"Iya, ibuku benar. Nenek tua yang sedang sekarat itu memaksa kakakku atas nama keluarga untuk menikahimu. Kalian benar-benar bukan keluarga yang punya kehormatan!"
Sebelum Anesa menyelesaikan ucapannya, Evelyn sudah memotong dengan suara dingin. "Jaga bicaramu, Anesa! Terserah kalian mau menghinaku seperti apa, tapi jangan berani-beraninya kalian menghina nenekku!"
Evelyn telah bersama neneknya sejak kecil, dan neneknya lah yang membesarkan dirinya. Sang nenek adalah segalanya baginya. Tidak ada seorangpun yang boleh menghinanya.
Bu Linda menegakkan kepalanya, lalu berkata dengan nada kasar, "Sekarang apa yang kamu inginkan? Ingin melawanku? Aku sudah tahu dari dulu gadis liar sepertimu ini memang tidak punya etika. Pantas saja putraku tidak bisa menyukaimu!"
Tangan Bu Linda mendorong bahu Evelyn. Mungkin karena Evelyn mengenakan gaun pengantin berekor panjang dan sepatu hak tinggi, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan tergoyang ke belakang.
Evelyn panik, dia refleks ingin meraih tangan Bu Linda, tetapi melihatnya akan terjatuh, Bu Linda malah melangkah mundur.
Evelyn terperangah, menatap tidak percaya. Tepat saat dia akan jatuh ke lantai, seseorang dengan kuat menangkap tubuhnya dan membantunya berdiri tegak.
Sebelum Evelyn melihat siapa orang yang telah menolongnya, dia sudah mendengar suara yang sangat arogan. "Kurang ajar! Kalian berani menyakiti adikku!"
Evelyn menoleh dan melihat Arka yang sudah melotot marah.
Bu Linda memandang Arka, pemuda bertubuh tegap yang mengenakan setelan berwarna coklat itu. Wajahnya memerah karena marah. Bu Linda kemudian berkata dengan sombong, "Aku hanya mendorongnya sedikit, dia saja yang tidak berdiri dengan baik. Lagipula, berani sekali kamu memarahiku. Apa ini ajaran dari orang tuamu?"
Lalu Anesa juga menyambung, "Benar itu, Evelyn sendiri yang berdiri tidak benar sampai kehilangan keseimbangan. Tidak ada urusannya dengan ibuku."
"Tidak ada urusannya juga apa yang diajarkan orang tuaku padaku!" Arka menunjuk Bu Linda dengan tidak sopan, sepasang mata bulatnya sangat memerah menatap Bu Linda. "Sudah untung adikku mau menikahi putramu yang brengsek itu, tapi dia malah melarikan diri di hari pernikahan. Apa kalian pikir, keluarga Limanto kami bisa begitu mudah diremehkan seperti ini?"
"Dan kamu gadis tengik!" Sekarang Arka berganti menunjuk Anesa. "Kamu pikir kamu itu siapa? Wajahmu biasa-biasa saja, jika dibandingkan dengan adikku tercinta ini, sama sekali tidak sebanding dengan sehelai rambutnya pun! Otakmu sudah dipenuhi dengan keirian pada Evelyn!"
Anesa yang merasa terhina meraih tangan Ibunya dan merengek, "Bu, dengar. Kakak perempuan itu sudah menghinaku."
Kemarahan Bu Linda memuncak, saking marahnya dia menunjuk Arka dan hanya berkata, "Kamu, kamu–"
"Apa?!" Arka justru membentak dengan kasar. "Pergi dari sini, dan katakan pada putramu yang brengsek itu agar jangan pernah muncul di hadapan kami lagi. Kalau sampai aku melihatnya, aku akan langsung menghajarnya sampai babak belur!"
Arka adalah sosok pria yang terkenal begitu kejam di kota ini, dia terkenal dengan balap mobil liarnya, sangat senang berkelahi, meskipun begitu Arka tetap disegani dan dihormati di kota ini sebagai penerus keluarga dan perusahaan Limanto. dan tidak becus dalam bekerja.
