Untuk ke sekian kalinya Senja mengubah posisi tidur, berharap kantuk akan datang. Namun, semuanya sia-sia.
Diliriknya jam weker yang bertengger manis di nakas, pukul 22.00 WIB. Hampir tengah malam dan dirinya terus memikirkan kejadian tadi siang.
Bukannya merasa bersalah, tapi Senja justru dibuat penasaran dan tertantang untuk mengetahui tentang kehidupan bodyguard-nya itu.
Seorang pria dengan penampilan menarik seperti Abimanyu mustahil tak ada yang terpikat. Tidak dapat dipungkiri, Senja pun terpesona pada Abimanyu. Hanya saja, dia mencoba menjaga hati dan batasannya. Karena, dia sudah menetapkan hati pada Dewantara seorang.
Di tengah imajinasinya yang melambung, suara perut menghempaskannya ke alam sadar. Akhir-akhir ini dia cepat lapar. Tak mau menunggu sampai cacing di perutnya berdemo lebih keras lagi, Senja bergegas pergi ke dapur mencari pelipur lapar.
Baru saja ke luar kamar beberapa langkah, dirinya dikejutkan dengan sosok Abimanyu yang tengah duduk di sofa dekat pintu kamar Senja.
"Kamu ngapain di sini? Dan lagi, sejak kapan ada sofa di dekat kamarku?" Senja berkacak pinggang di depan Abimanyu yang sedang berkutat dengan laptopnya.
Abimanyu melirik gadis itu sekilas, lalu kembali memfokuskan diri di depan layar persegi panjang yang ada di pangkuannya.
Senja mendengkus kesal. Mau seperti apa pun sikapnya pada Abimanyu, pria itu akan tetap dingin. Sebutan kulkas berjalan memang tidak salah.
Dengan menahan kesal, Senja berbalik kembali melanjutkan langkah menjemput makanan yang sedari tadi sudah didemokan oleh perutnya.
Kekejutannya bertambah, saat Senja membuka lemari pendingin yang bersisian dengan kompor gas, ternyata penuh dengan makanan. Bukan hanya buah-buahan atau minuman, tapi beberapa camilan tersedia di sana.
"Kulkas berjalan itu memindahkan isinya ke sini semua? Pantesan tetap dingin, hiyy!" Senja bergidik seraya mengambil roti tawar.
Dia mengoleskan selai kacang dan campuran susu di atasnya. Setelah hidangan siap dengan secangkir teh hangat di sebelah kiri tangannya, gadis itu kembali melangkah menuju peraduan.
Dia terus berjalan, melewati pria kaku yang sedang memperhatikan Senja diam-diam. Saat sampai di ambang pintu kamar, suara berat Abimanyu menghentikan langkahnya.
"Senja, duduklah sebentar di sini," ujar Abimanyu yang kembali berkutat dengan laptopnya.
Senja memutar badan, berjalan dengan malas ke arah Abimanyu. Setelah kembali berhadapan dengan bodyguard-nya, Senja berdecak. Pria itu memanggil, tapi malah tak menghiraukannya.
"Kamu itu manggil aku, terus malah dianggurin. Pantesan jomblo, huh!" Senja mulai gemas dengan tingkah Abimanyu.
Tanpa mengalihkan pandangan pada Senja, Abimanyu menepuk-nepuk sisi sofa sebelah kanan yang kosong, memberi isyarat agar Senja duduk.
Dengan kesal, Senja menghempaskan diri di sofa hingga sisi sofa lainnya kembang kempis.
"Kayanya kamu yang harus dipindahkan ke dapur, kulkas abadi," gerutu Senja yang tak dianggap oleh Abimanyu.
Setelah mematikan laptop, kini Abimanyu menatap Senja serius. Sedangkan si empunya malah salah tingkah. Dengan hati-hati Senja meminum teh hangat miliknya, berharap bisa mengurangi rasa gugup yang datang tiba-tiba.
"Siapa Dewantara?" tanya Abimanyu langsung membuka percakapan.
Senja menautkan kedua alis, heran dengan pertanyaan yang dilontarkan pria tampan itu.
"Pertanyaan konyol. Bukankah aku sudah mengatakan kalau Mas Dewantara itu kekasihku, calon suamiku." Senja menekan kata kekasih dan calon suami, sengaja mengingatkan Abimanyu yang memberikan pertanyaan aneh.
Seperti biasa, Abimanyu tidak peduli dan bukan itu jawaban yang ingin dia dapatkan.
"Kamu tahu asal usul keluarganya? Tentang dirinya?" Pertanyaan Abimanyu sukses membuat Senja bungkam.
Jelas saja Senja tak berkutik, karena dia memang tidak tahu latar belakang Dewantara. Yang dia tahu, kekasihnya itu adalah seorang anak tunggal.
"A-aku tahu kok," jawab Senja, gugup.
Abimanyu membaca perubahan air muka Senja. Gadis itu tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Katakan apa yang kamu tahu?" Abimanyu sengaja memancing Senja agar bisa bercerita tentang Dewantara.
Wajah Senja berubah, saraf-sarafnya menegang, mengartikan bahwa emosi mulai tersulut.
"Apa urusanmu? Tidak sopan mencampuri privasi orang lain!" sentak Senja tak terima.
Seperti biasa, Abimanyu hanya menampilkan wajah datar tanpa ekspresi. Untuk saat ini tak ada satu pun orang yang bisa dipercaya. Baik teman dekat atau kekasih Senja. Semua harus diselidiki latar belakangnya.
"Kamu hanya tinggal ceritakan apa yang kamu tahu tentang Dewantara," ucap Abimanyu tenang.
"Untuk apa?" tantang Senja dengan wajah mulai memerah.
Abimanyu diam sejenak, membaca situasi dan kondisi emosi Senja yang sudah mulai naik. Abimanyu menghela napas, mencoba memberi ruang untuk paru-parunya agar bisa bernapas dengan normal.
"Dengar, Senja! Aku sudah bilang sebelumnya. Untuk saat ini, tak ada orang yang bisa dipercaya termasuk ...."
"Mas Dewantara," potong Senja, menatap sinis Abimanyu.
Abimanyu mengangguk, membenarkan pemikiran Senja. Dia tahu, mungkin agak menyakitkan harus mencurigai orang terdekat. Namun, sekali lagi, tak ada pilihan lain.
"Termasuk kamu juga, kan. Abimanyu?" Senja kembali melontarkan pertanyaan yang kontan membuat air muka Abimanyu berubah.
Mereka berdua saling menatap dalam diam. Curiga selalu menjadi penghalang setiap rencana yang sudah disusun apik.
"Kalau kamu bilang tidak ada yang bisa dipercaya, berarti kamu juga harus aku curigai." Senja mulai berselancar dengan kata-kata.
Abimanyu membeku, dia seperti kalah dalam permainan catur, sekak mat.
"Jangan membuatku tak nyaman berada di dekatmu. Kalau memang kamu curiga dengan Mas Dewantara, cari tahu sendiri. Lagian, aku pastikan dia tidak tahu menahu tentang tragedi yang menimpa ayah. Catat itu baik-baik!" Senja berdiri dan melenggang pergi, dia meninggalkan roti dan teh hangatnya.
Dengan keras dibantingnya pintu kamar, mewakili rasa kesal yang sudah membuncah. Rasa laparnya menguap, digantikan dengan amarah yang menggebu-gebu.
Di luar kamar, Abimanyu masih mematung. Dia seolah tak percaya dengan ucapan yang dilontarkan Senja. Tak ada niat buruk, dia hanya ingin yang terbaik untuk Senja.
Dilihatnya piring berisi roti selai kacang dan secangkir teh hangat yang sudah mulai dingin, rasa bersalah bergelayut di dada. Harusnya, dia lebih sabar untuk mencari bukti dan tidak melibatkan Senja dalam penyelidikannya.
Abimanyu mendesah berat, dia berbaring di sofa berwarna biru, beristirahat lebih baik untuknya. Semoga besok masalah dia dengan Senja akan selesai.
