Gara menoleh pada sang mommy, lalu berkata, “Mau jemput Bara, Mom.”
“Mommy ikut.” Andin berjalan mendekati anaknya.
Ia sudah rindu sekali dengan anaknya yang sedang sakit. Sejak semalam terus memikirkan Bara.
“Mommy tunggu di sini saja, kita hanya sebentar. Mereka sudah menunggu sejak tadi.”
Gara segera pergi bersama dengan pengawal setianya untuk menjemput Bara. Tidak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di sebuah puskesmas karena memang jaraknya yang tidak terlalu jauh.
Saudara kembarnya itu sudah menunggu di luar bersama dengan Anisa.
Gara turun dari mobil, lalu menghampiri adiknya. “Maaf, saya telat menjemput kalian.”
“Nggak apa-apa, Bang, kita juga baru keluar.” Bara tersenyum pada saudara kembarnya.
“Apa kamu bisa berjalan sendiri? Atau butuh kursi roda?” tanya Gara sambil memegangi bahu sang adik untuk membantunya berjalan.
“Kamu itu
Anisa mengangkat kepala, lalu menoleh pada calon suaminya. Ucapan Gara begitu menampar dirinya.Sementara laki-laki itu tidak menyadari kalau ucapannya menyakiti hati calon adik ipar. Wanita sederhana yang merupakan cinta pertamanya.Bara tidak berbicara apa-apa, ia hanya menggelengkan kepala supaya Anisa tidak menyahuti ucapan abangnya.Anisa pun memaklumi ucapan calon kakak iparnya. Ia tidak sakit hati pada Gara, hanya saja ucapan laki-laki itu benar-benar membuatnya merasa sangat bersalah.Sampai mobil mewah itu berhenti di depan rumah Anisa, Bara dan calon istrinya masih saling memandang, mereka tidak sadar kalau sudah sampai di rumah.Gara menoleh ke belakang. "Kalian kenapa diam saja?Kalian tidak mau turun?" tanyanya sebelum keluar dari mobil."Iya, Bang, ini mau turun," jawab Bara.Laki-laki angkuh itu tidak berbicara apa-apa lagi, ia berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah Anisa."Sayang, maafkan Abang ya." Bara menang
"Hamil?!" Andin terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut anaknya."Kamu hebat, Bara!" puji Haidar sambil menepuk bahu anaknya.Semua orang yang ada di sana terkejut mendengar ucapan Haidar. Terlebih Tuan Indra yang merupakan Ayah kandung Anisa yang baru dipertemukan setelah bertahun-tahun berpisah.Andin memukul punggung suaminya dengan keras. "Apanya yang hebat? Dia ngehamilin anak orang malah kamu puji-puji!""Aku bukan memuji itunya, tapi karena dia berani bertanggung jawab atas perbuatannya."Setelah mendengar penjelasan Haidar barulah Tuan Indra merasa lega. Ia pikir Haidar memuji Bara karena kesuksesannya yang telah menghamili anak gadisnya.Andin menggelengkan kepala melihat tingkah suaminya. Kemudian, wanita itu mendekati calon menantunya.“Sayang, kamu mau makan apa? Biar Mommy masakin?”“Nggak usah repot-repot, Tante.” Anisa tersenyum manis kepada calon mertuanya.“J
"Ya nggaklah!" Andin memukul lengan anaknya. "Mommy seneng banget mau punya cucu. Kamu seneng nggak?"Gara memegang bahu sang mommy sembari menatap wanita cantik itu."Dengar ya, Mommy! Saya sangat bahagia melihat orang-orang yang saya sayangi bahagia, tidak ada alasan untuk saya bersedih di tengah kebahagiaan ini.""Kamu memang anak Mommy, Nak." Andin memeluk laki-laki yang lebih tinggi darinya itu.Gara memeluk Mommy-nya dengan erat, lalu bertanya, "Memangnya selama ini Mommy ragu kalau saya ini bukan anakmu?"Wanita itu melepas pelukannya, lalu memukul dada bidang anaknya. "Kalian itu anak Mommy.""Kenapa Mommy selalu memukul saya?" Gara bertanya sembari memegangi dada yang dipukul sang mommy."Karena kamu udah mirip seperti Bara, selalu saja menyebalkan.""Hahaha ... anak itu memang menyebalkan," timpal Gara sembari terkekeh geli.Sifat Bara memang sangat berbeda dengannya. Adiknya itu periang, walau menyebalkan tapi
