Sudah update ya, selamat membaca
"Cari pelayan itu secepatnya," perintahnya dengan raut wajah yang terlihat semakin tajam. Seorang pria yang ada di ujung telepon sana tampak menganggukkan kepalanya dengan patuh dan segera bicara, "Siap, Bos."Setelah mendengar jawaban dari asisten pribadinya itu, Daniel segera memutuskan sambungan teleponnya.Dia kembali menatap jalanan melalui kaca mobil dan meremas tangannya erat ketika mengingat kembali semua perkataan Monica. 'Dia berani meremehkanku,' batinnya.Di tengah-tengah kemarahannya itu, tiba-tiba saja ponselnya kembali berdering nyaring. Pria itu seketika langsung menoleh dan tampak mengerutkan keningnya saat menyadari ada telepon dari Hendrawan. Tanpa berpikir dua kali dia langsung mengangkatnya dan seketika langsung terdengar suara seorang pria paruh baya di ujung telepon sana, "Gimana, Niel? Apa sudah ada informasi lain?"Daniel menghela napas berat. Dia tahu kalau keluarganya itu pasti terus saja menunggu-nunggu kabar terbaru darinya. Hanya saja untuk saat ini dia
"Kalau begitu, kita nggak boleh buang waktu. Ayo beri dia pelajaran!" Tangan pria itu tampak terkepal erat seolah-olah telah siap untuk melayangkan sebuah pukulan.Daniel yang melihat ancaman begitu jelas di depan matanya itu tetap memperlihatkan rasa takut sama sekali. Dia justru menghela nafas perlahan karena ternyata masih ada seseorang yang berani menyinggungnya dan menggunakan cara murahan seperti ini untuk mengusiknya."Siapa yang menyuruh kalian?" Dengan raut wajah yang datar, Daniel kembali bertanya. Seketika wajah keempat pria yang jauh lebih mirip seperti preman itu terlihat cukup terkejut. Ada perasaan kesal yang mulai muncul di dalam hati mereka semua ketika melihat kesombongan yang tampak begitu jelas di wajah Daniel."Kau tak perlu tahu," desis salah satu pria sambil terkekeh pelan dan menambahkan, "... Karena kami akan segera menghajarmu."Daniel tersenyum tipis ketika mendengar itu. Dia menggelengkan kepalanya perlahan sambil melipat melepaskan jas yang tengah dikenaka
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanyanya lagi karena harus memastikan seseorang yang telah berani mencoba untuk mencari masalah dengannya.Meskipun Daniel sebenarnya sudah bisa menebak kalau kemungkinan besar ini adalah Monica ataupun seseorang yang berhubungan dengan mantan istrinya itu.Dengan tatapan matanya yang terlihat semakin tajam, Daniel menatap preman itu sembari mencoba untuk memaksanya agar jujur.Seketika wajah preman yang masih berlutut itu langsung tampak ketakutan. Namun sebelum dia bisa menjawab pertanyaan Daniel, sebuah mobil tiba-tiba saja berhenti tepat di belakang mobil Daniel dan memperlihatkan sosok pria yang terlihat keluar dengan tergesa-gesa.Dion yang baru saja mendapatkan telepon dari sopir dari atasannya itu segera datang.Dia tampak membulatkan matanya ketika melihat 4 preman yang kini tampak sangat menyedihkan. Di dalam hatinya pria itu pun membatin, 'Mereka telah berurusan dengan orang yang salah,' pikirannya sembari melirik ke arah atasannya yang kini ter
"Dasar bodoh! Masa cuma pekerjaan gampang kayak gitu kalian gagal, hah?!" Monica segera berteriak ketika mendapatkan telepon dari orang-orang suruhannya.Mereka adalah preman yang sempat mencoba untuk mengusik Daniel dan kini segera memberitahukan mengenai kegagalan pekerjaan karena targetnya itu dengan mudah langsung membuat mereka berempat kalah.Nafas wanita itu memburu naik turun bersamaan dengan emosinya semakin menggebu-gebu karena dia tak pernah berpikir bahwa mantan suaminya itu akan bisa mengalahkan para preman yang sudah jelas dengan mudahnya mampu melenyapkan nyawa seseorang.Di dalam hatinya wanita itu pun membatin, 'Aku nggak berharap kalau mereka akan menghabisi Daniel, setidaknya mereka seharusnya bisa memberikan sedikit pelajaran berupa peringatan. Tapi apa ini?!' Darah yang ada dalam tubuhnya terasa membeku dan urat-urat nadinya itu menegang. Monica mengepalkan tangannya dengan erat dan kembali membatin, 'Daniel sekarang pasti semakin mencurigaiku,' pikirnya. Meskipun
