Senja menatap kagum rumah yang ada di hadapannya. Setelah tiga puluh menit berada di jalanan yang macet, akhirnya lelah itu terbayar lunas tatkala disuguhi pemandangan yang memanjakan mata.
Rumah minimalis bercat biru muda dengan halaman yang penuh dengan aneka bunga. Di ujung dekat jendela kamar sebelah kiri, ada sebuah pohon mangga yang baru berbunga.
Senja menelan ludah, pastinya segar kalau memakan buah di teriknya matahari.
"Ayo masuk!" ajak Abimanyu seraya memutar kenop pintu.
Kini pupil mata Senja kembali membesar melihat isi rumah itu. Benda-benda bernuansa cokelat berbaur dengan cat putih, terkesan elegan dan rapi. Tidak terlalu banyak perabotan di sini, tapi cukup menarik perhatian bagi seseorang yang bertamu.
"Ini rumah siapa?" tanya Senja seraya mengamati setiap sudut ruang tamu.
Abimanyu menarik dua koper, dia masuk ke salah satu kamar lalu kembali mendekati Senja yang masih terkagum-kagum dengan tempat tinggalnya.
"Ini rumahku." Abimanyu kembali membawa tas ransel miliknya untuk di letakkan di kamar miliknya juga. Kamar Abimanyu bersebelahan dengan kamar yang akan ditempati Senja.
"Oh ... eh! Kamu bilang apa tadi. Ini rumah kamu?!" Raut wajah Senja mengisyaratkan rasa tak percaya.
Abimanyu mengangguk seraya pergi ke arah dapur. Seperti biasa, dia tak acuh dengan tanggapan gadis itu.
"Tidak mungkin! Masa pria kulkas itu bisa menyusun isi rumah dengan apik seperti ini? Pasti ini kerjaan pembantunya." Senja bermonolog, menyanggah setiap kemungkinan.
Abimanyu berjalan mendekati Senja yang tengah menggeleng-gelengkan kepala. Dia menarik sebelah bibirnya, gadis itu memang aneh, pikir Abimanyu.
"Minumlah!" Abimanyu memberikan segelas jus mangga yang langsung diterima Senja dengan mata berbinar.
"Kamu tahu aja aku butuh yang segar-segar," ucap Senja yang dihadiahi dengan gelengan kepala dari Abimanyu, gadis aneh.
Setelah meneguk jus mangga sampai tandas, Abimanyu menyuruh Senja beristirahat. Hari yang cukup melelahkan bagi seseorang yang tengah diincar keselamatannya.
Saat Senja hendak tenggelam dalam kamar, tiba-tiba Abimanyu berucap, membuat gadis itu terpaksa menghentikan langkah.
"Kamu boleh gunakan fasilitas di rumah ini, kecuali memasuki kamarku," ucapnya dingin.
Hendak menanyakan alasan, Abimanyu sudah lebih dulu hilang dibalik pintu kamar di sebelahnya. Senja mencebik, seraya menatap malas pintu kamar Abimayu.
"Dasar kutub utara!" serunya seraya membanting pintu kamar.
***
Sinar mentari sudah hadir menanti setiap insan untuk memulai beraktivitas. Memberikan cahaya semangat untuk memulai hari, tapi berbeda dengan Senja. Dia mengawali hari dengan rasa kesal yang sedari tadi ditahan.
"Kamu enggak ada manis-manisnya kaya produk air mineral. Ngebangunin orang tuh yang elegan dan romantis, bukan dengan cara menciprati air ke wajah!" Senja tersungut-sungut seraya duduk di kursi meja makan.
Seperti biasa, Abimanyu menanggapinya dengan tak acuh. Melihat Senja yang tidak juga bangun saat jam weker terus berbunyi membuatnya jengah, tanpa pikir panjang Abimanyu mengambil air lalu dicipratkan pada muka Senja yang tengah terlelap dengan genangan pulau buatan gadis itu sendiri.
