"Kenapa, Sayang?" Baron bangun dan terduduk, lalu menyingkirkan tangan istrinya yang menutupi lahan gundul itu.
"Abang mau ngapain? Malu tahu." Tari berusaha menutupnya kembali, tapi tenaga sang suami lebih besar, ia tidak bisa melawannya.
"Kenapa malu? Tadi 'kan udah saya obok-obok pakai lidah saya," ucap Baron sambil tertawa pelan.
Laki-laki perkasa itu mendapat pukulan dari sang istri di bahunya. "Nggak usah diingetin, aku nggak hilang ingatan," ucapnya sembari memonyongkan bibir yang membuat laki-laki itu tidak bisa menahan tawanya karena gemas dengan sang istri.
Baron melihat lahan gundul sang istri yang memerah dan terlihat sangat besar di bagian bibir yang memanjang ke bawah itu.
'Kenapa bisa seperti ini? Apa saat melakukannya dia juga kesakitan? Tapi saya lihat dia begitu menikmatinya,' Baron bertanya-tanya dalam hatinya sambil memandang lahan garapannya yang membengkak.
'Dia mau ngapain? Apa dia mau melakukannya lagi? Ini aja
Baron mendekat, lalu membopong sang istri dan membawanya ke kamar mandi."Bang, turunkan aku di situ, aku pengin pipis dulu," pinta Tari sambil menunjuk kloset duduk.Baron pun menurunkan sang istri di sana dan tidak meninggalkan wanita cantik itu, ia terus menggengam jemari lentik istrinya."Abang ke sana aja! Aku malu," usir Tari dengan pelan."Jangan malu! Ayo silakan kalau mau buang air kecil!"Baron tetap bersikeras tidak mau pergi dan terus menggenggam jemari sang istri karena takut istrinya terjatuh.'Ya elah nih laki, perhatian sih perhatian, masa mau pipis aja ditungguin, mana bisa keluar,' gerutu Tari dalam hatinya.Ia pun terpaksa mengizinkan sang suami untuk tetap menemaninya buang air kecil. "Abang ... perih ...," ucap Tari sambil meringis.Tari meremas dengan erat jemari sang suami saat membuang air kecilnya."Sayang." Baron berjongkok di depan sang istri yang sedang meringis, "Kamu kenapa?"Laki-lak
Tari berteriak saat tangan kiri Baron memilin bukit kembarnya, sementara tangan kanannya merayap masuk ke dalam lubang keramat milik istrinya."Kenapa, Sayang? Apa kamu nggak mau melanjutkannya?" tanya Baron yang seketika menghentikan aksinya saat mendengar teriakan sang istri."Ini nikmat," ucapnya, "Lanjutkan! Kenapa berhenti? Kamu harus tanggung jawab sudah membangkitkan birahiku lagi," ucapnya sambil membalikkan badan.Seringai nakal terlihat jelas di wajah Baron, ia langsung membungkam mulut istrinya dengan bibir tipisnya. Kedua tangannya beraksi untuk memberikan sentuhan-sentuhan kenikmatan yang disukai sang istri.Pertempuran itu terjadi lagi di bawah pancuran shower. Rasa perih yang dirasakannya seolah sembuh ketika tangan suaminya menari-nari di lubang keramatnya.Baron dan Tari melakukannya sambil berdiri di bawah pancuran air yang membuat keduanya semakin gila. Ini adalah pertempuran terpanas yang dilakukan pengantin baru itu.
"Apa kamu bisa masak sendiri?" tanya Baron pada sang istri setelah menurunkannya di dapur, "Saya bangunkan Bibi saja ya," usulnya yang tidak disetujui Tari.Baron tidak mau kalau sang istri terjatuh saat memasak karena ia sudah kelelahan, akibat tiga kali bertarung dengannya."Nggak usah!" sahut Tari, "Jangan mengganggu! Mereka sudah seharian bekerja, biarkan mereka istirahat!"Wanita itu pun segera masak mie rebus lengkap dengan sayur dan telur. Setelah matang ia segera menyajikannya di meja makan.Tari hanya membuatnya satu porsi karena ia pikir sang suami tidak suka makan mie instan. Wanita cantik yang sudah kelaparan itu segera memakan mie rebus selagi panas.Sementara sang suami hanya memandangnya sambil menelan air liur. Aroma mie rebus itu benar-benar membuatnya lapar. Tapi, ia malu untuk memintanya karena tadi ia melarang sang istri untuk makan mie instan.Tari melirik pada sang suami yang terus saja memandangnya. Ia pun
