana. Tidak ada tempat aman untuk saat ini.
Samar-samar, Abimanyu mendengar Senja menaikkan nada bicara, yang artinya mereka sedang bertengkar. Entah apa yang membuat Abimanyu menarik sebelah ujung bibir, yang pasti hatinya merasa lega.
Tidak lama kemudian, Senja berbalik dan mendapati Abimanyu sudah berada di belakangnya.
"Ngapain di sini? Enggak sopan nguping pembicaraan orang!" Senja tersungut-sungut dengan wajah memerah.
Abimanyu menahan tawa melihat raut wajah gadis itu. Tanpa bisa ditahan, akhirnya tawa lepas keluar dari mulut Abimanyu.
Senja yang kaget pun hanya menatap tak percaya. Selain karena aneh, kekaguman datang bersamaan. Untuk pertama kalinya, Senja melihat pria dengan julukan kulkas itu tertawa. Tidak dapat dipungkiri, dia terpesona dengan Abimanyu.
"Bisa tertawa juga, sudah mencair?" Senja sengaja bertanya dengan nada meledek.
Seketika tawa Abimanyu berhenti. Dia berdehem, mencoba menetralkan segala rasa yang membuncah di dalam sana.
"Ayo pulang!" perintah Abimanyu, melenggang pergi.
Kini Senja yang menahan tawa, aksinya sukses membuat pria itu tidak berkutik. Amarah karena pertengkarannya dengan Dewantara di telepon tadi menguap begitu saja, berganti dengan rasa penasaran yang bergelayut di benak.
"Kamu siapa sebenarnya, Abimanyu?" gumam Senja sebelum mengikuti langkah Abimanyu yang semakin menjauh.
***
Hening. Deru mesin berbaur dengan lantunan syair merdu dari radio menjadi melodi sumbang di antara Senja dan Abimanyu.
Pria berparas tampan itu memandang mobil-mobil yang berjajar rapi di depan mau pun di sampingnya.
Suara klakson saling bersahutan menambah lengkap suasana yang membuat dua orang itu jengah.
Pikiran Abimanyu melanglangbuana entah ke mana. Ada banyak teka-teki yang harus dia pecahkan. Termasuk pria bertato naga itu. Ditambah sosok Dewantara yang membuatnya semakin susah menjaga Senja.
Pelan kendaraan mulai maju dan macet berkurang. Saat hendak menjalankan mobil, Abimanyu menangkap ekspresi Senja yang menatapnya sedari tadi.
Kikuk, tak sengaja Abimanyu malah menginjak rem dan sukses membuat Senja mencium dashboard mobil.
Suara pekikan meluncur dari bibir mungil Senja. Diusap-usapnya kening yang agak memerah.
Abimanyu langsung memarkirkan mobilnya di depan sebuah minimarket. Dengan sigap, dia meraih kepala Senja dan meniupi kening gadis itu.
Seketika tubuh Senja menegang, mendapat perlakuan Abimanyu yang tiba-tiba. Jantung Senja berdegup mengikuti alunan musik di radio, tangannya tiba-tiba mengeluarkan keringat dingin dengan perut menggelitik seolah ada yang siap keluar dari perut.
Wajah Senja memerah tatkala Abimanyu mengelus-elus kening dan rambutnya. Kini, jantungnya entah melompat ke mana, tubuh gadis itu bergetar menahan sesuatu yang tak menentu.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Abimanyu tanpa sadar menangkup wajah Senja.
Senja hanya mengangguk kaku, wajah mereka begitu dekat. Bahkan napas Abimanyu bisa Senja rasakan. Dengan pelan Senja menyusuri pahatan indah yang ada di depan mata. Sempurna, hanya itu yang terlintas. Bahkan Dewantara kalah jika dibandingkan dengan Abimanyu.
Teringat Dewantara, Senja segera menepis pikiran aneh dari kepalanya. Dengan cepat Senja menarik tangan Abimanyu dari wajahnya.
"Aku baik-baik saja," jawab Senja pelan seraya menarik napas pelan.
Abimanyu masih menatap khawatir Senja. Keningnya jelas memerah, cukup membuktikan bahwa Senja tidak baik-baik saja.