"Aku beri saran agar kamu terbiasa bangun tidur pagi. Jangan sampai Dewantara menyesal menikahimu kelak," saran Abimanyu sembari meletakkan piring berisi nasi goreng yang menggugah selera.
Senja menatap Abimanyu tajam, perkataan pria itu tidak pernah menyenangkan. Dengan malas Senja menyantap sarapannya, walaupun masakan Abimanyu enak, tapi mood-nya kurang baik. Jadilah muka masam yang terus diperlihatkan.
"Habiskan makananmu, aku akan kembali," ucapnya melangkah pergi.
"Kamu pikir dirimu siapa? Baby sitter? Ck."
Mata Senja mengikuti setiap pergerakan Abimanyu. Pria itu memasuki kamar, tapi pintunya tidak ditutup. Penasaran, akhirnya Senja bergegas mengikuti Abimanyu dengan mengendap-endap.
Dari balik pintu kamar yang terbuka, Senja melihat isi kamar Abimanyu yang terlalu monoton. Hanya tempat tidur, meja dengan kursi serta lemari pakaian. Tak ada hiasan dinding, kecuali jam yang menempel dan sebuah foto berukuran besar.
Mata Senja membulat sempurna, di dinding itu, foto gadis cantik dengan rambut sebahu tengah tersenyum dibingkai dengan sangat apik.
Senja terpukau dengan parasnya dan kini sebuah pertanyaan kembali muncul di benak, tentang siapakah foto perempuan itu.
Senja berlari kecil saat mendengar derap langkah kaki Abimanyu mendekat. Rumah minimalis tanpa sekat antar ruangan selain kamar itu membuatnya cepat sampai ke tempatnya semula.
Dengan gesit Senja berpura-pura tengah menikmati makanan. Namun, bukan Abimanyu jika dia tak menaruh curiga akan pergerakan Senja yang aneh.
"Kamu kenapa?" tanya Abimanyu, mengernyitkan dahi.
Senja gelagapan, merasa tertangkap basah. Dengan cepat dia menyanggah.
"Pertanyaan macam apa itu? Aku sedang makan," jawab Senja cepat.
Abimanyu menaikkan sebelah alis, tak percaya dengan jawaban Senja, tapi tak dihiraukannya.
Setelah Abimanyu duduk, mereka berdua menyantap hidangan dalam diam, bergelut dengan pemikiran yang sedari tadi terus menerornya. Pertanyaan paling besar adalah tentang foto perempuan cantik di kamar Abimanyu. Senja akan mencari tahunya, dia tidak mau hidup penasaran.
***
Senja menatap kosong papan tulis yang penuh dengan rumus mata kuliah. Raganya di kelas, tapi angannya melambung tinggi menembus waktu lampau. Dia begitu penasaran dengan foto di kamar Abimanyu, bertambah menyiksa pikiran saat tak ada informasi yang didapat dari Abimanyu.
Pagi tadi sebelum berangkat kuliah, Senja sengaja memancing obrolan tentang kehidupan pribadi bodyguard itu. Namun, ternyata Abimanyu bungkam seribu bahasa. Tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya, yang ada pria itu malah menatap tajam Senja. Sungguh pria misterius.
Tidak lama kemudian, suara bel menariknya kembali ke alam sadar. Mata kuliah telah usai, teman sekelas Senja mulai berhamburan, dengan cepat dia pun meninggalkan kelas.
Baru beberapa langkah keluar kelas, ponselnya bergetar dan tertera nama Dewantara. Semenjak pertengkaran tempo hari, baru kali ini Dewantara meneleponnya lagi. Ragu, Senja menjawab telepon Dewantara.
"Halo, Mas." Pelan Senja berucap, takut yang di seberang sana masih marah.
"Halo, kamu di mana, Sayang?" tanya Dewantara dengan nada penuh kekhawatiran.
Untuk sesaat Senja diam, dia seperti enggan mengatakan keberadaannya.