***
Cukup lama Abimanyu menunggu Senja ke luar kelas. Gadis itu susah sekali diatur. Dia tidak mengizinkan Abimanyu untuk mengawalnya sampai kelas, padahal kejahatan bisa terjadi di mana saja.
Dengan gelisah Abimanyu menyapukan pandangan ke berbagai arah, mencari sosok yang dinanti. Sesekali melirik jam tangan, memastikan bahwa jam mata kuliah Senja sudah berakhir.
Tidak mau lengah, akhirnya dia menelepon Senja. Panggilan baru terjawab setelah dering ke tiga, dengan malas orang di seberang sana menjawab.
“Iya, tau. Ini lagi jalan, sudah sampai. Tengok ke belakang.”
Belum juga Abimanyu bersuara, orang dari seberang sana seolah mengerti alasannya menelepon. Dengan cepat Abimanyu membalikkan badan, mendapati Senja yang sudah berada di belakangnya dengan muka masam.
"Ayo pulang!" perintah Abimanyu seraya masuk ke kursi kemudi, sedangkan Senja dengan malas duduk di samping Abimanyu.
Setelah menghidupkan mesin, mobil mulai membelah jalanan yang ramai. Tak ada pembicaraan, hanya sepi menjadi teman di antara mereka.
Senja masih kesal dengan pembicaraan semalam, sedangkan Abimanyu lebih fokus ke jalanan.
Saat mobil mulai memasuki jalanan sepi, tiba-tiba dari arah belakang mobil jip mengikuti. Awalnya Abimanyu tak curiga, tapi saat seseorang dari dalam mobil itu menyembulkan kepala dan senapan sudah siap membidik ke arah mobil yang ditumpangi Senja juga Abimanyu. Dengan sigap pria tampan itu membelokkan mobil. Senja terbentur karena kaget dengan pergerakan Abimanyu.
"Dasar gila! Apa yang kamu laku ...."
"Menunduk!" potong Abimanyu dengan nada bicara meninggi.
Suara tembakan telah memecahkan kaca mobil Avanza bagian belakang. Senja menjerit kaget, bukannya menunduk, dia malah memeluk pinggang Abimanyu.
Abimanyu melonjak, dengan cepat menginjak rem dan berbelok di persimpangan jalan yang mencabang jadi tiga. Mobil jip itu masih terus mengikuti.
Tembakan mulai mengenai badan mobil, membuat Abimanyu khawatir. Jangan sampai mobil yang ditumpangi bersama Senja meledak jika peluru bersarang di tangki bensin. Dengan cepat, Abimanyu mengambil pistol dari balik jaket hitamnya.
"Senja, kendalikan kemudi!" seru Abimanyu memerintah.
"Apa?! Tidak mungkin!" sergah Senja dipenuhi rasa takut dengan badan yang sudah bergetar.
"Lakukan atau kita akan mati!" teriak Abimanyu sukses membuat Senja langsung mengambil kemudi.
Dengan susah payah Senja menggunakan sebelah tangan untuk mengemudi seraya memerhatikan jalanan yang sepi, jangan lupakan mulut yang terus berteriak ketakutan diselingi gumaman menyebut nama Allah.
Abimanyu mulai menyembulkan kepala dari balik jendela mobil, sebelah kakinya sengaja menginjak gas. Dengan cepat dia menembakkan pistol ke ban depan mobil jip.
Mobil hitam itu oleng, memutar-mutar di aspal hingga meninggalkan jejak. Terakhir, dia bidikkan pada sang sopir dan satu tembakan tepat mengenai dahi pria bertopeng itu.
Aksi Abimanyu sukses membuat mobil jip dan isinya tak mengejarnya lagi. Setelah memastikan keadaan aman. Abimanyu kembali mengambil alih kemudi.
"Duduklah yang tenang." Suara Abimanyu melembut, mencoba menenangkan Senja yang masih ketakutan dengan tubuh bergetar hebat.
Namun, bukannya duduk, Senja malah kembali memeluk pinggang Abimanyu dengan erat. Dia terus berkemah tak jelas.
