Syusah memang ya berinteraksi dengan ulat seperti Monica ini
Di dalam hatinya, Monica pun berkata, 'Ayah nggak mungkin diam aja. Sekarang aku cuma perlu menutup mulut dan nggak memberikan kesaksian,' batinnya.Ketika melihat tersangka di hadapannya itu bersikap tidak baik ketika di introgasi, Tentu saja dia merasa marah dan kini terlihat memicingkan matanya dengan tajam. Tak peduli bahwa seseorang di hadapannya itu adalah seorang wanita, dia harus mendapatkan bukti yang kuat karena jelas-jelas wanita ini telah melakukan kesalahan berat."Anda harus bersikap sopan selama proses investigasi ini." Dia segera mengingatkan dan kembali menambahkan, "Jika Anda terus bersikap seperti ini maka saya dengan terpaksa harus menjebloskan Anda."Mata Monica seketika langsung membulat dengan sempurna ketika dia mendengar hal itu. "Apa?! Dikurung? Ini nggak adil!" Dia berteriak dengan keras sambil menggebrak meja. "Dasar polisi bodoh! Memangnya kamu pikir siapa, huh? Dengan jabatanmu ini, aku bisa melengserkannya kapanpun!"Monica merasa sangat marah seolah-ola
"Kamu udah pulang?" tanya Nadia yang saat ini sedang menuruni tangga.Daniel yang baru saja mengulurkan tas kerjanya pada sang kepala pelayan itu tampak melirik dan menganggukkan kepalanya ketika melihat Nadia. Dia pun segera mendekat dan bertanya pada gadis itu, "Gimana keadaan kamu?""Udah lebih baik, kok." Nadia tersenyum tipis. Sepanjang hari dia memang beristirahat dan hanya menghabiskan waktunya itu di kamar seraya melihat berita di televisi. "Aku tadi lihat berita tentang konferensi pers kamu dan juga penangkapan Monica," tambahnya. Dia tampak sedikit ragu sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Apa masalahnya sudah selesai?"Daniel yang saat ini tengah mengundurkan kancing ke mejanya seketika langsung berhenti dan terdiam. Dia sendiri tahu bahwa masalah kali ini belum selesai sepenuhnya dan bahkan bisa dibilang baru saja dimulai karena Monica dan Ayahnya itu tak diam saja setelah dia melayangkan gugatan.Nadia yang melihat raut wajah pria itu pun kini hanya bisa tersenyum
Seorang wanita terlihat mondar-mandir di balik jeruji besi. Dia tanpa sangat gelisah karena seseorang yang ditunggunya tak kunjung datang untuk menengoknya."Sial ... kenapa nggak ada yang datang kemari?" Monica menggigit bibir bawahnya dan kembali melirik ke arah pintu dengan raut wajah yang sedikit pucat. "Ayah nggak mungkin membiarkanku tinggal di tempat mengerikan ini, 'kan?" tanyanya lagi pada diri sendiri.Entah mengapa kepercayaan serta rasa sombong yang telah melekat padanya kini perlahan-lahan mulai berkurang dan Monica mulai merasa ketakutan.Jika Bagaskoro memang berniat untuk membantunya maka pria itu saat ini pasti sudah mengirimkan seorang penolong yang tak lain adalah pengacara serta kuasa hukum lainnya.Tapi apa-apaan ini?!Bukan hanya tak ada seseorang yang datang, Bagaskoro juga tak menemuinya sama sekali.Memikirkan hal ini membuatnya merasa semakin gelisah.Dengan perasaan frustasi yang semakin melekat di dalam pikirannya, Monica lantas duduk di pojok sambil mengus
"Nggak apa-apa. A-aku cuma nggak fokus aja tadi. Maaf," lirihnya.Daniel menatap sosok gadis yang kini terlihat sibuk dan berniat untuk memukuti gelas kaca. Untungnya kepala pelayan dengan cepat langsung mencegahnya dan Nadia kini bisa kembali duduk di kursinya.Wajah Nadia tampak sedikit pucat karena entah mengapa rasa takut itu tiba-tiba saja muncul dan membuatnya jadi tak sadar.Bahkan Daniel sebenarnya juga curiga pada Nadia karena biasanya gadis itu selalu menyembunyikan sesuatu darinya.Ketika Daniel memperhatikan ekspresi wajah Nadia, pria itu berkata di dalam hatinya, 'Kadang aku merasa kalau jarak diantara kita berdua sangatlah jauh.'Dia sendiri tak bisa memungkiri perasaannya yang kini mulai tumbuh untuk Nadia dan perlahan-lahan mulai melupakan segala kenangan di masa lalunya.Awalnya memang dia melakukan ini semua karena tanggung jawab. Tapi siapa yang akan menyangka kalau lambat laun perasaannya itu justru berubah?Sikap Nadia yang begitu berani dan tak berpikir dua kali u
