"Hahaha ... bukan begitu, Bang. Aku cuma mau bantu saudaraku tersayang yang sudah merelakan bidadarinya untukku."
"Anisa itu bidadari kamu bukan saya. Tuhan hanya menitipkan pada saya sebelum menyerahkannya kepada yang berhak."
Walau hatinya merasa sakit, tapi ia harus berpura-pura bahagia. Ia lebih sakit melihat adiknya terbaring lemah.
"Bang, aku mau peluk kamu." Bara merentangkan tangannya ingin memeluk Gara, tapi pemuda itu menolaknya.
"Sudahlah, jangan banyak tingkah! Sebaiknya kamu istirahat!"
Gara melipat tangannya di depan dada sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan mata terpejam.
"Dia tetap sama seperti manusia es," gumam Bara.
"Saya dengar."
"Maaf, Bang," balas Bara sembari menahan tawanya.
Bara memerhatikan ke sekeliling ruangannya, tidak ada yang bisa dijadikan tempat untuk Gara beristirahat.
Hanya ada dua ranjang pasien yang kosong, mana mungkin Gara mau tidur di ranjang p
Gara menubruk Bara, hingga keduanya jatuh di lantai kamar mandi.Suara mereka terdengar hingga keluar ruangan, membuat pengawalnya bergegas masuk ke dalam ruang perawatan sang tuan."Tuan muda!"Laki-laki tegap itu membantu Gara untuk bangun, kemudian mereka berdua membantu Bara, dan memapahnya sampai tempat tidur.Anisa berjalan cepat saat melihat Bara dipapah oleh dua orang. Pintu ruangan itu terbuka lebar hingga ia bisa melihat kekasihnya dari kejauhan."Ada apa?" Anisa panik melihat jarum infus yang terlepas dari tangan kekasihnya. "Aku panggil Dokter dulu."Ia bergegas memanggil Dokter jaga untuk membantu calon suaminya setelah menaruh makanan yang ia bawa di atas meja di samping ranjang pasien."Bara, maafkan saya," ucap Gara setelah adiknya terbaring di tempat tidur. "Apa ada yang sakit?""Pantatku sakit," jawab Bara sambil mengusap pantatnya yang dimiringkan. "Memangnya Abang mau ngapain?""Mau mendobrak pintu ka
"Apa aku boleh meminta sesuatu kepada orang tuamu?" tanya Anisa ragu."Boleh, Sayang. Kamu bisa mengatakannya langsung pada mereka."Anisa tersenyum sambil mengangguk."Aku mau menelpon Mommy, apa kamu mau mengatakannya sekarang?""Nanti saja. Aku ingin berbicara langsung kepada beliau," jawab Anisa. "Sangat tidak sopan kalau aku mengatakan ini di telepon.""Baiklah!"Bara mengambil ponselnya di bawah bantal, lalu menelpon sang mommy. "Aku telepon Mommy sebentar.""Beliau ibumu, wanita yang melahirkanmu, tidak perlu meminta izinku kalau hanya untuk menelponnya saja."Bara tersenyum senang sambil menempelkan benda pipih itu di daun telinganya."Halo, Mom," sapa Bara kepada bidadari sang daddy. "Gimana kabar Mommy dan Daddy?""Sayang, gimana kabarmu hari ini? Apa masih lemas, mual atau pusing?"Andin malah balik bertanya. Ia sangat mengkhawatirkan anaknya."Hmm ... kalau aku sakit aja manggilnya
"Boo, kamu kenapa?" Andin menangkup wajah suaminya. Air matanya mengalir tanpa terasa.Sang pengawal memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Lalu, keluar dari dalam mobil, membiarkan tuannya berdua dengan sang istri.Ketika pengawalnya pergi, Haidar membungkam mulut istrinya. Ia melumatnya dengan rakus. Bibir sang istri selalu menggodanya, menjadi candu yang tidak bisa ia hindari.Haidar tidak melepaskan istrinya begitu saja. Ciuman panas di pagi hari berlangsung lama sampai akhirnya Andin menyerah dan membalas ciuman suaminya."Jangan pernah menakuti aku lagi!" ucap Andin di sela ciumannya.Wanita itu kembali mendaratkan bibirnya di bibir sang suami. Lumatan lembut dari keduanya membuat ia lupa diri kalau dirinya sedang berada di dalam mobil.Ciuman panas itu terhenti setelah semuanya sama-sama puas. Haidar mengusap bibir sang istri dengan ibu jarinya. "Terima kasih, Bee. Aku sangat mencintaimu.""Aku juga sangat mencintai
