Claudia Raline Elvina, direktur yang selama sembilan bulan menghilang begitu saja tanpa siapa pun mengetahui keberadaannya, kini kembali. Hal pertama yang Claudia lihat begitu turun dari mobil adalah balon-balon merah muda dan ungu menghiasi pintu masuk, beberapa staff keamanan berdiri berbaris membentuk jalan sembari menunduk, lengkap dengan pakaian hitam, earphone di telinga dan walkie talkie di kantung baju. Sebuah karpet merah membentang dari tempat Claudia berdiri hingga pintu masuk.“Selamat datang kembali, Direktur!”Belum sempat Claudia meneriaki para staff keamanan-nya, ia sudah disambut oleh suara keras yang membuat telinganya berdengung, membuatnya menyadari bahwa yang sedang berbaris bukan hanya staff keamanan, tapi juga para staff lain yang berdiri rapi di kedua sisi pintu bagian dalam. Wajah mereka tampak cerah, seolah baru saja menerima gaji setelah tiga bulan tidak dibayar.Claudia menghela napas, mulai menapakkan kaki di karpet merah dan melangkah, melewati para staff
Claudia baru saja menutup laptopnya setelah menyelesaikan revisi terakhir sebuah proposal besar ketika ponselnya berdering. Ia melirik layar, keningnya mengernyit begitu melihat nama yang tertera. Opa Tersayang. Napasnya langsung terasa lebih berat. Sudah lama ia tidak berbicara dengan pria tua itu sejak keras kepala ingin menikahi Deon. Kakeknya sekarang mungkin akan mencecar dengan berbagai macam kata-kata setelah akhirnya Claudia kembali setelah beristirahat sejenak. Meski begitu, Cludia bersyukur kakeknya baru menelpon setelah satu bulan ia kembali. Dengan sedikit rasa cemas, Claudia menjawab panggilan itu. “Halo, Opa,” sapanya, mencoba terdengar santai meskipun hatinya sedikit berdebar. “Akhirnya kamu menjawab juga, Claudia!” Suuara tegas di seberang langsung menghentakkan telinga Claudia. “Apa kamu dan ayahmu sudah lupa siapa aku?! Aku sudah memanggil kalian berulang kali, tapi tak seorang pun dari kalian datang!” Claudia menghela napas, sedikit mengernyit mendenga
Claudia duduk diam di kursi belakang mobil, memandang pemandangan yang berganti-ganti di luar jendela. Jalan menuju kediaman kakeknya cukup panjang dan berliku, melewati bukit-bukit hijau dan desa-desa kecil yang seolah terjebak di masa lalu. Shouki, pengawal pribadinya, duduk di kursi depan dengan ekspresi serius seperti biasanya, fokus mengawasi jalan di depan. Namun, pikiran Claudia tidak berada di tempat itu. Kepalanya penuh dengan berbagai hal—pekerjaan yang ia tinggalkan, pertemuan yang tidak diinginkannya dengan pria yang tidak ia kenal, dan sesuatu yang baru saja terpikirkan olehnya. Sudah berapa lama? Ia mengerutkan kening, menghitung dengan jari di pangkuannya. Lima minggu? Delapan? Perasaan tidak nyaman mulai menjalar di dadanya. Claudia berusaha mengingat, tapi kepalanya terasa kacau. 'Tidak mungkin … aku terlalu sibuk untuk memperhatikan. Tapi, apa mungkin?' Claudia menghela napas panjang, menatap punggung Shouki dengan ragu. “Sho,” panggilnya akhirnya. “Ya, Non
Claudia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi bayangannya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan. Jemarinya secara refleks menyentuh perutnya yang masih rata, seolah berusaha merasakan kehadiran kehidupan baru di dalam sana. Perasaan cemas dan bahagia bercampur menjadi satu. Benih Malven. Pikirannya berputar ke arah pria itu lagi, namun Claudia cepat-cepat menggelengkan kepala, menyingkirkan bayangan yang hanya membuat dadanya semakin sesak. Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan diri, Claudia melangkah keluar dari kamar. Beberapa pelayan sudah menunggunya di luar untuk mengantar ke ruang makan. Di sepanjang koridor yang panjang dan berlampu temaram, Claudia mencoba menguatkan hatinya. Ia tahu apa yang akan ia katakan malam ini bisa memicu kemarahan besar dari kakeknya, tapi ia tidak punya pilihan lain. Begitu tiba di ruang makan, Claudia melihat kakeknya sudah duduk di ujung meja panjang, menunggunya dengan wajah serius namun penuh wibawa. Meja makan sudah di
Claudia duduk di tepi tempat tidur dengan tubuh bergetar. Air mata terus mengalir deras di pipinya, jatuh ke tangan yang menutupi wajahnya. Segala kenangan bersama Malven kembali menghantui, membuat dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia begitu bodoh? Malven tidak pernah benar-benar menginginkannya, dan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pria itu mencintai wanita lain—Zheva.Dengan isakan yang tertahan, Claudia menggenggam perutnya dengan tangan gemetar. "Aku akan menjagamu. Aku janji," bisiknya pada bayi yang ada di dalam dirinya, seolah mencoba menenangkan diri. Namun, rasa sakit di hatinya tidak kunjung mereda, hingga akhirnya tubuhnya yang lelah menyerah, membuat Claudia tertidur dengan mata sembab dan hati yang terluka.Ketika malam tiba, Claudia turun ke ruang makan setelah melewatkan makan malam bersama. Sang kakek, Adhamar Reynaldi, sedang duduk di perpustakaan pribadinya, meminum teh sambil membaca buku. Ia menoleh saat melihat Claudia mendekat, lalu tersenyum
Adhamar mengangguk, senyum tipis bermain di bibirnya. "Tentu saja. Kamu tahu kalau aku lebih suka melihat bagaimana seseorang bertindak tanpa informasi lengkap. Itulah cara terbaik untuk melihat karakter mereka. Aku bahkan memastikan bahwa tak ada satu pun yang menyebut namamu secara langsung di hadapan mereka, bahkan Devan. Malven hanya tahu kalau wanita yang dijodohkan dengannya adalah cucuku, tetapi dia tidak tahu siapa namanya, apalagi latar belakangmu."Claudia mendesah berat, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Kalau saja ia tahu soal ini lebih awal, mungkin semuanya tidak akan serumit sekarang."Hal itulah yang memberiku banyak informasi menarik," ucap Adhamar santai. "Termasuk kenyataan bahwa dia lebih memilih wanita lain daripada mencoba mengenal siapa sebenarnya calon pasangannya." "Dan sekarang Opa tahu jawabannya, alasan Malven menolak dan tidak tertarik. Dia bahkan mengatakan bahwa dia mencintai orang lain."Adhamar mendengus pelan, ekspresinya berubah dingin. "Cinta,
Pagi hari di kediaman Adhamar terasa sunyi, tetapi Claudia sudah siap dengan tas di tangan dan jaket di pundaknya. Ia berdiri di depan pintu utama, menunggu kakeknya yang akhirnya muncul dengan setelan sederhana tapi tetap berwibawa."Jadi kau benar-benar tidak mau tinggal lebih lama?" tanya Adhamar sambil memandangi cucunya dengan tatapan lembut yang terselip sedikit kekecewaan.Claudia tersenyum tipis. "Aku harus kembali ke rutinitasku, Opa. Masih banyak pekerjaan menunggu, dan aku tidak bisa meninggalkan yayasan terlalu lama."Adhamar mengangguk kecil, lalu mendekat dan menepuk pundak cucunya. "Baiklah, Claudia. Tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, ya? Ingat, meskipun kamu kuat dan merasa mampu, kamu tetap manusia. Kadang kamu perlu istirahat."Claudia menahan senyum getir, lalu berjinjit sedikit untuk mencium pipi kakeknya. "Terima kasih, Opa. Aku akan ingat itu."Setelah berpamitan, Claudia masuk ke mobil yang sudah menunggu di halaman. Shouki, pengawalnya, membuka pint
"Kakak, kenapa Kakak pergi waktu itu?" Raga tiba-tiba bertanya tanpa menoleh. Suaranya kecil, tapi cukup jelas di telinga Claudia.Pertanyaan itu membuat Claudia terdiam sejenak. Ia menatap punggung mungil Raga, mencoba mencari jawaban yang tepat tanpa melukai hati bocah itu. "Kakak harus kembali bekerja, Raga. Tapi itu bukan berarti Kakak lupa sama kamu."Padahal mereka sudah sering membicarakan hal ini, tapi Raga terus menanyakan hal yang sama. Katanya sudah dewasa karena usianya sudah lima tahun, nyatanya Raga tetap anak-anak yang harus terus diberi pengertian."Tapi, aku sedih. Aku nggak suka kalau Kakak pergi," gumam Raga, ayunannya perlahan melambat. Claudia merasa hatinya mencelos. Ia menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. "Kakak juga sedih harus pergi. Tapi sekarang Kakak di sini, kan? Kakak nggak akan lupa sama kamu, Raga. Kakak janji."Raga menoleh sedikit, menatap Claudia dengan mata bulatnya yang polos. "Aku mau tinggal sama Kakak. Papa juga belakangan ini aneh b
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t