Di ujung bagian Indonesia, dua anak manusia sedang menikmati bulan madunya.
"Sayang, kenapa kamu lama sekali?" Baron mengetuk pintu kamar mandi resort mewah yang ia tempati selama bulan madu.
"Aku nggak bisa keluar, Bang," sahut Tari dari dalam kamar mandi.
"Kenapa? Apa pintunya susah untuk dibuka?" tanya Baron kepada wanita cantik yang sudah sah menjadi istrinya sembari memutar-mutar kenop pintu.
"Aku ...." Tari ragu-ragu mengatakannya. Ia merasa malu kalau harus bilang kepada laki-laki kaku itu, walaupun sekarang sudah menjadi suaminya. Tapi, mereka belum cukup dekat satu sama lain.
Hubungan keduanya selama ini hanya sebatas atasan dan bawahan di Perusahaan Mannaf Group. Sehingga, Tari merasa tidak enak hati kalau meminta bantuan kepada laki-laki angkuh, tapi baik hati.
"Kamu kenapa?" tanya Baron yang mulai khawatir dengan keadaan istrinya.
"Aku butuh ...." Tari malu untuk mengatakannya, 'Aku harus bilang apa? Bulan madu ini m
"Selamat sore, Mbak," sapa Baron kepada pegawai minimarket, "Bisa tolong saya, carikan pembalut yang bersayap?" tanya laki-laki tampan yang memakai kaus berwarna putih, dipadukan dengan celana selutut berwarna coklat.Dengan beralaskan sandal jepit, penampilan sang asisten CEO itu terlihat santai. Namun, caranya berbicara masih kaku seperti robot. Itu yang selalu dikatakan istrinya.Wanita yang memakai kaus berwarna merah itu melihat penampilan Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala."Maaf, Tuan. Maksudnya pembalut untuk wanita?" tanya pegawai minimarket itu dengan ragu-ragu. Ia takut salah bicara dengan pelanggannya."Iya, untuk istri saya," jawab Baron dengan santai.Laki-laki itu tidak merasa malu membeli barang keperluan istrinya. Walau sebagian laki-laki mungkin tidak akan mau untuk membeli keperluan pribadi seorang wanita seperti pembalut.'Ya Tuhan, sisakan satu laki-laki seperti dia untukku,' ucap pegawai itu dalam hatinya.
Tari melongok saat suaminya sudah kembali dari mini market. "Ya ampun, Bang. Kamu belanja apa aja, banyak banget?" tanya Tari kepada suaminya yang menenteng dua kantong belanjaan berwarna hijau. "Semua ini pembalut bersayap pesanan kamu," jawab Baron sembari mendekati istrinya. Tari tertawa melihat suaminya menenteng dua kantong belanjaan berisi pembalut. "Maaf ya udah nyusahin kamu," ucapnya dengan tulus. 'Aku lupa nggak ngasih tahu harus beli berapa,' gumam Tari dalam hatinya. "Kamu dari tadi belum keluar dari kamar mandi?" tanya Baron pada sang istri yang hanya melongok dari dalam kamar mandi. "Belum," jawabnya sembari menyeringai. Tari mengulurkan tangannya untuk mengambil pembalut dari kantong belanjaan yang dibawa suaminya. Setelah memberikan satu bungkus pembalut, Baron menaruh sisanya di dekat pintu kamar mandi. Lalu, laki-laki itu duduk di pinggiran tempat tidur untuk menunggu istrinya. Ia penasaran dengan apa yang sedan
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Baron sembari mengikuti langkah istrinya. Tari menghentikan langkah, membalikkan badan menghadap suaminya. "Bang, aku nggak apa-apa," sahut Tari, "Kamu bisa lihat sendiri, aku sehat. Ini sudah biasa aku alami setiap bulan." Tari menjelaskan tentang kondisinya supaya laki-laki itu tidak terlalu mengkhawatirkannya. 'Apa dia sama sekali nggak tahu tentang wanita?Kenapa dia terlihat begitu khawatir? Apa menurutnya datang bulan itu sesuatu yang menyakitkan?' Tari bertanya-tanya dalam hatinya. Baron memerhatikan wajah sang istri yang terlihat berseri tidak seperti bayangannya. Bahwa, wanita yang sedang datang bulan itu terlihat pucat dan lemah tak berdaya. "Tadi saya baca artikel tentang wanita yang sedang datang bulan. Di situ disebutkan kalau wanita yang sedang mengalami siklus itu tubuhnya terasa lemah, bahkan ada yang tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun," jelas Baron kepada wanita cantik di hadapannya. "Hanya beber
