Share

Bab 3 Mimpi Buruk

Keheningan menyertai perjalanan Senja dan Abimanyu menuju kampus tempat sang gadis menuntut ilmu.

Hari ini, Senja akan mengurus perpindahan kuliahnya. Semua itu atas perintah bodyguard yang seenak hati mengambil keputusan.

Bagi Abimanyu, dia tak ambil pusing dengan sikap Senja. Entah kesal atau benci sekalipun, semua tidak berarti baginya. Karena untuk saat ini, keselamatan Senja lebih utama.

Tak ada musik sebagai pencair suasa, hanya deru mesin berbaur dengan dinginnya AC membuat suasa semakin membeku. Mereka menjelajah dengan segala macam pemikiran yang terus menari-nari tanpa tahu ujung rimbanya.

Beberapa kali berhenti karena rambu lalu lintas berwarna merah, juga macet yang tak terhindarkan. Ibu kota memang berbeda, tidak ada waktu longgar di jalanan. Semua sibuk dan padat tanpa istirahat.

Suara dering ponsel memecah kesunyian. Seseorang yang sangat penting meneleponnya di saat yang tidak tepat.

Abimanyu berdehem sebelum menjawab panggilan itu. Debar jantung tak menentu mengiringi dan menghadirkan cairan dingin dari pori-pori kulit.

"Halo."

Senja menatap Abimanyu, air muka pria itu seketika berubah. Kilatan amarah terlihat jelas di matanya. Sebelah tangan yang memegang kemudi semakin erat hingga urat-uratnya tampak jelas.

Rasa cemas hadir di sanubari Senja, takut hal yang tak diinginkan tengah atau akan terjadi. Karena, untuk saat ini hanya Abimanyu yang bisa diharapkan sebagai tempat berlindung.

Tidak lama Abimanyu kembali menutup panggilan. Kini wajahnya sedikit rileks, saraf-saraf di kepalanya sudah cukup mengendur.

"Kenapa?" tanya senja tiba-tiba dan langsung disambut oleh tatapan lembut dari Abimanyu. Namun, hanya per sekian detik, wajah dinginnya kembali lagi.

"Tidak ada," jawab Abimanyu memalingkan muka.

Mobil mulai melaju dengan leluasa di jalanan yang sudah terurai kemacetan.

Senja masih menatap Abimanyu tak percaya. Begitu banyak pertanyaan yang bersarang di benak, tentang kehidupannya pasca kematian Wijaksana. Dia merasa, sedang menjadi pion di permainan yang sedang sang pembunuh rencanakan.

Tidak lama kemudian mobil hitam itu masuk ke pelataran kampus. Masih terlalu pagi untuk mengurus surat perpindahan, karena area parkir baru saja dihuni beberapa kendaraan.

Abimanyu sengaja mengajak bicara Senja sebelum turun dari mobil yang sudah terparkir rapi.

Untuk pertama kalinya Abimanyu menatap lekat wajah sang gadis, mencoba serius dengan pembicaraan yang akan dimulai.

"Dengar, jika ada yang bertanya tentangku, katakan saja aku calon suamimu," ujar Abimanyu, langsung mendapat pelototan dari Senja.

"Dih, dasar aneh! Katanya aku bukan tipe perempuan ideal. Sekarang malah mengaku-ngaku calon suami," cibir Senja, tapi tak dihiraukan Abimanyu.

Abimanyu kini menatap Senja serius, irisan renita hazel itu menandakan bahwa ucapannya tidak main-main.

Dengan susah payah Senja menelan ludah, nyali menciut yang diiringi debaran jantung menjadi irama pengusik ketenangan. Dia gugup dan takut.

"Ini demi keselamatanmu!" seru Abimanyu tegas.

Senja hanya mengangguk, dia tidak mau pria berjulukan kulkas itu berubah menjadi tabung gas yang siap meledak.

Setelah acara negosiasi selesai, Senja melenggang pergi ke ruangan BAK untuk mengurusi dokumen perpindahan. Walaupun masih pagi, dia yakini ada petugas yang sudah datang.

Sembari menunggu Senja, Abimanyu menelepon seseorang. Dia masih penasaran dengan ucapan orang yang menghubunginya barusan.

Pada panggilan kedua, akhirnya seseorang di seberang sana menjawab.

"Pak, kirim Rasti," ucap Abimanyu dan langsung dia akhiri sesi telepon saat sosok Dewantara keluar bersama Senja.

