Suara Claudia lirih terdengar. Keheningan menyelimuti setelahnya, Regan tidak mengatakan apa pun dan membiarkan Claudia menyelesaikan ceritanya.“Dia orang baik, memperlakukanku dengan lembut dan hangat, tapi kenapa dia tidak mencintaiku? Ayah, memangnya aku tidak pantas dicintai?” Claudia bertanya dengan air mata berurai.Perasaannya benar-benar kacau kali ini, Claudia tidak tahu berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk menenangkan hatinya dan melupakan Malven. Tidak seperti ketika dikhianati Deon dan Selena, Claudia bisa melarikan diri dan bertemu dengan Raga yang mengobati sedikit demi sedikit luka di hatinya. Tapi, bagaimana dengan sekarang? Claudia mungkin bisa meninggalkan dan menghilang dari hadapan Malven, tapi ia tidak bisa berpisah dari Raga. Di sisi lain, kehadiran Raga membuat Claudia otomatis akan selalu mengingat Malven. Ia harus apa?Claudia terus mengatakan keluh kesahnya, setiap luka dan kisah tidak sempurna yang membuatnya menitikkan air mata, kenyataan tentang kepe
"Ayah mau berangkat sekarang?" Claudia yang sedang mencabuti rumput-rumput kecil di taman bunga belakang rumahnya, langsung berdiri saat sang ayah menghampiri."Iya, jadwal kali ini tidak bisa ditunda." Regan mendekat, membersihkan bekas tanah di pipi putrinya. "Tidak apa kan, kalau kamu sendirian?" Claudia tersenyum kecil dan mengangguk. Sudah satu minggu sejak ia pulang, kondisi tubuhnya membaik dan Claudia juga mengisi waktunya dengan mengurus taman di halaman belakang. Selama satu minggu itu pula Regan tidak pergi ke mana pun, memilih membatalkan kelas-kelas dan seminarnya. Ada banyak hal yang mereka bicarakan, hal-hal kecil, kenangan-kenangan manis di masa lalu dan rencana untuk berlibur bersama."Nanti Aira pasti ke sini, jadi jangan khawatir." Hari ini Regan akan berangkat ke Malaysia untuk menghadiri seminar yang juga dihadiri para ilmuan dari seluruh dunia, sebuah seminar yang hanya mengirimkan profesor terbaik dari negaranya untuk hadir. Acara itu juga sudah terjadwal seja
Claudia Raline Elvina, direktur yang selama sembilan bulan menghilang begitu saja tanpa siapa pun mengetahui keberadaannya, kini kembali. Hal pertama yang Claudia lihat begitu turun dari mobil adalah balon-balon merah muda dan ungu menghiasi pintu masuk, beberapa staff keamanan berdiri berbaris membentuk jalan sembari menunduk, lengkap dengan pakaian hitam, earphone di telinga dan walkie talkie di kantung baju. Sebuah karpet merah membentang dari tempat Claudia berdiri hingga pintu masuk.“Selamat datang kembali, Direktur!”Belum sempat Claudia meneriaki para staff keamanan-nya, ia sudah disambut oleh suara keras yang membuat telinganya berdengung, membuatnya menyadari bahwa yang sedang berbaris bukan hanya staff keamanan, tapi juga para staff lain yang berdiri rapi di kedua sisi pintu bagian dalam. Wajah mereka tampak cerah, seolah baru saja menerima gaji setelah tiga bulan tidak dibayar.Claudia menghela napas, mulai menapakkan kaki di karpet merah dan melangkah, melewati para staff
Claudia baru saja menutup laptopnya setelah menyelesaikan revisi terakhir sebuah proposal besar ketika ponselnya berdering. Ia melirik layar, keningnya mengernyit begitu melihat nama yang tertera. Opa Tersayang. Napasnya langsung terasa lebih berat. Sudah lama ia tidak berbicara dengan pria tua itu sejak keras kepala ingin menikahi Deon. Kakeknya sekarang mungkin akan mencecar dengan berbagai macam kata-kata setelah akhirnya Claudia kembali setelah beristirahat sejenak. Meski begitu, Cludia bersyukur kakeknya baru menelpon setelah satu bulan ia kembali. Dengan sedikit rasa cemas, Claudia menjawab panggilan itu. “Halo, Opa,” sapanya, mencoba terdengar santai meskipun hatinya sedikit berdebar. “Akhirnya kamu menjawab juga, Claudia!” Suuara tegas di seberang langsung menghentakkan telinga Claudia. “Apa kamu dan ayahmu sudah lupa siapa aku?! Aku sudah memanggil kalian berulang kali, tapi tak seorang pun dari kalian datang!” Claudia menghela napas, sedikit mengernyit mendenga
Claudia duduk diam di kursi belakang mobil, memandang pemandangan yang berganti-ganti di luar jendela. Jalan menuju kediaman kakeknya cukup panjang dan berliku, melewati bukit-bukit hijau dan desa-desa kecil yang seolah terjebak di masa lalu. Shouki, pengawal pribadinya, duduk di kursi depan dengan ekspresi serius seperti biasanya, fokus mengawasi jalan di depan. Namun, pikiran Claudia tidak berada di tempat itu. Kepalanya penuh dengan berbagai hal—pekerjaan yang ia tinggalkan, pertemuan yang tidak diinginkannya dengan pria yang tidak ia kenal, dan sesuatu yang baru saja terpikirkan olehnya. Sudah berapa lama? Ia mengerutkan kening, menghitung dengan jari di pangkuannya. Lima minggu? Delapan? Perasaan tidak nyaman mulai menjalar di dadanya. Claudia berusaha mengingat, tapi kepalanya terasa kacau. 'Tidak mungkin … aku terlalu sibuk untuk memperhatikan. Tapi, apa mungkin?' Claudia menghela napas panjang, menatap punggung Shouki dengan ragu. “Sho,” panggilnya akhirnya. “Ya, Non
Claudia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi bayangannya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan. Jemarinya secara refleks menyentuh perutnya yang masih rata, seolah berusaha merasakan kehadiran kehidupan baru di dalam sana. Perasaan cemas dan bahagia bercampur menjadi satu. Benih Malven. Pikirannya berputar ke arah pria itu lagi, namun Claudia cepat-cepat menggelengkan kepala, menyingkirkan bayangan yang hanya membuat dadanya semakin sesak. Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan diri, Claudia melangkah keluar dari kamar. Beberapa pelayan sudah menunggunya di luar untuk mengantar ke ruang makan. Di sepanjang koridor yang panjang dan berlampu temaram, Claudia mencoba menguatkan hatinya. Ia tahu apa yang akan ia katakan malam ini bisa memicu kemarahan besar dari kakeknya, tapi ia tidak punya pilihan lain. Begitu tiba di ruang makan, Claudia melihat kakeknya sudah duduk di ujung meja panjang, menunggunya dengan wajah serius namun penuh wibawa. Meja makan sudah di
Claudia duduk di tepi tempat tidur dengan tubuh bergetar. Air mata terus mengalir deras di pipinya, jatuh ke tangan yang menutupi wajahnya. Segala kenangan bersama Malven kembali menghantui, membuat dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia begitu bodoh? Malven tidak pernah benar-benar menginginkannya, dan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pria itu mencintai wanita lain—Zheva.Dengan isakan yang tertahan, Claudia menggenggam perutnya dengan tangan gemetar. "Aku akan menjagamu. Aku janji," bisiknya pada bayi yang ada di dalam dirinya, seolah mencoba menenangkan diri. Namun, rasa sakit di hatinya tidak kunjung mereda, hingga akhirnya tubuhnya yang lelah menyerah, membuat Claudia tertidur dengan mata sembab dan hati yang terluka.Ketika malam tiba, Claudia turun ke ruang makan setelah melewatkan makan malam bersama. Sang kakek, Adhamar Reynaldi, sedang duduk di perpustakaan pribadinya, meminum teh sambil membaca buku. Ia menoleh saat melihat Claudia mendekat, lalu tersenyum
Adhamar mengangguk, senyum tipis bermain di bibirnya. "Tentu saja. Kamu tahu kalau aku lebih suka melihat bagaimana seseorang bertindak tanpa informasi lengkap. Itulah cara terbaik untuk melihat karakter mereka. Aku bahkan memastikan bahwa tak ada satu pun yang menyebut namamu secara langsung di hadapan mereka, bahkan Devan. Malven hanya tahu kalau wanita yang dijodohkan dengannya adalah cucuku, tetapi dia tidak tahu siapa namanya, apalagi latar belakangmu."Claudia mendesah berat, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Kalau saja ia tahu soal ini lebih awal, mungkin semuanya tidak akan serumit sekarang."Hal itulah yang memberiku banyak informasi menarik," ucap Adhamar santai. "Termasuk kenyataan bahwa dia lebih memilih wanita lain daripada mencoba mengenal siapa sebenarnya calon pasangannya." "Dan sekarang Opa tahu jawabannya, alasan Malven menolak dan tidak tertarik. Dia bahkan mengatakan bahwa dia mencintai orang lain."Adhamar mendengus pelan, ekspresinya berubah dingin. "Cinta,
Pria yang wajahnya nyaris tidak lagi bisa dikenali itu, Deon, semakin gemetar saat Malven berjalan mendekat. Malven memang menangkap dan menyerahkan Deon pada pihak berwajib, tapi tidak ada yang tahu jika yang akan ‘mengadili’ Deon adalah Malven sendiri. “Ugh! Ggh!”“Hm? Kau bilang apa? Coba katakana dengan jelas agar aku mengerti keinginanmu,” ucap Malven sembari berjalan menuju sebuah meja panjang, di atasnya terdapat banyak alat yang biasa Malven gunakan untuk bermain.Pria itu memilih sebuah belati kecil hari ini. Kemarin ia bermain menggunakan besi panjang yang dipanaskan, berpikir jika itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak. Malven lebih suka jika ada warna merah yang menghiasi mainannya, itulah kenapa ia hanya sempat menggunakan besi panas itu satu kali. Alat itu membosankan.Malven melepas jas hitamnya, menukarnya dengan sebuah padding hitam panjang yang tersedia di gantungan. Pria itu tidak lupa menggulung lengan kemejanya, khawatir akan ada noda yang menempel seperti kemari
Claudia tersenyum canggung. Sejak awal ia memang hanya berniat memberikan kartu khusus itu untuk Raga agar anak itu tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu Claudia lagi. Sejak bertemu, ketika Raga mengetahui tentang Claudia yang bukan pengasuh biasa, wanita itu sudah berjanji bahwa ia akan tetap memperlakukan Raga dengan spesial meski Claudia tidak lagi menjadi pengasuhnya."Maaf, mana kutahu kalau kartu nama khusus itu akan digunakan sebagai tiket masuk ke sini," Claudia berbisik sembari mengusap pelan lengan Malven."Kau masih di sini?"Suara tajam itu membuat Claudia dan Malven terdiam. "Aku akan antar Malven keluar!" ujar Claudia cepat, menarik Malven untuk bergegas dan tidak mengizinkan pria itu untuk mengatakan hal lain yang akan membuat emosi Regan meningkat.Meski begitu, Malven tetap membungkuk sopan pada Regan sebelum benar-benar berbalik, kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu di bagian luar rumah bersama Claudia."Kamu tidak marah karena langsung diusir, kan?" Claudia
Seperti yang Claudia katakan pada Shouki dan Aira, hari ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Shouki mengantar hingga ke lobi, juga menemani dalam diam sampai mobil yang dikendarai Arfa datang. “Aku akan ke sini lagi sore nanti untuk menjenguk Zenis, jadi kamu tidak perlu mengikutiku. Lalu, kalau Opa atau Ayah menghubungi, jangan mengatakan sedikit pun tentang masalah ini, mengerti?” Claudia memberikan perintah untuk ke sekian kalinya sejak kemarin, yang tentu saja Shouki tetap menjawab dengan sopan.“Hati-hati, Nona. Tuan Malven, pastikan mengantar Nona Claudia sampai dia masuk ke rumah,” ucap Shouki sembari membungkuk hormat pada Malven dan Claudia.“Tentu saja.” Malven menjawab acuh tak acuh. Sebenarnya agak iri dengan Shouki yang sudah mengenal Claudia sejak sangat lama, tapi karena pria itu sudah punya istri dan anak meskipun melayani Claudia yang sangat cantik, sepertinya Malven bisa mempercayainya.Mobil yang Claudia dan Malven tumpangi meninggalkan pelataran rumah sakit