Tari tertawa terbahak mendengar ucapan suaminya. "Abang tahu? Dulu aku sangat membencimu," sahut Tari, "Kamu sangat menyebalkan karena selalu mengatur hal pribadiku juga.""Itu karena saya tidak mau kamu dilirik laki-laki lain. Saya sudah mencintaimu sejak lama, tapi saya tidak menyadari hal itu."Baron menatap manik mata indah milik istrinya. Ia mengungkapkan perasaannya pada wanita yang baru beberapa hari lalu dinikahinya."Saya belum pernah mencintai sebelumnya. Jadi, tidak mengerti dengan apa yang hati ini rasakan waktu itu. Tapi, kini saya sadar ternyata saya sangat mencintai wanita yang selalu mencuri perhatian ini," ucapnya sembari mencubit hidung mancung istrinya.Tari tersenyum mendengar pernyataan cinta dari suaminya. "Tapi, dulu aku sangat membencimu, Tuan Baron. Aku tidak mau menatap wajah angkuhmu itu," ucap Tari sembari tertawa pelan."Kenapa? Apa ketampanan saya mengganggu pandangan kamu?" tanya Baron. Ia bermaksud bercanda. Namun, u
"Terima kasih," ucap Baron sembari mengusap bibir istrinya yang basah setelah ciuman panas itu berakhir.Tari tersipu malu. Ia menundukkan pandangannya tidak berani menatap wajah tampan Baron. Ciuman itu bukan yang pertama bagi Tari, tapi rasa nyaman itu ada ketika berciuman dengan laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya."Maaf karena kamu tidak mendapatkan yang pertama dariku. Semua yang ada di tubuhku bekas sentuhan laki-laki lain," ucap Tari dengan pelan, mengingat kebodohannya di waktu muda. Menyesal pun tidak berguna lagi. 'Andai waktu bisa berputar, aku tidak akan mengikuti bisikan setan waktu itu,' batin Tari.Baron bangun dari duduknya, ia memegang dengan lembut bahu istrinya. Tari pun ikut terbangun, ia menatap wajah tampan laki-laki yang telah sah menjadi suaminya."Apa kamu tidak ingin hidup bahagia dengan suamimu ini?" tanya Baron dengan lembut."Aku sangat ingin hidup bahagia dengan laki-laki yang mencintaiku dengan tulus seperti Aba
“Bee, ternyata kalau sakit gini nggak enak ya. Padahal aku pikir sakit itu enak, diperhatikan terus, makan disuapi, disayang-sayang, tapi ternyata ada satu yang nggak bisa dilakuin jika kita sakit,” kata Haidar sembari menatap wajah cantik sang istri yang berbaring di sampingnya.“Apa?” tanya Andin pada suaminya sembari membelai rambut laki-laki tampan yang sedang sakit dan tidak berdaya.“Menghukum kamu,” jawab Haidar sembari tersenyum, “Kamu hukum aku dong, Bee! Kasihan nih jagoanku, aku sakit dia juga jadi ikutan sakit karena gak dapat jatah vitamin.”Haidar memohon kepada wanita cantik itu. Ia berharap dengan berhubungan badan, akan menambah semangat dan segera pulih dari sakitnya.Andin bangun dari tidurnya, ia terduduk di samping sang suami. “Astaga! Kamu pengin mati? Pikirin aja kesehatan kamu! Kalau udah sembuh mau sehari tiga kali atau lebih pun aku jabanin,” kata Andin sedikit menaikkan
"Pendengarannya tajam sekali," gumam Haidar setelah sang istri keluar dan menutup pintu kamarnya.Ketika ia ingin memejamkan mata, terdengar bunyi dari ponselnya. Laki-laki itu mengambil benda pipih yang ia taruh dekat bantal."Ada apa dia nelpon?" gumam Haidar sembari menatap layar ponselnya, "Kalau aku jawab, nanti dia tahu kalau aku juga lagi liburan di tempat tidur. Bisa-bisa dia langsung pulang dari liburannya."Haidar pun mematikan ponselnya, lalu menaruh kembali di dekat bantal. Ternyata yang menelponnya di jam segini adalah Baron, sang asisten. Ia tidak mau membuat asistennya yang sedang bulan madu menjadi khawatir jika tahu keadaanya sekarang.Laki-laki yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengabdikan diri kepada keluarga Mannaf Dan selalu siap melayani Haidar kapan pun dan di mana pun.Haidar kembali memejamkan mata karena ia begitu lemah, hanya tidur saja aktifitasnya seharian ini. Bahkan untuk ke kamar mandi saja ia harus dibantu
Andin duduk di pinggiran tempat tidur sembari melipat kedua tangannya di bawah dada. Memandang wajah tampan suaminya yang tampak lesu.“Kenapa nggak boleh? Kamu ‘kan udah mati,” tanya Andin pada laki-laki yang sedang terbaring karena sakit sembari menahan senyumnya.“Aku ‘kan belum mati, Bee,” sahut Haidar dengan sewot. Memiringkan badannya membelakangi wanita cantik yang sedang menggodanya.Ia berharap wanita cantik itu menjawab pertanyaannya dengan melarangnya untuk berbicara seperti itu, tapi di luar dugaan sang istri ternyata tampak bahagia jika ia sudah tiada.“Tadi kamu ‘kan bertanya kalau kamu udah mati aku mau nikah lagi nggak? Ya aku jawab iyalah, aku ‘kan wanita muda yang masih butuh belaian dari laki-laki perkasa yang akan membahagiakan aku lahir dan batin,” kata Andin sembari tersenyum yang tidak mungkin dilihat sang suami karena laki-laki itu berbaring membelakanginya. “K