Bu Linda yakin jika Arka pasti akan melakukan apa yang dikatakannya. Bu Linda menelan ludah terlebih dahulu sebelum berkata, "Dasar keluarga rendahan! Tidak punya etika dan berpendidikan. Benar-benar tidak sebanding dengan keluarga Lewis kami yang terhormat! Selain Revan, siapa lagi memangnya yang mau menikahi adikmu ini?" Begitu selesai berbicara Bu Linda langsung menarik tangan Anesa untuk pergi dari sana.
"Brengsek! Berani sekali kamu menghina adikku!" Arka sudah ancang-ancang untuk memberi pelajaran pada mereka, tapi Evelyn langsung menangkap lengan kakaknya kemudian dia berkata, "Sudahlah Kak, lupakan saja."
Evelyn khawatir jika kakaknya hari ini kembali turun tangan, dia pasti akan dicap sebagai pria brengsek, kejam dan kasar untuk selamanya. Karena selama ini Arka sudah banyak berkelahi dengan banyak orang, terlebih karena dirinya juga.
Arka mengumpat, mengeluarkan sumpah serapah kemudian dia menoleh untuk melihat adiknya. Dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan amarahnya lalu dia berkata. "Evelyn, jangan bersedih lagi. Si brengsek Revan itu sama sekali tidak pantas untukmu. Aku berjanji akan mencarikan pria yang paling baik di dunia ini untukmu."
Evelyn mengatupkan bibirnya, ketika mengingat Revan yang telah pergi tanpa ragu meninggalkan dirinya, tidak bisa dibohongi jika dia benar-benar patah hati. Bagaimanapun juga dia pernah berharap bisa menikah dengan pria itu, lalu sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, Kak. Tapi bagaimana dengan Nenek?" ucap Evelyn dengan pelan.
Setahun yang lalu, nyonya besar Limanto divonis menderita kanker hati stadium akhir. Dokter mengatakan nenek mereka hanya bisa bertahan satu tahun, jadi ibu dan ayah mereka pergi menemui keluarga Lewis untuk membicarakan soal perjodohan antara Evelyn dan Revan yang sudah disepakati oleh kedua orang tua mereka untuk memajukan tanggal pernikahan mereka.
Nyonya besar sangat mengkhawatirkan Evelyn. Satu-satunya permintaan terakhir sang nenek adalah melihat Evelyn menikah dan hidup bahagia bersama suaminya.
"Jika Nenek tahu aku dan Revan sudah putus dan pernikahan ini dibatalkan, apa kira-kira nenek,"
"Tidak apa-apa. Aku punya ide." tiba-tiba Arka berkata demikian.
Jelas dia juga cemas saat memikirkan kondisi sang nenek. Lalu sebuah ide tiba-tiba melintas di benaknya, kemudian dia melingkarkan tangannya di bahu sang adik. "Tunggu di sini, aku akan pergi mencari pria terbaik di dunia ini untuk menikahimu."
Setelah mengatakan itu tanpa memberi Evelyn kesempatan untuk menjawab, Arka sudah berjalan ke masuk ke dalam lift.
Evelyn terkejut, mana mungkin kakaknya akan mencari pria terbaik di dunia dengan semudah itu? Dia tersadar, acara pernikahan hari ini tidak bisa diselenggarakan, seharusnya dia segera menemui orang tuanya dan memberitahu soal ini.
Dia segera memanggil kakaknya, buru-buru mengangkat gaunnya dan melangkah. Tetapi mungkin karena dia buru-buru, sepatunya tersangkut ekor gaunnya, dia oleng ke kanan. Saat dia sudah hampir terjatuh sepasang tangan putih dengan jari-jari yang indah tepat meraih lengannya dengan kuat.
Karena bantuan seseorang yang telah menangkapnya itu, Evelyn bisa berdiri kembali dengan tegak. Dia menoleh ke samping untuk melihat siapa orang yang telah menolongnya.