Claudia kembali memeluk Malven, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. “Itu aku,” ucapnya pelan, suaranya sedikit teredam di bahu Malven.“Bicaralah yang jelas, aku tidak mendengarmu.” Malven mengusap lembut kepala Claudia, meminta agar wanita itu kembali mengangkat wajah dan menatapnya.“Kubilang itu aku! Direktur utama yayasan yang menolak proposalmu, itu aku!” ujar Claudia akhirnya, tidak mau tahu bagaimana reaksi Malven setelah mendengarnya. Claudia tidak mau menyembunyikan apa pun lagi karena hubungan mereka harus segera diresmikan, jadi Malven harus tahu semua tentang Claudia. Pria itu harus menyiapkan alasan yang kuat untuk bisa menikahi Claudia di depan Regan dan Adhamar.Malven benar-benar terdiam. Ia ingin menanyakan lagi untuk meyakinkan telinganya, tapi yang didengarnya tadi sudah sangat jelas. Claudia adalah direktur utama Yayasan Gemilang? Malven mengerutkan kening, mencoba mengingat nama seseorang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.“C.R. Elvina?” Malven be
Claudia tidak bisa bertanya lebih jauh saat Malven mengatakan dengan yakin jika noda yang ada di ujung lengan kemejanya adalah saus. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi setelah meraih paper bag berisi pakaian ganti yang sebelumnya dibawakan Arfa.Di dalam kamar mandi, wajah lembut Malven perlahan memudar, berganti menjadi raut datar tanpa emosi. Pria itu menghela napas pelan saat membuka kancing kemejanya satu per satu dan melihat ada beberapa bercak merah di ujung kemeja putihnya. Padahal ia menggunakan alat pelindung dan berhati-hati agar tidak ada noda yang merusak penampilannya, tapi tidak menyangka jika beberapa cipratan merusak pakaiannya.“Untung saja yang terkena noda cukup banyak bisa disembunyikan,” gumam Malven sembari berjalan mnuju shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Air yang mengalir juga turut membasuh warna merah yang ada di tangan pria itu.Selesai membersihkan dirinya dan memastikan tidak ada noda atau bau darah yang menempel, Malven keluar kamar mandi
Claudia meletakkan telunjuknya di bibir, matanya melirik ke arah ranjang--menunjukkan keberadaan Raga yang tertidur lelap.Aira segera membelap mulutnya, "Maaf," ucapnya pelan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Jadi, apa kamu sudah mengatakannya pada Shouki tentang kejadian kemarin?" tanyanya sembari menatap ke arah Shouki.Shouki menggeleng, "Nona bilang akan menunggu sampai Nona Aira datang," ucap pria itu, mengalihkan tatapnya ke arah Claudia dan bertanya dalam diam.Claudia mengangguk. Sejujurnya ia khawatir akan meledak dan dipenuhi emosi saat menceritakannya jika pada Shouki, itu sebabnya Claudia tidak menelpon atau mengatakan apa pun pada pengawalnya itu saat ia melihat Deon berselingkuh. Dulu Claudia masih memikirkan Selena, karena jika ia mengadu pada Shouki, entah apa yang akan pria itu lakukan pada Deon dan Selena, tapi sekarang Claudia tidak bisa menahannya sendirian.Wanita itu menceritakan segalanya, dimulai dari perjalanannya ke kediaman sang kakek untuk menolak p
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun