"Ya nggaklah!" Andin memukul lengan anaknya. "Mommy seneng banget mau punya cucu. Kamu seneng nggak?"
Gara memegang bahu sang mommy sembari menatap wanita cantik itu.
"Dengar ya, Mommy! Saya sangat bahagia melihat orang-orang yang saya sayangi bahagia, tidak ada alasan untuk saya bersedih di tengah kebahagiaan ini."
"Kamu memang anak Mommy, Nak." Andin memeluk laki-laki yang lebih tinggi darinya itu.
Gara memeluk Mommy-nya dengan erat, lalu bertanya, "Memangnya selama ini Mommy ragu kalau saya ini bukan anakmu?"
Wanita itu melepas pelukannya, lalu memukul dada bidang anaknya. "Kalian itu anak Mommy."
"Kenapa Mommy selalu memukul saya?" Gara bertanya sembari memegangi dada yang dipukul sang mommy.
"Karena kamu udah mirip seperti Bara, selalu saja menyebalkan."
"Hahaha ... anak itu memang menyebalkan," timpal Gara sembari terkekeh geli.
Sifat Bara memang sangat berbeda dengannya. Adiknya itu periang, walau menyebalkan tapi
Malam pun tiba saatnya makan malam, Andin bersama Bu Eni sudah masak banyak untuk makan malam bersama. Walau menunya sederhana, dengan bumbu seadanya saja, tapi makanan itu terasa sangat nikmat.Setelah makan malam, mereka bersantai di ruang keluarga sambil menonton siaran televisi. Malam semakin larut, Annisa sudah sangat mengantuk, tapi yang lainnya masih mengobrol sambil bersenda gurau.Melihat calon menantunya sudah terlihat mengantuk, Andin bangun dan mengajak Anisa untuk beristirahat. “Sayang, kita tidur yuk!” Calon nenek itu mengulurkan tangan kepada Anisa.Anisa pun menerima uluran tangan itu, badannya terasa pegal-pegal karena seharian tidak bekerja apa-apa.Ia hanya beristirahat saja, sama sekali tidak diperbolehkan melakuakn pekerjaan rumah ataupun bekerja di ladang seperti sebelum Bara dan keluarganya datang.“Boo, kamu tidur dengan Taun Indra saja ya, biar Bara tidur dengan Gara,” kata Andin se
"Ada apa?"Andin dan Anisa bangun dan turun dari tempat tidur. Mereka berdua keluar dari kamarnya saat mendengar suara dari ruang keluarga.Begitu pun dengan Bara dan Gara, mereka juga keluar kamar karena terkejut mendengar suara teriakan yang kencang."Boo, ada apa?" tanya Andin pada suaminya yang sedang anteng menonton siaran televisi bersama Tuan Indra.Kedua laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu menoleh ke belakang.Empat orang telah berjejer sambil melipat kedua tangannya."Maaf, Bee, aku tadi lagi nonton bola, seru banget," jawab Haidar sambil menatap satu persatu anak dan istrinya. "Maaf ya sudah mengganggu kalian."Maafkan kami," timpal Tuan Indra yang terlihat menyesali perbuatannya. "Ayo kita tidur!"Tuan Indra mematikan siaran televisi itu. Ia bangun dari duduknya, begitu pun dengan Haidar."Daddy, ngagetin aja," ucap Bara sebelum kembali ke kamar."Apalagi Mommy yang paling dekat dengan mereka
"Sayang, kenapa bisa jatuh?" Bara segera menggendong Anisa yang terduduk di lantai kamar mandi. "Darah," gumamnya saat mengangkat tubuh kekasihnya, ada darah di lantai."Sakit, Mas." Anisa memegangi perutnya sambil menangis."Tahan ya, Sayang! Kita ke rumah sakit sekarang.""Ya ampun, Nak."Andin segera melepas celemeknya. Lalu, berteriak memanggil Gara setelah melihat kondisi calon menantunya."Gara ...!"Andin berteriak sekencang-kencangnya sehingga membangunkan seisi rumah.Mendengar teriakan sang mommy, Gara berlari menghampirinya. "Ada apa?""Cepat antar Anisa ke rumah sakit!"Gara terkejut melihat Anisa meringis kesakitan dalam gendongan adiknya."Rumah sakit adanya di kota, ada puskesmas dekat sini. Tapi, di sana lengkap," jawab Gara."Ya sudah cepat bawa Anisa ke sana!"Kakinya terasa sangat lemas, melihat darah yang mengalir dari kaki calon menantunya."Cepat Gara ...! Kam
Bara menguburkan janin yang menjadi penyatu antara dia dan kekasihnya."Terima kasih, juniorku. Kamu telah menyatukan Ayah dan Ibu. Kami akan selalu mengingatmu."Laki-laki itu mencium papan kayu yang bertuliskan juniorku. Walau usia janin itu baru dua bulan, tapi Bara menguburkannya dengan layak.Setelah selesai, Bara segera membersihkan dirinya, walau tubuhnya lelah, lesu, ia tetap harus kuat demi Anisa.Gadis itu pasti lebih terpukul karena sudah kehilangan calon bayinya."Bara kamu terlihat pucat, apa kamu sakit?" tanya Gara setelah mereka mandi dan berganti baju.Kini mereka hendak kembali ke rumah sakit, tapi Bu Eni menghentikan langkahnya."Nak ... ke sini sebentar!" Bu Eni memanggil Bara dan Gara.Kedua pemuda itu menghampiri tetangga Anisa yang sudah sangat baik padanya."Ada apa, Bu?" tanya Gara."Duduklah dulu! Ibu ke dalam sebentar."Wanita itu segera masuk ke dalam rumahnya, m