Yang dia lihat adalah wajah tampan dengan tubuh tegap dan penampilan yang keren. Pria itu memakai setelan jas formal.
Dia membantu Evelyn berdiri kemudian dengan cepat melepaskan tangannya lalu tanpa menatap Evelyn, dia langsung berjalan menuju aula pernikahan.
"Tunggu!" Evelyn memanggil pria itu sambil meraih lengannya. Pria itu mengernyitkan alisnya, aura dingin terpancar dari kedua matanya saat ia berbalik.
Evelyn, yang berdiri di depannya, tampak cantik dengan riasan dan gaun pengantinnya. Namun, dibalik itu semua, ia masih terlihat belia dengan wajah imutnya, seperti anak di bawah umur.
Mungkin karena tatapan sedih Evelyn, pria itu menahan diri untuk tidak melepaskan pegangan gadis itu.
"Terima kasih," ucap Evelyn dengan sedikit gugup. Entah mengapa, jantungnya berdebar kencang, dan telapak tangan yang mencengkram lengan pria itu pun berkeringat.
"Tidak perlu." Pria itu mengulas senyum, lalu melihat tangan kecil yang sedang mencengkram erat tangannya. "Lepaskan tanganmu," katanya.
Tetapi, bukannya melepaskan, Evelyn justru semakin kencang memegang lengannya. Melihat wajah tampan pria itu, sebuah ide gila muncul di otaknya. Dengan berani, dia berkata, "Tuan Rayyan, apa kamu mau menikah denganku?"
Mata hitam pekat pria itu menegang, dia terkejut. Sejenak, dia bertanya-tanya. Ada apa dengan gadis ini? Apa dia sedang mabuk?
Evelyn sadar jika kata-katanya tadi terdengar konyol. Pasti pria itu sudah mengira dia gila.
Namun, dia tidak punya pilihan lain saat ini. Yang ia pikirkan hanyalah tak sanggup membayangkan apa yang terjadi jika sang nenek tahu kalau pernikahannya hari ini dibatalkan dan dia sudah ditinggalkan.
Terlebih saat mengingat penghinaan Bu Linda tadi. Dia harus bisa melawan mereka.
Setidaknya Evelyn harus memiliki pria pengganti lain. Dia juga bukan tidak mengenal pria di depannya ini. Dia cukup tahu dari kakaknya.
Evelyn juga sudah kehilangan Revan yang dicintainya, rasanya dia tak sanggup jika harus kehilangan nenek yang paling mencintainya di dunia ini. Bukan hanya itu, dia tidak bisa membiarkan neneknya pergi dalam keadaan gelisah.
"Tuan Rayyan, aku tahu permintaanku ini sangat konyol, tapi kamu hanya perlu menikahiku selama setahun saja. Sebagai balasannya, aku bisa menyelamatkan adikmu."
Pria yang disebut bernama Rayyan itu terkejut bukan main, dia menatap Evelyn dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Kamu mengenalku?"
Evelyn berkedip, lalu berkata dengan tenang, "Kamu teman baik kakakku, ‘kan? Aku sering melihat fotomu bersamanya di ponselnya."Rayyan Miga, dia adalah CEO dari Grup Brahmana, juga satu-satunya penerus keluarga Brahmana. Dia adalah orang yang sangat misterius dan tertutup.Selama sepuluh tahun ini, dia telah berhasil menguasai pasar bisnis, tetapi tidak ada satupun media yang berani mempublikasikan fotonya. Karena itulah, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengenalinya.Rayyan terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Apa kamu benar-benar bisa menyelamatkan adikku?"Evelyn menjawab dengan yakin, "Percayalah padaku. Kalau aku sampai membohongimu atau gagal, kamu bisa melakukan apa pun pada kakakku."Suasana di sana tiba-tiba menjadi hening, kedua orang itu masih saling berhadapan dan saling menatap. Setelah beberapa saat, Rayyan terlihat mengangguk. "Baik, aku akan menikah denganmu.”Sedangkan di dalam aula. Orang-orang sudah diberitahu jika pernikahan ini dibatalkan. Mereka
Di belakang Nenek Limanto, Arka menahan senyum. Dari semua orang yang ada di kota ini hanya neneknya yang berani memanggil Rayyan dengan sebutan nama. Tetapi ekspresi wajah Rayyan tetap terlihat tenang, dia bahkan menjawab dengan lembut dan sopan. “Jangan khawatir, Nenek. Aku pasti menjaganya dengan baik.”Mendengarnya memanggil Nyonya besar Limanto sebagai nenek, bukan hanya Evelyn saja yang kaget, Arka bahkan hampir terjengkang ke belakang.Dasar sial! Dia benar-benar pandai berakting!Nyonya besar tampak terlihat lelah, jadi ibu dan ayah Evelyn pun mengantarnya kembali ke rumah sakit. Karena saat ini tubuhnya memang sudah tidak dapat dipisahkan dari perawatan serius tim dokter rumah sakit.Arka disuruh menjadi sopir untuk mengantar mereka. Sebelum dia pergi, Arka tidak lupa untuk memberi tatapan penuh peringatan dulu pada Rayyan Miga .Akhirnya di ruangan ini hanya tersisa Evelyn dan Rayyan saja. Suasana mendadak berubah menjadi sunyi dan canggung. Mata Evelyn yang sebelumnya menun
Gadis yang tengah berbaring koma itu sebenarnya adalah adik sepupu dari Rayyan Miga. Dia bernama Amara, anak dari Bibi Rayyan Miga.Rayyan tidak punya saudara kandung, Amara adalah satu-satunya saudara yang dia punya. Meskipun mereka berbeda orang tua, tetapi ibu Amara adalah bibi kandungnya. Jadi Rayyan begitu sangat menyayangi Amara melebihi nyawanya sendiri.Sejak kecil, Amara terus sakit-sakitan. Katanya dia pernah mengalami kecelakaan sewaktu bayi, lalu setelah remaja ini, dia ditemukan dalam keadaan pingsan. Tetapi sampai saat ini, dia sama sekali belum bisa sadarkan diri. Keluarga Brahmana sudah meminta tolong pada semua ahli dan tim medis, namun belum ada yang berhasil.Rayyan Miga begitu penasaran, apa yang bisa dilakukan gadis kecil ini untuk menyelamatkan adik tercintanya? Dulu, dia pernah mendengar cerita dari Arka selaku sahabat dekatnya, jika adiknya tinggal didesa bersama nenek mereka yang ahli pengobatan. Entah apa karena teringat cerita Arka ini atau hal lain, Rayya