"Halo, Senja? Kenapa diam? Kamu masih marah sama mas?" Pertanyaan Dewantara yang bertubi-tubi membuat Senja gamang. Dewantara tidak marah lagi, itu yang terlintas di pikirannya.
"Em, enggak, Mas."
Terdengar helaan napas panjang dari seberang, ada beban berat yang Dewantara bawa.
"Sayang, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu tidak menghubungi mas, dan kenapa rumahmu kosong?" tanya Dewantara, khawatir.
Senja menutup mata, kali ini ada perasaan tak terima jika Dewantara tahu di mana dirinya tinggal.
"Sayang?" Dewantara terus mendesak Senja yang sedari tadi terdiam.
"Iya Mas, aku pindah. Ada insiden yang mengharuskan aku meninggalkan rumah untuk sementara waktu," tutur Senja akhirnya jujur juga.
Untuk beberapa saat Dewantara diam, membuat Senja tak enak hati.
"Mas?" tanya senja yang dibalas helaan napas berat dari Dewantara.
"Mas sudah bilang, sebaiknya kita menikah. Dengan begitu kamu akan aman, dan mas akan menyewa detektif ternama untuk mengungkap kasus ayahmu. Tidak perlu menggunakan jasa bodyguard yang tidak punya sopan santun."
Ada rasa tak terima kala Dewantara menghardik Abimanyu. Perasaan aneh yang tiba-tiba muncul, membuat Senja dilema.
"Maaf, Mas." Hanya itu yang keluar dari mulut Senja.
"Sudahlah, mas akan sabar menunggu sampai semua selesai. Sekarang, katakan di mana kamu tinggal?" tanya Dewantara tak sabar.
Senja bimbang, takut Dewantara marah jika mengetahui dirinya tinggal di rumah pria yang dia benci. Saat hendak menjawab pertanyaan Dewantara, tiba-tiba suara perempuan menginterupsinya.
"Hai, kamu Senja, kan?" Suara lembut perempuan dari belakang, membuat Senja memutar badan.
Betapa terkejutnya mendapati perempuan yang ada di hadapannya. Dia adalah sosok perempuan di foto yang ada di kamar Abimanyu.
"Ka-kamu?" Lidah Senja kelu dengan kekagetan yang masih menguasainya.
Perempuan berbaju biru laut dan bando yang mempercantik penampilannya menatap bingung pada Senja."Kenapa?" tanyanya memegang pundak Senja."Ka-kamu ....""Oh, aku Marisa. Teman sekelasmu," potong perempuan bernama Marisa seraya mengulurkan tangan.Senja kembali diserang kekagetan. Belum juga terjawab pertanyaan yang sebelumnya datang, kini pertanyaan baru muncul."Sekelas?" tanya Senja, polos.Marisa yang melihat raut wajah Senja langsung tertawa. Baginya, anak baru di depannya begitu lucu."Iya, kita sekelas. Oke, aku paham. Kamu masih baru, jadi belum mengenali teman sekelas. So, mau berteman denganku?" tanya Marisa kembali mengulurkan tangan yang sempat tak tersambut.Ragu, Senja menyambut uluran tangan Marisa. Segala pertanyaan yang muncul dia simpan sejenak, untuk sekarang mendapat teman sekelas memang hal yang penting. Apalagi Marisa adalah perempuan yang dia cari, mudah mengorek informasi darinya tentang hubungan Marisa dan Abimanyu."Hai Marisa. Salam kenal juga," ujar Sen
Abimanyu mencoba menghubungi nomor yang memberikan pesan singkat itu, tapi tak terhubung juga. Dia benar-benar bingung dan kalut. Bersamaan dengan itu, Rasti telepon."Halo, untung kamu telepon, Ras. Aku butuh bantuanmu!" seru Abimanyu to the point.Suara di seberang sana mengerti jika Abimanyu tengah kesusahan. Tanpa menimpali seruan Abimanyu, Rasti bergegas menemui Abimanyu.Sebelum Rasti sampai, Abimanyu mencoba menghubungi Senja. Ponselnya aktif, tapi tak ada jawaban dari si empunya. Sungguh Abimanyu sangat menyesali perbuatan sebelumnya, dia kurang sabar menghadapi Senja yang terlalu polos. Harusnya dia mengerti jika gadis itu punya tabiat berbeda dari perempuan lain. Angannya kembali pada ingatan masa lampau. Lima belas tahun yang lalu, dia menghadiri pemakaman rekan ayahnya. Seorang hakim yang tengah berkabung dengan anak kecil berusia lima tahun begitu terpukul dan menangis di pusaran dengan nisan tertulis 'Ayudia Armandini'.Semua pelayat sudah pulang, tersisa ayahnya dan di
Senja masih memasang muka masam. Dia tidak berniat membuka percakapan dengan pria yang tengah mengendarai mobil avanza hitam.Kejadian di kantor Dewantara membuatnya kesal dan malu. Apalagi, orang kantor mengetahui jika dirinya adalah kekasih pemilik kantor itu. Mungkin, sekarang sudah tersebar gosip tentang dirinya dan Abimanyu.“Oke, aku minta maaf. Aku hanya khawatir,” ucap Abimanyu mencoba membujuk Senja.Bukannya menimpali, gadis itu malah membuang muka. Dia enggan menatap wajah tampan tapi menyebalkan milik Abimanyu. Mungkin mendiamkannya bisa menjadi hukuman paling baik, dari itulah Senja sengaja mogok bicara.Abimanyu beberapa kali menoleh, melihat raut wajah Senja yang ditekuk. Ternyata Senja benar-benar marah, itu yang ada dalam pikirannya.Karena tak ada respons dari Senja, akhirnya Abimanyu menyerah juga. Baginya, usahanya sudah cukup dan dia tinggal menunggu emosi Senja reda.Senja yang tak mendengar lagi suara Abimanyu menoleh sekilas, ternyata pria tampan itu tengah fok
Suara napas memburu menggema di ruangan dengan penerangan temaram. Di balik selimut, terbujur kaku mayat bersimbah darah yang berceceran di lantai dan kasur.Empat orang bertopeng hitam saling memandang. Ada kekalutan dan rasa takut menyelimuti di antara mereka."Bos, kita harusnya tidak membunuhnya dengan cara seperti ini," ujar pria dengan postur tubuh paling pendek."Biarkan saja, dia yang melawan," sahut pria dengan tubuh kekar. Ada tato berbentuk naga di lengannya."Tap-tapi, Bos. Nanti sidik jari kita akan terbaca." Giliran pria bertubuh kurus berucap dengan nada bergetar.Di lain sisi, satu orang di antara mereka hanya bungkam dengan mata menatap nanar mayat yang terbujur kaku di depannya. Rasa takut begitu kentara dari sorot mata itu."Sudahlah, sebaiknya kita pergi. Aku pastikan tidak ada sidik jari yang tertinggal. Buang sarung tangan kalian. Tua bangka ini tidak memberikan informasi apa pun. Apa kalian sudah menggeledah semua tempat?" tanya pria bertato naga dengan berkacak
Aura ketegangan begitu kentara di ruangan bercat putih dengan perabotan didominasi warna biru.Saat ini hanya terdengar suara deru napas beradu dengan AC yang dingin, tapi terasa panas karena hawa di sana tidak bersahabat antara Dewantara dan Abimanyu.Setelah Aryan memberikan izin Senja untuk berdiskusi dengan Dewantara--kekasih Senja, kini berubah menjadi ajang perdebatan antara kedua pria itu.Di samping itu, Aryan hanya mampu berdiam diri. Untuk saat ini menjadi pengamat lebih baik. Bukan tanpa alasan, sebenarnya Abimanyu sengaja memancing keterangan dari orang terdekat Senja.Namun, ternyata reaksi Dewantara di luar dugaan. Dia terlalu berani jika berstatus kekasih."Kalian tidak perlu khawatir, Senja aman bersama saya. Kami akan segera menikah, jadi tidak perlu menggunakan jasa bodyguard," terang Dewantara bersikukuh."Sayangnya itu tidak bisa. Senja sekarang menjadi tanggung jawab saya," sergah Abimanyu tenang.Senja dan Aryan masih setia diam. Bagi Senja, ada rasa tak enak hat