Hendak kembali menyentuh tanda merah itu, Senja terlebih dahulu menepis.
"Jangan kurang ajar! Aku majikanmu!" seru senja sontak membuat wajah Abimanyu kembali dingin.
Tanpa menimpali, Abimanyu langsung menginjak gas, kembali mobil meluncur di jalanan yang lengang.
Untuk sesaat, Abimanyu lupa posisinya hingga kehilangan kendali. Entah apa yang mendorongnya untuk melakukan hal konyol tadi. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, ada apa dengan Abimanyu?
***
Cukup lama Senja menatap sosok Abimanyu yang tengah memasak. Dengan lihai, Abimanyu memotong bahan masakan dan juga meraciknya hingga tercium aroma yang menggugah selera.
Sepulangnya dari taman dan menuai kekecewaan karena Dewantara ingkar janji, Senja berencana menghabiskan harinya di kamar tanpa gangguan.
Namun, perutnya tak bisa dikompromi. Lapar mendera, mungkin karena sebelumnya dia tidak sarapan ditambah energinya terkuras sehabis bertengkar dengan Dewantara menjadi alasan kuat untuk Senja melenggang pergi ke dapur.
Saat menginjakkan kaki di dapur, mata Senja dimanjakan oleh sosok yang tengah berkutat dengan peralatan masak juga bahan untuk dimasak.
Dalam sekejap dia terhipnotis dengan apa yang dilakukan Abimanyu. Pria bisa memasak itu keren, menurut senja. Sekarang, di sinilah dia, tengah menunggu santapan juga menikmati pemandangan yang memanjakan mata.
"Aku tampan, kan?" tanya Abimanyu tanpa menoleh pada Senja.
Senja langsung menegakkan punggung, merasa terciduk.
"Aku tahu, jadi jangan melihatku seolah akan memakanku hidup-hidup," sambung Abimanyu, kini memutar badan lalu berjalan mendekati Senja dengan omlet yang dihias di piring, cantik.
Senja mencebik, dia menahan rasa malu dengan mengoceh tak jelas. Lalu, tiba-tiba satu pertanyaan muncul ke permukaan.
"Hei, kulkas! Kamu sudah punya kekasih?" tanya Senja saat Abimanyu baru saja mendudukkan diri di kursi kayu yang berhadapan dengannya.
Abimanyu langsung menatap Senja dingin. Dia tidak suka jika masalah pribadinya diusik.
"Bukan urusanmu, makan!" Suara Abimanyu seperti sebuah gertakan, sukses membuat Senja bungkam.
Dalam diam mereka menyantap hidangan. Rasa penasaran mulai hadir di benak Senja, sedangkan Abimanyu hatinya berkecamuk mendengar pertanyaan Senja. Dia belum pernah menjalin hubungan, tapi hatinya pernah tertawan oleh seseorang yang membuatnya trauma berhubungan dengan seorang gadis.
Untuk ke sekian kalinya Senja mengubah posisi tidur, berharap kantuk akan datang. Namun, semuanya sia-sia.Diliriknya jam weker yang bertengger manis di nakas, pukul 22.00 WIB. Hampir tengah malam dan dirinya terus memikirkan kejadian tadi siang.Bukannya merasa bersalah, tapi Senja justru dibuat penasaran dan tertantang untuk mengetahui tentang kehidupan bodyguard-nya itu.Seorang pria dengan penampilan menarik seperti Abimanyu mustahil tak ada yang terpikat. Tidak dapat dipungkiri, Senja pun terpesona pada Abimanyu. Hanya saja, dia mencoba menjaga hati dan batasannya. Karena, dia sudah menetapkan hati pada Dewantara seorang.Di tengah imajinasinya yang melambung, suara perut menghempaskannya ke alam sadar. Akhir-akhir ini dia cepat lapar. Tak mau menunggu sampai cacing di perutnya berdemo lebih keras lagi, Senja bergegas pergi ke dapur mencari pelipur lapar.Baru saja ke luar kamar beberapa langkah, dirinya dikejutkan dengan sosok Abimanyu yang tengah duduk di sofa dekat pintu kamar