Rayyan jadi bertanya-tanya, tetapi untuk saat ini dia tidak tertarik dengan keanehan keluarga Limanto itu. Saat ini yang dia pikirkan hanyalah, apakah benar gadis itu bisa menyadarkan Amara? Karena bagi Rayyan, kesembuhan Amara adalah senyuman untuk keluarga besarnya terutama Bibi.Mengenai hal ini, bukan hanya Rayyan saja yang khawatir, tetapi Robi juga. Dia menatap Nona muda Amara mereka yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang, lalu terdengar dia berkata tanpa menoleh, “Tuan Rayyan, bagaimana jika Nona Evelyn hanya ingin menipumu?”Rayyan melempar dokumen di atas meja, “Tidak perlu khawatir.” Kemudian dia bangun, melipat lengan bajunya sampai ke siku, dan berkata lagi, “Jika dia menipuku, maka kakak kesayangannya lah yang akan membayar semua perbuatannya.”Tentu saja Rayyan tidak akan melakukan apapun pada seorang gadis kecil seperti Evelyn, tetapi Arka mungkin akan menjadi sasarannya.Sementara disini lain, saat ini Arka baru saja pulang dari balap liar. Suatu hobi y
Sementara itu, sejak Rayyan mengungkapkan kebohongannya, Evelyn sangat ketakutan selama beberapa hari ini. Setiap hari dia menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Dia akan pulang saat hari sudah larut malam dan bergegas pergi saat hari masih subuh, hanya demi menghindari bertemu dengan Rayyan.Hari-harinya menjadi cemas sampai dia tidak punya waktu untuk memikirkan Revan lagi.Tapi pagi ini rupanya dia kesiangan. Dia sudah panik setengah mati, dia takut bertemu dengan Rayyan di luar. Untung saja kepala pelayan mengatakan jika Rayyan baru saja pergi karena ada bisnis di luar kota.Kepala pelayan juga mengatakan jika saat Rayyan sedang berada di luar kota, biasanya itu akan memakan waktu hingga berminggu-minggu. Akhirnya Evelyn bisa merasa tenang sekarang.Hari ini dia bisa pulang tidak terlalu malam.Tapi ketika dia sampai di villa itu, suasana tampak sepi semua pelayan sudah pergi beristirahat. Lampu utama Villa juga telah dimatikan, hanya tersisa satu set lampu dinding untuk mener
Mendengar penuturan yang di ucapkan oleh Rayyan, Evelyn merasa lega, sambil berkata dalam hati, ‘Ternyata alasan Tuan Rayyan Kembali, karena Nona Amara sudah sadar. Untung saja nona Amara sudah sadar, kalau tidak aku pasti akan dalam masalah besar. Bisa saja justru malah dibawa ke kantor polisi atas tuduhan penipuan.’Saat ini pandangan Rayyan tertuju pada kakinya, “Apa kakimu sudah lebih baik?” tanyanya.Rayyan masih memikirkan pergelangan kaki Evelyn yang terkilir di hari pernikahan tempo lalu, sebenarnya dia pada saat itu melihat, tapi dia tidak terlalu peduli.Dan hari ini sepertinya Rayyan memang perlu peduli dengan gadis ini, karena gadis ini telah bisa membuat adiknya bangun dari komanya.Evelyn menggeleng, “Tidak apa-apa, sudah sembuh kok.”Rayyan hanya mengangguk, kemudian dia berdiri dan berjalan menuju lantai atas. Saat melihat Rayyan pergi, Evelyn langsung merasa lega. Dia menarik nafas panjang, tapi belum beberapa detik tiba-tiba suara dingin Rayyan kembali terdengar mema
Langit malam terlihat begitu gelap malam ini, seolah sedang menyelimuti seluruh kota membuat suasana kota yang awalnya bising berangsur tenang dan damai.Evelyn mengikuti langkah Mia memasuki sebuah bar. Mungkin karena bar itu baru dibuka, jadi hanya masih ada beberapa orang yang datang.Mia sudah biasa pergi ke bar, jadi dia sudah terlihat sangat luwes. Dia menyeret Evelyn melewati kerumunan di bar lalu meminta dua gelas bir kepada bartender.“Aku tidak mau minum bir!” Evelyn buru-buru berkata pada partner wanita itu.Mia tidak bisa menahan tawa, dia tertawa sambil menoleh menatap temannya. “Ayolah. Mana mungkin kamu pergi kesini hanya untuk minum Jus?”Evelyn mendekatkan wajahnya, “Kalau kakakku tahu kamu membawaku ke sini dan mau menyuruhku minum bir,”Sebelum Evelyn melanjutkan kata-katanya Mia dengan cepat mengangkat tangannya “Oke! Baiklah, aku akan memesankan limun saja.”Evelyn tersenyum lalu dia menerima segelas limun yang diserahkan oleh bartender.Mia menggembungkan pipinya