Abimanyu sontak terperanjat mendapati pergerakan Senja yang tiba-tiba, jantungnya berpacu lebih cepat. Bahkan ada sesuatu yang menggelitik perut, siap untuk memenuhi rongga dada. Entah apa artinya perasaan itu, yang pasti dia membiarkan Senja memeluknya. Karena, yang dia rasakan juga ada kenyamanan dari sentuhan Senja.
***
Mobil Avanza yang sudah tak lagi indah bentuknya--beberapa bagian jejak peluru--terus melaju di jalanan yang asing. Menyadari itu, Senja menyapukan pemandangan ke jalanan dan sekitarnya.
"Kita mau ke mana? Ini bukan jalan pulang." Bingung dan takut masih kentara, terdengar jelas dari suara yang bergetar.
Abimanyu masih diam, dia harus konsentrasi, jangan sampai lengah. Tidak menutup kemungkinan kalau para penyamun itu kembali mengikuti mereka.
Merasa tidak digubris, Senja semakin dirundung kekhawatiran. Dia tak mampu lagi menahan cairan bening yang lolos dari sudut matanya.
Semburat jingga sudah mempesona pemandangannya, namun mobil itu masih terus melaju tanpa arah tujuan.
"Jangan buat aku takut, kita akan ke mana?" Kini lirihan Senja mampu menggoyahkan Abimanyu dari fokusnya.
Dari jauh, Abimanyu melihat sebuah penginapan sederhana. Mereka memasuki wilayah baru. Untuk saat ini, menghindar dan bersembunyi di tempat aman adalah pilihan yang tepat. Abimanyu akan menyusun strategi sebelum kembali ke tempat asal.
Setelah mulai mendekat, Abimanyu sengaja menghentikan mobilnya sebentar untuk melihat keadaan Senja yang menunduk dengan tangisannya.
"Maaf ya," ucap Abimanyu seraya mengelus surai Senja yang agak berantakan.
Senja mendongak dan tanpa diduga dia menghambur ke pelukan Abimanyu. Jelas kaget menguasai pria itu, dia hanya mampu mematung.
"Aku takut...aku takut," gumam Senja masih dengan isakan tangis.
Tubuh Abimanyu yang sempat menegangkan kini kembali rileks, dengan perlahan dia membalas pelukan Senja sambil mengelus punggung gadis itu.
"Sttt...tidak apa-apa, aku ada di sini. Semua akan baik-baik saja," ujar Abimanyu dengan suara lembut.
Sikapnya yang dingin dan cuek seolah menguap begitu saja. Dua insan itu hayut dalam situasi yang ambigu. Untuk momen terbuai dengan gejolak tak menentu, menghadirkan perasaan aneh yang belum mereka sadari. Sebuah awal yang mengubah keadaan.
"Kami mau cek in, satu kamar," ujar Abimanyu pada resepsionis yang mengamati penampilan pria tampan di hadapannya.Sang resepsionis kemudian memberikan kunci kamar pada Abimanyu seraya tersenyum ramah, tapi sayangnya Abimanyu tak menghiraukan itu. Dengan cepat, Abimanyu menghampiri Senja yang sedang berdiri tak jauh darinya."Ayo!" ajak Abimanyu menarik tangan Senja.Gadis itu pasrah mengikuti langkah Abimanyu. Biasanya, dia anti jika harus bersentuhan dengan pria itu. Kejadian hari ini cukup membuatnya lupa akan batasan yang dibuatnya sendiri.Tidak lama kemudian, mereka sampai di kamar yang dituju. Senja membisu tatkala Abimanyu menyuruhnya masuk, tapi saat tahu pria itu mengunci pintu dari dalam di ruangan yang sama, membuat Senja tersadar dengan keadaan."Eh, kamu ngapain di sini?" tanya Senja, panik.Pria dingin itu hanya menatapnya datar. Bukannya menjawab, dia malah masuk ke kamar mandi."Hei, kulkas berjalan! Kamu dengar tidak?!" Kini kesadaran Senja kembali, berteriak tak ter
