Meskipun dilanda kemarahan, Jayden tetap tenang dan tegas. "Vania, itu tidak mungkin. Anna sudah memilih, dan kehadiranmu di sini hanya akan membuatnya sulit. Kami harus melanjutkan hidup tanpamu."Vania terus menangis, merasa putus asa. Ia mencoba lagi untuk memohon. "Aku hanya ingin memberitahunya, Jayden. Aku ingin Anna tahu bahwa aku adalah ibu kandungnya. Beri aku kesempatan terakhir."Jayden menggeleng dan membalas dengan geram. "Itu tidak akan mengubah apa-apa, Vania! Anna sudah membuat pilihannya. Kamu harus menerima kenyataan ini dan pergi."Vania terus merayu dengan mata berkaca-kaca, tetapi Jayden tetap tidak tergoyahkan. Keputusan sudah diambil, dan ia tidak akan membiarkan Vania merusak kedamaian dan kebahagiaan yang baru saja ia dapatkan. Jayden pun melangkah pergi tanpa peduli dengan panggilan Vania berulang kali."Tenangkan dirimu, ini mungkin sulit, tapi—""Enyahlah dari hadapanku, perempuan sialan!" bentak Vania saat Agatha menyentuh pundaknya. Ia langsung menepisnya
[“Anak sialan! Bawa pergi perempuan gila ini dari rumahku!”] Jayden segera menjauhkan ponselnya dari telinga saat suara memekakkan itu terdengar berteriak marah dari Jonathan di seberang. Ia mengernyit tak paham. Apalagi tidak biasanya pria berbicara melalui telepon. “Siapa maksud Anda?” tanya Jayden, kemudian ia bisa mendengar suara dengkusan keras di sana. ["Ibu dari anak haram itu! Dia ke sini memohon-mohon seperti orang gila!"] Mata Jayden reflek melebar. “Apa? Vania ada di sana?” [“Usir dia dari sini sekarang juga!”] Setelah itu telepon ditutup secara sepihak oleh Jonathan. Helaan napas panjang dari mulut Jayden langsung terdengar. Sungguh, ia benar-benar terkejut dan tidak menyangka Vania akan melakukan hal nekat itu dengan pergi ke rumahnya. Tanpa berlama-lama lagi malam itu juga Jayden segera memasukkan ponselnya ke saku lalu berjalan keluar kamar. Ia hanya berpamitan kepada Anna dan Agatha bahwa Jonathan memanggilnya karena ada urusan pekerjaan. Dengan kecepatan tinggi
"Dan kami juga merasa begitu, Jayden. Kami ada di sini untuk saling mendukung. Mari kita hadapi semuanya bersama-sama."Jayden tersenyum lega karena Agatha bisa mengerti tanpa harus menjelaskan panjang lebar. "Terima kasih, Agatha. Kamu selalu bisa membaca hatiku tanpa banyak kata. Aku beruntung memiliki kamu di ini."Agatha tersenyum lembut, menyatakan dukungan tanpa perlu banyak bicara. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama dalam ketenangan, menemukan kenyamanan satu sama lain di tengah badai kehidupan."Aku bersyukur kamu tidak membeli alkohol lagi. Karena jika kamu sampai melakukan itu, maka aku akan memarahimu dan membuang semua minuman itu."Jayden tersenyum kecil. "Aku mengerti, Agatha. Kamu selalu menjadi pengingatku. Terima kasih karena selalu ada untukku, bahkan di saat-saat sulit seperti ini."Agatha pun tersenyum, lalu menawarkan makanan karena ia tahu Jayden belum makan malam. Kebetulan Agatha juga sudah masak dan masih menyisakan untuk Jayden. Agatha membawa piring b
"Kamu tahu dia menggambar apa?” tanya Agatha penasaran. Sambil ia membuka rice cooker untuk mengecek nasi. “Aku tidak melihatnya dari dekat, takut menganggu. Aku kira kamu sudah lebih dulu tahu?” Agatha menggeleng. “Aku langsung ke dapur tadi. Tapi memang akhir-akhir ini dia tampak serius. Sepertinya dia menggambar sesuatu yang berbeda dari biasanya. Aku bahkan dilarang melihatnya.” “Memang biasanya apa yang dia gambar?” Jayden cukup menyesal tidak pernah melihat hasil gambaran Anna karena terlampau sibuk. “Sudah aku udah duga kamu tidak tahu. Sepertinya kamu harus sedikit meluangkan waktu untuk menanyai soal hobi dan kesukaan Anna.” Sudut bibir Jayden tertarik sebelah. “Tugas kamu memang salah satunya memberitahu apa yang tidak aku tahu. Aku rasa Anna jauh lebih terbuka denganmu."Agatha menghela napas. Ia menjadi teringat saat masa kecilnya dulu di mana yang menanyai soal hobinya adalah sang ibu. Ayahnya termasuk kategori yang tidak peka alih-alih tidak terpikirkan untuk menany