Sejenak Evelyn terdiam, saat mendengar apa yang dituturkan oleh Rayyan. Dia hanya mengatupkan bibirnya saja. Rayyan tidak berbicara lagi lalu melangkahkan kakinya menuju mobil, tapi setelah berjalan dua langkah dia menyadari jika Evelyn tidak mengikutinya. Akhirnya dia menoleh dan kembali menatap gadis itu, “Apa kamu tidak mau pergi dari sini?”Sekarang suaranya tenang tanpa emosi seperti tadi, Evelyn tersadar kemudian mengangguk cepat, “Tentu Tuan Rayyan, terima kasih.”Rayyan hanya melirik sebentar kemudian mengalihkan pandangannyaEvelyn merasa bersalah kemudian dia berkata untuk basa-basi, “Tuan Rayyan, apa kamu juga suka pergi ke bar?”Rayyan berhenti dan kembali menoleh, “Tidak pernah, hanya kali ini saja. Itu pun untuk membantu seseorang.” Jawabnya terdengar dingin meskipun tanpa emosi, lalu bibir tipisnya kembali terbuka, “Dan berkatmu, dia harus pergi ke kantor polisi sekarang.”Evelyn menundukkan kepala, dia merasa sangat bersalah karena yang dimaksud dengan oleh Rayyan suda
Suasana kembali hening. Kembali tidak ada suara dari mereka, kembali tidak ada yang beranjak dari tempatnya. Mata mereka hanya terfokus pada satu titik saja yaitu ke arah dimana Dokter membawa Arka.Ingin rasanya mereka berlari menyusul kemudian berteriak memanggil Arka. Namun mereka menahan keinginan itu dengan sekuatnya. Bahkan cenderung dengan berat hati hanya bisa pasrah menghargai keinginan dan pengorbanan Arka.Sambil terus menekan dadanya, membayangkan apa yang sedang dilakukan para Ahli medis di dalam sana pada tubuh Arka. Membelah dadanya dan mengeluarkan jantungnya hidup-hidup? Atau Arka di bius dulu hingga mati kemudian diambil Jantungnya?Semua orang hanya bisa membisu ngeri dan menahan sakit dalam hati.Hingga beberapa saat lamanya, di tengah-tengah ketegangan yang meraja, seorang perawat berlari mendekati mereka. Semua berdiri."Tuan Rayyan, Dokter memanggil Anda. Mari silahkan ikut saya.""Aku ikut." Evelyn cepat ikut bangun."Mohon maaf Nyonya. Hanya Tuan Rayyan saja.
Suasana semakin Pilu dan terasa sangat mencekam saat Arka menandatangani surat itu.Tidak ada yang tidak mengeluarkan air mata. Pengorbanan Arka saat ini sungguh tidak bisa dikatakan main-main. Arka akan menyerahkan jantungnya untuk kelangsungan hidup Amara. Dia akan mati, demi Amara bisa hidup."Ikut lah bersama kami." Dokter melangkah. Arka mengikutinya."Kak Arka!" Evelyn yang sejak tadi membeku kini tidak bisa lagi menahan diri. Dia memanggil Arka sambil menarik lengannya.Arka menghentikan langkahnya kemudian dia menoleh.“Kak Arka, apa kamu akan meninggalkan kami?”Arka membalikkan badannya dia menatap lekat wajah adiknya yang teramat ya sayangi itu. Kemudian tangannya terulur untuk mengusap air mata Evelyn ini yang sejak tadi sudah membasahi pipinya.“Kak Arka tidak pernah pergi. Kak Arka akan tetap ada di hati kalian.” Dia meraih kedua tangan Evelyn kemudian menggenggamnya dengan erat.“Evelyn dengarkan kakak, tanpa Kakak, kamu akan tetap hidup lebih baik asalkan ada Rayyan di
Tidak perlu menunggu waktu lama, seseorang yang dihubungi oleh Rayyan itu langsung mengangkat panggilan teleponnya.[Robi, segera mungkin hubungi semua tim kita, untuk bergerak keseluruh rumah sakit atau kemana saja untuk mencari seseorang yang bisa mendonorkan Jantungnya untuk Amara. Berapapun harganya, kita akan membayarnya! Dengar berapapun, itu aku tidak peduli!]Tanpa bertanya, Robi sudah paham dengan maksud dari perintah yang diutarakan oleh Rayyan dan cepat mengiyakan.Baru saja Rayyan mengakhiri panggilannya, Seorang Perawat masuk dan berseru."Dokter! Nona Amara kritis!"Tanpa bertanya, Dokter pun segera berlari menyusul langkah perawat itu yang dengan sigapnya disusul juga oleh yang lainnya.Dokter segera masuk ke dalam ruangan tempat Amara berbaring."Amar, kondisi Amara, Putri kita memburuk! Dia tidak sadarkan diri lagi!" Azura langsung menubruk tubuh Amar dan menangis histeris saat sang suami muncul di hadapannya.Amar cepat membawa tubuh Azura ke luar ruangan mengikuti i
Sudah hampir tiga jam lamanya, Tim medis dari rumah sakit ternama di kota mereka itu menangani Amara di ruangan ICU.Saat ini, Rayyan dan Evelyn sudah berada di rumah sakit, Amar yang sudah menghubungi mereka. Saat Rayyan mendapatkan kabar jika kondisi Amara kritis seketika saja ia langsung membawa serta Evelyn untuk bergegas menuju rumah sakit.Mereka sempat tidak percaya dengan berita yang mereka dengar, karena baru beberapa jam yang lalu suami dari Bibinya itu baru saja mengabarkan jika kesehatan Amara sudah membaik, bahkan hari ini Amara sudah dinyatakan boleh pulang ke rumah dan menjalankan berobat jalan saja.Akan tetapi semuanya terasa seperti mimpi, mendadak kondisi Amara menjadi kritis seperti saat ini. Semua orang dipenuhi rasa kekhawatiran. Menatap penuh harap ke arah pintu ruangan ICU tempat Amara sedang ditangani secara intensif oleh tim medis.Tak ada satupun suara yang terdengar, mereka hanya terdiam dan memanjatkan doa didalam hati mereka masing-masing. Hingga akhirnya
Epilog.Pagi-pagi, Amar dan Azura sudah terlihat melangkah menuju ruangan dimana Amara dirawat dengan wajah penuh ketenangan."Pagi sayang!" Azura menyapa berbarengan dengan membuka pintu ruangan."Pagi Mama, Papa." Amara menyambut dengan mata yang berbinar bahagia.Mata Azura langsung fokus pada tangan Arka yang sedang menyisir rambut Amara.'Wajar saja kalau Amara jatuh cinta pada pria itu. Dia begitu perhatian.' batinnya.Arka cepat mengangguk pada mereka berdua lalu kembali pada rambut Amara. Dia mengikat rapi rambut Amara keatas. Kemudian segera beranjak untuk menyisih."Bagaimana keadaan Amara, Arka?" tanya Amar pada Arka."Kata Dokter, aku sudah diperbolehkan pulang hari ini, Pa!" seru Amara.Amar tersenyum. "Papa sudah tahu. Dokter sudah menelpon Papa semalam, jika pagi ini kamu sudah boleh kembali ke rumah.""Paman, kalau begitu aku akan segera mengurus administrasi dulu." ucap Arka.Amar mengangguk."Kak Arka, kamu mau kemana?" tanya Amara."Arka harus mengurus biaya adminis
Hari ini, Amar menepati janji.Sepulang dari menjenguk Amara di rumah sakit, dia langsung menghubungi Rayyan untuk membahas rencana persiapan pernikahan Amara dan Arka.Rayyan pun segera datang bersama dengan Evelyn ke rumah besar keluarga Brahmana untuk membahas hal ini di sana.Setelah mereka berdiskusi akhirnya mereka memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tua Evelyn yaitu kediaman keluarga Limanto. Sebelum menuju rumah orang tuanya tidak lupa Evelyn memberi kabar pada ibunya supaya Ayahnya jangan dulu berangkat kerja, agar saat mereka tiba di kediaman keluarga Limanto, sang Ayah masih berada di rumah karena keluarga Brahmana akan datang ke sana.Laras tidak tahu apa yang akan mereka bahas, Dia mengira jika keluarga besar Brahmana hanya mengunjungi mereka sekedar untuk bersilaturahmi saja.Jadi dia pun memberitahu suaminya agar jangan pergi dulu ke kantor.Ketika semua orang sudah berkumpul di ruangan tengah kediaman keluarga Limanto, Laras dan Sofyan sedikit terkejut karena yang