"Kami mau cek in, satu kamar," ujar Abimanyu pada resepsionis yang mengamati penampilan pria tampan di hadapannya.Sang resepsionis kemudian memberikan kunci kamar pada Abimanyu seraya tersenyum ramah, tapi sayangnya Abimanyu tak menghiraukan itu. Dengan cepat, Abimanyu menghampiri Senja yang sedang berdiri tak jauh darinya."Ayo!" ajak Abimanyu menarik tangan Senja.Gadis itu pasrah mengikuti langkah Abimanyu. Biasanya, dia anti jika harus bersentuhan dengan pria itu. Kejadian hari ini cukup membuatnya lupa akan batasan yang dibuatnya sendiri.Tidak lama kemudian, mereka sampai di kamar yang dituju. Senja membisu tatkala Abimanyu menyuruhnya masuk, tapi saat tahu pria itu mengunci pintu dari dalam di ruangan yang sama, membuat Senja tersadar dengan keadaan."Eh, kamu ngapain di sini?" tanya Senja, panik.Pria dingin itu hanya menatapnya datar. Bukannya menjawab, dia malah masuk ke kamar mandi."Hei, kulkas berjalan! Kamu dengar tidak?!" Kini kesadaran Senja kembali, berteriak tak ter
Senja menatap kagum rumah yang ada di hadapannya. Setelah tiga puluh menit berada di jalanan yang macet, akhirnya lelah itu terbayar lunas tatkala disuguhi pemandangan yang memanjakan mata.Rumah minimalis bercat biru muda dengan halaman yang penuh dengan aneka bunga. Di ujung dekat jendela kamar sebelah kiri, ada sebuah pohon mangga yang baru berbunga.Senja menelan ludah, pastinya segar kalau memakan buah di teriknya matahari."Ayo masuk!" ajak Abimanyu seraya memutar kenop pintu.Kini pupil mata Senja kembali membesar melihat isi rumah itu. Benda-benda bernuansa cokelat berbaur dengan cat putih, terkesan elegan dan rapi. Tidak terlalu banyak perabotan di sini, tapi cukup menarik perhatian bagi seseorang yang bertamu."Ini rumah siapa?" tanya Senja seraya mengamati setiap sudut ruang tamu.Abimanyu menarik dua koper, dia masuk ke salah satu kamar lalu kembali mendekati Senja yang masih terkagum-kagum dengan tempat tinggalnya."Ini rumahku." Abimanyu kembali membawa tas ransel milikn
Perempuan berbaju biru laut dan bando yang mempercantik penampilannya menatap bingung pada Senja."Kenapa?" tanyanya memegang pundak Senja."Ka-kamu ....""Oh, aku Marisa. Teman sekelasmu," potong perempuan bernama Marisa seraya mengulurkan tangan.Senja kembali diserang kekagetan. Belum juga terjawab pertanyaan yang sebelumnya datang, kini pertanyaan baru muncul."Sekelas?" tanya Senja, polos.Marisa yang melihat raut wajah Senja langsung tertawa. Baginya, anak baru di depannya begitu lucu."Iya, kita sekelas. Oke, aku paham. Kamu masih baru, jadi belum mengenali teman sekelas. So, mau berteman denganku?" tanya Marisa kembali mengulurkan tangan yang sempat tak tersambut.Ragu, Senja menyambut uluran tangan Marisa. Segala pertanyaan yang muncul dia simpan sejenak, untuk sekarang mendapat teman sekelas memang hal yang penting. Apalagi Marisa adalah perempuan yang dia cari, mudah mengorek informasi darinya tentang hubungan Marisa dan Abimanyu."Hai Marisa. Salam kenal juga," ujar Sen
Abimanyu mencoba menghubungi nomor yang memberikan pesan singkat itu, tapi tak terhubung juga. Dia benar-benar bingung dan kalut. Bersamaan dengan itu, Rasti telepon."Halo, untung kamu telepon, Ras. Aku butuh bantuanmu!" seru Abimanyu to the point.Suara di seberang sana mengerti jika Abimanyu tengah kesusahan. Tanpa menimpali seruan Abimanyu, Rasti bergegas menemui Abimanyu.Sebelum Rasti sampai, Abimanyu mencoba menghubungi Senja. Ponselnya aktif, tapi tak ada jawaban dari si empunya. Sungguh Abimanyu sangat menyesali perbuatan sebelumnya, dia kurang sabar menghadapi Senja yang terlalu polos. Harusnya dia mengerti jika gadis itu punya tabiat berbeda dari perempuan lain. Angannya kembali pada ingatan masa lampau. Lima belas tahun yang lalu, dia menghadiri pemakaman rekan ayahnya. Seorang hakim yang tengah berkabung dengan anak kecil berusia lima tahun begitu terpukul dan menangis di pusaran dengan nisan tertulis 'Ayudia Armandini'.Semua pelayat sudah pulang, tersisa ayahnya dan di