“Silakan duduk Tuan, Nyonya!”Tuan Indra mempersilakan Haidar dan Andin untuk duduk di karpet permadani."Rumah ini sudah lama tidak ditinggali, jadi perabotnya sudah tidak layak pakai dan akhirnya dibuang oleh orang yang mengurusnya," kata Tuan Indra yang mengetahui info tersebut dari Bu Eni. "Maaf, kalau membuat Tuan dan Nyonya Haidar tidak nyaman.""Tidak apa-apa, Tuan," balas Haidar. "Di sini sangat nyaman. Walau tidak ada sofa atau sejenisnya, tapi rumah ini sangat rapi dan bersih.""Rumah ini kenangannya semasa kecil, ia pasti mengurusnya dengan baik."Tuan Indra mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah yang tidak banyak berubah, masih sama seperti waktu pertama kali ia datang untuk menikahi Dahlia, ibu kandung Anisa.“Tuan Indra terima kasih ya sudah membantu anak saya menemukan Anisa,” ucap Andin dengan tulus kepada laki-laki yang duduk di depan suaminya.“Seharusnya saya yang be
Gara menoleh pada sang mommy, lalu berkata, “Mau jemput Bara, Mom.”“Mommy ikut.” Andin berjalan mendekati anaknya.Ia sudah rindu sekali dengan anaknya yang sedang sakit. Sejak semalam terus memikirkan Bara.“Mommy tunggu di sini saja, kita hanya sebentar. Mereka sudah menunggu sejak tadi.”Gara segera pergi bersama dengan pengawal setianya untuk menjemput Bara. Tidak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di sebuah puskesmas karena memang jaraknya yang tidak terlalu jauh.Saudara kembarnya itu sudah menunggu di luar bersama dengan Anisa.Gara turun dari mobil, lalu menghampiri adiknya. “Maaf, saya telat menjemput kalian.”“Nggak apa-apa, Bang, kita juga baru keluar.” Bara tersenyum pada saudara kembarnya.“Apa kamu bisa berjalan sendiri? Atau butuh kursi roda?” tanya Gara sambil memegangi bahu sang adik untuk membantunya berjalan.“Kamu itu
Anisa mengangkat kepala, lalu menoleh pada calon suaminya. Ucapan Gara begitu menampar dirinya.Sementara laki-laki itu tidak menyadari kalau ucapannya menyakiti hati calon adik ipar. Wanita sederhana yang merupakan cinta pertamanya.Bara tidak berbicara apa-apa, ia hanya menggelengkan kepala supaya Anisa tidak menyahuti ucapan abangnya.Anisa pun memaklumi ucapan calon kakak iparnya. Ia tidak sakit hati pada Gara, hanya saja ucapan laki-laki itu benar-benar membuatnya merasa sangat bersalah.Sampai mobil mewah itu berhenti di depan rumah Anisa, Bara dan calon istrinya masih saling memandang, mereka tidak sadar kalau sudah sampai di rumah.Gara menoleh ke belakang. "Kalian kenapa diam saja?Kalian tidak mau turun?" tanyanya sebelum keluar dari mobil."Iya, Bang, ini mau turun," jawab Bara.Laki-laki angkuh itu tidak berbicara apa-apa lagi, ia berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah Anisa."Sayang, maafkan Abang ya." Bara menang
"Hamil?!" Andin terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut anaknya."Kamu hebat, Bara!" puji Haidar sambil menepuk bahu anaknya.Semua orang yang ada di sana terkejut mendengar ucapan Haidar. Terlebih Tuan Indra yang merupakan Ayah kandung Anisa yang baru dipertemukan setelah bertahun-tahun berpisah.Andin memukul punggung suaminya dengan keras. "Apanya yang hebat? Dia ngehamilin anak orang malah kamu puji-puji!""Aku bukan memuji itunya, tapi karena dia berani bertanggung jawab atas perbuatannya."Setelah mendengar penjelasan Haidar barulah Tuan Indra merasa lega. Ia pikir Haidar memuji Bara karena kesuksesannya yang telah menghamili anak gadisnya.Andin menggelengkan kepala melihat tingkah suaminya. Kemudian, wanita itu mendekati calon menantunya.“Sayang, kamu mau makan apa? Biar Mommy masakin?”“Nggak usah repot-repot, Tante.” Anisa tersenyum manis kepada calon mertuanya.“J
"Ya nggaklah!" Andin memukul lengan anaknya. "Mommy seneng banget mau punya cucu. Kamu seneng nggak?"Gara memegang bahu sang mommy sembari menatap wanita cantik itu."Dengar ya, Mommy! Saya sangat bahagia melihat orang-orang yang saya sayangi bahagia, tidak ada alasan untuk saya bersedih di tengah kebahagiaan ini.""Kamu memang anak Mommy, Nak." Andin memeluk laki-laki yang lebih tinggi darinya itu.Gara memeluk Mommy-nya dengan erat, lalu bertanya, "Memangnya selama ini Mommy ragu kalau saya ini bukan anakmu?"Wanita itu melepas pelukannya, lalu memukul dada bidang anaknya. "Kalian itu anak Mommy.""Kenapa Mommy selalu memukul saya?" Gara bertanya sembari memegangi dada yang dipukul sang mommy."Karena kamu udah mirip seperti Bara, selalu saja menyebalkan.""Hahaha ... anak itu memang menyebalkan," timpal Gara sembari terkekeh geli.Sifat Bara memang sangat berbeda dengannya. Adiknya itu periang, walau menyebalkan tapi