Keheningan menyertai perjalanan Senja dan Abimanyu menuju kampus tempat sang gadis menuntut ilmu.
Hari ini, Senja akan mengurus perpindahan kuliahnya. Semua itu atas perintah bodyguard yang seenak hati mengambil keputusan.
Bagi Abimanyu, dia tak ambil pusing dengan sikap Senja. Entah kesal atau benci sekalipun, semua tidak berarti baginya. Karena untuk saat ini, keselamatan Senja lebih utama.
Tak ada musik sebagai pencair suasa, hanya deru mesin berbaur dengan dinginnya AC membuat suasa semakin membeku. Mereka menjelajah dengan segala macam pemikiran yang terus menari-nari tanpa tahu ujung rimbanya.
Beberapa kali berhenti karena rambu lalu lintas berwarna merah, juga macet yang tak terhindarkan. Ibu kota memang berbeda, tidak ada waktu longgar di jalanan. Semua sibuk dan padat tanpa istirahat.
Suara dering ponsel memecah kesunyian. Seseorang yang sangat penting meneleponnya di saat yang tidak tepat.
Abimanyu berdehem sebelum menjawab panggilan itu. Debar jantung tak menentu mengiringi dan menghadirkan cairan dingin dari pori-pori kulit.
"Halo."
Senja menatap Abimanyu, air muka pria itu seketika berubah. Kilatan amarah terlihat jelas di matanya. Sebelah tangan yang memegang kemudi semakin erat hingga urat-uratnya tampak jelas.
Rasa cemas hadir di sanubari Senja, takut hal yang tak diinginkan tengah atau akan terjadi. Karena, untuk saat ini hanya Abimanyu yang bisa diharapkan sebagai tempat berlindung.
Tidak lama Abimanyu kembali menutup panggilan. Kini wajahnya sedikit rileks, saraf-saraf di kepalanya sudah cukup mengendur.
"Kenapa?" tanya senja tiba-tiba dan langsung disambut oleh tatapan lembut dari Abimanyu. Namun, hanya per sekian detik, wajah dinginnya kembali lagi.
"Tidak ada," jawab Abimanyu memalingkan muka.
Mobil mulai melaju dengan leluasa di jalanan yang sudah terurai kemacetan.
Senja masih menatap Abimanyu tak percaya. Begitu banyak pertanyaan yang bersarang di benak, tentang kehidupannya pasca kematian Wijaksana. Dia merasa, sedang menjadi pion di permainan yang sedang sang pembunuh rencanakan.
Tidak lama kemudian mobil hitam itu masuk ke pelataran kampus. Masih terlalu pagi untuk mengurus surat perpindahan, karena area parkir baru saja dihuni beberapa kendaraan.
Abimanyu sengaja mengajak bicara Senja sebelum turun dari mobil yang sudah terparkir rapi.
Untuk pertama kalinya Abimanyu menatap lekat wajah sang gadis, mencoba serius dengan pembicaraan yang akan dimulai.
"Dengar, jika ada yang bertanya tentangku, katakan saja aku calon suamimu," ujar Abimanyu, langsung mendapat pelototan dari Senja.
"Dih, dasar aneh! Katanya aku bukan tipe perempuan ideal. Sekarang malah mengaku-ngaku calon suami," cibir Senja, tapi tak dihiraukan Abimanyu.
Abimanyu kini menatap Senja serius, irisan renita hazel itu menandakan bahwa ucapannya tidak main-main.
Dengan susah payah Senja menelan ludah, nyali menciut yang diiringi debaran jantung menjadi irama pengusik ketenangan. Dia gugup dan takut.
"Ini demi keselamatanmu!" seru Abimanyu tegas.
Senja hanya mengangguk, dia tidak mau pria berjulukan kulkas itu berubah menjadi tabung gas yang siap meledak.
Setelah acara negosiasi selesai, Senja melenggang pergi ke ruangan BAK untuk mengurusi dokumen perpindahan. Walaupun masih pagi, dia yakini ada petugas yang sudah datang.
Sembari menunggu Senja, Abimanyu menelepon seseorang. Dia masih penasaran dengan ucapan orang yang menghubunginya barusan.
Pada panggilan kedua, akhirnya seseorang di seberang sana menjawab.
"Pak, kirim Rasti," ucap Abimanyu dan langsung dia akhiri sesi telepon saat sosok Dewantara keluar bersama Senja.
Dadanya bergemuruh dengan jantung bertalu-talu seperti genderang perang. Ada amarah yang dia simpan dengan apik di dalam sana.
Dengan gesit Abimanyu menghampiri sejoli yang sedang asyik mengobrol.
"Ayo pulang!" seru Abimanyu menarik tangan Senja.
Dewantara merasa tak terima, dia mencekal lengan Abimanyu. Dua pria itu saling menatap tajam menyalurkan rasa benci dari sorot mata mereka.