Senja menatap kagum rumah yang ada di hadapannya. Setelah tiga puluh menit berada di jalanan yang macet, akhirnya lelah itu terbayar lunas tatkala disuguhi pemandangan yang memanjakan mata.Rumah minimalis bercat biru muda dengan halaman yang penuh dengan aneka bunga. Di ujung dekat jendela kamar sebelah kiri, ada sebuah pohon mangga yang baru berbunga.Senja menelan ludah, pastinya segar kalau memakan buah di teriknya matahari."Ayo masuk!" ajak Abimanyu seraya memutar kenop pintu.Kini pupil mata Senja kembali membesar melihat isi rumah itu. Benda-benda bernuansa cokelat berbaur dengan cat putih, terkesan elegan dan rapi. Tidak terlalu banyak perabotan di sini, tapi cukup menarik perhatian bagi seseorang yang bertamu."Ini rumah siapa?" tanya Senja seraya mengamati setiap sudut ruang tamu.Abimanyu menarik dua koper, dia masuk ke salah satu kamar lalu kembali mendekati Senja yang masih terkagum-kagum dengan tempat tinggalnya."Ini rumahku." Abimanyu kembali membawa tas ransel milikn
Perempuan berbaju biru laut dan bando yang mempercantik penampilannya menatap bingung pada Senja."Kenapa?" tanyanya memegang pundak Senja."Ka-kamu ....""Oh, aku Marisa. Teman sekelasmu," potong perempuan bernama Marisa seraya mengulurkan tangan.Senja kembali diserang kekagetan. Belum juga terjawab pertanyaan yang sebelumnya datang, kini pertanyaan baru muncul."Sekelas?" tanya Senja, polos.Marisa yang melihat raut wajah Senja langsung tertawa. Baginya, anak baru di depannya begitu lucu."Iya, kita sekelas. Oke, aku paham. Kamu masih baru, jadi belum mengenali teman sekelas. So, mau berteman denganku?" tanya Marisa kembali mengulurkan tangan yang sempat tak tersambut.Ragu, Senja menyambut uluran tangan Marisa. Segala pertanyaan yang muncul dia simpan sejenak, untuk sekarang mendapat teman sekelas memang hal yang penting. Apalagi Marisa adalah perempuan yang dia cari, mudah mengorek informasi darinya tentang hubungan Marisa dan Abimanyu."Hai Marisa. Salam kenal juga," ujar Sen
Abimanyu mencoba menghubungi nomor yang memberikan pesan singkat itu, tapi tak terhubung juga. Dia benar-benar bingung dan kalut. Bersamaan dengan itu, Rasti telepon."Halo, untung kamu telepon, Ras. Aku butuh bantuanmu!" seru Abimanyu to the point.Suara di seberang sana mengerti jika Abimanyu tengah kesusahan. Tanpa menimpali seruan Abimanyu, Rasti bergegas menemui Abimanyu.Sebelum Rasti sampai, Abimanyu mencoba menghubungi Senja. Ponselnya aktif, tapi tak ada jawaban dari si empunya. Sungguh Abimanyu sangat menyesali perbuatan sebelumnya, dia kurang sabar menghadapi Senja yang terlalu polos. Harusnya dia mengerti jika gadis itu punya tabiat berbeda dari perempuan lain. Angannya kembali pada ingatan masa lampau. Lima belas tahun yang lalu, dia menghadiri pemakaman rekan ayahnya. Seorang hakim yang tengah berkabung dengan anak kecil berusia lima tahun begitu terpukul dan menangis di pusaran dengan nisan tertulis 'Ayudia Armandini'.Semua pelayat sudah pulang, tersisa ayahnya dan di
Senja masih memasang muka masam. Dia tidak berniat membuka percakapan dengan pria yang tengah mengendarai mobil avanza hitam.Kejadian di kantor Dewantara membuatnya kesal dan malu. Apalagi, orang kantor mengetahui jika dirinya adalah kekasih pemilik kantor itu. Mungkin, sekarang sudah tersebar gosip tentang dirinya dan Abimanyu.“Oke, aku minta maaf. Aku hanya khawatir,” ucap Abimanyu mencoba membujuk Senja.Bukannya menimpali, gadis itu malah membuang muka. Dia enggan menatap wajah tampan tapi menyebalkan milik Abimanyu. Mungkin mendiamkannya bisa menjadi hukuman paling baik, dari itulah Senja sengaja mogok bicara.Abimanyu beberapa kali menoleh, melihat raut wajah Senja yang ditekuk. Ternyata Senja benar-benar marah, itu yang ada dalam pikirannya.Karena tak ada respons dari Senja, akhirnya Abimanyu menyerah juga. Baginya, usahanya sudah cukup dan dia tinggal menunggu emosi Senja reda.Senja yang tak mendengar lagi suara Abimanyu menoleh sekilas, ternyata pria tampan itu tengah fok