Aluna menghela napas panjang. "Ibuku tidak sejahat itu, Agatha. Kamu harus mencobanya lagi. Waktu itu, kan, yang pertama kali. Kamu tidak boleh menyerah, aku pun juga akan begitu. Aku akan memuji-mujimu di depan ibu supaya dia percaya bahwa kamu anak yang baik-baik untuk menjadi temanku."Agatha terdiam. Aluna benar. Ia tidak mungkin akan terus bersahabat dengan Aluna tanpa restu ibunya. Meskipun agatha masih tidak percaya diri, tapi apa boleh buat. Dari pada terlambat, lebih baik memberanikan diri dari saat ini, kan.Aluna mendengkus kesal karena Agatha malah melanjutkan makannya. "Hei, aku menunggu jawabanmu, Agatha!"Agatha menelan baksonya lalu mengangguk. "Iya, iya. Aku akan mencobanya. Mengerjakan skripsi bersama-sama juga lebih menyenangkan.""Yeay! Aku sayang padamu, Agatha!" Aluna hendak memeluk Agatha, namun ditahan gadis itu."Kita sedang di kantin, Aluna. Makan saja makananmu itu. Nanti keburu dimakan lalat."Aluna terkekeh lalu menurut. Ia senang karena Agatha akan ke rum
Agatha tersenyum lembut. "Kak Grace, setiap orang punya tempatnya sendiri, bukan? Termasuk aku. Ayolah, tidak baik membuang-buang waktu. Semoga Kak Grace segera menemukan kebahagiaan."Grace menyeringai dengan sindiran pedas. "Bahagia? Aku yakin kebahagiaan itu terlalu mewah untuk orang sepertimu."Agatha tetap tenang. "Keberuntungan dan kebahagiaan tidak selalu tergantung pada harta, Kak Grace. Banyak hal indah di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang."Grace mencibir. "Terserahlah, kamu bisa bermimpi sepuasnya, Gadis Miskin."Agatha tersenyum enteng. "Oh, Kak Grace, impian memang tidak mengenal batas, bukan? Siapa tahu suatu hari nanti, aku bisa membuktikannya.""Kamu sungguh tidak tahu diri, ya, rupanya?" desis Grace menggertakkan gigi.Agatha mengangkat bahu dengan santai. "Ah, Kak Grace, hidup terlalu singkat untuk terus menerus merasa tidak puas terhadap takdir. Dari pada itu mari nikmati hari ini dan biarkan kebahagiaan datang pada waktu yang tepat."Grace melirik tajam.
Menggertakkan gigi, Jonathan melanjutkan decihannya. "Berkembang pesat? Cih! Sepertinya dia hanya ingin membuktikan betapa bodohnya aku! Dasar anak durhaka!"Dalam kekesalannya, Jonathan melampiaskan frustasinya pada benda-benda di sekitarnya, melempar pena dengan kasar dan memukul meja hingga beberapa dokumen berserakan. Suasana ruang kerjanya terasa panas dan tegang, mencerminkan kekecewaan dan kekesalan yang ia rasakan."Kalau begini jadinya, aku tidak bisa lagi mengawasi gerak-gerik perempuan miskin itu! Sekarang dia pasti sedang bersenang-senang karena rana terbebas olehku!" geram Jonatan kala teringat dengan Agatha yang saat ini pasti sedang hidup damai.Sejak awal, Jonathan sebenarnya ikut campur tangan dalam urusan Jayden karena ingin menjadikannya ahli waris perusahaannya, namun Jayden menolak diatur-atur terutama setelah ia menikah lagi. Tanpa tahu alasannya kenapa ia melakukan itu.Meski Jonathan tahu bahwa Cakra, anak tirinya, tidak memiliki passion di bidang tersebut, ia
Setibanya di ruang rapat, Jayden duduk dan mencoba fokus pada agenda rapat. Namun, beberapa karyawan wanita mencoba duduk di sekitar Jayden dengan harapan bisa menarik perhatiannya. Jayden tetap menahan diri dan hanya memberikan instruksi atau tanggapan yang diperlukan selama rapat.Setelah rapat selesai, Jayden melangkah ke ruangannya dengan harapan bisa bekerja dengan tenang. Namun, begitu masuk ke ruangannya, ada selembar kertas yang tertempel di pintu kaca dengan tulisan 'Pak Jayden, saya membutuhkan tanda tangan Anda'. Jayden hanya mendengkus sekilas melihat kertas pink dengan corak hati itu. Kemudian segera menandatangani dokumen yang dilesakkan di bawahnya tanpa banyak berkomentar.Adegan berulang seperti ini menjadi rutinitas di kantor, dan Jayden tetap mempertahankan sikap dingin dan cueknya, memilih memfokuskan diri pada pekerjaannya."Mereka sangat kurang kasih sayang," kata Jayden dengan decihanm ***Sebuah ketukan lembut terdengar di pintu ruangan Jayden, dan kemudian p