Keheningan menyertai perjalanan Senja dan Abimanyu menuju kampus tempat sang gadis menuntut ilmu.Hari ini, Senja akan mengurus perpindahan kuliahnya. Semua itu atas perintah bodyguard yang seenak hati mengambil keputusan.Bagi Abimanyu, dia tak ambil pusing dengan sikap Senja. Entah kesal atau benci sekalipun, semua tidak berarti baginya. Karena untuk saat ini, keselamatan Senja lebih utama.Tak ada musik sebagai pencair suasa, hanya deru mesin berbaur dengan dinginnya AC membuat suasa semakin membeku. Mereka menjelajah dengan segala macam pemikiran yang terus menari-nari tanpa tahu ujung rimbanya.Beberapa kali berhenti karena rambu lalu lintas berwarna merah, juga macet yang tak terhindarkan. Ibu kota memang berbeda, tidak ada waktu longgar di jalanan. Semua sibuk dan padat tanpa istirahat.Suara dering ponsel memecah kesunyian. Seseorang yang sangat penting meneleponnya di saat yang tidak tepat.Abimanyu berdehem sebelum menjawab panggilan itu. Debar jantung tak menentu mengiringi
"Sana pergi!" perintah Senja, tapi tak dihiraukan Abimanyu.Tiga puluh menit sudah Senja menunggu Dewantara. Walaupun tak diharapkan, Abimanyu tetap menemani gadis itu.Semalam, Dewantara meminta untuk bertemu dengan Senja. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Namun, sampai detik ini tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Bahkan telepon Dewantara tidak bisa dihubungi.Kesal dan khawatir merasuki relung hati. Senja memilin ujung baju, menyalurkan perasaan tak nyaman. Terlebih lagi, Abimanyu tidak bisa diajak kompromi. Pria itu bersikukuh untuk ikut.Sebelumnya, Senja mengedap-endap keluar rumah dan menjalankan mobil dengan cepat, tapi ternyata baru 10 menit berselancar di jalanan, Abimanyu sudah ada di belakang mobilnya. Dengan pakaian kasual dan hoodie cokelat, Abimanyu mengikuti ke mana avanza itu melaju.Senja memukul pelan kepalanya, merutuki kebodohan diri. Harusnya dia sadar kalau Abimanyu bukan orang yang mudah dikelabui. Strateginya gagal, ditambah dengan Dewantara yang entah di
Untuk ke sekian kalinya Senja mengubah posisi tidur, berharap kantuk akan datang. Namun, semuanya sia-sia.Diliriknya jam weker yang bertengger manis di nakas, pukul 22.00 WIB. Hampir tengah malam dan dirinya terus memikirkan kejadian tadi siang.Bukannya merasa bersalah, tapi Senja justru dibuat penasaran dan tertantang untuk mengetahui tentang kehidupan bodyguard-nya itu.Seorang pria dengan penampilan menarik seperti Abimanyu mustahil tak ada yang terpikat. Tidak dapat dipungkiri, Senja pun terpesona pada Abimanyu. Hanya saja, dia mencoba menjaga hati dan batasannya. Karena, dia sudah menetapkan hati pada Dewantara seorang.Di tengah imajinasinya yang melambung, suara perut menghempaskannya ke alam sadar. Akhir-akhir ini dia cepat lapar. Tak mau menunggu sampai cacing di perutnya berdemo lebih keras lagi, Senja bergegas pergi ke dapur mencari pelipur lapar.Baru saja ke luar kamar beberapa langkah, dirinya dikejutkan dengan sosok Abimanyu yang tengah duduk di sofa dekat pintu kamar