"Jangan kurang ajar! Kamu tidak berhak bersikap seperti itu pada Senja!" gertak Dewantara yang dihadiahi senyuman sinis dari Abimanyu.
Bodyguard itu melepas cekalan Dewantara kasar, tapi dia tetap memegang tangan Senja.
"Untuk saat ini, kamu tidak ada artinya. Karena, maut bisa saja datang dari orang terdekat," ujar Abimanyu, tenang.
Kemarahan begitu jelas dari wajah Dewantara, bertambah lagi saat Senja hanya berdiam diri.
"Senja, apa pria seperti dia yang akan menjagamu?" tanya Dewantara berkacak pinggang, menatap remeh Abimanyu.
Senja hanya mampu menunduk lemah. Bahkan dia tidak bisa meminta untuk sebuah pilihan. Karena, hanya Abimanyu yang saat ini bisa dijadikan tempat tumpuan. Nyawanya sedang dalam incaran.
"Maaf," lirih Senja.
Dewantara menghela napas berat. Lelaki itu sengaja menunggu Senja di kampus karena dia tidak mendapati gadis itu di rumah. Tak lama kemudian, Dewantara menarik Senja ke pelukannya.
Situasi yang ambigu, tubuhnya dipeluk Dewantara, tapi tangannya digenggam Abimanyu begitu erat.
Abimanyu menatap mereka. Dadanya terasa sesak, ada rasa sakit yang bergelayut di hatinya.
"Baiklah, jangan dipikirkan. Aku akan bersabar sampai semuanya selesai, tapi tolong terus kabari aku, ya?" Dewantara mengurai pelukan saat sang gadis menyetujui permintaannya.
Setelah tak ada yang dilakukan lagi, Abimanyu dan Senja pergi, kembali ke tempat penuh kenangan Wijaksana yang terus terbayang.
Selama perjalanan pulang, mereka tak bersuara. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing, membuat suasana di mobil kembali hening. Dekat, tapi asing karena berbeda pendapat.
***
Keringat dingin bercucuran membasahi setiap inci wajah putih itu. Dibalik lampu temaram, ada ketakutan yang menyergap hingga tubuhnya melengking tak menentu arah. Mata terpejam, tapi nyawa terperangkap di dalam dimensi yang tak tahu rimbanya.
Di sana, sesosok pria dengan banyak luka di sekujur tubuh meronta-ronta. Tangannya terulur untuk meraih tubuh Senja yang tak bisa digerakkan.
Wajah itu, seseorang yang sangat dia kenali. Walaupun sudah tak berbentuk karena sayatan di beberapa bagian wajah. Namun, perawakannya sudah dipastikan bahwa itu adalah ayahnya, Wijaksana.
Senja berteriak tapi tak bisa mengeluarkan suara. Dia menangis, tapi tak mengundang air mata.
Sosok di depannya terus meronta, meminta dibebaskan. Hingga setitik cahaya datang dan melebar, menelan tubuh Wijaksana. Hanya teriakan tertahan meminta tolong yang Senja dengar sebelum sosoknya lenyap dan kesadaran kembali padanya.
"Ayah!" jerit Senja, seketika bangun dengan napas tersengal-sengal.
Suara derap langkah cepat menghampiri Senja yang masih dikuasai kekagetan. Pria tampan itu duduk tepat di samping sang gadis yang masih terbaring dengan napas memburu.
"Ada ap ...."
Tubuh Senja membentur dada bidang bodyguard itu. Dia melingkarkan tangan pada pinggang Abimanyu. Tanpa sadar, Senja menangis.
Abimanyu kaget dengan pergerakan Senja yang tiba-tiba, dia membeku. Jantungnya berirama aneh tatkala sang gadis mengeratkan pelukan. Baginya, perempuan adalah sosok asing dalam hidupnya. Terlebih, dia kehilangan seorang ibu di masa-masa sulit. Tidak heran kalau berhadapan dengan lawan jenis, Abimanyu akan kaku dan terkesan dingin.
"Aku takut," lirih Senja, meredam gejolak Abimanyu yang tidak terarah.
Abimanyu masih diam. Dia bingung harus berbuat apa, posisinya tidak benar saat itu, mengingat Senja adalah orang baru.
"Ayah, hiks." Tangisan Senja pecah.
Ada kepiluan yang membelenggu, hingga isakan itu begitu dalam dan menyayat hati. Tanpa sadar tangan Abimanyu terulur mengelus surai hitam milik Senja.
Cukup lama mereka terbuai dalam nuansa haru, hingga dering ponsel terpaksa membuat mereka melepas pelukan.
"Em, aku angkat telepon dulu." Abimanyu berdiri dan berjalan menjauh beberapa meter dari Senja.
Wajah Senja memerah tatkala bayangan perlakuannya tadi. Dia baru sadar akan tindakan yang akan membuatnya malu untuk bertatap muka dengan Abimanyu.