Terdengar suara pintu terbuka dengan begitu hati-hati, ternyata seseorang sedang mengintip mereka. Kemudian orang itu tersenyum hangat ketika melihat pemandangan yang ada di dalam ruangan rawat inap dari rumah sakit terkenal itu.Amara tertidur dengan mendekap erat lengan Arka. Sedangkan Arka sendiri dengan posisi tengkurap disisi Amara, dengan tangan kanan berada di perut Amara. Kemudian pintu tertutup kembali. Seseorang itu kemudian melangkah pergi."Cinta memang tidak bisa disalahkan. Seperti halnya aku dulu, ketika jatuh cinta. Tak pandang jika wanita itu lah yang sudah buatku dan Ibuku celaka.” Terdengar suaranya pelan sambil melangkah."Kamu mendapatkan semuanya dari Arka, Amara. Kasih sayang, perhatian, cinta dan kesetiaan. Kamu pasti akan bahagia bersamanya putriku. Papa berjanji akan terus mendukung kalian." tuturnya sambil tersenyum."Pa, kenapa tidak jadi masuk?" tanya Azura menghampiri Amar sedikit heran, karena barusa saja tadi dia pergi ke kamar mandi dahulu."Kita pulan
Walau mereka semua tau jika Amara bukan darah daging dari mereka. Tapi sedikitpun tidak mengubah rasa sayang yang ada.“Karena kecelakaan itulah yang menyebabkan Amara terus saja sakit-sakitan. Karena pada saat kecelakaan itu Amara juga ikut serta.”Saat mengatakan itu tiba-tiba Rayyan teringat sesuatu, dia langsung menoleh pada Evelyn.“Evelyn, apa untuk kali ini kamu tidak bisa menyembuhkan Amara dengan jarum akupunturmu?”Evelyn tercengang. Dia kemudian menggeleng. “Gagal jantung adalah penyakit yang sangat kronis. Jarum akupunturku tidak akan mampu mengatasinya, sebab jarum akupuntur ku hanya bisa membuka saraf-saraf yang tertutup dan tidak berfungsi. Tetapi lain halnya dengan masalah jantung. Apalagi jarum akupuntur itu mempunyai rentan waktu yang cukup lama dalam pengobatan, sedangkan Amara memerlukan penanganan yang harus secepat mungkin.”Rayyan menunduk, “Sebenarnya perasaanku sangat tidak enak, aku takut terjadi sesuatu pada Amara. Aku benar-benar takut. Tapi aku tidak beran
“Amara? Sayang ku,” Azura memanggil lirih ketika melihat Amara membuka matanya secara perlahan.“Mama,” ucap Amara dengan suara yang lemah."Apa yang kamu rasakan,Nak?" tanya Azura sambil mencium kening Amara beberapa kali."Aku merasa tubuhku sangat lemas dan seperti tidak punya tenaga, Ma.""Ah, tidak apa-apa. Putri Papa akan segera sehat." Amar kini berganti mencium kening Amara.Lalu Amara menoleh, menatap keberadaan Arka. Mendapatkan tatapan dari Amar pria itu cepat mendekat. Melihat Arka mendekat Azura dan Amar pun memilih untuk menyisih."Nona Amara, apa dadanya masih sakit?" tanya Arka, dia kini duduk di samping Amara.Gadis itu menggeleng. "Kak Arka, aku ingin duduk."Arka mengangguk dan segera membantu Amara untuk duduk bersandar dengan hati-hati."Kak Arka, apa sakitku parah?" Amara bertanya pada Arka.Arka menghela nafas berat, lalu menoleh pada Rayyan dan Amar. Kemudian dia kembali lagi pada Amara. Arka meraih satu tangan Amara dan menggenggamnya dengan kedua tangannya."