"Aku baru nyadar, ternyata suamiku sangat tampan," jawabnya sembari tersenyum, "Aku harus menjaganya supaya tidak ada pelakor yang merebutmu dariku," lanjutnya dengan serius."Pelakor itu siapa?" tanya Baron yang baru mendengar istilah seperti itu. Maklum saja, sebelum menikah, ia tidak pernah tahu urusan seorang wanita, kecuali tentang sang Nyonya dan Tuannya yang harus dia jaga.Baron benar-benar menutup hatinya untuk seorang wanita karena ia sudah berjanji akan selalu patuh dan setia kepada keluarga Mannaf.Ia tidak mau fokusnya terbagi kalau memiliki seorang istri. Namun, setelah mengenal Tari lebih dekat lagi, ia mulai tertarik dengan sekretaris CEO itu. Sehingga, ia menerima lamaran untuknya yang dilakukan oleh orang yang sangat dia hormati."Abang beneran nggak tahu pelakor?" Tari kembali bertanya kepada suaminya. 'Masa sih nggak tahu, pelakor kan ada di mana-mana,' batin Tari.Baron menggeleng pelan. "Coba jelaskan!" titahnya.Laki-l
Tari langsung meraba bibirnya, lalu menjilatinya. "Ya iyalah gurih, tadi 'kan abis makan mie rebus, belum sikat gigi," ucapnya sembari tersenyum."Ya udah ayo kita tidur, supaya besok tidak mengantuk saat kerja." Baron mencium kembali bibir sang istri dengan gemas karena lengan wanita cantik itu masih melingkar di lehernya. Ia menciumi setiap inci wajah cantik istrinya. "Sepertinya kamu ingin saya tiduri lagi," ucapnya yang langsung menindih tubuh sang istri."Abang berat!" Tari menyingkirkan tubuh tegap itu hingga terguling ke sampingnya. "Pelan-pelan ya! Serabiku masih perih," ucapnya malu-malu.Ia tidak bisa menolak permintaan sang suami, walau hanya sekedar candaan saja. Ia sudah berjanji akan patuh dan setia pada laki-laki yang telah menerangi dunianya yang gelap.Baron membelai dengan lembut pipi sang istri. "Saya hanya bercanda," ucapnya sembari tersenyum, "Ayo kita tidur!"Ciuman hangat pengantar tidur mendarat di kening sang istri. "Istira
"Maaf, Nyonya. Saya sudah menyiapkan sarapannya, tadi dibantu Ibu Nyonya juga," ucap Bi Omah dengan sopan, "Maafkan saya, Nyonya. Saya melakukannya atas perintah Tuan." Bi Omah menundukkan kepalanya di hadapan Nyonya rumah itu.Sang nyonya sudah berpesan sebelumnya untuk sarapan sang suami, agar ia saja yang menyiapkannya.Wanita yang sudah tidak muda lagi itu tertunduk, merasa bersalah karena tidak berbicara terlebih dulu pada sang nyonya."Syukurlah." Tari mengelus dadanya. Ia merasa lega, ia pikir tidak ada yang menyiapkan sarapan untuk suaminya karena sebelumnya ia sudah melarang Bi Omah membuat sarapan untuk suaminya."Nggak usah minta maaf, Bi! Harusnya saya yang mengucapkan terima kasih sama Bibi," ucap Tari dengan ramah kepada pelayan di rumah sang suami. "Kalau begitu saya mau siap-siap dulu, Bi.""Ibu sana mandi! Aku aja udah mandi, wangi dan cantik," kata Merry sambil menusuk kedua sisi pipinya dengan jari telunjuk."B
Baron mengecup bibir ranum istrinya. Laki-laki yang baru mengenal cinta itu sudah kecanduan nikmatnya memadu kasih dengan orang yang menjadi penyemangat hidupnya."Cepat mandi sana! Saya sudah lapar," bisik Haidar di telinga sang istri.Tari langsung membuka matanya, lalu bergegas ke kamar mandi sebelum sang suami berubah pikiran.Wanita cantik itu dengan cepat membersihkan tubuhnya. Tidak sampai sepuluh menit Tari sudah keluar dari kamar mandi. Ia bergegas masuk ke ruang ganti dengan langkah setengah berlari."Tidak usah buru-buru!" kata Baron saat Tari memakai blazer sambil berjalan ke arahnya."Nanti kita kesiangan, Bang," balas Tari sembari meraih tas kerja yang tergantung di tempatnya. "Ayo!" Tari melingkarkan tangannya di lengan kekar sang suami. Menarik laki-laki itu untuk segera melangkah."Atur napas kamu yang benar!" Baron menghentikan langkahnya melihat napas Tari tersengal-sengal.Tari menghirup napas pelan-pelan, lalu men
Baron terbatuk-batuk saat mendengar ucapan putrinya."Pelan-pelan dong, Bang," ucap Tari sambil tersenyum. "Makanya jangan ngomong apa aja di depan Merry," bisik Tari di telinga suaminya."Ayah kenapa?" Merry turun dari kursinya, lalu menghampiri sang ayah.Baron Kembali minum setelah batuknya mereda. "Ayah tidak apa-apa, Nak," jawabnya setelah meletakkan gelas kosong itu di meja makan. "Ayo kita berangkat!""Ayo, Yah," jawab Merry dengan semangat."Sayang, maafkan Ibu dan Ayah ya, hari ini nggak bisa nganter kamu dulu karena kami sudah sangat terlambat," kata Tari kepada sang anak.Ia yakin suaminya tidak akan menolak jika Merry memintanya untuk mengantar ke sekolah walaupun ia sudah sangat terlambat."Iya, Bu, nggak apa-apa," jawab Merry."Merry dianter sama Nenek aja ya," sahut Bu Rumi sambil tersenyum kepada cucunya."Iya, Nek. Ayo kita berangkat." Merry berjalan menghampiri sang nenek. Mereka keluar bers