Berbeda dengan Abimanyu yang memasang mimik wajah serius. Dia berbicara pelan dengan seseorang di seberang sana, sesekali melirik Senja yang menatapnya bingung.
Sedetik kemudian, sebelah tangan Abimanyu mengepal kuat. Punggungnya tegak menandakan kekagetan telah menyergap pria itu.
Senja yang sedari tadi mengamati mulai ikut resah, takut jika hal buruk akan terjadi.
Belum selesai Abimanyu bertelepon, tiba-tiba suara derap langkah kaki memecah kesunyian malam. Dengan sigap, Abimanyu berlari dan menarik Senja untuk bangkit. Kini wajah Abimanyu tampak serius.
"Masuklah ke kolong ranjang, jangan sampai ada suara. Ingat! Jangan sampai ada suara!" perintah Abimanyu pelan, tapi tegas.
Hendak menimpali, tubuh senja sudah didorong hingga dia menunduk. Lalu, dengan isyarat menyuruhnya masuk ke kolong ranjang.
Setelah yakin posisi Senja aman, ditariknya selimut menutupi seluruh ranjang hingga menjuntai ke lantai. Abimanyu siap untuk memeriksa tamu tak diundang di tengah malam. Namun, baru saja hendak berdiri, Senja menarik tangannya.
"Hati-hati," gumam Senja yang dijawab anggukan dari Abimanyu.
Dengan sangat hati-hati, Abimanyu keluar dari kamar Senja. Mengedap-endap di balik tembok, berusaha tidak mengeluarkan suara walaupun itu derap langkahnya.
Dengan berbekal pistol di tangan, Abimanyu mulai bergerak secara perlahan. Dia menyusuri setiap ruangan. Dapur dan ruang makan kosong.
Untuk sesaat dia berdiri rileks, menjelajah setiap sudut ruang keluarga, hingga tiba-tiba suara pukulan menghantam punggungnya.
Seketika tubuhnya roboh. Pistol di genggaman terlempar jauh. Dengan cepat Abimanyu membalikkan badan. Walau rasa nyeri menjalar di bagian punggung, tapi dia harus tetap sadar.
Empat pria bertopeng tengah berdiri menjulang di hadapannya yang terlentang. Ada senjata api di genggaman dua orang di antara mereka.
Saat hendak bangkit, tiba-tiba pria bertubuh kekar menendang tepat di bagian perut kiri Abimanyu, kontan membuat si empunya kembali tersungkur.
Abimanyu terbatuk seraya memegangi perutnya. Situasi itu dimanfaatkan pria bertubuh kekar untuk kembali menyerang. Namun, sayangnya Abimanyu sukses menghindar dengan berguling ke sisi kanan.
Dengan cepat Abimanyu berdiri, merenggangkan otot-otot yang sebelumnya kaku.
Kini dua orang tengah berhadapan. Mereka berdua saling menatap tajam, aura permusuhan begitu kentara, hingga tercipta hasrat ingin menghabisi.
Lalu, perkelahian dimulai. Pria bertubuh kekar menyerang dengan menendang perut, sayangnya Abimanyu menangkis dengan tangan kanan.
Mereka saling menyerang dan membalas. Suara benda berjatuhan berbaur dengan suara hantaman setiap bagian tubuh menjadi melodi di tengah kesunyian malam.
Tiga pria di belakangnya hanya mampu menjadi penonton. Mereka akan bergerak jika ada perintah dari pria yang tengah beradu kekuatan itu.
Perkelahian begitu memanas saat tubuh sudah penuh dengan memar. Mereka belum ada yang kalah atau menyerah, hingga satu jeda membuat dua orang itu terdiam saling berhadapan.
Pria kekar pertopeng mengeluarkan darah dari mulutnya dengan beberapa lebam di tangan. Sedangkan Abimanyu, wajah tampan itu dihiasi memar di rahang dan jidat. Jangan lupakan hidungnya yang berdarah.
"Apa maumu?" tanya Abimanyu di tengah perkelahian yang membuat keduanya diam sejenak.
Pria kekar menyeringai seraya mengeluarkan pistol dari balik baju hitamnya.
"Bukan urusanmu!" serunya dengan menarik pelatuk, hingga suara tembakan jelas terdengar.
Satu peluru menyerempet tangan kiri Abimanyu, membuatnya jatuh berlutut. Dia kalah cepat menghindar dari tembakan itu.
Pria bertubuh kekar mendekati Abimanyu. Pistolnya diarahkan tepat di depan kepala Abimanyu.
"Kamu terlalu muda untuk menjadi seorang pelindung," ujarnya seraya bersiap menarik pelatuk.
Belum juga melepas tembakan, Abimanyu terlebih dahulu memukul lengan pria bertopeng, pistol jatuh seketika. Dengan gerak cepat Abimanyu mengambil pistol dan berdiri seraya menodongkan kepada pria kekar bertopeng.
"Sayangnya, kamu tidak kalah cepat dariku," pungkas Abimanyu hendak menembak, tapi diurungkan tatkala salah satu di antara tiga orang komplotan mengarahkan pistol ke arahnya juga.
Kini situasi sangat merugikan, hingga sebuah strategi terlintas di benak. Tangan kiri Abimanyu menarik baju tanpa kerah pria bertubuh kekar dan menembaki tiga orang di belakangnya. Dua orang tepat sasaran, tapi satu orang berhasil menghindar.
Pria bertubuh kekar hendak melawan, tapi pergerakan Abimanyu lebih cepat. Abimanyu lebih dulu menembak kaki kanannya.
Merasa terpojok, pria kekar mendorong tubuh Abimanyu hingga terjerembap. Situasi yang menguntungkan untuk pria bertopeng dengan satu orang yang selamat untuk kabur.
Abimanyu hendak mengejar, tapi diurungkan mengingat Senja yang masih bersembunyi di bawah ranjang.
Abimanyu membiarkan mereka pergi, karena dia punya satu petunjuk sebelum bajingan itu lari tunggang langgang. Tato naga di lengan pria bertopeng dengan tubuh kekar akan menjadi awal pencarian bukti kematian Wijaksana.
***
Untuk ke sekian kali suara desisan keluar dari mulut Abimanyu. Senja menutup mata dengan rapat, tidak mau sampai melihat adegan yang membuatnya ngilu.
Dengan lihai, Abimanyu menjahit bagian lengan kiri yang terkena tembakan. Jangan lupakan lebam dan luka di beberapa bagian.
Senja fobia darah, tidak sedikit pun dia berniat untuk menawarkan bantuan kepada Abimanyu, hingga yang dilakukannya sedari tadi adalah menutup mata dan telinga. Tidak mau mendengar desisan atau suara menahan sakit.
"Kenapa belum juga selesai?" Senja menggerutu, karena cukup lama dia melakukan hal yang konyol menurut Abimanyu.
Melihat kelakuan Senja, pria itu menggelengkan kepala. Setelah urusan dengan P3K selesai, Abimanyu menarik tangan Senja yang bertengger di telinga.
"Sudah selesai. Turunkan tanganmu!"
Senja membuka mata secara perlahan, menyesuaikan dengan cahaya. Karena terlalu lama memejamkan mata, dia merasa pandangannya cukup buram.
Belum juga melihat dengan jelas, getaran gawai Senja mengalihkan perhatiannya.
"Siapa yang telepon tengah malam begini? Dasar gendeng!"
Dengan malas, Senja meraih benda persegi panjang yang tergelak di kursi. Dilihatnya nama sang penelepon. Lalu, sesudah kesal terbitlah senyum bahagia.
"Mas Dewa!" pekiknya kegirangan.
Abimanyu menggelengkan kepala melihat tingkah laku Senja. Baginya, sosok yang tengah meloncat kegirangan itu adalah seorang bocah, tidak lebih.
"Berarti kekasihmu bocah gendeng," ucap Abimanyu seraya berlalu.
Senja mencebik, tak acuh dengan ucapan dari pria yang dijuluki kulkas berjalan.
"Sana pergi!" perintah Senja, tapi tak dihiraukan Abimanyu.Tiga puluh menit sudah Senja menunggu Dewantara. Walaupun tak diharapkan, Abimanyu tetap menemani gadis itu.Semalam, Dewantara meminta untuk bertemu dengan Senja. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Namun, sampai detik ini tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Bahkan telepon Dewantara tidak bisa dihubungi.Kesal dan khawatir merasuki relung hati. Senja memilin ujung baju, menyalurkan perasaan tak nyaman. Terlebih lagi, Abimanyu tidak bisa diajak kompromi. Pria itu bersikukuh untuk ikut.Sebelumnya, Senja mengedap-endap keluar rumah dan menjalankan mobil dengan cepat, tapi ternyata baru 10 menit berselancar di jalanan, Abimanyu sudah ada di belakang mobilnya. Dengan pakaian kasual dan hoodie cokelat, Abimanyu mengikuti ke mana avanza itu melaju.Senja memukul pelan kepalanya, merutuki kebodohan diri. Harusnya dia sadar kalau Abimanyu bukan orang yang mudah dikelabui. Strateginya gagal, ditambah dengan Dewantara yang entah di
Untuk ke sekian kalinya Senja mengubah posisi tidur, berharap kantuk akan datang. Namun, semuanya sia-sia.Diliriknya jam weker yang bertengger manis di nakas, pukul 22.00 WIB. Hampir tengah malam dan dirinya terus memikirkan kejadian tadi siang.Bukannya merasa bersalah, tapi Senja justru dibuat penasaran dan tertantang untuk mengetahui tentang kehidupan bodyguard-nya itu.Seorang pria dengan penampilan menarik seperti Abimanyu mustahil tak ada yang terpikat. Tidak dapat dipungkiri, Senja pun terpesona pada Abimanyu. Hanya saja, dia mencoba menjaga hati dan batasannya. Karena, dia sudah menetapkan hati pada Dewantara seorang.Di tengah imajinasinya yang melambung, suara perut menghempaskannya ke alam sadar. Akhir-akhir ini dia cepat lapar. Tak mau menunggu sampai cacing di perutnya berdemo lebih keras lagi, Senja bergegas pergi ke dapur mencari pelipur lapar.Baru saja ke luar kamar beberapa langkah, dirinya dikejutkan dengan sosok Abimanyu yang tengah duduk di sofa dekat pintu kamar
"Kami mau cek in, satu kamar," ujar Abimanyu pada resepsionis yang mengamati penampilan pria tampan di hadapannya.Sang resepsionis kemudian memberikan kunci kamar pada Abimanyu seraya tersenyum ramah, tapi sayangnya Abimanyu tak menghiraukan itu. Dengan cepat, Abimanyu menghampiri Senja yang sedang berdiri tak jauh darinya."Ayo!" ajak Abimanyu menarik tangan Senja.Gadis itu pasrah mengikuti langkah Abimanyu. Biasanya, dia anti jika harus bersentuhan dengan pria itu. Kejadian hari ini cukup membuatnya lupa akan batasan yang dibuatnya sendiri.Tidak lama kemudian, mereka sampai di kamar yang dituju. Senja membisu tatkala Abimanyu menyuruhnya masuk, tapi saat tahu pria itu mengunci pintu dari dalam di ruangan yang sama, membuat Senja tersadar dengan keadaan."Eh, kamu ngapain di sini?" tanya Senja, panik.Pria dingin itu hanya menatapnya datar. Bukannya menjawab, dia malah masuk ke kamar mandi."Hei, kulkas berjalan! Kamu dengar tidak?!" Kini kesadaran Senja kembali, berteriak tak ter
Senja menatap kagum rumah yang ada di hadapannya. Setelah tiga puluh menit berada di jalanan yang macet, akhirnya lelah itu terbayar lunas tatkala disuguhi pemandangan yang memanjakan mata.Rumah minimalis bercat biru muda dengan halaman yang penuh dengan aneka bunga. Di ujung dekat jendela kamar sebelah kiri, ada sebuah pohon mangga yang baru berbunga.Senja menelan ludah, pastinya segar kalau memakan buah di teriknya matahari."Ayo masuk!" ajak Abimanyu seraya memutar kenop pintu.Kini pupil mata Senja kembali membesar melihat isi rumah itu. Benda-benda bernuansa cokelat berbaur dengan cat putih, terkesan elegan dan rapi. Tidak terlalu banyak perabotan di sini, tapi cukup menarik perhatian bagi seseorang yang bertamu."Ini rumah siapa?" tanya Senja seraya mengamati setiap sudut ruang tamu.Abimanyu menarik dua koper, dia masuk ke salah satu kamar lalu kembali mendekati Senja yang masih terkagum-kagum dengan tempat tinggalnya."Ini rumahku." Abimanyu kembali membawa tas ransel milikn
Perempuan berbaju biru laut dan bando yang mempercantik penampilannya menatap bingung pada Senja."Kenapa?" tanyanya memegang pundak Senja."Ka-kamu ....""Oh, aku Marisa. Teman sekelasmu," potong perempuan bernama Marisa seraya mengulurkan tangan.Senja kembali diserang kekagetan. Belum juga terjawab pertanyaan yang sebelumnya datang, kini pertanyaan baru muncul."Sekelas?" tanya Senja, polos.Marisa yang melihat raut wajah Senja langsung tertawa. Baginya, anak baru di depannya begitu lucu."Iya, kita sekelas. Oke, aku paham. Kamu masih baru, jadi belum mengenali teman sekelas. So, mau berteman denganku?" tanya Marisa kembali mengulurkan tangan yang sempat tak tersambut.Ragu, Senja menyambut uluran tangan Marisa. Segala pertanyaan yang muncul dia simpan sejenak, untuk sekarang mendapat teman sekelas memang hal yang penting. Apalagi Marisa adalah perempuan yang dia cari, mudah mengorek informasi darinya tentang hubungan Marisa dan Abimanyu."Hai Marisa. Salam kenal juga," ujar Sen
Abimanyu mencoba menghubungi nomor yang memberikan pesan singkat itu, tapi tak terhubung juga. Dia benar-benar bingung dan kalut. Bersamaan dengan itu, Rasti telepon."Halo, untung kamu telepon, Ras. Aku butuh bantuanmu!" seru Abimanyu to the point.Suara di seberang sana mengerti jika Abimanyu tengah kesusahan. Tanpa menimpali seruan Abimanyu, Rasti bergegas menemui Abimanyu.Sebelum Rasti sampai, Abimanyu mencoba menghubungi Senja. Ponselnya aktif, tapi tak ada jawaban dari si empunya. Sungguh Abimanyu sangat menyesali perbuatan sebelumnya, dia kurang sabar menghadapi Senja yang terlalu polos. Harusnya dia mengerti jika gadis itu punya tabiat berbeda dari perempuan lain. Angannya kembali pada ingatan masa lampau. Lima belas tahun yang lalu, dia menghadiri pemakaman rekan ayahnya. Seorang hakim yang tengah berkabung dengan anak kecil berusia lima tahun begitu terpukul dan menangis di pusaran dengan nisan tertulis 'Ayudia Armandini'.Semua pelayat sudah pulang, tersisa ayahnya dan di
Senja masih memasang muka masam. Dia tidak berniat membuka percakapan dengan pria yang tengah mengendarai mobil avanza hitam.Kejadian di kantor Dewantara membuatnya kesal dan malu. Apalagi, orang kantor mengetahui jika dirinya adalah kekasih pemilik kantor itu. Mungkin, sekarang sudah tersebar gosip tentang dirinya dan Abimanyu.“Oke, aku minta maaf. Aku hanya khawatir,” ucap Abimanyu mencoba membujuk Senja.Bukannya menimpali, gadis itu malah membuang muka. Dia enggan menatap wajah tampan tapi menyebalkan milik Abimanyu. Mungkin mendiamkannya bisa menjadi hukuman paling baik, dari itulah Senja sengaja mogok bicara.Abimanyu beberapa kali menoleh, melihat raut wajah Senja yang ditekuk. Ternyata Senja benar-benar marah, itu yang ada dalam pikirannya.Karena tak ada respons dari Senja, akhirnya Abimanyu menyerah juga. Baginya, usahanya sudah cukup dan dia tinggal menunggu emosi Senja reda.Senja yang tak mendengar lagi suara Abimanyu menoleh sekilas, ternyata pria tampan itu tengah fok
Suara dentingan alat-alat makan menjadi melodi yang mengiringi sarapan di meja kotak berukuran sedang. Dua insan tengah menikmati hidangan dalam diam.Senja sesekali melirik Abimanyu yang khusyuk menyantap makanan, padahal dirinya masih malu tentang kejadian di pagi buta. Sesekali menggelengkan kepala, mencoba mengusir bayang-bayang Abimanyu yang sedang tertawa lepas kala itu, tapi ternyata pesona pria itu terlalu kuat untuk dimusnahkan.Sikap Abimanyu kembali dingin, seperti sedia kala. Tak ada tawa atau wajah ramah dari bodyguard itu. Padahal, sebenarnya Abimanyu sedang memikirkan perkataan dua pria yang menjadi targetnya semalam. Dia yakin, ada orang yang sengaja menyuruh mereka. Mengingat perkataan pria bertato tentang seseorang yang dipanggil big boss.Suara ketukan pintu menginterupsi keduanya, kontan mereka saling pandang. Seolah memberikan pertanyaan yang sama lewat tatapan mata.“Biar aku yang buka,” ucap Senja, memutus pandangan.Ada yang tidak beres dengan jantungnya, mengh
Aroma melati menguar di ruangan dengan lampu temaram, membuat suasana indah bertabur harapan dan doa.Di atas ranjang yang penuh bunga, dua orang tengah melepas rasa cinta dengan ikatan halal yang sudah diikrarkan.Tak ada ucapan yang keluar sebagai bentuk ungkapan rasa, hanya tatapan dan sentuhan sebagai perwakilan cinta. Mereka sudah membuka lembaran baru kehidupan.“Bi.” Senja membenarkan posisi tidurnya, dia bersandar di dada bidang Abimanyu.“Hmm, apa Sayang?” Pria itu membiarkan gadis yang sudah sah menjadi istrinya agar bisa leluasa untuk berbaring di sampingnya dengan nyaman.“Kenapa kamu selalu dingin padaku dulu?” tanya Senja penasaran.Abimanyu diam sejenak, dia lalu mengelus surai hitam milik Senja. “Aku memang seperti itu, Sayang. Mungkin karena profesiku yang selalu dalam bahaya, membentukku menjadi pria dingin. Tapi, nyatanya tidak seperti yang kamu kira, ‘kan?”Senja cengengesan, baru sadar akan kepribadian Abimanyu yang sesungguhnya. Peribahasa ‘Jangan menilai orang d
Abimanyu mengernyit, silau dengan cahaya yang terlalu terang. Dengan perlahan, dia mulai membuka mata menyesuaikan dengan cahaya di ruangan itu.Ruangan serba putih dengan bau obat yang menyengat, pria itu sudah bisa menebak keberadaannya saat ini. Dia menggerakkan tangan, tapi ada sesuatu yang menahannya.Dengan kepala yang berdenyut, Abimanyu mencoba melihat ke sisi kanan. Seulas senyum terbit di bibir pucatnya, pelan dia mengusap surai hitam milik perempuan yang tengah terlelap seraya menggenggam tangannya.“Senja,” gumam Abimanyu dengan suara parau, sukses membuat orang yang dimaksud terbangun.Dengan pelan Senja mengucek mata, lalu dia membeku seraya menatap Abimanyu tak percaya, sedetik kemudian Senja berhambur ke pelukan Abimanyu.“Alhamdulillah, syukurlah. Akhirnya kamu sadar juga, Bi,” lirih Senja membuat tubuh Abimanyu yang lemah langsung menegang.Cukup lama Senja memeluk Abimanyu yang tak merespons. Khawatir, akhirnya gadis itu melihat keadaan Abimanyu.“Kamu kenapa?” tany
Rasti kebingungan mencari Senja di ruang tunggu operasi. Lampu di atas pintunya sudah mati, itu berarti operasi telah usia. Dia mendesah panjang, obrolannya dengan Deni terlalu lama sampai dia lupa ada orang yang perlu diperhatikan.Dengan cepat Rasti bertanya ke salah satu perawat tentang keberadaan Abimanyu. Setelah nomor dan nama ruangan didapatkan, Rasti segera meluncur ke tempat tujuan.Ruang anggrek nomor 17, dari kaca ruangan, dia melihat Senja duduk di depan Abimanyu yang terbujur lemah di brankar rumah sakit.Rasti segera masuk, dia menyerahkan bungkusan makanan untuk Senja. Rasti tetap memaksa gadis itu untuk makan.“Kalau kamu tidak makan, aku yang akan kena omel Abimanyu. Makanlah!” titah Rasti tak terbantahkan.Akhirnya, Senja mau menyantap makanan yang dia sediakan. Walaupun terlihat tak berselera, tapi Senja tidak mau menyusahkan Rasti.Setelah acara makan malam selesai, Rasti dan Senja sama-sama duduk di depan Abimanyu. Mereka berdua saling berhadapan.“Mbak, terima ka
“Oh, perempuan berambut sebahu yang berpakaian tomboi itu?” tanya Marisa, membuat perasaan Senja tak karuan.“Kamu kenal dia?” tanya Dewantara, dia berdiri menjulang di samping Marisa.Perempuan itu mengedikkan bahu, dia lalu mengajak Dewantara untuk duduk kembali.“Ya, dia temanku. Tapi, sayangnya dia juga tak mendukungku untuk berhubungan dengan Abimanyu. Menyebalkan. Ah, sudahlah. Selesaikan urusanmu dengan dua orang itu. Aku muak melihat mereka!” Marisa menatap Senja dengan benci, orang yang dia ajak berteman malah jadi musuh dalam waktu singkat.Dewantara bangkit dan kembali berhadapan dengan Abimanyu. Dia mulai kesal karena pria itu mengulur waktunya.“Abimanyu, cepat katakan di mana dokumen itu? Semua akan selesai dengan baik,” ujar Dewanta berusaha bernegosiasi.Abimanyu tersenyum miring, lalu tanpa diduga dia meludahi wajah Dewantara. Membuat pria itu menggeram kesal.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Teruslah berusaha dan sampai mati pun aku tidak akan memberitahu di mana dokumen
Dia duduk di depan Senja dan Abimanyu yang sudah berpindah posisi. Rambut klimis dengan setelan jas hitam menambah kesan elegan, tidak lupa sepatu yang mengkilap dia letakkan di meja yang menjadi batas dengan dua tawanannya.“Apa kalian masih kaget dengan kedatanganku? Atau tak menyangka jika semua adalah ulahku?” tanya tuan muda pada Senja dan juga Abimanyu.Abimanyu tak bersuara, dia sedang memandang sosok di depannya dengan analisa yang terus berputar di benak.“Jadi, itu alasanmu bersikukuh ingin menikah dengan Senja, Dewantara?” tanya Abimanyu membuat Senja kembali bercucuran air mata.Senja tak mampu bersuara, walaupun mulutnya tak lagi dibekap, tapi fakta yang baru dia ketahui membuat dirinya sakit hingga tak ada kalimat yang mampu menjabarkannya.Pria yang menjalin hubungan dan melamarnya berkali-kali, ternyata bajingan berkedok malaikat.“Hemm, memang seperti itu,” jawab Dewantara, seraya memainkan sebuah kubik di tangannya.“Ah, aku kesal jika mengingat penolakanmu. Padahal,
Abimanyu terus menghubungi Rasti, ponselnya aktif, tapi tak ada jawaban dari seberang sana.Abimanyu harus memfokuskan hati, pikiran dan panca indranya pada jalanan dan titik biru di layar pipih sebagai petunjuk jalan.Dirinya benar-benar khawatir dan menyesal akan kelalaiannya. Harusnya dia langsung pulang dan tetap ada di dekat Senja. Untunglah, ponsel Senja masih bisa dilacak, jadi dia akan mengikuti jejak yang ada di ponsel Senja.“Kamu di mana, Senja?” gumam Abimanyu, hatinya sungguh dikabuti dengan kecemasan.Kini mobil sedan yang dia tumpangi masuk ke sebuah bangunan bekas pabrik gula yang sudah lama terbengkalai.Dengan sangat hati-hati, dia memarkirkan mobil di ujung bangunan. Sebelum keluar, dia mempersiapkan peralatan yang sekiranya diperlukan. Pistol yang sudah terisi penuh peluru juga belati yang dia selipkan dibalik ikat pinggang.Dengan keyakinan kuat dan tekad bulat, Abimanyu keluar dari mobil dan memasuki sarang penyamun seorang diri. Namun, sebelumnya dia kirim lokas
Senja mengerjapkan mata, rasa kantuk masih menguasai, tapi perutnya tidak bisa berkompromi. Diliriknya jam weker yang ada di nakas dekat ranjang, baru pukul 02.00 WIB. Perutnya kembali berbunyi mendemokan meminta diisi. Makan malam tadi, dia hanya menyantap beberapa suap.Dengan gontai, Senja turun dari ranjang dan melangkah menuju dapur. Namun, baru saja beberapa langkah, Senja dikejutkan dengan kehadiran perempuan lain di rumah Abimanyu.“Kamu siapa?!” Senja bertanya dengan suara setengah berteriak, perempuan yang dimaksud menoleh, lalu dia tersenyum simpul.“Hai, Senja,” sapanya, polos. Dia tampak terkejut karena Senja bangun dini hari.“Kamu siapa?!” Kini Senja mulai takut dan curiga.Perempuan yang tidak lain Rasti mulai berbicara pelan-pelan, dia menjelaskan bahwa dirinya adalah partner Abimanyu yang diutus untuk menjaga Senja sementara. Awalnya, Senja tak percaya. Namun, saat Rasti memperlihatkan riwayat chatnya dengan Abimanyu, barulah Senja melunak.“Memang ke mana dia?” tan
Dewantara tersenyum senang, dia tidak menyangka Senja menghubunginya dan meminta untuk bertemu. Biasanya, Senja sulit untuk sekedar ditemui, karena ada Abimanyu. “Ayo, Sayang!” seru Dewantara, dia menarik kursi untuk kekasihnya.Senja yang agak sungkan pun dengan canggung akhirnya duduk juga. Padahal, bukan kali ini saja pria itu bersikap romantis, tapi sekarang ada rasa tak nyaman yang hinggap di relung hatinya. Setelah memesan makanan, akhirnya Senja membuka percakapan.“Mas, em ... apa lamaran Mas tempo hari masih berlaku?” tanya Senja langsung pada inti masalah.Tubuh Dewantara menegak, dia seperti mendapat sebuah lotre setelah sekian lama mencoba keberuntungan.“Tentu saja, Sayang. Bahkan, aku akan tetap memperjuangkanmu jika kamu masih menolak,” jawab Dewantara serius.“Kenapa?” Senja butuh kepastian dan meyakinkan hatinya.“Karena aku mencintaimu, tak rela jika kamu harus jatuh ke tangan orang lain. Apalagi, kamu sekarang sendiri, aku semakin khawatir.” Dewantara menggenggam e
Abimanyu melirik Senja yang terdiam menatap jalanan. Ada yang aneh pada gadis itu.Sore tadi, saat dirinya menjemput Senja, dia dikagetkan dengan matanya yang sembab. Jangan lupakan juga keterlambatan Senja dari jam yang sudah dijanjikan untuk dijemput.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Abimanyu, khawatir.Senja menoleh, dia menatap Abimanyu. Lalu, bayangan tentang Abimanyu dan Marisa yang sedang berpelukan, membuat Senja memalingkan wajah. Dia tak kuasa menatap Abimanyu.“Aku baik-baik saja,” jawab Senja. Menatap jalanan lebih baik untuknya.Abimanyu semakin bingung. Senja berlaku tidak seperti biasanya. Gadis itu tidak mengomel atau berceloteh tentang kegiatannya di kampus, seperti biasanya. Namun, Abimanyu tidak mau menanyakan lebih jauh. Dalam benaknya, Abimanyu menjaga perasaan Senja. Mungkin saja gadis itu tengah dirundung masalah pribadi.Tidak ada pembicaraan lagi hingga mobil memasuki pelataran rumah. Setelah mobil terparkir rapi, Senja bergegas keluar mobil dan masuk ke rumah. Dia