Suara napas memburu menggema di ruangan dengan penerangan temaram. Di balik selimut, terbujur kaku mayat bersimbah darah yang berceceran di lantai dan kasur.Empat orang bertopeng hitam saling memandang. Ada kekalutan dan rasa takut menyelimuti di antara mereka."Bos, kita harusnya tidak membunuhnya dengan cara seperti ini," ujar pria dengan postur tubuh paling pendek."Biarkan saja, dia yang melawan," sahut pria dengan tubuh kekar. Ada tato berbentuk naga di lengannya."Tap-tapi, Bos. Nanti sidik jari kita akan terbaca." Giliran pria bertubuh kurus berucap dengan nada bergetar.Di lain sisi, satu orang di antara mereka hanya bungkam dengan mata menatap nanar mayat yang terbujur kaku di depannya. Rasa takut begitu kentara dari sorot mata itu."Sudahlah, sebaiknya kita pergi. Aku pastikan tidak ada sidik jari yang tertinggal. Buang sarung tangan kalian. Tua bangka ini tidak memberikan informasi apa pun. Apa kalian sudah menggeledah semua tempat?" tanya pria bertato naga dengan berkacak
Aura ketegangan begitu kentara di ruangan bercat putih dengan perabotan didominasi warna biru.Saat ini hanya terdengar suara deru napas beradu dengan AC yang dingin, tapi terasa panas karena hawa di sana tidak bersahabat antara Dewantara dan Abimanyu.Setelah Aryan memberikan izin Senja untuk berdiskusi dengan Dewantara--kekasih Senja, kini berubah menjadi ajang perdebatan antara kedua pria itu.Di samping itu, Aryan hanya mampu berdiam diri. Untuk saat ini menjadi pengamat lebih baik. Bukan tanpa alasan, sebenarnya Abimanyu sengaja memancing keterangan dari orang terdekat Senja.Namun, ternyata reaksi Dewantara di luar dugaan. Dia terlalu berani jika berstatus kekasih."Kalian tidak perlu khawatir, Senja aman bersama saya. Kami akan segera menikah, jadi tidak perlu menggunakan jasa bodyguard," terang Dewantara bersikukuh."Sayangnya itu tidak bisa. Senja sekarang menjadi tanggung jawab saya," sergah Abimanyu tenang.Senja dan Aryan masih setia diam. Bagi Senja, ada rasa tak enak hat
Keheningan menyertai perjalanan Senja dan Abimanyu menuju kampus tempat sang gadis menuntut ilmu.Hari ini, Senja akan mengurus perpindahan kuliahnya. Semua itu atas perintah bodyguard yang seenak hati mengambil keputusan.Bagi Abimanyu, dia tak ambil pusing dengan sikap Senja. Entah kesal atau benci sekalipun, semua tidak berarti baginya. Karena untuk saat ini, keselamatan Senja lebih utama.Tak ada musik sebagai pencair suasa, hanya deru mesin berbaur dengan dinginnya AC membuat suasa semakin membeku. Mereka menjelajah dengan segala macam pemikiran yang terus menari-nari tanpa tahu ujung rimbanya.Beberapa kali berhenti karena rambu lalu lintas berwarna merah, juga macet yang tak terhindarkan. Ibu kota memang berbeda, tidak ada waktu longgar di jalanan. Semua sibuk dan padat tanpa istirahat.Suara dering ponsel memecah kesunyian. Seseorang yang sangat penting meneleponnya di saat yang tidak tepat.Abimanyu berdehem sebelum menjawab panggilan itu. Debar jantung tak menentu mengiringi