Dadanya bergemuruh dengan jantung bertalu-talu seperti genderang perang. Ada amarah yang dia simpan dengan apik di dalam sana.

Dengan gesit Abimanyu menghampiri sejoli yang sedang asyik mengobrol.

"Ayo pulang!" seru Abimanyu menarik tangan Senja.

Dewantara merasa tak terima, dia mencekal lengan Abimanyu. Dua pria itu saling menatap tajam menyalurkan rasa benci dari sorot mata mereka.

"Jangan kurang ajar! Kamu tidak berhak bersikap seperti itu pada Senja!" gertak Dewantara yang dihadiahi senyuman sinis dari Abimanyu.

Bodyguard itu melepas cekalan Dewantara kasar, tapi dia tetap memegang tangan Senja.

"Untuk saat ini, kamu tidak ada artinya. Karena, maut bisa saja datang dari orang terdekat," ujar Abimanyu, tenang.

Kemarahan begitu jelas dari wajah Dewantara, bertambah lagi saat Senja hanya berdiam diri.

"Senja, apa pria seperti dia yang akan menjagamu?" tanya Dewantara berkacak pinggang, menatap remeh Abimanyu.

Senja hanya mampu menunduk lemah. Bahkan dia tidak bisa meminta untuk sebuah pilihan. Karena, hanya Abimanyu yang saat ini bisa dijadikan tempat tumpuan. Nyawanya sedang dalam incaran.

"Maaf," lirih Senja.

Dewantara menghela napas berat. Lelaki itu sengaja menunggu Senja di kampus karena dia tidak mendapati gadis itu di rumah. Tak lama kemudian, Dewantara menarik Senja ke pelukannya.

Situasi yang ambigu, tubuhnya dipeluk Dewantara, tapi tangannya digenggam Abimanyu begitu erat.

Abimanyu menatap mereka. Dadanya terasa sesak, ada rasa sakit yang bergelayut di hatinya.

"Baiklah, jangan dipikirkan. Aku akan bersabar sampai semuanya selesai, tapi tolong terus kabari aku, ya?" Dewantara mengurai pelukan saat sang gadis menyetujui permintaannya.

Setelah tak ada yang dilakukan lagi, Abimanyu dan Senja pergi, kembali ke tempat penuh kenangan Wijaksana yang terus terbayang.

Selama perjalanan pulang, mereka tak bersuara. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing, membuat suasana di mobil kembali hening. Dekat, tapi asing karena berbeda pendapat.

***

Keringat dingin bercucuran membasahi setiap inci wajah putih itu. Dibalik lampu temaram, ada ketakutan yang menyergap hingga tubuhnya melengking tak menentu arah. Mata terpejam, tapi nyawa terperangkap di dalam dimensi yang tak tahu rimbanya.

Di sana, sesosok pria dengan banyak luka di sekujur tubuh meronta-ronta. Tangannya terulur untuk meraih tubuh Senja yang tak bisa digerakkan.

Wajah itu, seseorang yang sangat dia kenali. Walaupun sudah tak berbentuk karena sayatan di beberapa bagian wajah. Namun, perawakannya sudah dipastikan bahwa itu adalah ayahnya, Wijaksana.

Senja berteriak tapi tak bisa mengeluarkan suara. Dia menangis, tapi tak mengundang air mata.

Sosok di depannya terus meronta, meminta dibebaskan. Hingga setitik cahaya datang dan melebar, menelan tubuh Wijaksana. Hanya teriakan tertahan meminta tolong yang Senja dengar sebelum sosoknya lenyap dan kesadaran kembali padanya.

"Ayah!" jerit Senja, seketika bangun dengan napas tersengal-sengal.

Suara derap langkah cepat menghampiri Senja yang masih dikuasai kekagetan. Pria tampan itu duduk tepat di samping sang gadis yang masih terbaring dengan napas memburu.

"Ada ap ...."

Tubuh Senja membentur dada bidang bodyguard itu. Dia melingkarkan tangan pada pinggang Abimanyu. Tanpa sadar, Senja menangis.

Abimanyu kaget dengan pergerakan Senja yang tiba-tiba, dia membeku. Jantungnya berirama aneh tatkala sang gadis mengeratkan pelukan. Baginya, perempuan adalah sosok asing dalam hidupnya. Terlebih, dia kehilangan seorang ibu di masa-masa sulit. Tidak heran kalau berhadapan dengan lawan jenis, Abimanyu akan kaku dan terkesan dingin.

"Aku takut," lirih Senja, meredam gejolak Abimanyu yang tidak terarah.

Abimanyu masih diam. Dia bingung harus berbuat apa, posisinya tidak benar saat itu, mengingat Senja adalah orang baru.

"Ayah, hiks." Tangisan Senja pecah.

Ada kepiluan yang membelenggu, hingga isakan itu begitu dalam dan menyayat hati. Tanpa sadar tangan Abimanyu terulur mengelus surai hitam milik Senja.

Cukup lama mereka terbuai dalam nuansa haru, hingga dering ponsel terpaksa membuat mereka melepas pelukan.

"Em, aku angkat telepon dulu." Abimanyu berdiri dan berjalan menjauh beberapa meter dari Senja.

Wajah Senja memerah tatkala bayangan perlakuannya tadi. Dia baru sadar akan tindakan yang akan membuatnya malu untuk bertatap muka dengan Abimanyu.

Berbeda dengan Abimanyu yang memasang mimik wajah serius. Dia berbicara pelan dengan seseorang di seberang sana, sesekali melirik Senja yang menatapnya bingung.

Sedetik kemudian, sebelah tangan Abimanyu mengepal kuat. Punggungnya tegak menandakan kekagetan telah menyergap pria itu.

Senja yang sedari tadi mengamati mulai ikut resah, takut jika hal buruk akan terjadi.

Belum selesai Abimanyu bertelepon, tiba-tiba suara derap langkah kaki memecah kesunyian malam. Dengan sigap, Abimanyu berlari dan menarik Senja untuk bangkit. Kini wajah Abimanyu tampak serius.

"Masuklah ke kolong ranjang, jangan sampai ada suara. Ingat! Jangan sampai ada suara!" perintah Abimanyu pelan, tapi tegas.

Hendak menimpali, tubuh senja sudah didorong hingga dia menunduk. Lalu, dengan isyarat menyuruhnya masuk ke kolong ranjang.

Setelah yakin posisi Senja aman, ditariknya selimut menutupi seluruh ranjang hingga menjuntai ke lantai. Abimanyu siap untuk memeriksa tamu tak diundang di tengah malam. Namun, baru saja hendak berdiri, Senja menarik tangannya.

"Hati-hati," gumam Senja yang dijawab anggukan dari Abimanyu.

Dengan sangat hati-hati, Abimanyu keluar dari kamar Senja. Mengedap-endap di balik tembok, berusaha tidak mengeluarkan suara walaupun itu derap langkahnya.

Dengan berbekal pistol di tangan, Abimanyu mulai bergerak secara perlahan. Dia menyusuri setiap ruangan. Dapur dan ruang makan kosong.

Untuk sesaat dia berdiri rileks, menjelajah setiap sudut ruang keluarga, hingga tiba-tiba suara pukulan menghantam punggungnya.

Seketika tubuhnya roboh. Pistol di genggaman terlempar jauh. Dengan cepat Abimanyu membalikkan badan. Walau rasa nyeri menjalar di bagian punggung, tapi dia harus tetap sadar.

Empat pria bertopeng tengah berdiri menjulang di hadapannya yang terlentang. Ada senjata api di genggaman dua orang di antara mereka.

Saat hendak bangkit, tiba-tiba pria bertubuh kekar menendang tepat di bagian perut kiri Abimanyu, kontan membuat si empunya kembali tersungkur.

Abimanyu terbatuk seraya memegangi perutnya. Situasi itu dimanfaatkan pria bertubuh kekar untuk kembali menyerang. Namun, sayangnya Abimanyu sukses menghindar dengan berguling ke sisi kanan.

Dengan cepat Abimanyu berdiri, merenggangkan otot-otot yang sebelumnya kaku.

Kini dua orang tengah berhadapan. Mereka berdua saling menatap tajam, aura permusuhan begitu kentara, hingga tercipta hasrat ingin menghabisi.

Lalu, perkelahian dimulai. Pria bertubuh kekar menyerang dengan menendang perut, sayangnya Abimanyu menangkis dengan tangan kanan.

Mereka saling menyerang dan membalas. Suara benda berjatuhan berbaur dengan suara hantaman setiap bagian tubuh menjadi melodi di tengah kesunyian malam.

Tiga pria di belakangnya hanya mampu menjadi penonton. Mereka akan bergerak jika ada perintah dari pria yang tengah beradu kekuatan itu.

Perkelahian begitu memanas saat tubuh sudah penuh dengan memar. Mereka belum ada yang kalah atau menyerah, hingga satu jeda membuat dua orang itu terdiam saling berhadapan.

Pria kekar pertopeng mengeluarkan darah dari mulutnya dengan beberapa lebam di tangan. Sedangkan Abimanyu, wajah tampan itu dihiasi memar di rahang dan jidat. Jangan lupakan hidungnya yang berdarah.

"Apa maumu?" tanya Abimanyu di tengah perkelahian yang membuat keduanya diam sejenak.

Pria kekar menyeringai seraya mengeluarkan pistol dari balik baju hitamnya.

"Bukan urusanmu!" serunya dengan menarik pelatuk, hingga suara tembakan jelas terdengar.

Satu peluru menyerempet tangan kiri Abimanyu, membuatnya jatuh berlutut. Dia kalah cepat menghindar dari tembakan itu.

Pria bertubuh kekar mendekati Abimanyu. Pistolnya diarahkan tepat di depan kepala Abimanyu.

"Kamu terlalu muda untuk menjadi seorang pelindung," ujarnya seraya bersiap menarik pelatuk.

Belum juga melepas tembakan, Abimanyu terlebih dahulu memukul lengan pria bertopeng, pistol jatuh seketika. Dengan gerak cepat Abimanyu mengambil pistol dan berdiri seraya menodongkan kepada pria kekar bertopeng.

"Sayangnya, kamu tidak kalah cepat dariku," pungkas Abimanyu hendak menembak, tapi diurungkan tatkala salah satu di antara tiga orang komplotan mengarahkan pistol ke arahnya juga.

Kini situasi sangat merugikan, hingga sebuah strategi terlintas di benak. Tangan kiri Abimanyu menarik baju tanpa kerah pria bertubuh kekar dan menembaki tiga orang di belakangnya. Dua orang tepat sasaran, tapi satu orang berhasil menghindar.

Pria bertubuh kekar hendak melawan, tapi pergerakan Abimanyu lebih cepat. Abimanyu lebih dulu menembak kaki kanannya.

Merasa terpojok, pria kekar mendorong tubuh Abimanyu hingga terjerembap. Situasi yang menguntungkan untuk pria bertopeng dengan satu orang yang selamat untuk kabur.

Abimanyu hendak mengejar, tapi diurungkan mengingat Senja yang masih bersembunyi di bawah ranjang.

Abimanyu membiarkan mereka pergi, karena dia punya satu petunjuk sebelum bajingan itu lari tunggang langgang. Tato naga di lengan pria bertopeng dengan tubuh kekar akan menjadi awal pencarian bukti kematian Wijaksana.

***

Untuk ke sekian kali suara desisan keluar dari mulut Abimanyu. Senja menutup mata dengan rapat, tidak mau sampai melihat adegan yang membuatnya ngilu.

Dengan lihai, Abimanyu menjahit bagian lengan kiri yang terkena tembakan. Jangan lupakan lebam dan luka di beberapa bagian.

Senja fobia darah, tidak sedikit pun dia berniat untuk menawarkan bantuan kepada Abimanyu, hingga yang dilakukannya sedari tadi adalah menutup mata dan telinga. Tidak mau mendengar desisan atau suara menahan sakit.

"Kenapa belum juga selesai?" Senja menggerutu, karena cukup lama dia melakukan hal yang konyol menurut Abimanyu.

Melihat kelakuan Senja, pria itu menggelengkan kepala. Setelah urusan dengan P3K selesai, Abimanyu menarik tangan Senja yang bertengger di telinga.

"Sudah selesai. Turunkan tanganmu!"

Senja membuka mata secara perlahan, menyesuaikan dengan cahaya. Karena terlalu lama memejamkan mata, dia merasa pandangannya cukup buram.

Belum juga melihat dengan jelas, getaran gawai Senja mengalihkan perhatiannya.

"Siapa yang telepon tengah malam begini? Dasar gendeng!"

Dengan malas, Senja meraih benda persegi panjang yang tergelak di kursi. Dilihatnya nama sang penelepon. Lalu, sesudah kesal terbitlah senyum bahagia.

"Mas Dewa!" pekiknya kegirangan.

Abimanyu menggelengkan kepala melihat tingkah laku Senja. Baginya, sosok yang tengah meloncat kegirangan itu adalah seorang bocah, tidak lebih.

"Berarti kekasihmu bocah gendeng," ucap Abimanyu seraya berlalu.

Senja mencebik, tak acuh dengan ucapan dari pria yang dijuluki kulkas berjalan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status