"Terus ikuti mobil itu, jangan terlalu dekat." Daniel segera memberikan perintah pada sopirnya itu untuk tetap fokus pada sebuah mobil sedan berwarna putih yang kini tengah melaju tepat sekitar 100 meter didepannya.Bagaimanapun juga pria itu tak ingin jika mantan istrinya merasa curiga ketika diikuti.Di dalam hatinya pria itu pun kembali membatin, 'Aku yakin kalau saat ini dia berniat untuk pergi menemui bawahannya.'Setelah dia berhasil memprovokasi Monica, wanita itu pastinya semakin tak sabaran untuk menggunakan putranya sendiri supaya bisa menekan Daniel.Menyadari hal itu, Daniel tak ingin membuang waktu sedikitpun karena takut putranya mendapatkan perlakuan yang tak baik dari ibunya sendiri. Meskipun Monica saling berkata bahwa dia menyayangi Sean, sebenarnya wanita itu hanya menjadikannya sebagai tameng.Di waktu yang bersamaan, Monica terlihat sangat serius ketika berbicara dengan seseorang yang berada di ujung telepon sana."Jangan pergi kemanapun, aku ingin mengecek keadaan
"Sudah satu jam," gumam pria itu sambil melirik ke arah arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya dan kembali mengarahkan pandangannya ke salon. Dia menghela nafas perlahan karena mantan istrinya itu tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali setelah satu jam berlalu. Dia memang tahu bahwa wanita memang cukup lama menghabiskan waktunya untuk urusan penampilan, tapi rasanya dia tak sabar untuk menunggu karena Monica saat ini harus diawasi terus menerus.Di saat tengah memikirkan itu tiba-tiba saja ponselnya berdering nyaring dan membuat pria itu seketika langsung menoleh sambil meraihnya. "Kepala pelayan?" gumamnya ketika menyadari bahwa seseorang yang meneleponnya saat ini adalah Anggun. Tanpa basa-basi dia pun langsung mengangkat panggilan. Namun sayangnya sebelum pria itu bisa mengatakan apapun, kepala pelayan yang ada di ujung telepon sana segera memotong, "Tuan, Anda harus segera kembali!"Daniel yang menyadari nada suara kepala pelayan terdengar cemas, seketika meng
"Nona, Anda harus memberikan kartu identitas," tutur seorang pria yang merupakan jasa penyewaan mobil. Dia menatap lekat sosok wanita yang kini tampak menggunakan masker dan juga topi itu.Monica yang mendengarnya seketika langsung memicingkan matanya dengan tajam. "Aku sudah meninggalkan mobilku di sini sebagai jaminan dan membayar biaya sewa 3 kali lipat hanya untuk digunakan selama 2 jam saja. Apa masih ada masalah?"Pertanyaan bernada sombong itu telah berhasil membuat raut wajah pria berbadan tinggi itu mengerutkan keningnya. 'Sombong sekali,' batinnya.Setelah menghela nafasnya perlahan pria itu pun kembali menegaskan, "Benar. Tapi tetap saja--""Berisik! Ini uang tambahannya," potong wanita itu seraya menyerahkan segepok uang karena tak ingin berada di dalam situasi yang rumit dengan masalah sulit.Mata pria itu seketika tampak berbinar senang ketika melihat uang yang banyak. 'Bisa-bisanya dia ngasih uang segampang ini cuma buat nyewa mobil,' batinnya. Di saat tengah merasa sen
"Daniel," tegur Hendrawan, ketika melihat putranya itu sejak tadi termenung.Seketika Daniel langsung menoleh, namun pria itu juga masih diam.Hendrawan menghela nafas perlahan dan kembali berkata, "Jangan menyalahkan diri sendiri. Masuklah, lihat keadaan Nadia."Daniel yang mendengar itu menganggukkan kepala perlahan dan segera masuk untuk menengok keadaan Nadia. Di sana, Martha tampak menoleh dan wanita paruh baya itu memahami isi pikiran putranya. Dia pun segera berdiri dan mengelus kepala Nadia sambil berkata, "Tante keluar dulu, ya."Gadis itu menganggukkan kepalanya lemah, membiarkan calon ibu mertuanya terlalu pergi.Saat Martha melewati putranya, wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya sejenak dan segera menepuk pelan pundak putranya sambil berkata lirih, "Dia baik-baik saja, Niel."Meski Daniel mendengar itu, dia tak sepenuhnya percaya karena dokter sendiri sempat berkata mengenai keadaan hadiah dan gadis itu bahkan bisa saja mengalami sesuatu yang buruk.Hanya dengan me
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h