Senja masih memasang muka masam. Dia tidak berniat membuka percakapan dengan pria yang tengah mengendarai mobil avanza hitam.Kejadian di kantor Dewantara membuatnya kesal dan malu. Apalagi, orang kantor mengetahui jika dirinya adalah kekasih pemilik kantor itu. Mungkin, sekarang sudah tersebar gosip tentang dirinya dan Abimanyu.“Oke, aku minta maaf. Aku hanya khawatir,” ucap Abimanyu mencoba membujuk Senja.Bukannya menimpali, gadis itu malah membuang muka. Dia enggan menatap wajah tampan tapi menyebalkan milik Abimanyu. Mungkin mendiamkannya bisa menjadi hukuman paling baik, dari itulah Senja sengaja mogok bicara.Abimanyu beberapa kali menoleh, melihat raut wajah Senja yang ditekuk. Ternyata Senja benar-benar marah, itu yang ada dalam pikirannya.Karena tak ada respons dari Senja, akhirnya Abimanyu menyerah juga. Baginya, usahanya sudah cukup dan dia tinggal menunggu emosi Senja reda.Senja yang tak mendengar lagi suara Abimanyu menoleh sekilas, ternyata pria tampan itu tengah fok
Suara napas memburu menggema di ruangan dengan penerangan temaram. Di balik selimut, terbujur kaku mayat bersimbah darah yang berceceran di lantai dan kasur.Empat orang bertopeng hitam saling memandang. Ada kekalutan dan rasa takut menyelimuti di antara mereka."Bos, kita harusnya tidak membunuhnya dengan cara seperti ini," ujar pria dengan postur tubuh paling pendek."Biarkan saja, dia yang melawan," sahut pria dengan tubuh kekar. Ada tato berbentuk naga di lengannya."Tap-tapi, Bos. Nanti sidik jari kita akan terbaca." Giliran pria bertubuh kurus berucap dengan nada bergetar.Di lain sisi, satu orang di antara mereka hanya bungkam dengan mata menatap nanar mayat yang terbujur kaku di depannya. Rasa takut begitu kentara dari sorot mata itu."Sudahlah, sebaiknya kita pergi. Aku pastikan tidak ada sidik jari yang tertinggal. Buang sarung tangan kalian. Tua bangka ini tidak memberikan informasi apa pun. Apa kalian sudah menggeledah semua tempat?" tanya pria bertato naga dengan berkacak
Aura ketegangan begitu kentara di ruangan bercat putih dengan perabotan didominasi warna biru.Saat ini hanya terdengar suara deru napas beradu dengan AC yang dingin, tapi terasa panas karena hawa di sana tidak bersahabat antara Dewantara dan Abimanyu.Setelah Aryan memberikan izin Senja untuk berdiskusi dengan Dewantara--kekasih Senja, kini berubah menjadi ajang perdebatan antara kedua pria itu.Di samping itu, Aryan hanya mampu berdiam diri. Untuk saat ini menjadi pengamat lebih baik. Bukan tanpa alasan, sebenarnya Abimanyu sengaja memancing keterangan dari orang terdekat Senja.Namun, ternyata reaksi Dewantara di luar dugaan. Dia terlalu berani jika berstatus kekasih."Kalian tidak perlu khawatir, Senja aman bersama saya. Kami akan segera menikah, jadi tidak perlu menggunakan jasa bodyguard," terang Dewantara bersikukuh."Sayangnya itu tidak bisa. Senja sekarang menjadi tanggung jawab saya," sergah Abimanyu tenang.Senja dan Aryan masih setia diam. Bagi Senja, ada rasa tak enak hat