"Ayahmu bertemu dengan Ayah Monica."Jantung Nadia seketika berdetak semakin kencang ketika mendengar perkataan Daniel dan dia yang tengah menyantap makan malam itu pun seketika langsung berhenti. "Apa?" Rasanya dia tak percaya dengan telinganya sendiri. Bagaimana mungkin ayahnya itu bisa berhubungan dengan Bagaskoro? Entah mengapa perasaan gadis itu menjadi tak enak seolah-olah firasatnya tengah mencoba untuk mengingatkan bahwa masalah kali ini memang bukan hal biasa. Tak mungkin kebetulan terus terjadi seperti ini dan sudah bisa dipastikan itu telah direncanakan.Nadia dengan cepat langsung mengangkat wajahnya kembali dan menatap Daniel. "Apa yang dilakukan oleh ayahku? Apa dia membuat masalah lagi?"Kekhawatiran itu segera muncul karena Nadia tak ingin merepotkan Daniel dan dia merasa sangat malu karena ayahnya sempat memeras calon suaminya itu. Tapi sekarang Handoko kembali membuat masalah dengan berhubungan dengan Bagaskoro.Daniel menggelengkan kepalanya perlahan. Dia berusaha
Malam ini, Nadia merasa sangat gelisah dan dia tak bisa tidur sama sekali meskipun beberapa kali mencoba untuk memejamkan matanya. Dia kembali membalikkan tubuhnya dan menghela nafas berat, "Kenapa aku jadi susah tidur begini?"Dia bukan tipe orang yang suka begadang. Apalagi saat hamil seperti ini.Biasanya dia akan langsung terlelap ketika masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya itu ke atas ranjang.Tapi entah mengapa rasanya dia tak bisa tenang malam ini dan kantuk pun tak kunjung menyerangnya.Gadis itu mendesah kesal dan kini berbalik menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan sesuatu setelah dia selesai makan malam bersama dengan Daniel."Ayah ... sebenarnya kenapa dia bisa berhubungan dengan Pak Bagaskoro?"Jika dipikirkan 1000 kali pun rasanya aneh karena tak mungkin ayahnya itu tiba-tiba saja memiliki hubungan dengan seseorang seperti Bagaskoro.Dia menggigit bibir bawahnya perlahan ketika sebuah pemikiran aneh dan mengerikan mulai muncul di dalam kepalanya. "Aya
"Minumlah, mumpung masih hangat." Daniel meletakkan dua cangkir teh dan duduk tepat di samping Nadia. Dia menatap gadis yang mengangguk pelan itu dan tersenyum tipis.Jantung Nadia sedari tadi tak berhenti berdetak kencang dan bahkan ketika pria itu duduk tepat di sampingnya, dia menjadi makin tak karuan.Dia meraih tehnya itu dan menggenggamnya. Perlahan rasa hangat mulai menyapu telapak tangannya. Tak pernah ada seseorang yang perhatian seperti ini selain Ratna. Terlebih lagi seorang lawan jenis yang memperhatikannya. Dia menyesap teh hangat itu dan kini mulai merasakan hal yang cukup menakjubkan. Matanya membulat sempurna dan segera memuji Daniel, "Teh-nya enak."Daniel yang mendapatkan pujian itu tampak menganggukkan kepalanya perlahan dan tersenyum tipis. "Syukurlah kalau kamu suka." Bersamaan dengan jawabannya itu, dia juga segera meminum tehnya. Tiba-tiba senyumannya itu menghilang dan keningnya berkerut karena sadar bahwa teks buatannya tak seenak yang biasanya disiapkan oleh
"Bohong kalau aku bilang awalnya terasa tak seperti terpaksa. Tapi aku nggak menyesal sama sekali. Aku malah merasa bersalah karena sudah menodaimu."Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang ketika mendengar itu dan dia menundukkan kepalanya.Namun Daniel dengan cepat langsung meraih tangan gadis itu dan meremasnya perlahan sambil berkata, "Aku serius ingin meminangmu. Kamu juga sudah tahu mengenai perasaanku, bukan?"Perlahan gadis itu mulai mengangkat kepalanya dan menatap lekat sosok pria yang duduk tepat di sampingnya. Dia juga yakin kalau semua yang dikatakan oleh Daniel adalah kebenaran dan pria itu tak mungkin mengingkari janjinya.Hanya saja terkadang perasaan bersalah muncul di dalam hati Nadia. Dia tak bisa menutup mata serta telinganya begitu saja."Aku tahu kalau kamu serius," lirihnya sambil tersenyum tipis dan menambahkan, "Aku harap kamu nggak akan menyesal nantinya karena memilih untuk bertanggung jawab."Daniel dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya. Mana
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h