Share

Bab 6 Map Merah

"Kami mau cek in, satu kamar," ujar Abimanyu pada resepsionis yang mengamati penampilan pria tampan di hadapannya.

Sang resepsionis kemudian memberikan kunci kamar pada Abimanyu seraya tersenyum ramah, tapi sayangnya Abimanyu tak menghiraukan itu. Dengan cepat, Abimanyu menghampiri Senja yang sedang berdiri tak jauh darinya.

"Ayo!" ajak Abimanyu menarik tangan Senja.

Gadis itu pasrah mengikuti langkah Abimanyu. Biasanya, dia anti jika harus bersentuhan dengan pria itu. Kejadian hari ini cukup membuatnya lupa akan batasan yang dibuatnya sendiri.

Tidak lama kemudian, mereka sampai di kamar yang dituju. Senja membisu tatkala Abimanyu menyuruhnya masuk, tapi saat tahu pria itu mengunci pintu dari dalam di ruangan yang sama, membuat Senja tersadar dengan keadaan.

"Eh, kamu ngapain di sini?" tanya Senja, panik.

Pria dingin itu hanya menatapnya datar. Bukannya menjawab, dia malah masuk ke kamar mandi.

"Hei, kulkas berjalan! Kamu dengar tidak?!" Kini kesadaran Senja kembali, berteriak tak terima seraya menggedor-gedor pintu kamar mandi.

Abimanyu tak menghiraukannya,  malah larut dalam kesegaran dari air yang mengguyur tubuh, peluh dan lelah menguap begitu saja.

Merasa sia-sia, Senja akhirnya memilih menghempaskan diri di kasur king size berwarna putih. Dia mendesah panjang, merasa letih juga khawatir dengan keadaan saat ini.

Berdua bersama seorang pria yang masih asing baginya adalah pengalaman pertama. Ditambah kejadian pembunuhan di depan mata akan menjadi memori kelam dalam hidupnya.

Ditatapnya langit-langit kamar bernuansa putih, seolah sedang mencari jalan keluar dari peliknya masalah. Hidupnya berubah drastis pasca Wijaksana meninggal, ditambah kedatangan Abimanyu membuatnya berada di posisi sulit.

Lama Senja terdiam dengan pikiran yang entah ke mana, hingga tanpa sadar dia sudah terlelap mengarungi alam mimpi.

Abimanyu keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkap. Dia celingukan mencari Senja, hingga matanya menangkap sosok itu tengah tidur telentang dengan suara dengkuran.

Dengan pelan Abimanyu mendekati Senja, melihat keadaannya yang sudah dipastikan tidak baik-baik saja. Abimanyu teringat kala Senja menjerit saat dirinya melepas tembakan pada penyamun yang mengemudikan mobil jip, mati di tempat.

Mungkin bagi Senja, kejadian tadi membuatnya ketakutan luar biasa. Namun, untuk Abimanyu hal yang biasa jika harus membunuh lawan, karena tugasnya melindungi dan dalam misi yang ditunaikan hanya ada dua pilihan, dibunuh atau membunuh.

Rasa bersalah menyusup relung hati, harusnya Senja tidak mengalami hal buruk seperti kejadian tadi. Sungguh di luar dugaan, karena setahunya tak ada pergerakan dari sekelompok orang yang dicurigai pembunuh Wijaksana. Itu berarti, ada pihak lain yang menginginkan kematian Senja.

Abimanyu duduk di sebelah Senja yang sudah terlelap. Dengan lekat pria itu memandang wajah Senja yang damai. Cantik, sebuah kata terlintas di benaknya. Lalu, seulah senyum terbit dari bibir Abimanyu membuat wajah tampannya semakin memesona. 

Kalau saja Senja melihatnya pasti dia akan terpana dan langsung jatuh cinta. Namun, senyum bodyguard itu terlalu mahal untuk dipertontonkan. Hingga, hanya ada kata dingin dan cuek sebagai identitas Abimanyu.

Abimanyu menghela napas pelan, tubuh dan pikirannya sungguh lelah ditambah perasaan aneh yang hadir membuatnya bingung. 

Abimanyu berbalik dan berjalan menjauhi Senja. Dia berbaring di sofa putih yang ada di kamar itu. Beristirahat adalah pilihan tepat untuk saat ini, semoga esok akan ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

***

Cahaya mentari menerobos melalui ventilasi udara, mengusik kesadaran seorang perempuan yang masih terbuai dalam mimpi.

