Share

Pengawal Dingin itu Ternyata Jodohku
Pengawal Dingin itu Ternyata Jodohku
Penulis: Dhesu Nurill

Bab 1 Wasiat

Suara napas memburu menggema di ruangan dengan penerangan temaram. Di balik selimut, terbujur kaku mayat bersimbah darah yang berceceran di lantai dan kasur.

Empat orang bertopeng hitam saling memandang. Ada kekalutan dan rasa takut menyelimuti di antara mereka.

"Bos, kita harusnya tidak membunuhnya dengan cara seperti ini," ujar pria dengan postur tubuh paling pendek.

"Biarkan saja, dia yang melawan," sahut pria dengan tubuh kekar. Ada tato berbentuk naga di lengannya.

"Tap-tapi, Bos. Nanti sidik jari kita akan terbaca." Giliran pria bertubuh kurus berucap dengan nada bergetar.

Di lain sisi, satu orang di antara mereka hanya bungkam dengan mata menatap nanar mayat yang terbujur kaku di depannya. Rasa takut begitu kentara dari sorot mata itu.

"Sudahlah, sebaiknya kita pergi. Aku pastikan tidak ada sidik jari yang tertinggal. Buang sarung tangan kalian. Tua bangka ini tidak memberikan informasi apa pun. Apa kalian sudah menggeledah semua tempat?" tanya pria bertato naga dengan berkacak pinggang.

"Sudah, Bos. Tapi, tidak ada barang yang kita cari," jawab si pendek.

Pria bertato naga mendengkus, kesal. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul 05.00 WIB, sudah tidak ada waktu lagi untuk membereskan kekacauan karena ulah dia dan tiga anak buahnya.

Kalau saja pria paruh baya itu mau diajak kerja sama, maka kejadiannya akan berbeda. Tidak ada yang perlu disesalkan. Untuk sekarang, lebih baik pergi dan melapor kepada tuannya.

"Ayo!" seru pria bertato naga itu.

Mereka semua pergi melalui jendela, meninggalkan mayat yang tergeletak, mengenaskan.

Namun, sebelum pergi satu di antara mereka bergumam pelan, hampir tidak terdengar.

"Maaf," gumamnya seraya menatap mayat itu sebelum pergi.

***

Harum bunga Kamboja mengiringi isak tangis yang menggema di  antara kerumunan pelayat di pemakaman seorang hakim.

Mereka masih tidak percaya nasib nahas telah merenggut pria yang dikenal adil dan tidak pandang bulu itu. Ternyata, keramahan dan sikap baiknya tidak menutup kemungkinan aman dari musuh dan incaran penjahat.

Di depan pusaran bertabur bunga, seorang gadis cantik bertubuh mungil hanya mampu terisak dan tertunduk dalam, meratapi kematian keluarga satu-satunya. Dia tidak menyangka akhir hidup ayahnya akan seperti itu.

Ayahnya orang yang baik, walaupun seorang hakim, tapi dia tidak pernah mau menerima suap atau bentuk apa pun untuk kelancaran satu kasus.

"Ayah, Senja sekarang sendiri. Senja harus bagaimana, Yah?" tanya gadis itu, berbicara pada nisan yang bertuliskan Wijaksana.

Bagi Senja, sang ayah adalah kehidupannya. Walaupun ditinggal ibu sedari kecil, tapi tak sedikit pun sosoknya hilang karena ayahnya yang menggantikan.

"Sen-Senja harus ke mana, Yah?" Suaranya bergetar, menahan tangis yang sudah mulai mengering.

Orang-orang yang hadir untuk mengucapkan bela sungkawa, kini mulai bepergian, meninggalkan gadis itu tanpa menawarkan sebuah pelipur lara. Hingga dua orang hadir tanpa tahu identitasnya.

Pria paruh baya berseragam polisi datang bersama seseorang dengan badan tinggi, tegap bertubuh atletik. Wajah tampan dengan potongan rambut cepak menambah kesan wibawa padanya. Pria muda itu hanya terdiam menatap Senja yang masih menangis di depan pusaran sang hakim.

"Assalamualaikum, Nak Senja." 

Pria paruh baya berseragam polisi itu berjongkok di depan Senja, diikuti pria muda yang ada di sampingnya. Mereka menadahkan tangan dan merapalkan doa.

Senja keheranan, tapi tidak bereaksi sama sekali. Kesedihan telah membuatnya lupa akan sekelilingnya.

"Nak, perkenalkan saya Aryan Prambudi dan ini Abimanyu," ujar sang polisi bernama Aryan selepas berdoa.

Senja membisu, dia tidak tertarik untuk berurusan dengan orang yang tidak dikenalnya.

Aryan dan Abimanyu saling pandang, bingung dengan reaksi yang diberikan Senja. Lalu, seulas senyum terbit di wajah pria yang sudah lama mengabdikan diri pada negara itu.

"Nak, kami adalah utusan ayahmu sebelum beliau meninggal," tutur Aryan membuat Senja menatap mereka bergantian.

Raut kebingungan begitu jelas di wajah Senja. Memang banyak pertanyaan yang bersarang di benak gadis itu terkait meninggalnya Wijaksana. Namun, dua orang di depannya lebih membuatnya bingung. Apa tujuan mereka?