Malam pun tiba saatnya makan malam, Andin bersama Bu Eni sudah masak banyak untuk makan malam bersama. Walau menunya sederhana, dengan bumbu seadanya saja, tapi makanan itu terasa sangat nikmat.Setelah makan malam, mereka bersantai di ruang keluarga sambil menonton siaran televisi. Malam semakin larut, Annisa sudah sangat mengantuk, tapi yang lainnya masih mengobrol sambil bersenda gurau.Melihat calon menantunya sudah terlihat mengantuk, Andin bangun dan mengajak Anisa untuk beristirahat. “Sayang, kita tidur yuk!” Calon nenek itu mengulurkan tangan kepada Anisa.Anisa pun menerima uluran tangan itu, badannya terasa pegal-pegal karena seharian tidak bekerja apa-apa.Ia hanya beristirahat saja, sama sekali tidak diperbolehkan melakuakn pekerjaan rumah ataupun bekerja di ladang seperti sebelum Bara dan keluarganya datang.“Boo, kamu tidur dengan Taun Indra saja ya, biar Bara tidur dengan Gara,” kata Andin se
"Ada apa?"Andin dan Anisa bangun dan turun dari tempat tidur. Mereka berdua keluar dari kamarnya saat mendengar suara dari ruang keluarga.Begitu pun dengan Bara dan Gara, mereka juga keluar kamar karena terkejut mendengar suara teriakan yang kencang."Boo, ada apa?" tanya Andin pada suaminya yang sedang anteng menonton siaran televisi bersama Tuan Indra.Kedua laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu menoleh ke belakang.Empat orang telah berjejer sambil melipat kedua tangannya."Maaf, Bee, aku tadi lagi nonton bola, seru banget," jawab Haidar sambil menatap satu persatu anak dan istrinya. "Maaf ya sudah mengganggu kalian."Maafkan kami," timpal Tuan Indra yang terlihat menyesali perbuatannya. "Ayo kita tidur!"Tuan Indra mematikan siaran televisi itu. Ia bangun dari duduknya, begitu pun dengan Haidar."Daddy, ngagetin aja," ucap Bara sebelum kembali ke kamar."Apalagi Mommy yang paling dekat dengan mereka
"Sayang, kenapa bisa jatuh?" Bara segera menggendong Anisa yang terduduk di lantai kamar mandi. "Darah," gumamnya saat mengangkat tubuh kekasihnya, ada darah di lantai."Sakit, Mas." Anisa memegangi perutnya sambil menangis."Tahan ya, Sayang! Kita ke rumah sakit sekarang.""Ya ampun, Nak."Andin segera melepas celemeknya. Lalu, berteriak memanggil Gara setelah melihat kondisi calon menantunya."Gara ...!"Andin berteriak sekencang-kencangnya sehingga membangunkan seisi rumah.Mendengar teriakan sang mommy, Gara berlari menghampirinya. "Ada apa?""Cepat antar Anisa ke rumah sakit!"Gara terkejut melihat Anisa meringis kesakitan dalam gendongan adiknya."Rumah sakit adanya di kota, ada puskesmas dekat sini. Tapi, di sana lengkap," jawab Gara."Ya sudah cepat bawa Anisa ke sana!"Kakinya terasa sangat lemas, melihat darah yang mengalir dari kaki calon menantunya."Cepat Gara ...! Kam
Bara menguburkan janin yang menjadi penyatu antara dia dan kekasihnya."Terima kasih, juniorku. Kamu telah menyatukan Ayah dan Ibu. Kami akan selalu mengingatmu."Laki-laki itu mencium papan kayu yang bertuliskan juniorku. Walau usia janin itu baru dua bulan, tapi Bara menguburkannya dengan layak.Setelah selesai, Bara segera membersihkan dirinya, walau tubuhnya lelah, lesu, ia tetap harus kuat demi Anisa.Gadis itu pasti lebih terpukul karena sudah kehilangan calon bayinya."Bara kamu terlihat pucat, apa kamu sakit?" tanya Gara setelah mereka mandi dan berganti baju.Kini mereka hendak kembali ke rumah sakit, tapi Bu Eni menghentikan langkahnya."Nak ... ke sini sebentar!" Bu Eni memanggil Bara dan Gara.Kedua pemuda itu menghampiri tetangga Anisa yang sudah sangat baik padanya."Ada apa, Bu?" tanya Gara."Duduklah dulu! Ibu ke dalam sebentar."Wanita itu segera masuk ke dalam rumahnya, m
"Aku akan menikah dengan Anisa. Jika Abang jatuh cinta lagi kepada wanita lain, aku nggak akan penasaran lagi," sahut Bara. "Aku janji, cukup sekali ini aja aku menyakitimu. Aku tidak akan pernah mengambil milikmu lagi.""Bukan itu alasan saya tidak ingin jatuh cinta lagi," balas Gara. "Saya juga tidak pernah sakit hati melihat kalian bahagia.""Lalu, kenapa Abang nggak mau jatuh cinta lagi?""Saya takut sepertimu," balas Gara. "Dibudakan cinta."Gara tertawa terbahak-bahak, ia beruntung tidak menjadi budak cinta seperti adiknya yang menurutnya laki-laki menjadi lemah dan cengeng ketika dibudakkan oleh cinta."Ciee ... belum tahu aja dia kalo udah jatuh cinta," cibir Bara pada abangnya. "Daddy, manusia yang tidak berperasaan, dia menghina Mommy di awal pernikahan, tapi akhirnya ketika beliau jatuh cinta malah bucin abis, kadang sama anaknya sendiri dicemburuin.""Saya masih waras, tidak akan seperti itu."Gara yakin akal sehatnya masi