Merasa terganggu, dia menutupi wajahnya dengan sebelah tangan. Namun, di dekat jendela sesosok pria dengan sengaja membuka tirai hingga cahaya sang penguasa pagi masuk ke kamar sepenuhnya. Karena tak mampu menghalau silau, gadis itu terpaksa bangun dan menyudahi tidur nyenyaknya.

"Akh, kamu sengaja, ya? Dasar Kulkas!" protes Senja bangkit dan terduduk malas di kasur.

Abimanyu mendekati Senja yang masih menguap seraya mengaruk-garuk kepala dengan rambut tak berbentuk.

"Ck, aku yakini Dewantara salah memilih calon istri," ujar Abimanyu seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana.

Senja tak menimpali, dia masih sibuk menguap dengan mata yang masih terpejam.

"Dasar jorok!" seru Abimanyu sukses membuat Senja membuka mata.

Betapa kagetnya saat sosok tampan dengan pakaian rapi tersuguh di depan mata. Cuci mata di pagi hari, cukup membuat kesadaran Senja kembali.

Dia terkagum-kagum dengan penampilan Abimanyu. Pria itu memang punya pesona tersendiri hingga tanpa sadar mulut Senja menganga sedari tadi.

"Aku tampan, kan?" Ya, aku tahu. Jadi, jangan melihatku seperti itu!" Abimanyu sengaja menekan setiap kata sampai Senja sadar akan tingkahnya pagi itu. Semburat merah menghiasi pipinya, rasa malu datang begitu saja.

Tanpa kata, Senja berlari ke kamar mandi, menenggelamkan diri di balik pintu ruangan yang berukuran kecil itu. Bersembunyi dari Abimanyu untuk saat ini lebih baik daripada menampakkan wajah yang sedang menahan malu. 

"Bodoh! Aku ngapain, sih!" rutuk Senja memukul kepalanya sendiri.

Tawa Abimanyu menggema, membuat Senja semakin malu. Untung dia tidak berhadapan dengan pria itu, bisa hilang muka jika bertemu dengannya.

Abimanyu memegangi perutnya yang kesakitan karena terlalu lama tertawa, hingga suara dering ponsel membuatnya kembali serius. Tertera nama 'Rasti' di benda pipihnya. Dahi Abimanyu berkerut, dengan cepat menjawab panggilan penting itu.

"Halo, Ras."

Suara dari seberang tengah menjelaskan satu masalah yang membuat Abimanyu tersentak kaget.

"Apa kamu yakin?" tanya Abimanyu masih tak percaya.

"Aku yakin, Bi. Jangan buang waktu, temui aku!" Suara dari seberang meninggi, memberi peringatan pada Abimanyu.

Untuk beberapa saat, pria itu terdiam. Berpikir cepat dan tepat adalah tugasnya kali ini.

"Bagaimana?" tanya seseorang dari seberang sana.

Abimanyu masih terdiam, hingga suara pintu kamar mandi dibuka membuatnya segera mengakhiri panggilan.

"Aku akan hubungi nanti, lakukan yang menurutmu benar, Ras." Panggilan diakhiri dan dengan cepat dia memasukkan ponsel ke saku celana.

Senja menatap Abimanyu bingung, aneh dengan gerak-gerik pria itu. Seperti seseorang yang tertangkap basah.

"Kamu ngapain?" tanya Senja menyelidik.

Abimanyu mengerti dengan pertanyaan Senja yang mencurigainya. Dengan cepat dia menyanggah dan kembali memasang wajah cuek.

"Tak ada, ayo bersiap! Kita akan pulang ke rumahmu!" perintah Abimanyu tanpa memedulikan ekspresi Senja yang penuh tanda tanya.

***

Mereka mematung tak percaya dengan pemandangan yang tersuguh di depan mata. Pintu depan yang rusak karena dibobol menandakan bahwa ada seorang maling telah menjamah rumah Senja.

Perabotan rumah sudah berubah tempat, berantakan bak kapal pecah. Jangan lupakan guci-guci mahal koleksi Wijaksana tak lepas dari amukan sang penjamah. 

Senja menjerit tak percaya. Rumah kebanggaannya yang penuh kenangan menjadi tak berbentuk seperti itu.

"Apa lagi ini?" Senja luruh, duduk lemas di lantai penuh dengan pecahan keramik dari guci.

Abimanyu hanya terdiam, dia diliputi kebingungan. Hingga, perkataan Rasti di telepon sebelumnya membuat dia ingat akan sesuatu. 

Dengan cepat, Abimanyu menyusuri setiap ruangan, dia memeriksa barang apa saja yang habis digondol maling. Senja yang penasaran pun mengikuti pergerakan pria itu.

"Kamu sedang mencari apa?" tanya Senja bingung. 

Abimanyu masih diam. Tak ada yang hilang, semua barang berharga masih ada di tempatnya.

"Senja, apa ada surat-surat berharga di rumah ini?" tanya Abimanyu memunculkan kecurigaan baru.

Senja mengingat-ingat tentang tempat yang berkaitan dengan pertanyaan Abimanyu. 

"Yang aku tahu, ayah selalu menyimpan surat-surat berharganya di Bank. Safe deposit box, kamu tahu?" Senja duduk di ranjang milik Wijaksana. Hatinya terenyuh, keadaannya sekarang sangat rawan. Dia takut tidak bisa mengungkap kematian ayahnya.

"Kalau bukan harta benda, lantas apa yang mereka cari?" Abimanyu bergumam, mencari jawab atas pertanyaannya sendiri.

"Aku tidak tahu. Tapi, kalau brangkas tempat dokumen kasus yang ayah tangani ada di rumah ini," ujar Senja membuat Abimanyu tersadar akan satu kemungkinan.

"Di mana?" tanya Abimanyu langsung seraya memegang pundak Senja.

"Ikuti aku," ucap senja, singkat.

Senja berjalan ke belakang rumah. Ternyata, ada satu ruangan yang terpisah dari rumah utama, berukuran kecil dan terpencil. Namun, ruangan itu tampak bersih dan terawat, pintunya menggunakan kode pin yang berarti ruangan rahasia dan terjaga.

Dengan hati-hati, Senja memijit nomor sandi. Hingga suara pintu terbuka sendiri dan menampilkan sebuah brangkas besar seukuran lemari es.

Di ruangan itu tidak banyak perabot, hanya ada brangkas, rak buku dan meja disertai kursi.

"Ini tempatnya. Aku jarang ke sini, tapi pernah beberapa kali saat mengantarkan makanan kalau ayah sedang berkutat dengan pekerjaannya," tutur Senja yang hanya dibalas helaan napas panjang dari Abimanyu.

"Kamu tahu kode brangkasnya?" tanya Abimanyu seraya menyusuri setiap sudut brangkas.

"Tanggal lahirku," jawab Senja langsung mendapat tatapan aneh dari Abimanyu.

Tanpa kata, Abimanyu menekan tombol enam digit, dan suara kunci brangkas terbuka membuat Senja diserang kekagetan.

"Dari mana kamu tahu tanggal lahirku?" cecar Senja menatap Abimanyu curiga.

Pria itu sengaja tak menghiraukan Senja. Dia lebih tertarik dengan tumpukan kertas di hadapannya.

Abimanyu berpikir keras menyusun setiap kepingan kejadian dengan tangan yang mulai membuka setiap dokumen di brangkas itu. Hingga, satu dokumen dengan map merah menjadi kunci dari semua rentetan peristiwa yang menjadi penyebab hilangnya nyawa Wijaksana juga keselamatan Senja di ambang bahaya.

Abimanyu bernapas lega. Kecurigaannya benar, orang yang membobol rumah Senja bukan mencari harta benda, tapi sebuah dokumen yang ada di tangannya.

Kini dia tahu harus bertindak dan membuat keputusan. Dengan cepat Abimanyu membereskan dokumen. Dia membawa beberapa map yang sekiranya rawan untuk ditinggalkan.

"Dengarkan aku! Kamu ubah kode kunci brangkas dan kita pergi dari sini," ucap Abimanyu setelah membereskan tumpukan kertas di brangkas.

"Kenapa?" Kini semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.

"Di sini sudah tidak aman. Mereka akan kembali lagi. Jadi, untuk sementara waktu, bersembunyi lebih baik."

Ingin Senja menolak perintah Abimanyu, tapi tak ada yang bisa dia perbuat selain menurut. Bahkan untuk memilih pun tak bisa, hidupnya benar-benar kacau.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status