***

Lima belas menit berlalu pasca Aryan mengutarakan wasiat sang ayah, tapi Senja belum juga bersuara. Dia masih tidak percaya dengan semua yang dijelaskan Aryan.

"Jadi, maksudnya apa?" tanya Senja masih diliputi kebingungan.

Aryan tersenyum ramah, sudah dipastikan Senja tidak mengerti. Karena terlalu berat untuk gadis berusia 20 tahun itu menanggung masalah dari buntut kematian sahabatnya, Wijaksana.

"Nak, ayahmu menitipkanmu pada saya. Karena dia tahu, bahwa kamu tidak punya lagi keluarga. Maka dari itu, agar bisa melindungimu sampai kasus kematian ayahmu terungkap, saya bawa Abimanyu untuk menjadi bodyguard-mu," terang Aryan membuat mata senja membulat sempurna.

Ditatapnya pria tegap yang sedari tadi diam memandang dirinya. Risi tatkala sorot mata Abimanyu seolah menjelajahi setiap inci tubuhnya.

Aryan mengamati Abimanyu dan Senja bergantian. Sedetik kemudian dia terkekeh.

"Bi, kamu jangan melihat Senja seperti itu. Dia ketakutan," ujar Aryan membuat Abimanyu menoleh lalu kembali lagi menatap Senja lekat.

"Saya hanya memastikan bahwa orang yang akan saya jaga dikenali dari ciri-ciri fisiknya," timpal Abimanyu.

Senja menegang ketika suara berat itu keluar dari Abimanyu. Dengan tubuh atletik dan wajah tampan ditambah suara khasnya, membuat sosok sang bodyguard terlihat sempurna sebagai tipe pria ideal.

Senja menggeleng, menepis semua pemikiran yang baru saja hinggap. Dia tidak boleh berkhianat walaupun hanya sebatas angan. Karena, pemilik hatinya saat ini adalah Dewantara, kekasih yang akan menikahinya kelak.

"Nak?" tanya Aryan setelah Senja cukup lama diam.

Senja mendongak, menatap Aryan dan Abimanyu bergantian. Tidak nyaman rasanya saat harus berurusan dengan orang asing, terlebih mereka mengaku utusan Wijaksana.

Melihat tulisan dan tanda tangan di wasiat itu, Senja tidak dapat memungkiri bahwa semuanya memang asli ayahnya yang membuat. Namun, semua serba mendadak. Bahkan Wijaksana tidak pernah membahas perihal itu.

"Em, Pak. Maaf sebelumnya, bolehkah saya diskusi dulu dengan calon suami saya?"

Aryan mengernyit. Setahunya, Wijaksana tidak pernah mengatakan bahwa anaknya berencana menikah dalam waktu dekat.

"Calon suami?" Aryan masih terheran-heran seraya menegakkan tubuh yang sebelumnya bersandar.

"A-anu, maksud saya kekasih saya."

"Tidak perlu!" sergah Abimanyu membuat Senja melonjak, kaget.

Kedua orang itu saling menatap nyalang. Rasa tidak suka kepada Abimanyu muncul tiba-tiba.

"Apa hakmu? Ini urusan pribadiku!" seru Senja, kesal.

"Kamu tidak punya privasi mulai saat ini," pungkas Abimanyu, tenang.

"Kamu orang baru! Yang lebih tahu kehidupanku adalah aku!" sentak Senja mulai tersulut emosi.

Abimanyu diam, dia menoleh pada Aryan yang sedari tadi hanya menonton perdebatan mereka.

Aryan dan Abimanyu seolah berkomunikasi, hingga Aryan tiba-tiba menganggukkan kepala.

"Maaf, Nak. Apa yang dikatakan Abimanyu benar, untuk saat ini kami tidak bisa mempercayakanmu kepada orang lain, termasuk kekasihmu," tutur Aryan. Sejenak dia menarik napas berat.

Dia menengadah menatap langit-langit ruang tamu bercat putih. Kelebatan masa-masa bersama hakim itu mulai bermunculan. Tentang kehidupan kedua belah pihak dan rencana mereka sebelumnya harus ditunda karena kematian Wijaksana.

"Maaf jika kami datang dan membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi, kami mohon kerja samanya. Anggap ini permintaan terakhir ayahmu. Setelah semuanya selesai, kami janji akan memberimu kebebasan untuk memilih jalan yang kamu mau," sambung Aryan, menatap Senja lembut.

Sorot mata Senja meredup. Semua yang dikatakan Aryan benar. Mungkin dirinya terlalu egois hingga lupa jika Wijaksana melakukan semua ini untuk kebaikannya.

Dengan berat hati, Senja menyetujui semua yang dikatakan Aryan dan menerima Abimanyu sebagai boduguardnya.

Namun, dia merasa ada yang perlu dilakukan sebelum semua perubahan dimulai.

"Pak, bolehkah saya bertemu kekasih saya? Agar dia bisa mengerti posisi saya sekarang," ungkap Senja pada Aryan.

Aryan tampak berpikir sejenak, lalu dia mengabulkan keinginan Senja. Berbeda dengan Abimanyu yang hanya diam tanpa ekspresi.

Pria dingin itu memendam sesuatu yang sedari tadi ditahan. Bagaimanapun tugasnya harus berjalan sesuai rencana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status