"Aku akan menikah dengan Anisa. Jika Abang jatuh cinta lagi kepada wanita lain, aku nggak akan penasaran lagi," sahut Bara. "Aku janji, cukup sekali ini aja aku menyakitimu. Aku tidak akan pernah mengambil milikmu lagi.""Bukan itu alasan saya tidak ingin jatuh cinta lagi," balas Gara. "Saya juga tidak pernah sakit hati melihat kalian bahagia.""Lalu, kenapa Abang nggak mau jatuh cinta lagi?""Saya takut sepertimu," balas Gara. "Dibudakan cinta."Gara tertawa terbahak-bahak, ia beruntung tidak menjadi budak cinta seperti adiknya yang menurutnya laki-laki menjadi lemah dan cengeng ketika dibudakkan oleh cinta."Ciee ... belum tahu aja dia kalo udah jatuh cinta," cibir Bara pada abangnya. "Daddy, manusia yang tidak berperasaan, dia menghina Mommy di awal pernikahan, tapi akhirnya ketika beliau jatuh cinta malah bucin abis, kadang sama anaknya sendiri dicemburuin.""Saya masih waras, tidak akan seperti itu."Gara yakin akal sehatnya masi
Anisa mengeratkan genggaman tangannya pada sang kekasih saat mendengar suara dari balik tirai.Ternyata ibu-ibu yang satu ruangan dengannya sejak tadi menguping pembicaraan mereka."Aku bukan wanita baik-baik, aku wanita kotor," ucap Anisa pelan sembari berurai air mata.Bara menggelengkan kepalanya, lalu mencium tangan calon istrinya dengan lembut."Kamu adalah wanita terbaik dari yang terbaik, kamu segalanya bagiku. Anisaku sangat berharga dari sebongkah berlian sekalipun."Wanita itu mengusap air matanya sambil tersenyum. "Terima kasih, Mas. Aku nggak menyesal memilihmu."Bara bangun dari duduknya, lalu menangkup wajah sang kekasih. "Aku sangat mencintaimu, Sayang. Jangan membebani pikiranmu sendiri. Semua orang pasti mempunyai kesalahan, yang terpenting kita berusaha memperbaiki semuanya.""Iya, Mas.""Cepat sembuh ya!" Bara mencium kening kekasihnya dengan mesra.Walau ibu-ibu itu terus mengoceh, menghina dan
Gara langsung berbalik badan saat mendengar suara yang sangat ia kenali."Yas, kapan kamu kembali?""Bukannya tadi saya sudah bilang pulang hari ini.""Iya, tapi kenapa secepat ini?""Sebenarnya waktu saya menelpon tadi, saya sedang berada di kamar Tuan yang ada di rumah Tuan besar. Setelah selesai, saya pulang dulu ke rumah, mengambil barang-barang saya."Pria tampan itu menganggukkan kepalanya. "Kamu pilih saja kamar mana yang ingin kamu tempati!"CEO dingin itu meminta asistennya untuk tinggal bersama di rumah barunya karena semua urusan pekerjaan sampai pribadinya, Yas lah yang mengerjakan dibantu oleh sang ayah yang merupakan orang kepercayaan Haidar."Terima kasih, Tuan.""Ya sudah kamu istirahat sana! Saya juga mau istirahat."Gara kembali melanjutkan langkahnya, menapaki anak tangga."Tuan, anda belum menjawab siapa yang akan anda nikahi?""Lupakanlah!" titahnya sambil mengangkat tangannya.
Yas terpaksa masuk ke dalam kamar sang tuan yang kebetulan tidak dikunci.Laki-laki itu berjalan mendekati tempat tidur Gara, lalu berkata, "Bangunlah Tuan, sudah waktunya makan."Yas khawatir dengan tuannya yang sejak siang hingga malam tidur dalam keadaan perut kosong.Perlahan Gara membuka matanya, lalu bertanya, "Apa makan siang saya sudah siap?""Bukan makan siang, Tuan, tapi makan malam," jawab Yas dengan sopan. "Sekarang sudah hampir pukul delapan malam, Tuan."Gara membuka matanya lebar-lebar, lalu menoleh pada jam dinding yang tergantung di dinding kamarnya."Jam delapan malam?" gumamnya. "Kenapa saya tidur lama sekali?"Laki-laki itu meregangkan otot-ototnya, lalu turun dari tempat tidur. "Saya mau mandi dulu.""Baik, Tuan. Saya permisi dulu."Sang asisten CEO itu menunduk hormat pada tuannya sebelum keluar dari kamar.Setelah mandi dan berpakaian, Gara merebahkan tubuhnya di tempat tidur. “Kenapa
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha